Tampilkan postingan dengan label Alex Abbad. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alex Abbad. Tampilkan semua postingan

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018)

Judul film ini terdengar seperti gabungan antara Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971), dua film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel” alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak mengambil inspirasi dari Sundel Bolong (1981).

Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi saya bakal percaya jika muncul pernyataan bahwa easter egg di atas adalah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala membuat “Film Suzzanna”. Ini bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar usaha tak tahu malu guna mengeruk uang. Ini adalah ode yang menunjukkan betapa (warisan) Suzzanna masih menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.

Pendekatan tersebut tampak dari pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar) Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan sempurna sebagai sang ratu horor. Dalam wujud manusia (a.k.a. sebelum bertransformasi menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang membuatnya bak kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat bak noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna adalah pemandangan adiktif yang membuat saya lupa, jika butuh beberapa lama sebelum horor merangsek masuk.

Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya saat setelah tujuh tahun, momongan yang dinanti akhirnya tiba. Tapi jika mengenal film-film Suzzanna, tentu anda tahu ada tragedi bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra). Mereka memutuskan merampok rumah Satria setelah permintaan naik gaji ditolak. Aksi itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna sedang  menghabiskan malam Minggu menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka berempat terpaksa membunuh, lalu menguburnya di pekarangan belakang rumah.

Keesokan paginya ia terbangun, seolah baru bermimpi buruk seperti biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip & Pensil) yang dibuat berdasarkan cerita buatannya bersama Sunil Soraya (Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts). Sekilas absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melakukan “A” daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur berdasarkan aturan yang ia tetapkan.

Film-film Suzzanna dahulu adalah wujud totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode membunuh over-the-top dari sundel bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.

Ketiganya memerankan pembantu Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film. Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan absurd yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang komedian berbakat yang butuh lebih banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul seperti Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar” diterapkan, yang mana dapat kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna memeriksa seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu seisi ruangan lewat single take untuk memperlihatkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara mewah menyusun tensi dramatis, yang sayangnya kurang berdampak akibat lemahnya performa aktor utama.

Bentuk modernisasi lainnya adalah ditiadakannya cara membunuh cartoonish, lalu sebagai gantinya, menambah kadar gore. Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai mobil atau traktor, harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih memberi kepuasan serupa kala memperlihatkan setan yang punya peran cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala dunia nyata kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap wanita dari hukuman, menyaksikan mereka menerima penghakiman di sini jelas menyenangkan.

Aspek horornya memang tak seberapa mengerikan. Mungkin karena sundel bolong tak pernah menampakkan diri di lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan, perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, karena Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat telinga dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya dapat menyebabkan kematian.

Awalnya film ini disutradarai Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu peristiwa (yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The Doll, Sabrina) bergabung, berbagi kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya memutuskan menganggapnya sama rata. Pergerakan ceritanya mulus, menyebabkan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan utamanya tak langsung muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak berdiam terlalu lama di satu momen sampai intensitasnya turun drastis, tapi siapa pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot untuk.....

GILA LU NDRO! (2018)

Sebagaimana mestinya komedi satir, Gila Lu Ndro! menyindir realita dengan humor. Diharapkan, penonton tertawa sembari merenungkan peristiwa yang tengah disaksikan. Namun film keempat sutradara Herwin Novianto (Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, Tanah Surga...Katanya, Jagad X Code) ini di satu titik lupa akan niatnya menyampaikan sesuatu karena terlampau sibuk berusaha sekonyol mungkin, sebaliknya, di titik lain getol berceramah sehingga lalai melucu. Mau yang mana pun, bobot pesannya berujung terlemahkan.

Guna memahami poin utama film ini, kita perlu mengikuti cerita yang dituturkan Indro (Tora Sudiro) kepada sang istri, Nita—nama istri Indro Warkop di dunia nyata—yang diperankan Mieke Amalia, yang cukup beruntung mendapat jatah kalimat-kalimat terlucu dalam naskah garapan Upi (Tusuk Jelangkung, My Stupid Boss, Sweet 20) bersama “anak didiknya”, Aline Djayakusuma. Deretan kalimat tersebut kebanyakan berfungsi mengutarakan keheranan sekaligus kekesalannya terhadap cerita absurd sang suami yang mengaku bertemu Al (Indro Warkop) alias Alien, Raja dari planet Alienus.

Sebagai Raja, Al merasa perlu menemukan jalan menyelesaikan konflik tak berkesudahan antara warga Alienus. Untuk itulah ia mencari “Sumber Damai”, yang konon dimiliki Bumi. Dibantu Indro, Al pun melakukan perjalanan mengitari Bumi (baca: Jakarta), menemui ragam peristiwa yang filmnya pakai sebagai alat menyindir isu-isu sosial di sekitar. Mulai dari yang mereka lihat langsung seperti penyebaran hoax, penerimaan suap oleh polisi, pembeli yang menawar harga semaunya, obrolan singkat soal kegemaran wakil rakyat tidur pulas tatkala sidang, sampai baliho berupa ajakan berdoa (alih-alih mengusahakan jalan keluar) apabila terkena banjir.

Jadi apa yang Gila Lu Ndro! tawarkan demi menyelesaikan segala masalah di atas? Al sebagai Raja merupakan metafora pemimpin bangsa ini, dan filmnya secara gamblang nan lantang menyebut bahwa turun ke jalan menemui rakyat langsung alias blusukan merupakan jalan keluar. Kata “blusukan” bahkan Indro ucapkan, meniadakan ruang bagi kesubtilan. Daripada “merasakan”, rasanya seperti disuapi oleh Indro, yang penokohannya bisa dirangkum dalam 2 kata, “penengah konflik”. Tidak lebih, tetapi bisa kurang. Sebab di beberapa situasi, ia bahkan tak menengahi permasalahan, sebatas berdiri, mengamati, atau malah kabur.

Bagaimana dengan kita? Para manusia biasa, bukan pemimpin bangsa atau alien dengan sumber daya tanpa batas. Sejujurnya sulit dipahami akibat masing-masing problematika tak mempunyai korelasi pasti, seolah tanpa gambaran besar untuk disampaikan. Terkesan, tiap masalah dipilih bukan atas dasar kebutuhan narasi, melainkan dari pertimbangan, “mana yang paling konyol”. Bahkan ada subplot saat Al mendapatkan peran di sebuah film buatan Alex Abbad setelah seluruh pemain menolak hadir di lokasi. Apa kaitannya dengan pencarian kedamaian?

Untunglah, walau membayangi pesannya, komedi film ini mampu memproduksi tawa. Masih terjadi inkonsistensi, meleset di sana-sini khususnya ketika Herwin Novianto tampak kurang cakap mengatur timing, namun berhasil juga tepat sasaran di banyak sisi berkat sederet ide kreatif Aline dan Upi, yang tetap mengedepankan kelucuan ketimbang berusaha seaneh mungkin (like you-know-who). Saya suka setiap kali Nita memotong cerita Indro, yang dibungkus lewat berbagai cara unik.

Berlawanan dengan sang istri, Tora kurang lepas membanyol karena di saat bersamaan dibebani peran selaku penyampai pesan moral. Sebaliknya, Indro melakoni peran layar lebar terlucunya pasca era Warkop DKI, dengan humor cross-dressing di akhir merupakan momen terbaik. Keseluruhan Gila Lu Ndro! memang lucu. Penonton yang mengisi penuh studio tempat saya menonton jelas terpuaskan. Apabila cuma bertujuan memancin tawa, maka film ini sukses. Tapi Gila Lu Ndro! ingin menjadi lebih.....dan gagal. Coba tanyakan pada penonton yang tergelak sepanjang film mengenai intisari filmnya, besar kemungkinan mereka tidak mampu mengutarakan jawaban pasti.

BUFFALO BOYS (2018)

Pada sebuah adegan, protagonis kita, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) bersama sang paman, Arana (Tio Pakusadewo) berkesempatan menyelesaikan misi balas dendam mereka. Senapan telah diarahkan tepat ke tubuh Van Trach (Reinout Bussemaker). Awalnya senapan dipegang Jamar. Kita menunggu, tapi titik tembak yang jelas tak kunjung didapat. Giliran Arana mengangkat senjata. Kita menunggu lagi, peluru tak juga meletus. Setelah beberapa menit, aksi yang dinanti akhirnya urung terlaksana. Perasaan serupa selalu terulang sepanjang 102 menit Buffalo Boys, yang terasa seperti perjalanan melelahkan sepanjang tiga jam.

Ketika Sam Peckinpah meletakkan senjata, dia menunjukkan keintiman dan kerapuhan di balik machismo para koboi. Sewaktu Sergio Leone meletakkan senjata, ia mengeksplorasi ambiguitas moral, dunia brutal, atau pembangunan yang sama—kalau tidak lebih—menegangkan dari showdown-nya. Sedangkan saat Buffalo Boys meletakkan senjata, filmnya tidak memberi apa pun, kecuali penantian yang tak pernah ditebus. Dunia barat yang gersang nan keras dipidahkan ke Indonesia di era kolonialisme, yang meski hijau, tetaplah keras. Para koboi pun bukan pengembara tanpa tujuan atau segerombolan pria tangguh amoral yang akhirnya tergerak angkat senjata demi menegakkan keadilan. Mungkin, karena biar bagaimana, ini negeri Timur.

Jamar dan Suwo jelas tak berada di garis abu-abu. Keduanya pemuda baik. Hal personal, tepatnya balas dendam atas kematian ayah mereka di tangan Van Trach si penjajah jadi tujuan. Ditempa sejak kecil di Amerika, bersama Arana, mereka kembali ke Indonesia, berjumpa dengan sekelompok warga desa yang dikepalai Sakar (Donny Damara), yang juga korban penindasan Van Trach beserta kaki-tangannya. Sakar memiliki dua puteri, Sri (Mikha Tambayong) yang tak punya peranan selain untuk diselamatkan (damsel in distress) dan Kiona (Pevita Pearce) yang digambarkan jago memanah sambil menunggangi kerbau, namun substansi karakternya pun layak dipertanyakan.

Ditulis oleh sutradara Mike Wiluan bersama Raymond Lee, naskahnya luput menyampaikan duka dan amarah dalam hati protagonis. Ketika para jagoan western beristirahat di malam hari di depan api unggun, sesekali sambil bernyanyi atau bermain harmonika, itulah waktu bagi penonton mengenal mereka. Karena di keheningan malam yang damai, jagoan tertangguh sekalipun bisa berubah melankolis. Buffalo Boys tak menghadirkan keintiman serupa, pula alpa memaparkan isi kepala juga hati Jamar dan Suwo. Hanya Arana dengan kisah mengenai masa lalu dan alasan kenapa dua keponakannya itu harus balas dendam yang rutin terdengar. Kita berulang kali dicekoki alasan “mengapa”, namun urung dilibatkan, karena akhirnya, koboi-koboi tanah air ini cuma dua pemuda nihil kepribadian. Sulit merasa terikat, apalagi mengantisipasi hadirnya “momen besar” ketika target mereka berhasil dicapai. Seolah, kita dibawa melakukan perjalanan panjang menaiki kuda (atau kerbau) di hamparan tanah kosong tanpa sesuatu untuk ditunggu.

Tentu Ario Bayu, dengan jenggot lebat, kulit sawo matang, dan riasan “kotor” di sekujur tubuh cocok sebagai karakter yang menghabiskan waktu lama tinggal di wild west, sementara Yoshi Sudarso, berbekal pengalamannya memainkan Koda/Ranger biru di Power Rangers Dino Charge, tampa meakinkan melakoni porsi laga. Jauh lebih meyakinkan dari kemampuannya melafalkan Bahasa Indonesia. Bisa dimaklumi mengingat bagi Suwo, Bahasa Indonesia bukan “bahasa ibu”, andai di saat bersamaan, Jamar punya kapasitas tak jauh beda. Masalahnya, jarak di antara mereka terlalu lebar.

Pun kedua tokoh utama kita ini kalah menarik ketimbang jajaran pemain pendukung, termasuk para villain yang punya dandanan sekaligus perilaku unik cenderung aneh macam Alex Abbad dan Hannah Al-Rashid, yang walau muncul singkat, paling mencuri perhatian berkat performa over-the-top yang jelas lebih menarik bila disejajarkan dengan para protagonis yang datar. Sunny Pang turut ambil bagian. Sayang, kemampuan bela dirinya disia-siakan, sebagaimana beberapa Van Trach beserta anak buahnya (kecuali Alex dan Hannah) gagal dimanfaatkan potensinya, tak diberi kesempatan memberi ancaman pada Jamar dan Suwo. Sekalinya antagonis di atas angin, kesan bila kedua protagonis bakal membalikkan keadaan dengan cepat nan mudah langsung terasa. Di luar tokoh-tokoh yang terlibat baku hantam dan tembak, terselip Seruni, budak wanita Van Trach, yang diperankan Happy Salma, yang memperlihatkan akting dengan kepekaan rasa jauh mengungguli penampil lainnya.

Gelaran aksinya bukan rendah di kualitas, melainkan kuantitas. Terdapat elemen kekerasan dan hentakan di tiap-tiap aksi, yang meski dampaknya menurun akibat dibarengi usaha menghindari gunting sensor lewat penyampaian tak terlalu eksplisit, masih cukup efektif “menampar” guna menghilangkan kantuk yang disebabkan lemahnya narasi. Masalahnya adalah pemilihan sudut yang dipakai Mike Wiluan. Beberapa “hook”, yang telah berkurang efektivitasnya karena keengganan direpotkan urusan sensor tadi, makin lemah ketika urung disokong sudut kamera yang mendukung. Kadang, apa yang harusnya terlihat justru di luar frame, apa yang mestinya diambil dari dekat justru dibungkus wide shot, vice versa. Ditambah minimnya kuantitas laga, bertambah melelahkan film ini.

Anda bisa berargumen bahwa berbagai judul western terbaik tak memiliki banyak aksi. Betul, namun di antaranya, terdapat sesuatu untuk disampaikan, sebutlah isu sosial, kemanusiaan, hingga problema personal. Buffalo Boys telah mempunyai pondasi guna melangkah ke sana. Selain kisah balas dendam, ini juga paparan soal kolonialisme, yang berujung tumpul ketika filmnya sebatas menunjukkan dari jauh, dari luar, tanpa menggiring kita masuk dan ikut merasakannya sendiri. Buffalo Boys bisa menjadi gambaran alternatif terhadap pertempuran skala kecil bersifat kedaerahan yang banyak meletus di tengah perang meraih kemerdekaan dahulu. Namun potensi itu tenggelam bersama poin-poin cerita yang berakhir sebatas latar bagi sebuah film melelahkan tanpa hal menarik di sela-sela hujan pelurunya.

Saya begitu menantikan Buffalo Boys karena variasi tema dipadu sumber daya kelas internasional miliknya. Memang film ini terlihat (cukup) mahal. Production value-nya layak dinikmati, tetapi tata suara, terlebih sewaktu karakternya mengucap dialog, kerap terbenam. Jadi ya, entah dari perspektif aksi, nuansa western, maupun produksi berskala besarnya, film ini mengecewakan. Buffalo Boys merupakan kekecewaan terbesar tahun 2018.....sejauh ini.

NIGHT BUS (2017)

Kalau tidak salah kabar pembuatan film ini sudah didengungkan oleh Darius Sinathrya sang produser sejak 2014 dan sempat mengadakan crowdfunding. Dibuat berdasarkan cerpen Selamat buatan Teuku Rifnu Wikana yang sebagai hasil penuangan pengalamannya di tahun 1999 kala terjebak di bus selama 12 jam ketika melewati daerah konflik bernama Sampar, Night Bus memang terasa ambisius. Bagaimana tidak? Mayoritas alurnya bertempat di satu lokasi (bus malam) serta berisi belasan tokoh yang oleh Rahabi Mandra dan Teuku Rifnu Wikana selaku penulis naskah coba diseimbangkan porsinya. Hasilnya adalah sajian berkonsep segar yang meski punya kekurangan di sana-sini, sanggup menonjol di antara thriller lokal sejauh ini.

Sebuah bus malam yang disopiri Amang (Yayu AW Unru) siap mengarungi perjalanan selama 12 jam menuju Sampar. Berdasarkan cerita si kondektur (Teuku Rifnu Wikana), di sana sedang meletus konflik antara militan penuntut kemerdekaan dan pemerintah. Alhasil sepanjang perjalanan mereka harus melewati pengecekan di beberapa pos militer. Penumpang bus terdiri dari beragam orang dengan tujuan sendiri-sendiri, ada wartawan, wanita tua yang hendak berziarah ke makam puteranya bersama sang cucu, sepasang kekasih remaja pencari kerja, dan lain-lain. Tanpa diduga pertikaian makin sengit, bahkan turut menyeret para penumpang lebih dalam, mengancam nyawa mereka. Rahasia yang dipendam masing-masing pun mulai terungkap. 
Sempat timbul dugaan Night Bus sejatinya belum siap rilis. Selain molornya proses produksi, beberapa masalah teknis yang membuat premiere-nya sempat tertunda berjam-jam sampai batalnya penayangan di banyak kota dengan alasan serupa jadi pemicu asumsi tersebut. Tapi itu kisah di balik layar yang sulit dibuktikan kebenarannya. Dari hasilnya, Night Bus kentara mengusung ambisi besar pula digarap serius. Production value-nya tidak main-main, membuat gambarnya enak dipandang khususnya sewaktu Anggi Frisca sang sinematografer tahu cara merangkai visual enjoyable walau didominasi ruang sempit minim cahaya. Ketepatan menempatkan kamera dan bermain warna jadi kunci. 

Kesan mahal menguat tatkala efek CGI kerap menghiasi. Tentu saya tak mengharapkan kualitas nomor satu, tapi di tengah keterbatasan, penggunaan CGI-nya nampak berlebihan di berbagai kesempatan semisal kobaran api dan puing reruntuhan atau helikopter selaku cara klise menunjukkan militer tengah bergerak. Padahal tanpa CGI clumsy itu penonton sudah memahami situasinya. Aspek sound mixing turut menyimpan masalah. Acap kali memakai bahasa dan logat daerah, ketiadaan subtitle mengharuskan tata suara solid agar mudah dicerna. Kebutuhan itu gagal dipenuhi, berujung banyak dialog samar-samar. Paling fatal saat kalimat dari Mahdi (Alex Abbad) yang mengandung poin alur kunci diucapkan dengan berbisik, mengharuskan penonton berkonsentrasi ekstra mengolah kata demi kata.
Di luar kelemahan teknis, Night Bus masih thriller menegangkan yang sanggup memaksa penonton mencengkeram kursi lalu menahan nafas. Emil Heradi bersedia meluangkan waktu membangun intensitas ketimbang langsung meledakkannya, terlebih dulu mempermainkan antisipasi penonton, memancing atmosfer harap-harap cemas. Sewaktu teror akhirnya menampakkan diri, alih-alih terbatasi setting sempit, Emil sanggup menyeret penonton ikut duduk di dalam bus, berbagi ketakutan serupa penumpangnya. Sementara musik karya Yovial Tri Purnomo Sigi terdengar dramatis, sempurna menemani gejolak mencekam filmnya. 

Sayang, usaha Emil membangun ketegangan tak jarang bertele-tele, diseret terlalu lama sebelum masuk ke menu utama. Dipaksa menanti ketika tahu akan terjadi sesuatu khususnya terkait paparan horor atau thriller memang asyik, tapi jika penantian itu terlampau panjang dan sering, rasanya mengesalkan. Saya berkali-kali dibuat gemas akibat Emil gemar berlama-lama berkutat di momen kurang penting seperti karakter berjalan atau bicara perlahan dengan tempo lambat pula. Tambah melelahkan akibat repetitifnya bentuk teror yang dihadapi. Sekitar empat kali bus bertemu sebuah rombongan, dihentikan, kemudian penumpang dipaksa turun. Hal ini berlangsung sampai konklusi membungkus cerita. Tidak heran durasi mencapai 135 menit. 
Durasi tersebut turut dipengaruhi kerapnya naskah memasukkan momen non-esensial. Tujuannya baik, supaya penonton memahami setiap tokoh yang mana berhasil dicapai. Setidaknya saya tahu siapa dan apa motivasi masing-masing dari mereka. Tapi setelah berkali-kali melihat tingkah Kondektur (diperankan begitu baik oleh Teuku Rifnu Wikana sehingga walau tampak seenaknya, ia tetap berperasaan dan likeable), perlukah adegan menari mengikuti musik sambil mabuk untuk menegaskan bahwa dia sosok nyeleneh? Penegasan berulang ini berkontradiksi dengan kesubtilan naskah dalam memprsentasikan kompleksitas konflik. 

Rahabi Mandra bersama Teuku Rifnu cukup piawai menjalin kaitan antar fakta tanpa mesti gamblang bertutur, sepenuhnya menyerahkan proses penyusunan keping-keping puzzle pada penonton. Jalinan kisahnya memang rumit, namun suatu kerumitan yang selaras dengan kekacauan dunianya. Sebuah dunia di mana kekuasaan disalahgunakan, ambisi pribadi dipentingkan, di mana para pemegang kekuatan saling berseteru, meninggalkan masyarakat biasa yang lemah terombang-ambing di tengah sebagai korban tak berdaya. Sungguh kejam si kuat, sungguh malang si lemah. Di luar setumpuk kekurangannya, Night Bus kuat menghasilkan ketegangan juga lantang menyuarakan pesan.