SOMETHING IN BETWEEN (2018)

13 komentar
Untuk pertama kalinya, romana produksi Screenplay Films mampu tampil menyentuh hati. Naskah karya Titien Wattimena (Aruna & Lidahnya, Dilan 1990, Tanda Tanya) dan Novia Faizal (Cinta Tapi Beda, Heart Beat) bertindak selaku pembeda. Apabila naskah di film-film sebelumnya yang digarap oleh Tisa TS memperlakukan patah hati atau tragedi, semata sebagai alat agar para pemain mengalirkan air mata sederas mungkin, musik mengalun sekeras mungkin, sementara di kursi sutradara, Asep Kusdinar (Magic Hour, London Love Story, Promise) berkesempatan mengeksploitasi gerak lambat demi efek dramatis.

Tapi dalam Something in Between, peristiwa menyedihkan bertugas memicu efek domino berupa tersulutnya emosi-emosi lain, termasuk yang bersifat positif. Titien dan Novia melakukan itu tanpa menjauh dari gaya khas Screenplay Films, seperti dialog puitis dan twist dramatis, yang kali ini disertai bumbu fantasi (we’ll get into that later). Pasangan pemeran utamanya pun masih diisi wajah familiar, yakni Jefri Nichol dan Amanda Rawles, yang sebelum ini telah bersama di 4 film (tidak termasuk cameo), serta bakal kita jumpai lagi pada akhir bulan ini lewat Dear Nathan Hello Salma.

Saya tidak bisa banyak menuliskan alurnya, sebab mengungkap kejadian selepas 20 menit pertama saja berpotensi spoiler. Pastinya, dalam Something in Between ada seorang pemuda yan memutuskan kembali ke Indonesia dari London setelah ia terus bermimpi tentang sebuah tempat dan seorang gadis. Dari sana, kita dibawa melihat pemandangan familiar: Jefri Nichol dan Amanda Rawles memerankan sepasang siswa-siswi SMA yang saling cinta.

Tidak ada alasan kuat mengapa Gema (Jefri Nichol) begitu kepincut pada Maya (Amanda Rawles), sebab keduanya pun jarang berinteraksi, salah satunya karena mereka berasal dari kelas yang berbeda. Gema adalah murid kelas reguler, sementara Maya anak kelas unggulan. Menariknya, naskah film ini menyadari ketiadaan alasan tersebut, bahkan menjadikannya bahan pembicaraan. Gema sendiri beralasan jika “Menyukai Maya karena tampak luarnya saja sudah sekuat ini, apalagi mencintai dalamnya?”. Tidak masuk akal memang. Tapi begitulah cara kerja cinta SMA.

Bicara romantika milik Screenplay Films sama saja bicara tuturan verbal gombal. Something in Between menekan dialog (sok) puitisnya sampai ke dosis yang dapat dikonsumsi secara aman, walau beberapa kalimat ditambah perilaku antik Gema guna merebut hati Maya sesekali masih terasa cringey. Beruntung, Jefri dan Amanda memainkan “interaksi gulali” Gema-Maya melalui cara yang menyenangkan, sehingga saya pun menikmati keberamaan keduanya.

Melewati satu jam pertama, tensi sempat anjlok seiring permasalahan yang semakin menipis, sementara tingkah-tingkah unik Gema mulai menjadi pisau bermata dua. Berkat Dilan dan Nathan, metode rayuan tidak lazim kembali populer di kisah cinta SMA perfilman kita. Di sini, “proposal cinta” dan “kue ulang tahun” dari Gema sanggup menciptakan nuansa manis. Namun kemudian ia melangkah terlalu jauh, dan pada sebuah momen (anda akan tahu yang mana), “kreativitas” miliknya mulai terasa bodoh ketimbang romantis. Sayangnya momen tersebut turut berposisi sebagai titik balik dramatis filmnya, sehingga proses “banting setir” itu berlangsung kurang mulus, tak semudah itu diterima.

Perihal elemen fantasi, lagi-lagi saya tak bisa menjabarkan detailnya. Elemen tersebut memang berfungsi sebagai twist, tapi naskahnya bukan (cuma) mementingkan efek kejut, juga menjadikan elemen fantasi itu sebagai alat memainkan drama emosional seputar relasi berbasis memori antara karakter. Memori yang memberi bobot rasa, bukan saja terkait urusan romansa, pula pertemanan dan keluarga. Dalam pengemasannya, alih-alih mengharu biru secara berlebihan sebagaimana biasa, kali ini penyutradaraan Asep Kusdinar lebih sederhana, membiarkan jajaran pemain, khususnya para pendukung, mengatrol kekuatan adegan.

Dari Yayu Unru sebagai penjaga sekolah, sampai Surya Saputra dan Djenar Maesa Ayu yang memerankan orang tua Maya, semua mendapat kesempatan mengaduk-aduk perasaan penonton. Hadir pula Slamet Rahardjo, memerankan Pak Bagus si Kepala Sekolah yang hampir tiap kalimatnya terdengar menggelitik. Sejak Slamet Rahardjo di The Perfect Husband yang rilis April lalu, romansa produksi Screenplay Films memang mulai menampilkan aktor-aktor berpengalaman, yang terbukti merupakan keputusan tepat. Mari menantikan Christine Hakim dalam Dancing in the Rain bulan depan.

Andai bukan karena ending-nya, Something in Between takkan berhenti hanya sebagai persembahan terbaik Screenplay Films sejauh ini, bahkan layak disebut salah satu film Indonesia terbaik sepanjang tahun. Ending-nya inkonklusif, terburu-buru mengakhiri kisah sebelum memberi resolusi memuaskan yang berpotensi membawa emosi menuju puncak. Ada kesan semuanya disimpan untuk materi sekuel. Bukan keputusan bijak. Selain melucuti kekuatan filmnya, melihat perolehan penonton hari pertama yang cukup rendah, saya meragukan sekuelnya bakal segera diproduksi. Sayang sekali.

13 komentar :

Comment Page:
dim mukti mengatakan...

Jadi penulisnya bukan yang biasanya ya mas?

Firman mengatakan...

Agak kurang nyaman sama judulnya .. kenapa mesti bahasa inggris .. tapi itu cuma pendapat saya lo .. sah sah aja pakai judul apapun

dim mukti mengatakan...

aga sependapat

Unknown mengatakan...

Admin review film eighth grade dong, ceritanya bagus banget menurut saya. 😊

Roni mengatakan...

Jadi yang merusak film ini itu endingnya Mas? Entah kenapa based on trailer, film ini less annoying daripada Hello Salma.

Rafli mengatakan...

Nonton dimana? Saya gak dapat filmnya

Unknown mengatakan...

Sudah banyak kok di lapak langganan hehehe 😊

Rasyidharry mengatakan...

@dim Bukan, tapi Dancing in the Rain nanti Tisa TS lagi yang nulis

@moch Sebenernya mau Indonesia atau Inggris asal sesuai nggak masalah sih. Sejauh ini Screenplay Films memang selalu pakai judul bahasa Inggris.

@Aliando Ya kalau tayang bioskop yah (which is nggak mungkin haha)

@Roni Kelemahan paling besar di ending emang. Oh, kalau hasil akhirnya nanti sih cukup yakin Hello Salma jauh lebih bagus, selama nggak jauh dari Dear Nathan.

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Saya udah nonton barusan, emang kerasa bgt sih film ini nawarin sesuatu yg bru. Klo dulu screenplay sering bikin twist sebatas plot non linear/dalang2an yg melatarbelakangi cerita. Kini mereka bikin terobosam baru. Saya emang sempet nebak film ini ada elemen karakterisasi kyak SUPERNOVAnya Dee Lestari, tapi twist di ending bner2 gk kepikiram sih. Film ini berhasil bikin twist tapi tetep mengedepankan keasyikan cerita, jafinya saya dibuat terhibur sama ceritanya plus kgum sama twistnya. Emang bner yaaa. Film yg bgus itu didukung dari 60% naskah, 45% Penyutradaraan, 15% teknis.

Rasyidharry mengatakan...

Relatif sih sebenernya, tergantung kebutuhan film itu sendiri. Tapi akhirnya naskah & penyutradaraan memang selalu paling vital.

Albert mengatakan...

Memang momen ultah itu jadi titik balik ya. Aneh juga ibunya pingsan gitu malah ditinggal pergi. Itu kecelakaannya bener kecelakaan ga sih bang? Sepintas di ending ada gambar raka, dan aneh juga kok motor ditabrak dari belakang gitu.

Rasyidharry mengatakan...

@Albert Aneh karena cara PDKT Gema yang nyeleneh jadi kelewatan di situ. Murni bodoh. Orang tua mana mau kasih restu kalo caranya gitu? Iya, itu bukan kecelakaan. Raka yang tabrak.

Anonim mengatakan...

Tapi Maya gak hamil kan? �� Kurang ajar banget ya jelas aja orang tuanya pingsan