SOMETHING IN BETWEEN (2018)
Rasyidharry
September 30, 2018
Amanda Rawles
,
Asep Kusdinar
,
Cukup
,
Djenar Maesa Ayu
,
Indonesian Film
,
Jefri Nichol
,
Novia Faizal
,
REVIEW
,
Romance
,
Slamet Rahardjo
,
Surya Saputra
,
Titien Wattimena
,
Yayu AW Unru
13 komentar
Untuk pertama kalinya, romana
produksi Screenplay Films mampu tampil menyentuh hati. Naskah karya Titien
Wattimena (Aruna & Lidahnya, Dilan
1990, Tanda Tanya) dan Novia Faizal (Cinta
Tapi Beda, Heart Beat) bertindak selaku pembeda. Apabila naskah di
film-film sebelumnya yang digarap oleh Tisa TS memperlakukan patah hati atau
tragedi, semata sebagai alat agar para pemain mengalirkan air mata sederas
mungkin, musik mengalun sekeras mungkin, sementara di kursi sutradara, Asep
Kusdinar (Magic Hour, London Love Story,
Promise) berkesempatan mengeksploitasi gerak lambat demi efek dramatis.
Tapi dalam Something in Between, peristiwa menyedihkan bertugas memicu efek
domino berupa tersulutnya emosi-emosi lain, termasuk yang bersifat positif.
Titien dan Novia melakukan itu tanpa menjauh dari gaya khas Screenplay Films,
seperti dialog puitis dan twist dramatis,
yang kali ini disertai bumbu fantasi (we’ll
get into that later). Pasangan pemeran utamanya pun masih diisi wajah
familiar, yakni Jefri Nichol dan Amanda Rawles, yang sebelum ini telah bersama
di 4 film (tidak termasuk cameo),
serta bakal kita jumpai lagi pada akhir bulan ini lewat Dear Nathan Hello Salma.
Saya tidak bisa banyak menuliskan
alurnya, sebab mengungkap kejadian selepas 20 menit pertama saja berpotensi spoiler. Pastinya, dalam Something in Between ada seorang pemuda
yan memutuskan kembali ke Indonesia dari London setelah ia terus bermimpi
tentang sebuah tempat dan seorang gadis. Dari sana, kita dibawa melihat
pemandangan familiar: Jefri Nichol dan Amanda Rawles memerankan sepasang
siswa-siswi SMA yang saling cinta.
Tidak ada alasan kuat mengapa Gema
(Jefri Nichol) begitu kepincut pada Maya (Amanda Rawles), sebab keduanya pun
jarang berinteraksi, salah satunya karena mereka berasal dari kelas yang
berbeda. Gema adalah murid kelas reguler, sementara Maya anak kelas unggulan.
Menariknya, naskah film ini menyadari ketiadaan alasan tersebut, bahkan
menjadikannya bahan pembicaraan. Gema sendiri beralasan jika “Menyukai Maya
karena tampak luarnya saja sudah sekuat ini, apalagi mencintai dalamnya?”. Tidak
masuk akal memang. Tapi begitulah cara kerja cinta SMA.
Bicara romantika milik Screenplay
Films sama saja bicara tuturan verbal gombal. Something in Between menekan dialog (sok) puitisnya sampai ke dosis
yang dapat dikonsumsi secara aman, walau beberapa kalimat ditambah perilaku
antik Gema guna merebut hati Maya sesekali masih terasa cringey. Beruntung, Jefri dan Amanda memainkan “interaksi gulali” Gema-Maya
melalui cara yang menyenangkan, sehingga saya pun menikmati keberamaan
keduanya.
Melewati satu jam pertama, tensi
sempat anjlok seiring permasalahan yang semakin menipis, sementara
tingkah-tingkah unik Gema mulai menjadi pisau bermata dua. Berkat Dilan dan
Nathan, metode rayuan tidak lazim kembali populer di kisah cinta SMA perfilman kita.
Di sini, “proposal cinta” dan “kue ulang tahun” dari Gema sanggup menciptakan nuansa
manis. Namun kemudian ia melangkah terlalu jauh, dan pada sebuah momen (anda
akan tahu yang mana), “kreativitas” miliknya mulai terasa bodoh ketimbang
romantis. Sayangnya momen tersebut turut berposisi sebagai titik balik dramatis
filmnya, sehingga proses “banting setir” itu berlangsung kurang mulus, tak
semudah itu diterima.
Perihal elemen fantasi, lagi-lagi
saya tak bisa menjabarkan detailnya. Elemen tersebut memang berfungsi sebagai twist, tapi naskahnya bukan (cuma)
mementingkan efek kejut, juga menjadikan elemen fantasi itu sebagai alat
memainkan drama emosional seputar relasi berbasis memori antara karakter. Memori
yang memberi bobot rasa, bukan saja terkait urusan romansa, pula pertemanan dan
keluarga. Dalam pengemasannya, alih-alih mengharu biru secara berlebihan sebagaimana
biasa, kali ini penyutradaraan Asep Kusdinar lebih sederhana, membiarkan
jajaran pemain, khususnya para pendukung, mengatrol kekuatan adegan.
Dari Yayu Unru sebagai penjaga
sekolah, sampai Surya Saputra dan Djenar Maesa Ayu yang memerankan orang tua
Maya, semua mendapat kesempatan mengaduk-aduk perasaan penonton. Hadir pula
Slamet Rahardjo, memerankan Pak Bagus si Kepala Sekolah yang hampir tiap
kalimatnya terdengar menggelitik. Sejak Slamet Rahardjo di The Perfect Husband yang rilis April lalu, romansa produksi
Screenplay Films memang mulai menampilkan aktor-aktor berpengalaman, yang
terbukti merupakan keputusan tepat. Mari menantikan Christine Hakim dalam Dancing in the Rain bulan depan.
Andai bukan karena ending-nya, Something in Between takkan berhenti hanya sebagai persembahan
terbaik Screenplay Films sejauh ini, bahkan layak disebut salah satu film
Indonesia terbaik sepanjang tahun. Ending-nya
inkonklusif, terburu-buru mengakhiri kisah sebelum memberi resolusi memuaskan
yang berpotensi membawa emosi menuju puncak. Ada kesan semuanya disimpan untuk
materi sekuel. Bukan keputusan bijak. Selain melucuti kekuatan filmnya, melihat
perolehan penonton hari pertama yang cukup rendah, saya meragukan sekuelnya
bakal segera diproduksi. Sayang sekali.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
13 komentar :
Comment Page:Jadi penulisnya bukan yang biasanya ya mas?
Agak kurang nyaman sama judulnya .. kenapa mesti bahasa inggris .. tapi itu cuma pendapat saya lo .. sah sah aja pakai judul apapun
aga sependapat
Admin review film eighth grade dong, ceritanya bagus banget menurut saya. 😊
Jadi yang merusak film ini itu endingnya Mas? Entah kenapa based on trailer, film ini less annoying daripada Hello Salma.
Nonton dimana? Saya gak dapat filmnya
Sudah banyak kok di lapak langganan hehehe 😊
@dim Bukan, tapi Dancing in the Rain nanti Tisa TS lagi yang nulis
@moch Sebenernya mau Indonesia atau Inggris asal sesuai nggak masalah sih. Sejauh ini Screenplay Films memang selalu pakai judul bahasa Inggris.
@Aliando Ya kalau tayang bioskop yah (which is nggak mungkin haha)
@Roni Kelemahan paling besar di ending emang. Oh, kalau hasil akhirnya nanti sih cukup yakin Hello Salma jauh lebih bagus, selama nggak jauh dari Dear Nathan.
Saya udah nonton barusan, emang kerasa bgt sih film ini nawarin sesuatu yg bru. Klo dulu screenplay sering bikin twist sebatas plot non linear/dalang2an yg melatarbelakangi cerita. Kini mereka bikin terobosam baru. Saya emang sempet nebak film ini ada elemen karakterisasi kyak SUPERNOVAnya Dee Lestari, tapi twist di ending bner2 gk kepikiram sih. Film ini berhasil bikin twist tapi tetep mengedepankan keasyikan cerita, jafinya saya dibuat terhibur sama ceritanya plus kgum sama twistnya. Emang bner yaaa. Film yg bgus itu didukung dari 60% naskah, 45% Penyutradaraan, 15% teknis.
Relatif sih sebenernya, tergantung kebutuhan film itu sendiri. Tapi akhirnya naskah & penyutradaraan memang selalu paling vital.
Memang momen ultah itu jadi titik balik ya. Aneh juga ibunya pingsan gitu malah ditinggal pergi. Itu kecelakaannya bener kecelakaan ga sih bang? Sepintas di ending ada gambar raka, dan aneh juga kok motor ditabrak dari belakang gitu.
@Albert Aneh karena cara PDKT Gema yang nyeleneh jadi kelewatan di situ. Murni bodoh. Orang tua mana mau kasih restu kalo caranya gitu? Iya, itu bukan kecelakaan. Raka yang tabrak.
Tapi Maya gak hamil kan? �� Kurang ajar banget ya jelas aja orang tuanya pingsan
Posting Komentar