SUI DHAAGA: MADE IN INDIA (2018)
Rasyidharry
Oktober 01, 2018
Anushka Sharma
,
Comedy
,
Cukup
,
Drama
,
Hindi Movie
,
Raghubir Yadav
,
REVIEW
,
Sharat Katariya
,
Varun Dhawan
,
Yamini Das
7 komentar
Poin fatal Sui Dhaaga: Made in India—yang jelas bermaksud menjadi tontonan
inspiratif—adalah pilihannya untuk terlalu bersandar pada penderitaan serta
ketidakberdayaan, dan kurang berhasil menyeimbangkannya dengan penebusan uplifting. Bahkan ketika tiba di momen
tersebut, filmnya urung menyentuh emosi maksimal, entah diakibatkan elemen di
luar nalar atau tergesa-gesa menjatuhkan karakternya lagi ke dalam jurang
kepahitan sebelum mereka (dan penonton) berkesempatan menikmati kebahagiaan
barang sejenak.
Bukan berarti menampilkan
penderitaan berkepanjangan diharamkan dalam tontonan inspirasional. Apalagi Sui Dhaaga: Made in India mengisahkan
pergumulan si miskin memperbaiki hidup dan bagaimana mereka diperalat oleh si
kaya yang lebih berpendidikan. Tapi sejak awal, sutradara sekaligus penulis
naskah, Sharat Katariya (Dum Laga Ke Haisha), telah menetapkan suatu tone, yang seiring perjalanan, gagal
dijaga konsistensinya. Tone yang
dibawa oleh kalimat andalan protagonisnya: “It’s
all good”.
Mauji (Varun Dhawan) selalu
berpikiran positif, tersenyum, berkata “It’s
all good”, meski faktanya, tinggal bersama keluarganya dalam kesulitan
ekonomi, jarang berinteraksi dengan sang istri, Mamta (Anushka Sharma) akibat
rutinitas tak bersahabat, pula diperlakukan (literally) layaknya anjing oleh pemilik toko mesin jahit tempatnya
bekerja. Melalui Mauji, Sharat Katariya bagai mengajak penonton menengok penderitaan
masyarakat ekonomi kelas bawah, tapi alih-alih perspektif sarat ratapan, ia memakaikan kita kacamata penuh romantisme,
sehingga bisa menertawakan segala pemandangannya.
Mauji kerap terlibat cekcok dengan ayahnya
(Raghubir Yadav), yang menganggapnya anak pemalas tidak berguna, namun bukan
pertengkaran panas yang nampak, melainkan barter sindiran-sindiran tajam berisi
pilihan kata-kata menggelitik. Ayah dan anak ini bak punya stok ejekan tanpa
batas untuk satu sama lain. Pun tatkala sang ibu (Yamini Das) jatuh di dapur
karena serangan jantung, kecemasan keluarga justru mengundang tawa berkat
perilaku jenaka. Pendekatan yang membuktikan kesetiaan filmnya pada semangat “It’s all good” yang ditanam sejak
permulaan.
Bahkan musibah sakitnya sang ibu
justru secara mengejutkan memunculkan harapan baru bagi Mauji untuk menata
ulang kehidupannya. Didorong oleh Mamta, Mauji berhasrat menjadi penjahit meski
mendapat tentangan ayahnya, mengingat dahulu, usaha jahit sang kakek bangkrut
dan menggiring keluarganya menuju kemiskinan. Ini adalah gesekan dua sudut
pandang. Mereka yang jengah diinjak-injak (Mauji dan Mamta) “melawan” mereka
yang menerima, merendahkan diri demi bertahan hidup (orang tua Mauji). Kedua
sudut pandang dapat dimengerti, walau jelas Sharat berpihak ke mana.
Dia ingin kita mendukung mereka
yang berjuang. Dia ingin kita menaruh iba pada kegagalan mereka sembari membenci
para penindas. Dia ingin kita terhanyut tatkala protagonisnya terjatuh menuju
lubang gelap, lalu mendukung usahanya untuk memanjat ke permukaan. Masalahnya, Sharat
mengurung karakternya terlau lama di kegelapan, lalu berulang kali mematahkan
pendakiannya tiap kali mereka mulai melihat cahaya. Pendekatan “gali lubang
tutup lubang” ini menghalangi progres sehingga terasa melelahkan. Sui Dhaaga: Made in India menghabiskan second act sebagai melodrama,
mengenyahkan semangat “It’s all good”
yang diusung.
Padahal paruh terbaik film ini
selalu berpusat pada momen keceriaan, misalnya lewat sebuah adegan musikal yang
efektif memancing senyum berkat koreografi sederhana yang memanfaatkan
keselarasan musik dengan goyangan kepala penumpang ketika bus bergetar melewati
jalan terjal. Sewaktu kejenakaan keluarga Mauji lenyap ditutupi kegelapan, Anushka
Sharma hadir sebagai penyelamat. Dengan senyum lebar yang sanggup menebar aura
positif ke seluruh penjuru ruangan, Anushka Sharma bagai tiang penyangga kokoh
yang mampu menahan agar penonton tak memalingkan hati dari karakternya, sebagaimana
Mamta setia menjaga api semangat suaminya.
Intensitas sempat bangkit memasuki
paruh akhir, bersamaan dengan kembalinya harapan sekaligus keceriaan para
tokoh. Sampai gebrakan emosi yang dinanti-nanti tak kunjung tiba akibat suatu
ketidaklogisan. Mauji memang penjahit berbakat, tetapi tidak berarti ia, dengan
keterbatasan referensi serta informasi, bisa menciptakan rancangan baju
layaknya desainer ternama. Masalah bukan
terletak pada kualitas, melainkan gaya. Ini pun bagian inkonsistensi. Setelah
meluangkan sebagian besar durasi memaparkan realita minim “pemanis” Sharat
Katariya justru menutup filmnya dengan nuansa berlawanan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Bukankah realita memang seperti itu? Jadi penasaran pengen nonton filmnya :D
Ya terserah mau bikin film yang pure kasih lihat kepahitan secara terus-terusan atau yang uplifting, tapi mesti pilih salah satu. Kalau coba campur dua-duanya secara nggak rapi begini jadi kurang jelas tujuannya.
mas tolong rekomendasiin film romance bollywood yang enak dong hehe makasih
1. Tamasha
2. Yeh jawaani hai deewani
3. Aidil hai mushkil
@Monica beberapa favorit sih:
Dilwale Dulhaniya Le Jayenge
Kuch Kuch Hota Hai
Mohabbatein
Kal Ho Na Ho
Khoobsurat
makasih mas rekomennya khobsurat baru selesi nonton. ceritanya emang disney banget yaa tapi tetap menikmati filmnya sih. nah kalo yg lain itu kan film lama aku udah nonton semua, kalo boleh rekomendasiin film romance bollywood yang lain dong mas , thank you ^^
Badrinath Ki Dulhania
Posting Komentar