DEAR NATHAN HELLO SALMA (2018)
Rasyidharry
Oktober 26, 2018
Amanda Rawles
,
Cukup
,
Gito Gilas
,
Indonesian Film
,
Indra Gunawan
,
Jefri Nichol
,
REVIEW
,
Romance
,
Surya Saputra
,
Susan Sameh
4 komentar
Ironis. Dear Nathan Hello Salma (berikutnya disebut “Hello Salma”) terkena dampak tren “Jefr-Amanda” yang dimulai oleh
film pertamanya, yang secara mengejutkan jadi salah satu tontonan terbaik tahun
lalu. Setelahnya, selama satu setengah tahun, mereka berpasangan dalam 4 judul
(Jailangkung, Jailangkung 2, A: Aku,
Benci, dan Cinta, Something in Between), belum ditambah One Fine Day di mana Amanda Rawles
mendapat peran kecil. Padahal Hello Salma
adalah film solid, tapi serupa pasangan yang selalu bersama tiap hari, pasti
ada kejengahan, sehingga kilau-kilau percintaan yang dahulu manis mulai
terkikis.
Tapi kembali, Hello Salma tetap film apik. Mengadaptasi novel berjudul sama karya
Erisca Febriani, kisahnya melanjutkan romantika Nathan (Jefri Nichol) dan Salma
(Amanda Rawles) selepas keduanya memutuskan berpacaran di film pertama. Namun,
memasuki tahun akhir SMA, hubungan mereka justru retak, (lagi-lagi) akibat
kekisruhan buatan Nathan, yang berujung memaksanya pindah sekolah. Mereka
memilih putus. Sewaktu Salma tertekan akibat paksaan ayahnya (Gito Gilas)
melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran UI (terjadi pada banyak remaja
termasuk di sekitar saya), Nathan bertemu Rebeca (Susan Sameh) di sekolah
barunya.
Rebeca tak ubahnya Nathan di masa
lalu. Dia hidup sendiri, jauh dari ibu karena enggan tinggal bersama sang suami
baru pasca ayahnya meninggal bunuh diri, sebagaimana dahulu konflik Nathan
dengan ayahnya (Surya Saputra). Apabila perkelahian jadi pelarian Nathan,
Rebeca tenggelam dalam depresi, bahkan mencoba bunuh diri. Kemiripan itu mendorong
Nathan tergerak mengulurkan tangan, sesuatu yang akhirnya meluluhkan hati sang
gadis.
Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Kartini, Benyamin Biang Kerok)
mempertahankan elemen terbaik dari naskah film pertama buatannya, yakni perihal
motivasi. Kita tak perlu bertanya-tanya “Kenapa?”, sebab senantiasa ada alasan
jelas. Sungguh wajar bila Rebeca kepincut. Ketika keluarganya menjauh, pihak
sekolah hanya bisa memarahi dan menghukum, juga jadi korban perundungan
teman-teman, Nathan justru berdiri, bersedia terlibat perkelahian demi
membelanya.
Nathan menghembuskan napas baru
bagi hidup Rebeca, mengalunkan kembali musik di telinganya seperti saat Nathan
memperbaiki radio tape milik mendiang ayahnya. Sama pula dengan bagaimana
Rebeca membawa nyawa baru untuk franchise
ini. Nathan tetap sosok yang dicintai penggemarnya berkat kemampuan Jefri
Nichol menyeimbangkan sisi bad boy
dan sweet boy. Chemistry-nya dengan Amanda Rawles pun sekuat biasanya, kalau bukan
bertambah natural.
Tapi mungkin itu penyebabnya.
Mereka berdua masih (atau selalu) sama, dan setelah bersama di begitu banyak
film dalam waktu berdekatan, saya mulai lelah menyaksikan dinamika yang “itu-itu
saja”. Nathan berseloroh, Salma merespon lewat sikap malu-malu mau. Beberapa
pihak mungkin bakal berargumen bahwa itu bukan kesalahan filmnya, melainkan
eksploitasi berlebihan dari industri. Tapi tidak. Orang-orang di balik Hello Salma sadar betul formula
Jefri-Amanda telah diperas habis-habisan, dan ketimbang mencoba arah baru yang
segar, mereka memilih jalur mudah dengan mengikuti pola.
Dan begitu Rebeca muncul sebagai sosok
likeable berkat kemahiran Susan Sameh
memainkan 2 wajah berlainan karakternya, Hello
Salma malah tiba di titik jenuhnya kala kedua tokoh utamanya bersama.
Khususnya saat sutradara Indra Gunawan (Hijrah
Cinta, Dear Nathan, Serendipity) memasang mode autopilot, berbeda dibanding
film pertama tatkala ia sanggup mengkreasi beberapa situasi romantis. Tarian slo-mo di bawah ujan sebagai penutup,
misalnya.
Bukti kebersamaan Jefri-Amanda
mulai menjemukan adalah, setiap Hello
Salma menyelipkan elemen tambahan (meski kecil), contohnya menaruh Surya
Saputra—dengan sisi kebapakan yang jauh dari kaku—di antara mereka, filmnya
selalu menemukan pijakannya lagi. Semua berjalan mulus selama layar tidak cuma
menampilkan mereka saja. Satu-satunya modifikasi bagi dinamika Nathan dan
Salma, yakni menggiring Salma menuju kondisi yang lebih gelap, pun tak seberapa
membantu.
Permasalahan Salma relevan. Tekanan
orang tua, depresi pada pelajar akibat tuntutan akademis, semua penting untuk
dituturkan. Namun naskahnya urung menghasilkan penelusuran mendalam terhadap
masalah-masalah di atas, melainkan sebatas jembatan supaya Nathan dan Salma
bisa kembali bersama. Nasib demikian turut dialami Rebeca, yang berujung dikesampingkan
selaku penghubung, walau kondisinya lebih kompleks, menarik, pun mampu
mengemban peran Salma sebagai penyalur isu.
Untunglah, soal menyusun
momen-momen ringan termasuk komedik, naskahnya tampil solid. Walau satu adegan
yang menampilkan seorang dukun terasa dipaksakan, sisanya mampu menghadirkan
senyum dan tawa, apalagi saat berurusan dengan situasi-situasi canggung yang
berujung celetukan jenaka karakternya. Hello
Salma menunjukkan bahwa seri Dear
Nathan masih menonjol dibanding romansa putih abu-abu kebanyakan. Andai
Jefri dan Amanda tak sesering itu bersama. Sebab, sewaktu pasangan utama film
romansa yang mestinya didukung penonton justru tenggelam, tentunya ada
permasalahan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Tapi bosan lihat jefry dan amanda di pasangain terus.
Bad Times at El Royale belum direview mas?
Judul lagu yg nathan joget bareng rebecca apa ya?
@Fandy "Kehidupan" punya God Bless
Posting Komentar