3 DARA 2 (2018)
Rasyidharry
Oktober 27, 2018
Adipati Dolken
,
Comedy
,
Cut Mini
,
Fanny Fabriana
,
Fatmaningsih Bustamar
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Monty Tiwa
,
Nataya Bagya
,
Ovi Dian
,
Rania Putrisari
,
REVIEW
,
Soleh Solihun
,
Tanta Ginting
,
Tora Sudiro
1 komentar
Komedi adalah “makhluk” yang sulit
ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel
dari 3 Dara yang tiga tahun lalu
sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menunjukkan pada
para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic
masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada wanita
sungguh bukan main-main. Belum tentu pria sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal
meruntuhkan dinding pembatas just-for-fun-fiction supaya pesannya
dapat ditanggapi serius.
Sejatinya, trio penulis naskah:
Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven),
Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan
Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet
Me After Sunset), telah memilih jalur yang tepat, bahkan cerdik guna
mengembangkan cerita tanpa keluar dari persoalan kesetaran gender dan kisah “pria
menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati
Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita,
mereka mesti bertukar peran dengan para istri, alias menjadi bapak rumah
tangga.
Akibat kegagalan investasi, mereka
pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di
rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy.
Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania
Putrisari) memutuskan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal
rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan
memasak. Mereka semakin kerepotan akibat
keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena
setelah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.
Pondasi memadahi telah ditempatkan,
pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup
menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis,
sebagai dua jenis kelamin, pria dan wanita jauh berbeda, namun tidak dari sisi
gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan
Affandy-Jay-Richard dalam usaha menebus cicilan rumah justru dikedepankan
ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas
ditampilkan melalui montase singkat.
Semakin kisahnya bergulir, semakin
repetitif, di mana pola “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi
kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses belajar gradual,
karakternya dibiarkan tanpa perubahan sampai konklusi. Sebuah konklusi bertabur
twist yang menempuh jalan pintas guna
menyelesaikan segala permasalahan. Twist
yang mengejutkan? Ya, karena sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.
Dipandang selaku hiburan, balutan
humornya bekerja cukup baik. Beberapa ide kentara menunjukkan para penulisnya
lebih mencurahkan usaha dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi
kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur
Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibuat terus terjaga. Belum lagi
Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan".
Sementara Fanny Fabriana mampu melakoni peran sebagai jangkar bagi elemen
dramatik filmnya.
Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya,
gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus
dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta.
Namun hiperbola di sini, yang membuat masalah tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi
“membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini
takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala
menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard beradaptasi sebagai bapak
rumah tangga, mayoritas diproduksi oleh perilaku absurd Jentu, yang memang
benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist
dan male chauvinist pun rasanya hanya
akan terkekeh.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Kemarin g nnton premiere Bohemian Rhapsody ya min 😁
Posting Komentar