A MAN CALLED AHOK (2018)
Rasyidharry
November 06, 2018
Biography
,
Chew Kin Wah
,
Cukup
,
Dani Jaka
,
Daniel Mananta
,
Denny Sumargo
,
Donny Damara
,
Eric Febrian
,
Eriska Rein
,
Ferry Salim
,
Ilya Sigma
,
Indonesian Film
,
Putrama Tuta
,
REVIEW
,
Sita Nursanti
,
Yayu AW Unru
29 komentar
Suka/tidak suka itu urusan lain, tapi
mayoritas rakyat Indonesia pasti tahu siapa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
beserta ideologi dan segala sepak terjangnya. Tapi A Man Called Ahok bukan sekedar coba memindahkan Ahok yang publik
kenal di artikel media cetak atau layar kaca menuju layar lebar, melainkan
memanfaatkan familiaritas penonton terhadap Ahok sebagai pondasi guna
menuturkan latar belakang watak dan sikapnya. Kita tahu ia keras, dan film ini
jelaskan mengapa ia keras. Kita tahu kebenciannya atas oknum korup, dan film
ini jabarkan bagaimana masa lalunya, kehidupannya di Belitung, terutama
keluarganya, membentuk kebencian tersebut.
A Man Called Ahok memang akhirnya tampil bagai foreshadowing sepanjang 90 menit, khususnya kala tersaji
pembicaraan tentang keyakinan sang ayah, Tjung Kim Nam alias Indra Tjahaja
Purnama (Denny Sumargo), bahwa kelak puteranya bakal menjadi pejabat, pula
pertanyaan soal “Apa bisa orang Cina jadi pejabat?”. Tapi sebagai suguhan yang
bertujuan memberi pemahaman akan karakternya, film yang diadaptasi dari buku
berjudul sama karya Rudi Valinka ini, telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Satu hal yang dapat langsung kita
pelajari, yakni Ahok merupakan “perwujudan” mendiang ayahnya, pemilik tambang
timah yang dijuluki “Tauke” alias “bos
besar” berkat kesediaannya selalu mengulurkan tangan menolong orang-orang
kesusahan, meski itu memaksanya berhutang sana-sini di tengah kondisi bisnis
tak menentu akibat praktek korup. Bukan Tjung Kim Nam saja, semua pengusaha di
Belitung harus membayar “uang pelicin” apabila tidak ingin proyeknya
dipersulit.
Ahok muda (Eric Febrian) melihat
ayahnya sebagai pria penyayang, jujur, namun bisa tegas, keras, bahkan tak
segan “menyemprot” karyawan yang bertindak curang lalu memecatnya di muka umum.
Singkatnya, serupa Ahok yang kita kenal sebagai Gubernur DKI Jakarta. Terasa
bagai kumpulan foreshadowing,
untungnya naskah hasil tulisan sutradara Putrama Tuta (Catatan Harian Si Boy, Noah Awal Semula) bersama Ilya Sigma (Rectoverso, Sundul Gan: The Story of Kaskus)
dan Dani Jaka (Modal Dengkul, Pizza Man),
rapi dalam merajut cerita yang poin-poinnya saling mendukung ketimbang sebaran
keping-keping acak fase hidup karakternya yang dijahit paksa layaknya kelemahan
banyak biopic (setidaknya pada 2/3
awal durasi).
Akting jajaran pemain pun membantu A Man Called Ahok melaju mulus sebagai
drama keluarga. Denny Sumargo menghadirkan performa terbaik sepanjang karir
sebagai pria penuh kepedulian, bapak penyayang, dan pebisnis tegas. Tiga sisi itu
mampu ia satukan untuk membentuk karakter yang utuh. Hal serupa layak
dialamatkan pada Eriska Rein—yang kembali ke layar lebar setelah 3 tahun—selaku
pemeran Buniarti Nigsih alias Cibun, ibunda Ahok. Respon Cibun kala sang suami
mengambil uang dari tangannya untuk diberikan pada para peminta bantuan adalah
conton kepiawaian Eriska memainkan emosi kecil namun efektif.
Kemudian filmnya melompat menuju
masa dewasa Ahok (diperankan Daniel Mananta), sewaktu ia baru kembali ke
Belitung setelah merantau, berkuliah di Jakarta. Ahok ingin membantu ayahnya
(kini diperankan Chew Kin Wah) yang mulai sakit-sakitan mengurus tambang,
sekaligus coba meruntuhkan sistem korup. Tapi eksekusinya tidak semudah di
teori. Terdapat perdebatan menarik antara Ahok dan Indra, di mana naskahnya
sanggup mengutarakan perspektif berdasar milik kedua pihak, sehingga dapat
memancing pemikiran penonton mengenai “Sudut pandang mana yang benar?”. A Man Called Ahok bukan tengah
membenarkan praktek suap, namun mengingatkan betapa ada garis batas abu-abu di
antara benar dan salah.
Masalah terbesar fase ini terletak
di pergantian pemain. Terasa mengganjal, ketika Indra dan Buniarti (ganti
diperankan Sita Nursanti) “berubah wajah”, namun Donny Damara, Ferry Salim,
hingga Yayu Unru masih tetap memerankan tokoh masing-masing, dengan hanya
sedikit modifikasi tata rias. Dunia dalam A
Man Called Ahok pun terasa inkonsisten, apalagi ditambah perubahan karakter
Indra. Jangan salah, akting Chew Kin Wah masih sehebat biasanya, masih jago
memunculkan haru pada momen dramatis. Tapi Indra versi Denny Sumargo dan versi
Chew Kin Wah jelas dua karakter berbeda.
Daniel Mananta melakukan
impersonasi untuk Ahok sebaik mungkin (kecuali rambut palsunya yang nampak aneh
dari depan), walau ada kalanya ia terlihat seperti karikatur, ada kalanya ia
berhasil menangani ciri-ciri mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, dari suara,
gestur, hingga tabiat. Inilah kesulitan memerankan individu nyata dengan
kekhasan yang dikenal luas. Aktor mesti melakukan pendalaman ekstra, sebab jika
tidak, kebebasan interpretasi aktingnya bisa terkekang. Di samping jajaran cast yang lebih luwes karena memperoleh kebebasan
menafsirkan karakternya, Daniel kerap terjebak permasalahan itu.
Sedangkan di departemen
penyutradaraan, Putrama Tuta kembali unjuk gigi, memamerkan kapasitasnya
mengkreasi adegan dramatis efektif, yang sesekali bicara hanya lewat visual (shot dari belakang saat Ahok membesuk
ayahnya yang jatuh sakit), sesekali lewat kombinasi visual dengan bahasa verbal
(shot dari liang kubur dibarengi
kalimat “Makasih Pa” ucapan Ahok, yang sempurna merangkum hubungannya dengan sang
ayah).
Sayangnya, Tuta sendiri tak kuasa
menahan agar filmnya tak kehilangan pijakan di sepertiga akhir, tatkala kita
akhirnya tiba di babak politik kehidupan Ahok. Penceritaan A Man Called Ahok menjadi terburu-buru, melompat-lompat. Karena
saat itu, praktis semua yang film ini ingin sampaikan (pembentuk sosok Ahok)
telah usai, dan masih berlanjut mungkin karena anggapan “Kamu tidak bisa
membuat film tentang politikus tanpa menampilkan karir politiknya”. Bagai
sekedar memenuhi obligasi, penuturannya tak lagi menyertakan
hati, dan berakhir sekedar melakukan checklist.
A Man Called Ahok sama sekali tidak
buruk, tetapi tokoh seperti Basuki Tjahaja Purnama layak diberi film yang lebih
dari sebatas “tidak buruk”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
29 komentar :
Comment Page:Dongeng mistis di review gak mas?? Hehe😁
Hahaha kagak lah, tapi sebagai gantinya bakal berbagi sedikit cerita di balik layar aja :)
212 power of love di review juga dong bang :v
Memang aneh sih kalau sampai Bang Rasyid mereview "Dongeng mistis", secara dia sendiri terlibat di balik layar. Pasti bakalan awkward banget deh! Hahahaha
Biarlah kritikus lain yang memberikan penilaian objektif pada filmnya!
Bayangkan kalau Bang Rasyid mereview Dongeng mistis :
"Filmnya bagus! Lumayan! Rating 3. Layak tonton!"
Pasti Pengunjung akan bilang, "Mentang-mentang film sendiri. Promosi tuh!"
"Filmnya jelek! Tak layak tonton! Rating 1!"
Pasti Kru film akan bilang, "F**K! Dasar, rekan kerja penghuni alam setan!"
Hahhahaha....
Just kidding!
BTW Saya optimis kok sama Dongeng Mistis! :)
Bahkan kalau Bang Rasyid dkk tertarik, saya punya kok segudang ide-ide film bertema horror psikologis, thriller, misteri (drama & komedi juga ada sih)! Saya siap kok bantu nulis naskahnya di Final Draft! Ehem! (Promo diri sendiri!) :)
@Muhammad Boro-boro itu, nanti Hanum & Rangga aja skip. Mending nonton Wahana Rumah Hantu :D
@Abdi Kalau sampai ada reviewer bikin review untuk film yang dia terlibat langsung (bukan sekedar "thanks to") itu gila namanya. Tapi saya bilang ini: 'Dongeng Mistis' mungkin bukan 'Sebelum Iblis Menjemput' apalagi 'Pengabdi Setan', tapi jelas bukan 'Arwah Tumbal Nyai' hahaha.
Jangan pitching ke kita, duitnya dikit hahaha
Lah kok Hanum & Rangga diskip?
Kenapa Hanum dan Rangga di skip?
Kan katanya jangan campur adukan soal politik dengan dunia film.
Suka atau tidak suka.
Apalagi sutradara filmnya juga termasuk lumayan.
Nothing to do with politic. Salah satu sutradara kesukaan saya beda pandangan politik, tapi selalu nonton & suka karya-karyanya. Tapi simply nggak mau "sumbang uang" ke Hanum dkk (Kecuali filmnya menarik banget). Dan sikap begitu sah, yang salah adalah kalau nggak suka sama orangnya lalu melarang orang nonton, atau kasih review negatif karena sentimen pribadi.
Mau sumbang uang ke Arwah Tumbal Nyai, tapi ga mau sumbang uang ke Hanum dan Rangga. Well, that's obviously something to do with politic :)
Btw, I skip both of those films LOL
Gini mas/mbak, kalau alasannya sebatas "politik" saya nggak akan nonton film-film seperti "GN" dsb (yang saya tahu sebagian duitnya masuk ke mana). Dan kalau ngomongi Arwah Tumbal Nyai (or any other shitty movies that I watched) itu lain cerita, memang tugas dari IDFC.
Kalo boleh berbagi, part paling abang suka di cerita mistis apa bang? Sebenarnya film low budget kalo bagus kayak film cin(t)a misalnya, kekurangannya bakal dimaafkan kok hehehe
@jefry Oh itu disimpen buat artikel nanti yes. Yap, betul itu. Elemen teknis "boleh" beralasan kalau kurang bujet, tapi skrip bagus nggak perlu duit (well, sort of).
Film tentang kehidupan cinta dokter gigi merangkap dokter ahli bedah itu lagi buy1get1 promonya. Mungkin takut tekor, kan Habibie Ainun laris manis....
Overlord recomend gak mas??
Penasaran
Apakah ada scene ahok di persekusi sama dipenjara ?��
Itu bakalan jadi twist ending yang waow kalo ada
dion wiyoko lebih cocok jadi chew kwin wah muda.. tapi tetap aja inkonsisten :D
@Anonim Well, ada momen itu termasuk sedikit di awal. Padahal nggak perlu sampai ke titik itu.
@Panca Oh, Denny Sumargo itu mirip banget lho sama bapak Ahok pas muda :D
Mengenai berita bahwa adik perempuan Ahok keberatan menonton film ini dikarenakan penceritaan ayahnya tidak sesuai kenyataan,menurut Mas Rasyid ini hanya gimmick marketing saja atau memang penggambaran tokoh filmnya kurang bagus?
Lebih ke arah miskonsepsi yang sering juga terjadi ke mayoritas orang tentang "biopic harus semua nyata & real". Lihat aja, hal-hal trivial pun dia kritisi. Jawaban puterinya Ahok sudah paling betul itu. Dan kalau Ahok sendiri sudah kasih restu & acc, berarti secara substansial sudah tepat.
Adegan perselingkuhan veronika ada gak ya?
Ada adegan cici vero selingkuh sama koko ahwa gak bang..??
Nggak ada, karena bukunya sendiri dibuat pas Ahok masih menjabat. Lagipula elemen itu nggak perlu, karena fokus ceritanya semasa Ahok di Belitung.
Mau tanya mas broo,situ sengguk2 ga??, blm nonton film nya sich,, tapi liat di twit orang2 ,, koq bnyak yg mewek ya?? Serius nanya
Film ini masih 1 universe sama film 212 power of love, ada film lanjutannya lagi nga yah
Seriously? How about film tentang Anies bAswedan yg sukses jd Gubernur? #wew #liveaction #JakartaUniverse
Dicuekkin.. emang enak??
Sampah ni film..gk beda sma ftv di tipi..gk layak tonton
Ya nggak usah ditonton kalo filmnya jelek, gitu aja kok repot
film kek gini hrs nya di tayangin di SCTV..jam 1-mlm kyk ftv2 gitu..gk layak msuk bioskop..bnr2 sampah..
Posting Komentar