FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD (2018)
Rasyidharry
November 16, 2018
Alison Sudol
,
Claudia Kim
,
Dan Fogler
,
David Yates
,
Eddie Redmayne
,
Ezra Miller
,
Fantasy
,
J. K. Rowling
,
Johnny Depp
,
Jude Law
,
Katherine Waterston
,
Kurang
,
REVIEW
,
Zoë Kravitz
17 komentar
Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald adalah
film yang harus disaksikan dalam format 4DX3D. Format ini memaksimalkan
pendekatan David Yates—yang termasuk film ini, telah menyutradarai enam installment terakhir Wizarding World—terhadap sekuen aksi, di
mana ia menghancurkan berbagai lokasi, entah lewat ilmu sihir atau amukan monster,
menggerakkan kamera secara cepat, menampilkan kekacauan yang akan membuat
penonton memegang erat kursi agar tak terjatuh. Sementara 3D-nya, walau tak
memiliki kedalaman seberapa, dihiasi beberapa efek pop-up.
Apa jadinya jika film ini ditonton
di format biasa? Anda akan tenggelam dalam usaha J. K. Rowling memuaskan
penggemar seri Harry Potter memakai
deretan fan service penuh referensi atau
tokoh lama yang muncul acak tanpa urgensi, hanya agar para penggemar berujar “Whoaa
ini kan si itu....”. Rowling tahu jika banyak dari mereka terobsesi akan
keterkaitan tak terduga, memutuskan mengabulkan harapan tersebut hampir di tiap
kesempatan, hingga membuat naskah tulisannya terasa bak fan fiction.
Berjudul The Crimes of Grindelwald, dan benar, sang “penyihir hitam” memang melakukan
kejahatan-kejahatan, tapi sulit menampik kesan bahwa judulnya dipilih karena
terdengar keren dan supaya Grindelwald (baca: Johnny Depp) jadi jualan utama.
Tapi bukan masalah. Kelemahan fatal Rowling dalam bertutur bukan disebabkan tidak
menjadikan kejahatan Grindelwald sebagai fokus, melainkan ketiadaan fokus.
The Crimes of Grindelwald dibuka oleh keberhasilan upaya
Grindelwald kabur dari penjara berkat pengkhianatan seorang anggota kementrian
sihir. Tentu saja pengkhianatan, identitas rahasia, sampai mata-mata ganda merupakan
kejutan andalan Rowling, yang di titik ini tak lagi mengejutkan. Tapi jangan
khawatir. Sang penulis menemukan cara baru, yang jauh lebih konyol (we’ll get there later).
Bagi si titular character, film ini mengisahkan prosesnya mengumpulkan
pengikut sebanyak mungkin, namun target utamanya adalah Credence (Ezra Miller),
antagonis film pertama yang rupanya mampu bertahan hidup, dan kini berada di
sebuah kelompok sirkus bersama Nagini (Claudia Kim). Keduanya mengarungi
perjalanann dengan tujuan menemukan siapa Credence sebenarnya, siapa orang
tuanya, dan dari mana ia berasal. Di
paragraf ini saja saya sudah membahas dua subplot, dan belum menyentuh kisah si
protagonis, Newt Scamander (Eddie Redmayne).
Newt ditugasi Dumbledore (Jude Law)
meringkus Grindelwald, dan sekali lagi bertemu Jacob Kowalski (Dan Fogler),
yang mengikuti Newt demi memenangkan lagi hati Queenie (Alison Sudol), yang
kecewa akibat keengganan Jacob segera mengucap janji suci, lalu memilih
mengunjungi kakaknya, Tina (Katherine Waterston), yang mana hatinya pun coba dimenangkan
kembali oleh Newt. Tina sendiri tengah patah hati setelah melihat berita palsu
soal pertunangan Newt dengan Leta Lestrange (Zoë Kravitz). Oh Tuhan, begitu
banyak cerita. Kalau alasan kemarahan Tina terdengar bak sinetron, tunggu dulu.
Anda belum melihat apa-apa.
Jajaran cast tampil baik. Sekali lagi Fogler bukan saja pengundang tawa,
pula sumber hati. Konklusi film pertama mengharukan berkatnya, dan Rowling
ingin memunculkan dampak serupa namun gagal. Fogler berbuat sebisanya, tapi
emosi senantiasa hampa, sebab naskahnya urung menyuguhkan motivasi meyakinkan
bagi keputusan salah satu karakternya (Anda akan tahu karakter yang mana). Sedangkan
Jude Law sempurna memerankan Dumbledore, selain berkat kemiripan wajah dengan
Michael Gambon (tanpa uban, rambut panjang, dan jenggot lebat), ia membuat saya
percaya sedang melihat sosok penyihir terkuat di masa jayanya.
Lain halnya Depp. Dipandang dari
segi karakterisasi, Voldemort bukan villain
luar biasa, tapi pendekatan over-the-top Ralph
Fiennnes menjadikannya antagonis menghibur. Sementara Depp mencoba interpretasi
lebih serius, kejam, tenang, yang justru membuat Grindelwald membosankan, tak
jauh beda dibanding mayoritas antagonis generik film-film blockbuster Hollywood. Eddie Redmayne sebagai Newt dengan mata
lembut yang jarang menatap lawan bicaranya adalah protagonis likeable, namun ketidakfokusan naskah
menghalangi penonton mencintanya lebih jauh. Newt hanya satu bidak di sebuah
papan catur besar nan ramai yang di atasnya cuma terdiri atas bidak-bidak.
Rowling punya setumpuk ide yang cocok
dituangkan dalam novel 700 halaman, namun bagi film berdurasi 134 menit,
kisahnya bergerak liar tanpa kesan kesatuan. Pada beberapa poin, The Crimes of Grindelwald bagai midseason serial televisi yang
meletakkan cabang-cabang narasi dan belum sempat menautkannya satu sama lain,
sebelum ditutup oleh konklusi berbumbu kejutan khas opera sabun murahan. Saya
takkan terkejut bila kelak terungkap jika rumah produksi di balik film ini
adalah Sinemart dan Ezra Miller merupakan Glenn Alinskie yang menyamar.
Cara Rowling bertutur menunjukkan
ketidaksiapan menulis naskah film. Rowling bergantung pada tuturan verbal,
menyuruh karakternya bicara terlalu banyak, yang malah membuat alurnya bak
benang kusut. The Crimes of Grindelwald
adalah bentuk penceritaan amburadul. Jadi, sebagaimana Nolan menyarankan IMAX
70mm untuk Dunkirk, saya
merekomendasikan 4DX3D, atau setidaknya 4DX guna menyamarkan kelemahan narasi.
Aksi-aksi serunya bakal membuai, khususnya amukan Zouwu si kucing berukuran
gajah dari Cina. Walau lagi-lagi, Rowling perlu memperbaiki penulisan klimaks,
yang sejak era Harry Potter, selalu
lebih kuat di pembangunan ketimbang payoff.
Klimaks ciptaan Rowling acap kali bukan “puncak”, melainkan sekedar satu
lagi aksi yang bahkan bukan spectacle
terbesar di sepanjang cerita.
Dan bukankah serupa tajuknya, seri
ini mestinya mengeksplorasi mitologi Fantastic
Beasts? Mengapa makhluk-makhluk ajaib tersebut hanya berguna mengeskalasi
aksi atau senjata komedi namun punya pengaruh minim pada plot? Entahlah.
Alurnya datang dari penulis yang menyebut mitologi “Naga” berasal dari
Indonesia. So, yeah.....
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
17 komentar :
Comment Page:iyaaa ini film kurang greget dan mudah dilupakan.. padahal saya nnton harpot dari ke 1 - 7 & FB 1 tetep aja film ini rasanya kurang dari film2 sebelumnya yg lebih memorable :( btw please review suzzannaaaaaa saia udah cek 9 kali blognya ga muncul2 review nya :( eh dikira sihir kali tiba2 muncul🙈 potterhead(?)
jujur, sekedar numpang lewat film ini -_-
meskipun begitu saya setuju, jude law berhasil menghidupkan karakter dumbledore muda yang sangat kuat di era jayanya.
oh ya ikutan dong dengan mas @totti Fausta, review suzzana : beranak dalam kubur. karena pandangan mas rasyid menjadi acuan untuk menonton atau tidak film indonesia. :D
[SPOILER ALERT!!!]
pada saat nicolas flamel mengambil buku di sebuah lemari dinding sesaat setelah jacob mengejar kakaknya leta lestrange, ada batu merah yang diletakkan didalam tabung kaca, itu batu bertuah kah? bentuknya mirip soalnya :D
Saya sangat setuju bahwa cerita yg ditulis rowling lbih cocok dinikmati dalam bentuk novel. Karena meskipun fokusnya banyak orang bisa berimajinasi.Di novel Harty Potter sebenernya jg terdapat banyak subplot. Tapi ketika diangkat ke film dia selalu punya fokus. Lihat saja film Harry Potter 5, 6 dan 7 yg banyak sekali karakternya, tapi ktika diadaptasi, tokoh2 yg tdk terlalu berpengaruh dlm cerita, maka biasanya hanya disisipkan bahkan dihilangkan. Itu sebabnya orang2 cinta Harry Potter dan tokoh-tokoh pendukung lain. Karena dlm film pengenalan mereka terletak pada timing yg tepat n gk penuh sesak. Kayaknya mending jk rowling nulis serial Fantastic beast jdi novel ja deh. Ntar biar diadaptasi ke film. Pasti hasilnya bisa lebih enak disantap. J.K.Rowling kliatan bgt dibatasi durasi dlm penulisan naskah, sementara klo novel. Dya bisa eksplor sampai ratusan bahkan ribuan halaman yg dya mau.
Oh iya mau tanya juga nih mas, kalau menuut mas rasyid. Sebagai sama-sama prekuel seri ke dua yang dadasri dari franchise sukses sebelumnya. Lebih mending Fantastic Beast Crime of Grindlewald atau The Hobbit Desolation of Smaug?
Kemarin nonton di imax 3D, 3Dnya mantap kayak 4D malah.
Yup, emang kalau nonton 2D biasa bisa boring.
Oiya, sama kayak diatas request suzzana dong penasaran
Kemarin dilema sama 2 pilihan. Suzanna atau ini? Pilihan jatuh ke film ini karena takut kecewa sama suzanna. Tapi ternyata justru film ini yg mengecewakan
@Totti Haha wait a little longer, kesibukan minggu ini pengaruh banget ke jadwal nonton.
@Ilham Kayaknya begitu. Kan film ini macem (cuma) kumpulan easter eggs.
@Alvan Nah betul. Di Harpot, subplot banyak, tapi semuanya fokus, meruncing ke Harry. Mau soal Voldemort, Sirius, Snape, semua pengaruh ke Harry.
Desolation of Smaug lebih oke. Biarpun maksa dipanjangin, fokusnya lebih oke.
@jerry Waduh, masih beda sih 3D reguler sama 4DX3D, karena nggak ada movement & efek cahaya (dua efek yang paling ngebantu filmnya)
@jefry Well, lebih layak luangin duit & waktu buat Suzzanna (kecuali Potterhead garis keras)
Jude law hot af 😍😍
Jadi, dumbledore sama grindelwald beneran menjalin 'hubungan' kah?
Suzza pliss bang....malan ini kudu nonton pulang kerja
Sebenernya enaknya belum pernah baca Harry Potter itu kalau yang seperti ini. Ngga terlalu dibebanin dengan apa yang pernah ada di buku, tapi dibuka luas aja. Overall bagus kalau menurut gw karena emang settingnya lebih ke alumni sekolah yang udah jadi profesional, bukan anak-anak yang masih sekolah. Kalau perspektifnya dari saja menurut gw ok kok.
Ini versi review yang dibuat sendiri.
https://jonathandavidn.wordpress.com/2018/11/16/moviereview-fantastic-beasts-the-crimes-of-grindelwald/
tidak puas, durasi kurang, action kurang, dan yang bikin sedih nunggu lanjutannya lama banget novelnya juga ga ada cuman buku screenplay doang duhh masa baca teori orang2 lagi sih wkwk
sebenernya lebih suka fantastic beast soalnya lingkupnya orang dewasa, lebih lincah lah brantem sihirnya daripada harry potter kumpulan anak sma tawuran lawan voldemort dan anteknya di sekolah kementrian sihir aja k.o, what the..... kalo jaman remaja dulu ini favorit banget sih hhhahaha
btw potterhead di medsos gak ridho dijelek2in filmnya udah kyk fans kpop aja .. anarkis wkwkwk
Iyah. Udah kyak orang beragama fanatik dan radikal, yang klo menyingung fakta dikit ja udah dibilang, kafir, bit'ah,
izin promosi om kalau tidak diizinkan boleh dihapus
https://weird-student.blogspot.com/2018/11/review-movie-fantastic-beast-crimes-of.html
terima kasih om
@Rahmad yes, dari dulu fans banyak yang minta Dumbledore dan Voldemort jadi pasangan, akhirnya dikasih Grindelwald.
@Jonathan Saya juga nggak pernah baca bukunya lho :)
@Ibnu Haha ya sudah, biarin, namanya die hard fans mah biasa begitu.
Klo gw, dihari yg sama nonton fantastic beast dan suzanna. Gw lebih paham dan ngerti alur nya suzanna daripada FB. Suzanna recomended menurut gw, suzanna dan semua pemeran pendukung nya bagus2.
film kurang greget yang membuat saya beberapa kali sibuk melihat jam tangan saya. inti ceritanya sebenarnya simple tapi jadi ribet seperti sinetron indonesia dan saya tidak mengerti kenapa grindelwald jadi judul film ini padahal perannya tidak begitu signifikan. Yah mudah- mudahan 3 film selanjutnya lebih baik.
Posting Komentar