THE GRINCH (2018)
Rasyidharry
November 12, 2018
Animated
,
Benedict Cumberbatch
,
Cameron Seely
,
Cukup
,
Michael LeSieur
,
REVIEW
,
Scott Mosier
,
Tommy Swerdlow
,
Yarrow Cheney
1 komentar
Dibandingkan live action buatan Ron Howard yang dibintangi Jim Carrey 18 tahun
lalu, The Grinch ingin tampil sedekat
mungkin dengan materi asalnya, buku anak-anak How the Grinch Stole Christmas! karya Dr. Seuss. Naskah buatan
Michael LeSieur (You, Me and Dupree,
Keeping Up with the Joneses) dan Tommy Swerdlow (Snow Dogs, Bushwacked) mengambil pendekatan sederhana dalam
narasinya, yang tak banyak melakukan perubahan terhadap 69 halaman bukunya (Padahal
dua halaman mayoritas hanya diisi satu panel), memaksanya jadi tontonan berdurasi
86 menit.
Bila sudah membaca sumber
adaptasinya, anda akan tahu bahwa buku itu “hanya” terdiri atas usaha sekali
waktu The Grinch mencuri seluruh pernak-pernik Natal warga Whoville dengan
menyamar sebagai Santa Claus, sebelum akhirnya menyadari makna sesungguhnya di
balik hari raya tersebut. Bagaimana mengaplikasikan kisah sesingkat itu ke
dalam film panjang tanpa mengubah banyak elemen?
Dasarnya, LeSieur dan Swerdlow
memilih aspek yang pas untuk ditambahkan, seperti proses The Grinch
mempersiapkan rencananya “Mencuri Natal”, hingga terpenting, selipan kisah masa
lalu sang titular character. Sayang,
semuanya terhapus oleh gaya khas Illumination, yang tak seberapa mempedulikan
eksplorasi dan penceritaan, serta lebih menitikberatkan humor repetitif konyol
minim kreativitas. Bahkan lelucon tentang “Sulitnya orang pendek meraih barang
di ketinggian” dilontarkan sampai dua kali.
The Grinch (Benedict Cumberbatch)
konon memiliki ukuran hati dua kali lebih kecil dari kebanyakan orang, dan
itulah alasan mengapa ia selalu menderita, penuh kebencian, termasuk pada warga
Whoville yang selalu bahagia, khususnya kala Natal tiba. Begitu mendengar
arahan Walikota agar Natal tahun ini tiga kali lebih meriah, The Grinch merasa
jika ini saatnya ia bertindak.
Dibantu Max si anjing loyal, The Grinch berusaha menghentikan Natal. Bagaimana caranya? Perlu
diketahui, The Grinch di sini bukan cuma monster pemarah bertubuh hijau, juga
seorang jenius yang mampu menciptakan sederet alat eksentrik. Tambahan
penokohan menarik yang gagal dimaksimalkan para penulis naskah. Apa guna karakterisasi
itu apabila hanya untuk menampilkan sebuah mesin kopi dan segelintir alat-alat
ala kadarnya lain, sementara aksi pencuriannya tak memanfaatkan itu?
Bagi The Grinch, langit adalah batas untuk melakukan eksplorasi gila
terhadap aspek di atas, namun yang penulisnya pedulikan hanya melempar
karakter-karakternya ke langit atas nama slapstick.
Demikian cara film ini menghabiskan mayoritas durasinya. Tidak peduli apa
rencana si tokoh utama, eksekusinya selalu sama. Dia akan berlari, meluncur,
melompat, terbang, dan jatuh. Apakah penonton anak bakal terhibur? Saya tidak
bisa mewakili mereka, tapi reaksi para bocah di studio tempat saya menonton,
sedingin Whoville kala disambangi salju tebal.
Elemen dramatiknya pun turut
terlemahkan akibat pendekatan dangkalnya. The
Grinch padahal punya dua karakter, yang masing-masing menyimpan story arc yang berpotensi merenggut
emosi. Pertama tentu saja The Grinch, yang sewaktu kecil tinggal sendirian di
panti asuhan, merasa terasing di tengah suka cita warga Whoville. Kedua adalah
Cindy Lou Who (Cameron Seely), gadis cilik yang ingin bertemu Santa, guna
mengajukan permintaan agar sang ibu—yang selalu coba tampak kuat dan ceria
meski sesungguhnya urusan pekerjaan serta merawat tiga anak seorang diri amat
merepotkannya—bahagia.
Dua kisah tadi semestinya mampu
mengaduk-aduk perasaan penonton dewasa, andai bukan sekedar diletakkan begitu
saja sebagai selingan nihil eksplorasi di antara rentetan humor konyolnya. Tapi
saya bisa memaafkan itu, dan banyak kekurangan lain milik The Grinch berkat 15 menit terakhirnya. Ya, hanya butuh seperempat
jam bagi film ini untuk berevolusi menjadi tontonan menyentuh yang sempurna
menangkap semangat Natal.
Diawali adegan “bernyanyi dalam
harmoni” yang oleh duo sutradara, Scott Mosier dan Yarrow Cheney (The Secret Life of Pets), dikemas
demikian indah, The Grinch
mengajarkan esensi Natal yang dapat diaplikasikan di segala situasi dan semua
kalangan, termasuk mereka yang tak merayakan, yakni anjuran berbuat baik dan
memaafkan alih-alih membalas dendam kepada seseorang yang bertindak jahat
kepada kita. Jika konklusinya terasa mendadak atau terlalu “ajaib”, karena
memang itulah tujuannya: Menunjukkan keajaiban Natal.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Mending nonton Grinch daripada film narsisnya dokter gigi a.k.a ahli bedah plastik alias dokter ahli forensik yg pendengki
Posting Komentar