THUGS OF HINDOSTAN (2018)

7 komentar
Thugs of Hindostan begitu besar (Film India termahal kedua sepanjang masa bersama Saaho dengan $42 juta) sampai melupakan hal-hal dasar seperti karakter, cerita, dan kombinasi keduanya, yang merupakan elemen terkuat judul-judul Bollywood arus utama: Rasa. Melihat banyaknya ulasan negatif, rasanya memang itu ekspektasi kebanyakan orang. Melihat Aamir Khan dalam film mengenai pertempuran melawan penjajah, penonton mengharapkan kisah perjuangan menggugah.

Tapi satu hal perlu diingat, bahwa di sini, Aamir bukan bertindak selaku produser, sehingga ekspektasi tersebut sejatinya salah tempat. Walau setelah menyadari itu kelemahan naskah buatan sang sutradara, Vijay Krishna Acharya (Dhoom 3), takkan mendadak lenyap, bakal lebih mudah mengapresiasi Thugs of Hindostan sebagai swashbuckler blockbuster yang menepati janjinnya, yakni spectacle raksasa di tiap sudut. Tidak kurang dan tidak lebih.

Pembukanya menunjukkan bagaimana British East India Company (dipanggil “Company”) berhasil membuat seluruh kerajaan tunduk pada perbudakan mereka. Kekejaman pasukan yang dipimpin John Clive (Lloyd Owen) tersebut diperlihatkann melalui sekuen klise namun efektif untuk memancing kebencian kita kepada sang antagonis. Raja, Ratu, dan Pangeran dibantai, tetapi sang Puteri kecil berhasil kabur bersama seorang prajurit kerajaann, Khudabaksh Azaad (Amitabh Bachchan).

Sebelas tahun berselang, Zafira (Fatima Sana Shaikh) telah tumbuh, dari seorang Puteri menjadi pemanah andal sekaligus anggota kelompok pemberontak yang dipimpin Azaad. Aksi para pemberontak pertama kita saksikan dalam sebuah pertunjukan aksi memukau yang melibatkan salah satu metode penyamaran paling over-the-top pula kreatif dan set-piece raksasa berisi adu pedang, lontaran anak panah, ledakan meriam, hingga guyuran hujan. Amitabh sempurna sebagai pemimpin bandit kharismatik cenderung mythical, pun demikian halnya Fatima yang tampil meyakinkan, tangguh, lincah menembakkan puluhan anak panah.

Di sisi lain ada Firangi (Aamir Khan), penipu ulung yang mengeruk uang berbekal kelicikannya, menipu siapa pun tanpa peduli penjajah asing atau rakyat setempat. Nantinya, tipu daya Firangi membawa banyak twist dan belokan bagi alur Thugs of Hindostan, sebab bukan hanya tokoh-tokohnya, penonton pun dibuat sulit mempercayai Firangi. Beberapa output akal bulus Firangi mungkin mudah ditebak, tapi menantikan pengungkapan detail rencananya tetaplah terasa mengasyikkan.

Misi teranyar Firangi adalah yang terberat, ketika Company memintanya menangkap Azaad. Firangi pun menyusup ke dalam kelompok pemberontak, berusaha mencuri hati sang pemimpin untuk kemudian menjebaknya. Tapi pertemuan dengan Azaad—yang berkebalikan dengannya, selalu menaruh rasa percaya dan enggan kehilangan harapan akan kebebasan—justru menghadirkan dilema di hati Firangi. Dia mulai mempertanyakan posisinya. Haruskah ia turut memperjuangkan kemerdekaan? Atau sebaliknya, apakah kemerdekaan sebatas konsep semu yang tiada artinya tanpa kemakmuran materi?

Walaupun Aamir (seperti biasa) piawai menyeimbangkan eksentrisitas komedik dengan dramatik, proses yang dijalani Firangi kurang mencengkeram akibat kedangkalan dan kekosongan naskah. Ketika Firangi—selaku sosok paling berwarna—saja kebagian deretan dialog miskin kreativitas, tidak mengherankan jika karakter lain hanyalah manusia-manusia membosankan, one-dimensional, dengan interaksi tak kalah membosankan sehingga gagal merenggut hati tatkala momen perlawanan mereka tiba.

Thugs of Hindostan mempunyai pola repetitif sepanjang perjalanan alurnya. Sebuah fase penceritaan akan diawali oleh pembicaraan antara karakter, berpindah ke sekuen musikal, lalu memasuki gelaran aksi, sebelum akhirnya menurunkan tensi dan kembali menampilkan perbincangan sebagai jembatan menuju fase berikutnya, yang dituturkan melalui formula serupa. Pola di atas terasa melelahkan, karena tiap kali melambatkan laju, Thugs of Hindostan seketika menjadi snoozefest tanpa nyawa. Saya bersyukur ada intermission, jika tidak memberi kesempatan “mengisi ulang daya”, durasi 164 menitnya bakal tak tertahankan.

Beruntung, sekalinya atraksi utama dikerahkan, Thugs of Hindostan memperoleh nyawanya lagi. Adegan aksinya mungkin tak seberapa inventif (kecuali momen pemberontakan pertama yang saya sebut sebelumnya), tapi jelas terhampar megah. Acharya sanggup menghindarkan aksi skala besarnya dari kekacauan, sedangkan musik orkestra kental inspirasi Pirates of the Caribbean gubahan John Stewart Eduri turut menebar aura epic yang  ingin sang sutradara bangun.

Sementara musikalnya, terlebih kala Katrina Kaif sebagai Suraiyya menjadi sentral adegan, memamerkan fleksibilitas berbalut energi serta pesona bintang luar biasa, niscaya membuat penonton mana saja terpana. Katrina bergerak seolah mampu melakoni tarian apa pun, menguasai panggung seluas apa pun, merebut hati penonton sebanyak apa pun. Malam perayaan Dussehra jadi puncaknya, mengkombinasikan keliaran koreografi dengan kemeriahan khas Bollywood dalam mengkreasi lokasi. Thugs of Hindostan mungkin takkan mencuri hati anda, tapi sungguh sulit mengalihkan pandangan darinya.

7 komentar :

Comment Page:
KieHaeri mengatakan...

Setuju Mas pesona Kaif memang sulit untuk memalingkan pandangan, liat dia menari begitu luwes mengoyak hati dan perasaan. Hehe. Coba ya porsinya banyak, makin betah saya di bangku bioskop di tengah ceritanya yang gampang sekali ditebak. Btw gak review film horror Mara yang lagi tayang itu Mas, lumayab okelah filmnya bikin paronia, terlebih bagi yang sudah merasakan ketindihan pada saat tidur...

Rasyidharry mengatakan...

Gila sih itu, cuma 2x joget tapi cukup buat recharge.
Well, so many movies so little time. Apalagi jelang rilis felem makin sibuk😁

Akbar Pradhana mengatakan...

'Saya bersyukur ada intermission, jika tidak memberi kesempatan “mengisi ulang daya”' lah, emang pas intermission filmnya beneran dipause apa cuma nongol intermission, tapi filmnya dilanjut?

Rasyidharry mengatakan...

Kalau di CGV GI, beneran istirahat sekitar 10 menit. Bella Terra langsung lanjut. Tempat lain entahlah.

Anonim mengatakan...

Bang ga review film hanum dan rais bang?

jefry punya cerita mengatakan...

Tumben bang gak review nominasi festival film indonesia 2018

Rasyidharry mengatakan...

@jefry Karena kalau sampai Marlina nggak borong piala, keterlaluan :D