THUGS OF HINDOSTAN (2018)
Rasyidharry
November 10, 2018
Aamir Khan
,
Action
,
Adventure
,
Amitabh Bachchan
,
Cukup
,
Fatima Sana Shaikh
,
Hindi Movie
,
Katrina Kaif
,
Lloyd Owen
,
REVIEW
,
Vijay Krishna Acharya
7 komentar
Thugs of Hindostan begitu besar (Film India termahal kedua sepanjang
masa bersama Saaho dengan $42 juta)
sampai melupakan hal-hal dasar seperti karakter, cerita, dan kombinasi
keduanya, yang merupakan elemen terkuat judul-judul Bollywood arus utama: Rasa.
Melihat banyaknya ulasan negatif, rasanya memang itu ekspektasi kebanyakan
orang. Melihat Aamir Khan dalam film mengenai pertempuran melawan penjajah,
penonton mengharapkan kisah perjuangan menggugah.
Tapi satu hal perlu diingat, bahwa
di sini, Aamir bukan bertindak selaku produser, sehingga ekspektasi tersebut
sejatinya salah tempat. Walau setelah menyadari itu kelemahan naskah buatan
sang sutradara, Vijay Krishna Acharya (Dhoom
3), takkan mendadak lenyap, bakal lebih mudah mengapresiasi Thugs of Hindostan sebagai swashbuckler blockbuster yang menepati
janjinnya, yakni spectacle raksasa di
tiap sudut. Tidak kurang dan tidak lebih.
Pembukanya menunjukkan bagaimana British East India Company (dipanggil “Company”) berhasil membuat seluruh
kerajaan tunduk pada perbudakan mereka. Kekejaman pasukan yang dipimpin John
Clive (Lloyd Owen) tersebut diperlihatkann melalui sekuen klise namun efektif
untuk memancing kebencian kita kepada sang antagonis. Raja, Ratu, dan Pangeran
dibantai, tetapi sang Puteri kecil berhasil kabur bersama seorang prajurit
kerajaann, Khudabaksh Azaad (Amitabh Bachchan).
Sebelas tahun berselang, Zafira (Fatima
Sana Shaikh) telah tumbuh, dari seorang Puteri menjadi pemanah andal sekaligus
anggota kelompok pemberontak yang dipimpin Azaad. Aksi para pemberontak pertama
kita saksikan dalam sebuah pertunjukan aksi memukau yang melibatkan salah satu
metode penyamaran paling over-the-top
pula kreatif dan set-piece raksasa
berisi adu pedang, lontaran anak panah, ledakan meriam, hingga guyuran hujan. Amitabh
sempurna sebagai pemimpin bandit kharismatik cenderung mythical, pun demikian halnya Fatima yang tampil meyakinkan, tangguh,
lincah menembakkan puluhan anak panah.
Di sisi lain ada Firangi (Aamir
Khan), penipu ulung yang mengeruk uang berbekal kelicikannya, menipu siapa pun
tanpa peduli penjajah asing atau rakyat setempat. Nantinya, tipu daya Firangi
membawa banyak twist dan belokan bagi
alur Thugs of Hindostan, sebab bukan
hanya tokoh-tokohnya, penonton pun dibuat sulit mempercayai Firangi. Beberapa output akal bulus Firangi mungkin mudah
ditebak, tapi menantikan pengungkapan detail rencananya tetaplah terasa
mengasyikkan.
Misi teranyar Firangi adalah yang
terberat, ketika Company memintanya
menangkap Azaad. Firangi pun menyusup ke dalam kelompok pemberontak, berusaha
mencuri hati sang pemimpin untuk kemudian menjebaknya. Tapi pertemuan dengan
Azaad—yang berkebalikan dengannya, selalu menaruh rasa percaya dan enggan
kehilangan harapan akan kebebasan—justru menghadirkan dilema di hati Firangi.
Dia mulai mempertanyakan posisinya. Haruskah ia turut memperjuangkan
kemerdekaan? Atau sebaliknya, apakah kemerdekaan sebatas konsep semu yang tiada
artinya tanpa kemakmuran materi?
Walaupun Aamir (seperti biasa)
piawai menyeimbangkan eksentrisitas komedik dengan dramatik, proses yang
dijalani Firangi kurang mencengkeram akibat kedangkalan dan kekosongan naskah.
Ketika Firangi—selaku sosok paling berwarna—saja kebagian deretan dialog miskin
kreativitas, tidak mengherankan jika karakter lain hanyalah manusia-manusia
membosankan, one-dimensional, dengan
interaksi tak kalah membosankan sehingga gagal merenggut hati tatkala momen
perlawanan mereka tiba.
Thugs of Hindostan mempunyai pola repetitif sepanjang perjalanan
alurnya. Sebuah fase penceritaan akan diawali oleh pembicaraan antara karakter,
berpindah ke sekuen musikal, lalu memasuki gelaran aksi, sebelum akhirnya menurunkan
tensi dan kembali menampilkan perbincangan sebagai jembatan menuju fase
berikutnya, yang dituturkan melalui formula serupa. Pola di atas terasa
melelahkan, karena tiap kali melambatkan laju, Thugs of Hindostan seketika menjadi snoozefest tanpa nyawa. Saya bersyukur ada intermission, jika tidak memberi kesempatan “mengisi ulang daya”,
durasi 164 menitnya bakal tak tertahankan.
Beruntung, sekalinya atraksi utama
dikerahkan, Thugs of Hindostan
memperoleh nyawanya lagi. Adegan aksinya mungkin tak seberapa inventif (kecuali
momen pemberontakan pertama yang saya sebut sebelumnya), tapi jelas terhampar
megah. Acharya sanggup menghindarkan aksi skala besarnya dari kekacauan,
sedangkan musik orkestra kental inspirasi Pirates
of the Caribbean gubahan John Stewart Eduri turut menebar aura epic yang ingin sang sutradara bangun.
Sementara musikalnya, terlebih kala
Katrina Kaif sebagai Suraiyya menjadi sentral adegan, memamerkan fleksibilitas
berbalut energi serta pesona bintang luar biasa, niscaya membuat penonton mana
saja terpana. Katrina bergerak seolah mampu melakoni tarian apa pun, menguasai
panggung seluas apa pun, merebut hati penonton sebanyak apa pun. Malam perayaan
Dussehra jadi puncaknya, mengkombinasikan keliaran koreografi dengan kemeriahan
khas Bollywood dalam mengkreasi lokasi. Thugs
of Hindostan mungkin takkan mencuri hati anda, tapi sungguh sulit
mengalihkan pandangan darinya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Setuju Mas pesona Kaif memang sulit untuk memalingkan pandangan, liat dia menari begitu luwes mengoyak hati dan perasaan. Hehe. Coba ya porsinya banyak, makin betah saya di bangku bioskop di tengah ceritanya yang gampang sekali ditebak. Btw gak review film horror Mara yang lagi tayang itu Mas, lumayab okelah filmnya bikin paronia, terlebih bagi yang sudah merasakan ketindihan pada saat tidur...
Gila sih itu, cuma 2x joget tapi cukup buat recharge.
Well, so many movies so little time. Apalagi jelang rilis felem makin sibuk😁
'Saya bersyukur ada intermission, jika tidak memberi kesempatan “mengisi ulang daya”' lah, emang pas intermission filmnya beneran dipause apa cuma nongol intermission, tapi filmnya dilanjut?
Kalau di CGV GI, beneran istirahat sekitar 10 menit. Bella Terra langsung lanjut. Tempat lain entahlah.
Bang ga review film hanum dan rais bang?
Tumben bang gak review nominasi festival film indonesia 2018
@jefry Karena kalau sampai Marlina nggak borong piala, keterlaluan :D
Posting Komentar