Tampilkan postingan dengan label Benedict Cumberbatch. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Benedict Cumberbatch. Tampilkan semua postingan

REVIEW - DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS

 

(Tulisan ini mengandung SPOILER)

Menginjeksi formula horor ke film superhero sebenarnya bukan langkah baru. Scott Derrickson di Doctor Strange (2016) dan James Wan dalam Aquaman (2018) mempertahankan akar mereka selaku sineas horor, walau penerapannya sebatas bumbu pemanis. Tapi Multiverse of Madness berbeda. Menggantikan Derrickson yang mundur pada fase pra-produksi, Sam Raimi melahirkan installment MCU perdana yang total melangkah ke ranah horor. 

Multiverse of Madness bukan film superhero ber-gimmick horor, melainkan peleburan seimbang antara kedua genre, yang mendorong batasan rating PG-13 sejauh mungkin. Pun sebagai pecinta komik yang karya-karyanya kerap "meminjam" elemen medium tersebut, bahkan jauh sebelum Spider-Man (2002), Raimi, dibantu naskah buatan Michael Waldron (serial Loki), menciptakan tontonan yang "sangat komik". 

Di sinilah istilah "Earth-616" (kontinuitas utama cerita Marvel) akhirnya diperkenalkan, tatkala Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) harus mengarungi multiverse guna menolong America Chavez (Xochitl Gomez) dari kejaran sosok gelap. Kekuatan Chavez yang membuatnya mampu melintasi multiverse jadi alasan pengejaran tersebut. 

Strange tidak sendiri. Wong (Benedict Wong) sang Sorcerer Supreme dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) turut memberi bantuan. Seperti kita tahu, pasca WandaVision, Wanda telah bertransformasi jadi Scarlet Witch, dan kondisi mentalnya tengah jauh dari stabil selepas kehilangan suami berserta kedua anak yang diciptakannya menggunakan sihir. Multiverse of Madness menandai perubahan sepenuhnya Wanda dari "Avengers yang terluka" menjadi antagonis. 

Master of the Mystic Arts berkonfrontasi dengan penyihir pemilik chaos magic. Menyelipkan setumpuk referensi, baik untuk karyanya sendiri (The Evil Dead, Drag Me to Hell) maupun orang lain (Carrie), ketimbang baku hantam generik dua manusia super, Raima mengemas pertarungan itu bak teror mistis khas horor. Bahkan di berbagai kemunculannya, Wanda seperti hantu penuh dendam. Di satu titik ia serupa Sadako yang muncul dengan gerakan mengerikan, sedangkan di kesempatan lain ia bisa tiba-tiba hadir, meneror di tengah keheningan. 

Pilihan shot, pencahayaan, jump scare, hingga sedikit gore, menebarkan aroma horor pekat. Feige nampaknya sadar, percuma merekrut Raimi kalau ujungnya cuma jadi director for hire biasa. Raimi diberi kebebasan berkreasi. Selain elemen horor kelam, sentuhan campy pun dapat ditemukan di berbagai sisi. Pertarungan dua versi Doctor Strange jadi contoh. Kreatif, over-the-top, dan terpenting, "sangat komik". 

Tentu bukan berarti Multiverse of Madness lepas total dari skema besar MCU. Sebaliknya, kisahnya membuka gerbang pengembangan konsep multiverse secara lebih luas. Ada beberapa cameo (termasuk satu di mid-credits scene). Jumlahnya memang tak segila harapan banyak orang, tapi sekali lagi, eksekusinya (yang bisa jadi terasa kontroversial atau malah mengecewakan bagi sebagian pihak) membuktikan pemahaman Raimi terkait komik. Tepatnya soal tendensi komik memperlakukan cameo dari semesta non-utama. Sadarkah anda akan kemunculan salah satu lagu tema 90an paling ikonik pada kemunculan seorang cameo-nya?

Multiverse of Madness punya bujet standar MCU (200 juta dollar), namun berkat visi personal Raimi, hasil akhirnya tampak jauh lebih mahal dari biasanya, terutama di ranah visual. Berbagai shot sureal estetis, dan tentu saja sekuen "menembus multiverse" selaku highlight visualnya, adalah momen-momen yang memanjakan mata. 

Kelemahan filmnya terletak pada penceritaan. Raimi, yang piawai dalam hal memacu adrenalin (build-up menuju pertempuran di Kamar-Taj amat intens), menggerakkan alur begitu cepat, sampai tercipta jurang lebar antara pacing untuk adegan aksi dengan drama. Setiap aksi berhenti, Raimi bagai menginjak pedal rem secara mendadak, kemudian berjalan lambat cenderung draggy, sebelum tiba-tiba melaju kencang lagi. 

Ada kalanya mengganggu, tapi di saat bersamaan, makin menekankan bahwa ini karya Sam Raimi. Orang yang mengubah wajah dunia horor melalui trilogi Evil Dead. Liar. Frantic. Dan bukan berarti Raimi melupakan sensitivitas. Multiverse of Madness ibarat sekuel bagi WandaVision dan episode keempat What If...? (What If... Doctor Strange Lost His Heart Instead of His Hands?). Keduanya punya satu kesamaan: cinta.

Lebih spesifik lagi, "kehilangan cinta". Strange dan Wanda sama-sama mengalami kehilangan tersebut, dan Multiverse of Madness merupakan fase mereka belajar merelakan. Strange mesti menerima bahwa ia dan Christine (Rachel McAdams) mungkin tak ditakdirkan bersama. McAdams akhirnya diberi peran signifikan, dalam romansa yang melahirkan satu lagi kalimat ikonik. Lupakan "I love you 3000". Sekarang waktunya "I love you in every universe" untuk dikutip di mana-mana.

Duka Wanda jauh lebih besar sekaligus menyakitkan, yang mana memberi Elizabeth Olsen kesempatan memamerkan performa terbaiknya. Wanda ia bawa berevolusi, dari didominasi kesedihan dalam WandaVision menjadi dikuasai amarah. Tidak berlebihan menyebutnya salah satu akting paling cemerlang sepanjang sejarah MCU. 

Sebagaimana Ant-Man (2015) yang tampil kuat justru karena motivasi sederhana karakternya (keluarga), film ini mengusung semangat yang mirip. Kegilaan yang mengancam stabilitas multiverse dipicu oleh satu pertanyaan: Sejauh mana kehilangan bisa mendorong seseorang berbuat hal ekstrim? Tidak ada antagonis sesuai definisi umum di sini. Hanya orang-orang yang ingin menyembuhkan luka mereka.

REVIEW - THE POWER OF THE DOG

The Power of the Dog sangat kompleks. Bukan disebabkan alur rumit, tapi karena Jane Campion menekankan, bahwa setiap permasalahan, apalagi saat menyangkut gejolak batin manusia, tidak hitam-putih. Mengadaptasi novel berjudul sama karya Thomas Savage, Campion memang melempar isu, namun tokoh-tokohnya bukan alat penghantar pesan. Mereka adalah manusia, yang dengan segala kompleksitasnya berdinamika. 

Berlatar Montana tahun 1925, wild west tengah bertransisi menuju dunia modern. Di bidang teknologi, mobil mulai menggantikan kuda sebagai alat transportasi. Sedangkan manusianya makin meninggalkan kekolotan pikir. Tapi semaju apa pun peradaban, selalu ada kontradiksi, dari pihak yang menyambut dengan tangan terbuka, dan pihak yang kukuh bertahan di perspektif konservatif.

George (Jesse Plemons) dan Phil (Benedict Cumberbatch) adalah kakak-beradik yang mewakili dua sisi berlawanan tadi. George berpakaian rapi serta tahu sopan santun, sedangkan Phil cenderung semaunya. George memperkenalkan budaya "mandi dalam rumah", ketika Phil untuk mandi saja masih malas. 

Phil bak dinosaurus yang menolak punah, terus mengejar masa lalu sambil menganut paham machismo kuno, yang mengindentikkan "kejantanan" dengan tubuh kotor atau kulit gelap hasil sengatan sinar matahari. Ya, hal-hal yang hingga kini tetap dipegang teguh banyak pria Indonesia, selaku bukti bahwa negeri ini tertinggal 100 tahun.

Sejatinya Phil bergulat dengan kesepian. Menghina George yang dianggap "kurang jantan" jadi hiburannya, dan cuma cerita mengenai Bronco Henry, mentornya dalam berkuda, yang bisa Phil banggakan. Dia punya banyak anak buah yang patuh, tapi satu-satunya teman Phil adalah kejantanan. Maka, ketika George menikahi janda bernama Rose (Kirsten Dunst), timbul perselisihan.

Phil menganggap Rose cuma mengincar harta saudaranya. Pun ia begitu membenci putera Rose, Peter (Kodi Smit-MchPhee), yang pendiam dan cenderung feminin dibanding citra koboi yang amat Phil agungkan. Phil terus melempar intimidasi layaknya alpha male yang ingin dipuja serta diakui kuasanya. Tapi semakin ia melakukan itu, semakin ia tampak menyedihkan, terjerumus dalam kesepian, yang nampak dalam performa subtil Cumberbatch.

Cumberbatch menyampaikan kegundahan karakternya melalui mata. Seiring memburuknya perangai Phil, tatapannya justru makin kosong. Mulutnya mengeluarkan ujaran kebencian bagi orang lain, namun matanya seperti menatap ke arah cermin, seolah tengah meratapi diri sendiri. Apakah The Power of the Dog tengah mengutuk pria-pria seperti Phil? Bisa jadi, tapi seperti sudah saya sebutkan, filmnya tak sesederhana itu. 

Phil bukan semata perwujudan pria dengan "little dick energy" yang eksis hanya untuk kita benci. Dia adalah manusia yang kompleks. Titik balik di pertengahan film menegaskan itu, kala arah cerita bergeser, sembari memperluas perspektifnya. Caranya tidak baru. Sudah berkali-kali elemen serupa dipakai oleh film yang membicarakan seksualitas. Tapi bagaimana ia menyentil maskulinitas, menghembuskan napas homoerotisme ke dalam kultur yang memuja kejantanan secara berlebih (mengingatkan pada salah satu rilisan terbaik tahun 2005), menjadikannya spesial. 

Walau demikian, jangan berkonsentrasi pada pesan. Sekali lagi, The Power of the Dog bukan (sebatas) medium penyampai pesan, melainkan kisah berisi sekumpulan individu yang "kebetulan" mewakili wajah beberapa isu. Ending-nya, yang tersusun rapi atas detail-detail yang tersebar sepanjang 126 menit durasi lalu diam-diam menusuk, tak berpusat pada isu, namun dampak dari gesekan manusia-manusia tertentu, yang bertemu di sebuah zaman tertentu.  

The Power of the Dog cenderung mencengkeram penontonnya secara perlahan. Pengarahan Jane Campion (yang kembali ke performa terbaik layaknya The Piano 28 tahun lalu), bagaikan sesosok tetua bijak, yang bercerita dengan lembut, penuh kesabaran, tetapi tahu kapan mesti memberi penekanan, tanpa memaksa kita agar terus memperhatikan. Kitalah yang pasrah membiarkan diri terserap ke dalam ceritanya. 

(Netflix)

REVIEW - SPIDER-MAN: NO WAY HOME

Selepas Avengers: Endgame, saya berujar, "I've never seen anything like this". Wajar saja, mengingat statusnya sebagai kulminasi perjalanan satu dekade lebih. Tapi bahkan setelah itu, Spider-Man: No Way Home mampu memancing respon serupa. Sekali lagi Marvel Studios mendobrak batas kemustahilan. 

Di berbagai lokasi (termasuk studio tempat saya berada), para penonton bersorak, tertawa, menangis, bertepuk tangan. Pemandangan yang makin asing akibat pandemi. No Way Home melakukannya sebagai fan service bagi penonton multigenerasi. No Way Home ibarat rumah, bukan saja untuk penggemar Spider-Man, pula mereka yang merindukan theatrical experience.  

Ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers, kisahnya meneruskan akhir Far from Home (2019), kala identitas Peter Parker (Tom Holland) selaku Spider-Man terungkap, seketika menjadikannya musuh publik. Satu-satunya jalan keluar yang ia temukan adalah, meminta Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) merapal mantra penghapus ingatan orang-orang akan identitasnya. 

Kita tahu akhirnya mantra tersebut kacau akibat interupsi Peter. Kita tahu, karena itu gerbang multiverse terbuka. Kita tahu banyak musuh lama dari versi Raimi dan Webb kembali. Semua telah diungkap di materi promosi, dan lebih baik jika anda tetap tidak "buta" akan hal-hal lain. 

No Way Home merupakan fan service, di mana kata "service" tak berhenti di ranah trivial. Semakin anda mengenal Spider-Man, baik versi komik maupun layar lebar, semakin anda bakal menyadari, bahwa film ini sukses menangkap esensi tokohnya. 

Menyenangkan melihat Otto Octavius / Doctor Octopus (Alfred Molina) dan Norman Osborn / Green Goblin (Willem Dafoe) terlibat banter, Flint Marko / Sandman (Thomas Haden Church) masih mementingkan keluarga, atau bagaimana Max Dillon / Electro (Jamie Foxx) dan Curt Connors / Lizard (Rhys Ifans) memperkenalkan identitas satu sama lain. Tapi tak kalah menyenangkan saat mendapati No Way Home memahami betul siapa Spider-Man. 

Serupa julukan "friendly neighborhood" miliknya, juga kalimat "with great power comes great responsibility", si manusia laba-laba bukan cuma menumpas kejahatan, namun menebar kebaikan. Terdengar serupa, tetapi tak sama. Poin tersebut turut ditekankan filmnya, terutama terkait cara Peter menyikapi kedatangan tamu-tamu tak diundang dari dunia lain. 

Bertugas memperluas cakupan MCU tak membuat film ini lalai mengurus semestanya sendiri. Di antara gejolak multidimensi, No Way Home tetap kisah remaja. Tetap berpusat di Peter dan orang-orang terdekatnya. Apa masalah utama Peter selain menghadapi setumpuk villain? Dia, bersama MJ (Zendaya) dan Ned (Jacob Batalon), dipersulit ketika mendaftar kuliah, selaku dampak terungkapnya identitas Spider-Man. Sementara May (Marissa Tomei) mengesahkan posisi sebagai pemberi motivasi personal Peter dalam aksi heroiknya. 

Spider-Man memang sejatinya cerita coming-of-age. Peter mengalami pendewasaan pasca melewati fase-fase seperti kita, termasuk percintaan. No Way Home mematenkan Peter-MJ sebagai salah satu pasangan terkuat MCU. Lalu di akhir cerita, tampak jelas Peter jauh lebih dewasa dibanding saat muncul pertama kali dalam Captain America: Civil War lima tahun lalu. Jadilah trilogi Homecoming sebuah kisah yang utuh. 

Kebaikan hati dan kepintaran. Begitu filmnya mendefinisikan Peter Parker. Dua aspek tersebut membentuk paruh keduanya, yang mengetengahkan sisi ilmiah Peter ketimbang kemampuan baku hantam (walau di sebuah kesempatan, sisi ini pun dimanfaatkan secara cerdik guna menerapkan kejeniusan Peter di bidang sains ke dalam aksi). Pacing-nya tersendat, namun bisa dimaafkan karena kesesuaiannya menggambarkan esensi penokohan seorang Peter Parker. 

Melewati babak kedua, No Way Home enggan melepas cengkeramannya. Keseruan, kejutan, fan service, campur aduk. Lupakan kekurangan perihal penyuntingan yang ada kalanya tampak tergesa-gesa, sebab di titik itu No Way Home memenuhi hakikatnya sebagai blockbuster: membuat penonton berdecak kagum. 

Aksinya kelas satu. Bukan cuma mengandalkan fan service, Jon Watts terbukti makin matang mengarahkan kemeriahan spektakel, termasuk dengan tidak menjadikan Doctor Strange glorified cameo belaka, juga dipakai menciptakan aksi unik selaku ciri "sang penyihir". Beginilah semestinya crossover. Tidak asal menumpuk karakter, pula menerapkan kekhasan masing-masing. 

Tentu third act-nya tak tertandingi. Di situ segala macam rasa memuncak. Entah dari aksi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dapat tersaji, atau hadirnya konklusi emosional, tidak hanya untuk trilogi Homecoming, pun semua cabang cerita yang membentang selama hampir dua dekade. Ya. Semua. Baik persoalan yang urung dituntaskan, penebusan dosa, proses mengatasi duka serta rasa bersalah, dan lain-lain. 

Sempurna? Mungkin belum. Seperti saya singgung di atas, ada beberapa celah seputar pacing dan penyuntingan. Tapi sepanjang 2021, atau bahkan dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada blockbuster dengan pencapaian setara Spider-Man: No Way Home, yang benar-benar menunjukkan alasan mengapa theatrical experience mustahil tergantikan. Suatu pengalaman komunal, di mana puluhan, bahkan ratusan orang, berbagi rasa tanpa perlu saling mengenal atau berinteraksi langsung, disatukan oleh layar raksasa yang menampilkan keajaiban bernama "sinema". 

REVIEW - THE COURIER

Christian Bale menurunkan berat badan hingga 27 kilogram demi peran di The Machinist (2004), sementara bobot 50 Cent berkurang 23 kilogram di All Things Fall Apart (2011). Jumlahnya tidak jauh beda, namun saat kasus pertama menghasilkan kisah legendaris tentang totalitas aktor, kasus kedua cenderung terlupakan. Semua kembali ke filmnya. 

Di The Courier, yang diangkat dari peristiwa nyata mengenai pebisnis yang direkrut menjadi agen rahasia MI6, berat badan Benedict Cumberbatch turun sekitar 10 kilogram. Tapi namanya tak banyak dibicarakan dalam bursa taruhan ajang penghargaan. Bukan kekeliruan sang aktor, sebab film ini, meski masih pantas disebut "well-made", gampang dilupakan, tenggelam di antara judul-judul lain yang lebih superior.

Di tengah krisis Perang Dingin, pihak CIA dan MI6 perlu mengekstrak informasi perihal program nuklir Uni Soviet dari Oleg Penkovsky (Merab Ninidze), anggota GRU (intelijen militer Soviet) yang hendak membelot. Karena mengirim agen dirasa berisiko, maka direkrutlah Greville Wynne (Benedict Cumberbatch), yang memang kerap bepergian ke luar negeri guna menjalankan bisnis. Wynne diminta menjadi kurir informasi, dengan berpura-pura menjalin bisnis dengan Penkovsky. 

Cumberbatch baru tampil dengan kepala botak dan tubuh kurus kering mengenaskan kala cerita memasuki paruh akhir, tapi bukan masalah, karena dia menawarkan lebih dari sekadar transformasi fisik. Berkat kombinasi akting dramatik dan sedikit comic timing, Cumberbatch tampil apik menghidupkan individu yang terjebak di banyak ketidaktahuan serta keterkejutan. Seorang pria yang terlibat dalam misi berbahaya demi keluarga, namun malah berpotensi kehilangan mereka (baik karena ancaman pihak Soviet, maupun dosa masa lalunya). 

Bagi Cumberbatch, thriller spionase berlatar Perang Dingin bukan hal baru. Sebelumnya ia pernah muncul di Tinker Tailor Soldier Spy (2011), yang bisa dibilang sebuah "sajian tingkat lanjut" di genre tersebut. Sebaliknya, The Courier merupakan "tingkat dasar". Dibanding banyak sesamanya, film karya sutradara Dominic Cooke ini lebih bersahabat bagi penonton luas. 

Nuansa yang tak terlalu "dingin", alur yang tidak rumit, pula tempo yang tidak terlalu lambat (bahkan termasuk cepat, misalnya saat Cooke memunculkan ketegangan lewat fast cut, guna menggambarkan jika Uni Soviet punya mata-mata di seluruh penjuru negeri). The Courier adalah spionase Perang Dingin bagi kalangan awam. 

Berjalan di garis batas aman adalah tujuan film ini. Tampak dari pesan yang coba disampaikan, tentang bagaimana seorang rakyat biasa mampu mengubah arah sejarah. Naskah buatan Tom O'Connor (The Hitman's Bodyguard) mengetengahkan heroisme, seolah mengacuhkan gambaran lebih besar, soal pemerintah (negara mana pun) yang kurang peduli pada keselamatan pihak-pihak yang berjasa bagi mereka. Sedikit disinggung, tapi tidak secara tajam, dan terkesan malu-malu.

Walau tak sekali pun menyentuh titik intensitas tertinggi, karena tidak ada momen di mana sang protagonis benar-benar di ujung tanduk (kecuali titik balik di paruh akhir tentu saja), The Courier takkan membosankan, karena pengemasannya yang tergolong ringan. Tapi setelah beberapa hari (atau malah jam), anda mungkin sudah melupakan detail-detailnya.



Available on PRIME VIDEO (US)

THE GRINCH (2018)

Dibandingkan live action buatan Ron Howard yang dibintangi Jim Carrey 18 tahun lalu, The Grinch ingin tampil sedekat mungkin dengan materi asalnya, buku anak-anak How the Grinch Stole Christmas! karya Dr. Seuss. Naskah buatan Michael LeSieur (You, Me and Dupree, Keeping Up with the Joneses) dan Tommy Swerdlow (Snow Dogs, Bushwacked) mengambil pendekatan sederhana dalam narasinya, yang tak banyak melakukan perubahan terhadap 69 halaman bukunya (Padahal dua halaman mayoritas hanya diisi satu panel), memaksanya jadi tontonan berdurasi 86 menit.

Bila sudah membaca sumber adaptasinya, anda akan tahu bahwa buku itu “hanya” terdiri atas usaha sekali waktu The Grinch mencuri seluruh pernak-pernik Natal warga Whoville dengan menyamar sebagai Santa Claus, sebelum akhirnya menyadari makna sesungguhnya di balik hari raya tersebut. Bagaimana mengaplikasikan kisah sesingkat itu ke dalam film panjang tanpa mengubah banyak elemen?

Dasarnya, LeSieur dan Swerdlow memilih aspek yang pas untuk ditambahkan, seperti proses The Grinch mempersiapkan rencananya “Mencuri Natal”, hingga terpenting, selipan kisah masa lalu sang titular character. Sayang, semuanya terhapus oleh gaya khas Illumination, yang tak seberapa mempedulikan eksplorasi dan penceritaan, serta lebih menitikberatkan humor repetitif konyol minim kreativitas. Bahkan lelucon tentang “Sulitnya orang pendek meraih barang di ketinggian” dilontarkan sampai dua kali.

The Grinch (Benedict Cumberbatch) konon memiliki ukuran hati dua kali lebih kecil dari kebanyakan orang, dan itulah alasan mengapa ia selalu menderita, penuh kebencian, termasuk pada warga Whoville yang selalu bahagia, khususnya kala Natal tiba. Begitu mendengar arahan Walikota agar Natal tahun ini tiga kali lebih meriah, The Grinch merasa jika ini saatnya ia bertindak.

Dibantu Max si anjing loyal, The Grinch berusaha menghentikan Natal. Bagaimana caranya? Perlu diketahui, The Grinch di sini bukan cuma monster pemarah bertubuh hijau, juga seorang jenius yang mampu menciptakan sederet alat eksentrik. Tambahan penokohan menarik yang gagal dimaksimalkan para penulis naskah. Apa guna karakterisasi itu apabila hanya untuk menampilkan sebuah mesin kopi dan segelintir alat-alat ala kadarnya lain, sementara aksi pencuriannya tak memanfaatkan itu?

Bagi The Grinch, langit adalah batas untuk melakukan eksplorasi gila terhadap aspek di atas, namun yang penulisnya pedulikan hanya melempar karakter-karakternya ke langit atas nama slapstick. Demikian cara film ini menghabiskan mayoritas durasinya. Tidak peduli apa rencana si tokoh utama, eksekusinya selalu sama. Dia akan berlari, meluncur, melompat, terbang, dan jatuh. Apakah penonton anak bakal terhibur? Saya tidak bisa mewakili mereka, tapi reaksi para bocah di studio tempat saya menonton, sedingin Whoville kala disambangi salju tebal.

Elemen dramatiknya pun turut terlemahkan akibat pendekatan dangkalnya. The Grinch padahal punya dua karakter, yang masing-masing menyimpan story arc yang berpotensi merenggut emosi. Pertama tentu saja The Grinch, yang sewaktu kecil tinggal sendirian di panti asuhan, merasa terasing di tengah suka cita warga Whoville. Kedua adalah Cindy Lou Who (Cameron Seely), gadis cilik yang ingin bertemu Santa, guna mengajukan permintaan agar sang ibu—yang selalu coba tampak kuat dan ceria meski sesungguhnya urusan pekerjaan serta merawat tiga anak seorang diri amat merepotkannya—bahagia.

Dua kisah tadi semestinya mampu mengaduk-aduk perasaan penonton dewasa, andai bukan sekedar diletakkan begitu saja sebagai selingan nihil eksplorasi di antara rentetan humor konyolnya. Tapi saya bisa memaafkan itu, dan banyak kekurangan lain milik The Grinch berkat 15 menit terakhirnya. Ya, hanya butuh seperempat jam bagi film ini untuk berevolusi menjadi tontonan menyentuh yang sempurna menangkap semangat Natal.

Diawali adegan “bernyanyi dalam harmoni” yang oleh duo sutradara, Scott Mosier dan Yarrow Cheney (The Secret Life of Pets), dikemas demikian indah, The Grinch mengajarkan esensi Natal yang dapat diaplikasikan di segala situasi dan semua kalangan, termasuk mereka yang tak merayakan, yakni anjuran berbuat baik dan memaafkan alih-alih membalas dendam kepada seseorang yang bertindak jahat kepada kita. Jika konklusinya terasa mendadak atau terlalu “ajaib”, karena memang itulah tujuannya: Menunjukkan keajaiban Natal.

AVENGERS: INFINITY WAR (2018)

Avengers: Infinity War bukanlah film pahlawan super pertama yang mencoba menerjemahkan crossover event dari buku komik ke layar lebar. Marvel Studios sendiri telah berulang kali melakukannya sejak The Avengers sampai Captain America: Civil War. Tapi baru Infinity War yang benar-benar memberi definisi sempurna, menontonnya menghadirkan perasaan serupa membaca crossover event. Fakta bahwa filmnya berjalan lancar merupakan buah kesabaran Kevin Feige dan tim membangun puluhan karakter beserta universe luas selama satu dekade lewat 19 film. Tanpanya, ditambah beberapa kekurangan yang tak bisa dihindari, Infinity War bakal berujung kekacauan besar yang mudah terlupakan. This is one of a kind.

Kalau familiar dengan komik superhero, tentu anda pernah menikmati crossover event seperti Infinity Gauntlet, Civil War, Secret Wars, dan lain-lain. Sedikit penjabaran bagi non-pembaca, sebuah even memiliki seri utama yang menuturkan konflik utama pula. Sebagai pengiring, dirilis tie-ins yang mengetengahkan kisah sampingan maupun detail peristiwa yang menimpa masing-masing tokoh. Bagi pembaca komik yang tak terlalu akut seperti saya, demi menghemat waktu, rasanya pernah melewatkan tie-ins dan langsung menyantap seri utama. Alhasil, garis besar cerita tetap bisa dipahami, namun terasa betul ada detail yang terlewat, emosi yang tak maksimal, atau kejadian yang sekelebat lalu. Inifnity War tampil demikian, sehingga bagi penonton yang asing dengan pengalaman membaca seperti itu, mungkin bakal tersisa ketidakpuasan.
Tapi jangan khawatir. Russo Brothers (The Winter Soldier, Civil War) paham betul bagaimana menampilkan momen-momen yang akan terus dikenang hingga tahun-tahun ke depan, dari kemunculan karakter dan aksi keren yang mampu memancing gemuruh tepuk tangan (ketika saya menonton sekitar 4-5 kali tepuk tangan penonton pecah) sampai perasaan tersentak mendapati jagoan-jagoan kita ditempatkan pada bahaya yang belum pernah mereka alami. Dibantu penataan kamera Trent Opaloch yang sudah berkolaborasi bersama Russo Brothers sejak The Winter Soldier, rentetan gambar ikonik pun diciptakan. Tapi sejak awal, tantangan terbesarnya adalah menyatukan sekian banyak tokoh dengan sekian banyak cerita. Dan duo penulis naskah Christopher Markus dan Stephen McFeely menyanggupi tantangan itu.

Avengers dibagi beberapa kelompok. Tim Iron Man (Robert Downey Jr.) menanti Thanos di Planet Titan, kampung halamannya, Captain America (Chris Evans) bersatu dengan Black Panther (Chadwick Boseman) guna menghadapi invasi keempat Black Orders yang menyebut diri sebagai anak-anak Thanos, Thor (Chris Hemsworth) bersama Rocket (Bradley Cooper) dan Groot (Vin Diesel) berusaha menciptakan senjata untuk melawan si Titan Gila, sedangkan Star-Lord (Chris Pratt) memimpin Guardians melakukan serbuan dadakn. Markus dan McFeely melakukan apa yang mereka bisa, menyatukan segala sub-plot serapi mungkin dibantu penyuntingan Jeffrey Ford dan Matthew Schmidt yang menghasilkan transisi mulus. Saya bersyukur kedua penulis naskah tetap memasukkan komedi yang masih efektif memancing tawa, meski penulisan humor mereka belum setajam Gunn atau Waititi. Sebab dengan tokoh-tokoh seperti Guardians of the Galaxy dan Iron Man, sepenuhnya melucuti komedi adalah bentuk menyia-nyiakan potensi. Sebagaimana aliran alur, perpindahan tone pun berlangsung mulus. Sesuatu yang awalnya bak kemustahilan, seperti halnya kesuksesan Russo Brothers mempertahankan ciri masing-masing franchise, misalnya Guardians dengan musik dan celotehannya.
Satu hal pasti, Thanos (Josh Brolin) menjadi sentral segalanya. Enam tahun pasca kemunculan perdananya, Thanos mulai bergerak mengumpulkan Infinity Stones. Power Stone di Xandar, Space Stone yang diam-diam dibawa Loki (Tom Hiddleston), Time Stone di bawah perlindungan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch), Reality Stone di koleksi The Collector (Benicio del Toro), Mind Stone yang menghidupkan Vision (Paul Bettany), dan Soul Stone yang keberadaannya masih jadi misteri. Berbagai teori mengenai letak batu terakhir bertebaran di internet, dan semuanya meleset. Bahkan setelah merilis dua trailer plus setumpuk klip promosi, Infinity War masih sanggup menyimpan kejutan, baik soal alur, bagaimana sebuah adegan aksi dieksekusi, dan tentunya kematian (dan kembalinya) karakter.

Bukan spoiler bila saya menyebut ada karakter yang meregang nyawa. Tanpa itu, sulit menegaskan status Thanos sebagai musuh besar yang kehadirannya sudah dibangun bertahun-tahun. Tapi bukan (cuma) itu alasan Thanos layak masuk jajaran villain terbaik MCU, melainkan keberhasilan menjadikan ia sosok dengan kepribadian. Thanos tidak sepenuhnya jahat. Ambisinya bukan menguasai atau menghancurkan dunia, namun menyeimbangkannya, atau kalau boleh disebut, menyembuhkannya. Thanos bukan monster tanpa perasaan. Ada sensitivitas terselubung yang mampu Josh Brolin salurkan lewat ekspresi. Begitu film berakhir, kehilangan serta kehancuran yang Thanos rasakan sama besarnya dengan para superhero. Dia sosok sedih yang gila. Kegilaan selaku produk kekacauan dunia dan bisa kita temukan di keseharian. Bedanya, orang-orang di dunia nyata dengan pola pikir serupa takkan gamblang mengutarakan pemikirannya, sebab mereka akan dianggap gila dan berbahaya. Terlebih lagi, tidak ada infinity stones dalam genggaman untuk merealisasikan niat itu.
Membicarakan enam infinity stones akan terasa problematik. Muncul ambiguitas terkait seberapa jauh kapasitas tiap-tiap batu. Untungnya, Russo Brothers memastikan setiap Thanos memamerkan kekuatan batunya, sekuen yang dikemas apik ikut mengiringi. Karena soal adegan aksi, tiada satu pun yang tersia-sia berkat koreografi menawan yang makin memikat saat Russo Brothers sering menampilkan para superhero bekerja sama sebagai tim, juga kesan mengancam yang senantiasa menggelayuti. Bahkan The Outriders yang menyerbu Wakanda di klimaks bukan pasukan alien lemah macam Chitauri. Walau sejenak, The Outriders mampu menekan Avengers sampai ke titik batas mereka. Pun kualitas CGI-nya sesuai dengan bujet $300-400 juta yang dikeluarkan. Banyak mengunjungi ragam lokasi luar angkasa, masing-masing planet—khususnya jika anda menyaksikan film ini dalam format IMAX 3D—terlihat meyakinkan.

Bermodalkan lingkup besar yang mencakup berbagai sudut alam semesta, konsekuensi yang dipertaruhkan, juga ending yang akan selalu lekat di ingatan, Infinity War memang terasa seperti pertempuran menuju akhir dunia, kulminasi yang sesuai setelah perjalanan satu dekade, tepatnya separuh dari itu. Ya, biar bagaimana, kesan film ini merupakan paruh pertama dari satu babak epic tetap tertinggal. Apabila merujuk gaya drama tiga babak, maka 19 film sebelumnya adalah first act, Infinity War bertindak sebagai second act, sebelum akhirnya Avengers 4 (Avengers: Endgame sepertinya judul yang pas), menjadi third act sekaligus penutup. Avengers: Infinity War, dengan tetap memperhatikan kelemahan-kelemahannya, telah mengubah peta perfilman superhero. Film-film berikutnya, termasuk rilisan Marvel Studios, akan berada di bawah bayang-bayang film ini. 


Ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

THOR: RAGNAROK (2017)

Plot-wise, Thor: Ragnarok punya cerita tipis. Ini bukan intrik politik layaknya The Winter Soldier, bukan drama transformasi karakter serupa Iron Man, bukan pula shakesperian soal perebutan tahta kerajaan macam Thor pertama meski hal itu memegang peranan penting dalam konflik utama. Ragnarok adalah komedi yang bersembunyi di balik spectacle seharga $180 juta. Kelompok oposisi MCU akan senang hati mencaci bersenjatakan pernyataan "tiada kesan mengancam di filmnya". Karena di Ragnarok yang sejatinya mengandung kisah kelam, canda tawa selalu dikedepankan.

Kali ini Thor (Chris Hemsworth) mesti menghentikan Ragnarok, yakni "akhir segalanya", serta menghadapi Hela (Cate Blanchett), Dewi Kematian yang berusaha merebut tahta Asgard. Tentu perjalanan sang Dewa Petir tak mudah. Selain Mjolnir-nya dihancurkan oleh Hela, dia juga terdampar di Planet Sakaar yang dikuasai The Grandmaster (Jeff Goldblum), dan terpaksa mengikuti kontes ala Gladiator melawan Hulk (Mark Ruffalo). Lagi-lagi tipu daya Loki (Tom Hiddleston) pun ikut menghalangi. Di antaranya, sutradara Taika Waititi masih sempat menghadirkan adegan Thor melihat penis Hulk sampai istilah "devil's anus" bagi suatu portal antar dimensi.
Fakta bahwa Thor: Ragnarok setia bercanda walau diisi hancurnya senjata si jagoan, tokoh Dewi Kematian yang melakukan pembantaian, dan kiamat, justru membuatnya spesial. Perlu disadari, dunia tempat kita tinggal sekarang tak lagi asing dengan semua itu, dan Waititi bersama Eric Pearson selaku penulis naskah seolah menyediakan penonton tempat berlindung berupa dunia fantasi di mana sederet masalah tadi bisa diselesaikan, bahkan ditertawakan. Meski sulit disangkal keputusan tersebut melucuti bobot Hela, sebatas menjadikannya villain menghibur berkat pesona Blanchett daripada sosok penebar ancaman dahsyat.

Komedinya memang pantas jadi menu utama. Alasan mengapa alumni sinema independen macam Waititi maupun James Gunn cocok menahkodai film Marvel tak lain kreativitas mereka melontarkan lelucon. Di tangan Waititi, nyaris segala situasi dan karakter punya kebodohan, tak terkecuali wanita setangguh Valkyrie (disokong penampilan gemilang Tessa Thompson) yang kegemaran mabuknya kerap menghasilkan tingkah jenaka. Sisanya adalah gelaran slapstick tepat waktu sampai anomali berupa sifat kekanakan Hulk, atau Korg (diperankan Waititi sendiri) dengan tubuh besar nan kokoh dari batu tetapi baik hati pula bersuara "lembut". Beberapa cameo pun dimanfaatkan sebaik mungkin, mulai Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang ilmu sihirnya merepotkan Thor dan Loki, hingga sosok kejutan pada suatu drama panggung di Asgard.
Chris Hemsworth yang selama ini bagai terkekang, terkubur daya tarik Loki di dua film pertama kini terfasilitasi potensi komikalnya. Hemsworth akhirnya bersinar di filmnya sendiri, menghadirkan Thor yang di satu waktu perkasa menghantam ratusan anak buah Surtur, tapi di kesempatan lain memancing tawa saat memohon-mohon supaya rambutnya tak dipangkas. Hebatnya, Thor tidak berakhir sebagai produsen tawa saja, sebab Ragnarok sukses melakukan hal penting yang gagal dicapai pendahulunya termasuk dua installment Avengers, yaitu mematenkan Thor sebagai "Dewa Petir" alih-alih "Dewa Martil". Sesuai hakikat babak pamungkas sebuah trilogi, Ragnarok menyempurnakan perjalanan protagonisnya.

Terdapat kekhawatiran Ragnarok berusaha terlampau keras meniru Guardians of the Galaxy. Benar warna mencolok tampil dominan namun penggunaannya berbeda. Dibantu sinematografi Javier Aguirresarobe, warna vibrant plus tata artistik out-of-this-world Waititi pakai demi mengolah nuansa fantasi bercampur sci-fi 80-an ala Flash Gordon di mana pemandangan naga terbang di langit jingga (dan ungu) jadi hal biasa. Waititi bersenang-senang menggarap adegan berbalut musik synth catchy garapan Mark Mothersbaugh (sebenarnya bisa lebih ditonjolkan) juga Immigrant Song-nya Led Zeppelin yang tak ubahnya cue bagi aksi keren yang segera menghentak. Alangkah bijaknya, kita selaku penonton turut tenggelam dalam kesenangan serupa tanpa menagih keseriusan maupun kekelaman yang tidak wajib ada.