REVIEW - DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS
(Tulisan ini mengandung SPOILER)
Menginjeksi formula horor ke film superhero sebenarnya bukan langkah baru. Scott Derrickson di Doctor Strange (2016) dan James Wan dalam Aquaman (2018) mempertahankan akar mereka selaku sineas horor, walau penerapannya sebatas bumbu pemanis. Tapi Multiverse of Madness berbeda. Menggantikan Derrickson yang mundur pada fase pra-produksi, Sam Raimi melahirkan installment MCU perdana yang total melangkah ke ranah horor.
Multiverse of Madness bukan film superhero ber-gimmick horor, melainkan peleburan seimbang antara kedua genre, yang mendorong batasan rating PG-13 sejauh mungkin. Pun sebagai pecinta komik yang karya-karyanya kerap "meminjam" elemen medium tersebut, bahkan jauh sebelum Spider-Man (2002), Raimi, dibantu naskah buatan Michael Waldron (serial Loki), menciptakan tontonan yang "sangat komik".
Di sinilah istilah "Earth-616" (kontinuitas utama cerita Marvel) akhirnya diperkenalkan, tatkala Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) harus mengarungi multiverse guna menolong America Chavez (Xochitl Gomez) dari kejaran sosok gelap. Kekuatan Chavez yang membuatnya mampu melintasi multiverse jadi alasan pengejaran tersebut.
Strange tidak sendiri. Wong (Benedict Wong) sang Sorcerer Supreme dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) turut memberi bantuan. Seperti kita tahu, pasca WandaVision, Wanda telah bertransformasi jadi Scarlet Witch, dan kondisi mentalnya tengah jauh dari stabil selepas kehilangan suami berserta kedua anak yang diciptakannya menggunakan sihir. Multiverse of Madness menandai perubahan sepenuhnya Wanda dari "Avengers yang terluka" menjadi antagonis.
Master of the Mystic Arts berkonfrontasi dengan penyihir pemilik chaos magic. Menyelipkan setumpuk referensi, baik untuk karyanya sendiri (The Evil Dead, Drag Me to Hell) maupun orang lain (Carrie), ketimbang baku hantam generik dua manusia super, Raima mengemas pertarungan itu bak teror mistis khas horor. Bahkan di berbagai kemunculannya, Wanda seperti hantu penuh dendam. Di satu titik ia serupa Sadako yang muncul dengan gerakan mengerikan, sedangkan di kesempatan lain ia bisa tiba-tiba hadir, meneror di tengah keheningan.
Pilihan shot, pencahayaan, jump scare, hingga sedikit gore, menebarkan aroma horor pekat. Feige nampaknya sadar, percuma merekrut Raimi kalau ujungnya cuma jadi director for hire biasa. Raimi diberi kebebasan berkreasi. Selain elemen horor kelam, sentuhan campy pun dapat ditemukan di berbagai sisi. Pertarungan dua versi Doctor Strange jadi contoh. Kreatif, over-the-top, dan terpenting, "sangat komik".
Tentu bukan berarti Multiverse of Madness lepas total dari skema besar MCU. Sebaliknya, kisahnya membuka gerbang pengembangan konsep multiverse secara lebih luas. Ada beberapa cameo (termasuk satu di mid-credits scene). Jumlahnya memang tak segila harapan banyak orang, tapi sekali lagi, eksekusinya (yang bisa jadi terasa kontroversial atau malah mengecewakan bagi sebagian pihak) membuktikan pemahaman Raimi terkait komik. Tepatnya soal tendensi komik memperlakukan cameo dari semesta non-utama. Sadarkah anda akan kemunculan salah satu lagu tema 90an paling ikonik pada kemunculan seorang cameo-nya?
Multiverse of Madness punya bujet standar MCU (200 juta dollar), namun berkat visi personal Raimi, hasil akhirnya tampak jauh lebih mahal dari biasanya, terutama di ranah visual. Berbagai shot sureal estetis, dan tentu saja sekuen "menembus multiverse" selaku highlight visualnya, adalah momen-momen yang memanjakan mata.
Kelemahan filmnya terletak pada penceritaan. Raimi, yang piawai dalam hal memacu adrenalin (build-up menuju pertempuran di Kamar-Taj amat intens), menggerakkan alur begitu cepat, sampai tercipta jurang lebar antara pacing untuk adegan aksi dengan drama. Setiap aksi berhenti, Raimi bagai menginjak pedal rem secara mendadak, kemudian berjalan lambat cenderung draggy, sebelum tiba-tiba melaju kencang lagi.
Ada kalanya mengganggu, tapi di saat bersamaan, makin menekankan bahwa ini karya Sam Raimi. Orang yang mengubah wajah dunia horor melalui trilogi Evil Dead. Liar. Frantic. Dan bukan berarti Raimi melupakan sensitivitas. Multiverse of Madness ibarat sekuel bagi WandaVision dan episode keempat What If...? (What If... Doctor Strange Lost His Heart Instead of His Hands?). Keduanya punya satu kesamaan: cinta.
Lebih spesifik lagi, "kehilangan cinta". Strange dan Wanda sama-sama mengalami kehilangan tersebut, dan Multiverse of Madness merupakan fase mereka belajar merelakan. Strange mesti menerima bahwa ia dan Christine (Rachel McAdams) mungkin tak ditakdirkan bersama. McAdams akhirnya diberi peran signifikan, dalam romansa yang melahirkan satu lagi kalimat ikonik. Lupakan "I love you 3000". Sekarang waktunya "I love you in every universe" untuk dikutip di mana-mana.
Duka Wanda jauh lebih besar sekaligus menyakitkan, yang mana memberi Elizabeth Olsen kesempatan memamerkan performa terbaiknya. Wanda ia bawa berevolusi, dari didominasi kesedihan dalam WandaVision menjadi dikuasai amarah. Tidak berlebihan menyebutnya salah satu akting paling cemerlang sepanjang sejarah MCU.
Sebagaimana Ant-Man (2015) yang tampil kuat justru karena motivasi sederhana karakternya (keluarga), film ini mengusung semangat yang mirip. Kegilaan yang mengancam stabilitas multiverse dipicu oleh satu pertanyaan: Sejauh mana kehilangan bisa mendorong seseorang berbuat hal ekstrim? Tidak ada antagonis sesuai definisi umum di sini. Hanya orang-orang yang ingin menyembuhkan luka mereka.
REVIEW - THE POWER OF THE DOG
The Power of the Dog sangat kompleks. Bukan disebabkan alur rumit, tapi karena Jane Campion menekankan, bahwa setiap permasalahan, apalagi saat menyangkut gejolak batin manusia, tidak hitam-putih. Mengadaptasi novel berjudul sama karya Thomas Savage, Campion memang melempar isu, namun tokoh-tokohnya bukan alat penghantar pesan. Mereka adalah manusia, yang dengan segala kompleksitasnya berdinamika.
Berlatar Montana tahun 1925, wild west tengah bertransisi menuju dunia modern. Di bidang teknologi, mobil mulai menggantikan kuda sebagai alat transportasi. Sedangkan manusianya makin meninggalkan kekolotan pikir. Tapi semaju apa pun peradaban, selalu ada kontradiksi, dari pihak yang menyambut dengan tangan terbuka, dan pihak yang kukuh bertahan di perspektif konservatif.
George (Jesse Plemons) dan Phil (Benedict Cumberbatch) adalah kakak-beradik yang mewakili dua sisi berlawanan tadi. George berpakaian rapi serta tahu sopan santun, sedangkan Phil cenderung semaunya. George memperkenalkan budaya "mandi dalam rumah", ketika Phil untuk mandi saja masih malas.
Phil bak dinosaurus yang menolak punah, terus mengejar masa lalu sambil menganut paham machismo kuno, yang mengindentikkan "kejantanan" dengan tubuh kotor atau kulit gelap hasil sengatan sinar matahari. Ya, hal-hal yang hingga kini tetap dipegang teguh banyak pria Indonesia, selaku bukti bahwa negeri ini tertinggal 100 tahun.
Sejatinya Phil bergulat dengan kesepian. Menghina George yang dianggap "kurang jantan" jadi hiburannya, dan cuma cerita mengenai Bronco Henry, mentornya dalam berkuda, yang bisa Phil banggakan. Dia punya banyak anak buah yang patuh, tapi satu-satunya teman Phil adalah kejantanan. Maka, ketika George menikahi janda bernama Rose (Kirsten Dunst), timbul perselisihan.
Phil menganggap Rose cuma mengincar harta saudaranya. Pun ia begitu membenci putera Rose, Peter (Kodi Smit-MchPhee), yang pendiam dan cenderung feminin dibanding citra koboi yang amat Phil agungkan. Phil terus melempar intimidasi layaknya alpha male yang ingin dipuja serta diakui kuasanya. Tapi semakin ia melakukan itu, semakin ia tampak menyedihkan, terjerumus dalam kesepian, yang nampak dalam performa subtil Cumberbatch.
Cumberbatch menyampaikan kegundahan karakternya melalui mata. Seiring memburuknya perangai Phil, tatapannya justru makin kosong. Mulutnya mengeluarkan ujaran kebencian bagi orang lain, namun matanya seperti menatap ke arah cermin, seolah tengah meratapi diri sendiri. Apakah The Power of the Dog tengah mengutuk pria-pria seperti Phil? Bisa jadi, tapi seperti sudah saya sebutkan, filmnya tak sesederhana itu.
Phil bukan semata perwujudan pria dengan "little dick energy" yang eksis hanya untuk kita benci. Dia adalah manusia yang kompleks. Titik balik di pertengahan film menegaskan itu, kala arah cerita bergeser, sembari memperluas perspektifnya. Caranya tidak baru. Sudah berkali-kali elemen serupa dipakai oleh film yang membicarakan seksualitas. Tapi bagaimana ia menyentil maskulinitas, menghembuskan napas homoerotisme ke dalam kultur yang memuja kejantanan secara berlebih (mengingatkan pada salah satu rilisan terbaik tahun 2005), menjadikannya spesial.
Walau demikian, jangan berkonsentrasi pada pesan. Sekali lagi, The Power of the Dog bukan (sebatas) medium penyampai pesan, melainkan kisah berisi sekumpulan individu yang "kebetulan" mewakili wajah beberapa isu. Ending-nya, yang tersusun rapi atas detail-detail yang tersebar sepanjang 126 menit durasi lalu diam-diam menusuk, tak berpusat pada isu, namun dampak dari gesekan manusia-manusia tertentu, yang bertemu di sebuah zaman tertentu.
The Power of the Dog cenderung mencengkeram penontonnya secara perlahan. Pengarahan Jane Campion (yang kembali ke performa terbaik layaknya The Piano 28 tahun lalu), bagaikan sesosok tetua bijak, yang bercerita dengan lembut, penuh kesabaran, tetapi tahu kapan mesti memberi penekanan, tanpa memaksa kita agar terus memperhatikan. Kitalah yang pasrah membiarkan diri terserap ke dalam ceritanya.
(Netflix)
REVIEW - SPIDER-MAN: NO WAY HOME
Selepas Avengers: Endgame, saya berujar, "I've never seen anything like this". Wajar saja, mengingat statusnya sebagai kulminasi perjalanan satu dekade lebih. Tapi bahkan setelah itu, Spider-Man: No Way Home mampu memancing respon serupa. Sekali lagi Marvel Studios mendobrak batas kemustahilan.
Di berbagai lokasi (termasuk studio tempat saya berada), para penonton bersorak, tertawa, menangis, bertepuk tangan. Pemandangan yang makin asing akibat pandemi. No Way Home melakukannya sebagai fan service bagi penonton multigenerasi. No Way Home ibarat rumah, bukan saja untuk penggemar Spider-Man, pula mereka yang merindukan theatrical experience.
Ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers, kisahnya meneruskan akhir Far from Home (2019), kala identitas Peter Parker (Tom Holland) selaku Spider-Man terungkap, seketika menjadikannya musuh publik. Satu-satunya jalan keluar yang ia temukan adalah, meminta Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) merapal mantra penghapus ingatan orang-orang akan identitasnya.
Kita tahu akhirnya mantra tersebut kacau akibat interupsi Peter. Kita tahu, karena itu gerbang multiverse terbuka. Kita tahu banyak musuh lama dari versi Raimi dan Webb kembali. Semua telah diungkap di materi promosi, dan lebih baik jika anda tetap tidak "buta" akan hal-hal lain.
No Way Home merupakan fan service, di mana kata "service" tak berhenti di ranah trivial. Semakin anda mengenal Spider-Man, baik versi komik maupun layar lebar, semakin anda bakal menyadari, bahwa film ini sukses menangkap esensi tokohnya.
Menyenangkan melihat Otto Octavius / Doctor Octopus (Alfred Molina) dan Norman Osborn / Green Goblin (Willem Dafoe) terlibat banter, Flint Marko / Sandman (Thomas Haden Church) masih mementingkan keluarga, atau bagaimana Max Dillon / Electro (Jamie Foxx) dan Curt Connors / Lizard (Rhys Ifans) memperkenalkan identitas satu sama lain. Tapi tak kalah menyenangkan saat mendapati No Way Home memahami betul siapa Spider-Man.
Serupa julukan "friendly neighborhood" miliknya, juga kalimat "with great power comes great responsibility", si manusia laba-laba bukan cuma menumpas kejahatan, namun menebar kebaikan. Terdengar serupa, tetapi tak sama. Poin tersebut turut ditekankan filmnya, terutama terkait cara Peter menyikapi kedatangan tamu-tamu tak diundang dari dunia lain.
Bertugas memperluas cakupan MCU tak membuat film ini lalai mengurus semestanya sendiri. Di antara gejolak multidimensi, No Way Home tetap kisah remaja. Tetap berpusat di Peter dan orang-orang terdekatnya. Apa masalah utama Peter selain menghadapi setumpuk villain? Dia, bersama MJ (Zendaya) dan Ned (Jacob Batalon), dipersulit ketika mendaftar kuliah, selaku dampak terungkapnya identitas Spider-Man. Sementara May (Marissa Tomei) mengesahkan posisi sebagai pemberi motivasi personal Peter dalam aksi heroiknya.
Spider-Man memang sejatinya cerita coming-of-age. Peter mengalami pendewasaan pasca melewati fase-fase seperti kita, termasuk percintaan. No Way Home mematenkan Peter-MJ sebagai salah satu pasangan terkuat MCU. Lalu di akhir cerita, tampak jelas Peter jauh lebih dewasa dibanding saat muncul pertama kali dalam Captain America: Civil War lima tahun lalu. Jadilah trilogi Homecoming sebuah kisah yang utuh.
Kebaikan hati dan kepintaran. Begitu filmnya mendefinisikan Peter Parker. Dua aspek tersebut membentuk paruh keduanya, yang mengetengahkan sisi ilmiah Peter ketimbang kemampuan baku hantam (walau di sebuah kesempatan, sisi ini pun dimanfaatkan secara cerdik guna menerapkan kejeniusan Peter di bidang sains ke dalam aksi). Pacing-nya tersendat, namun bisa dimaafkan karena kesesuaiannya menggambarkan esensi penokohan seorang Peter Parker.
Melewati babak kedua, No Way Home enggan melepas cengkeramannya. Keseruan, kejutan, fan service, campur aduk. Lupakan kekurangan perihal penyuntingan yang ada kalanya tampak tergesa-gesa, sebab di titik itu No Way Home memenuhi hakikatnya sebagai blockbuster: membuat penonton berdecak kagum.
Aksinya kelas satu. Bukan cuma mengandalkan fan service, Jon Watts terbukti makin matang mengarahkan kemeriahan spektakel, termasuk dengan tidak menjadikan Doctor Strange glorified cameo belaka, juga dipakai menciptakan aksi unik selaku ciri "sang penyihir". Beginilah semestinya crossover. Tidak asal menumpuk karakter, pula menerapkan kekhasan masing-masing.
Tentu third act-nya tak tertandingi. Di situ segala macam rasa memuncak. Entah dari aksi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dapat tersaji, atau hadirnya konklusi emosional, tidak hanya untuk trilogi Homecoming, pun semua cabang cerita yang membentang selama hampir dua dekade. Ya. Semua. Baik persoalan yang urung dituntaskan, penebusan dosa, proses mengatasi duka serta rasa bersalah, dan lain-lain.
Sempurna? Mungkin belum. Seperti saya singgung di atas, ada beberapa celah seputar pacing dan penyuntingan. Tapi sepanjang 2021, atau bahkan dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada blockbuster dengan pencapaian setara Spider-Man: No Way Home, yang benar-benar menunjukkan alasan mengapa theatrical experience mustahil tergantikan. Suatu pengalaman komunal, di mana puluhan, bahkan ratusan orang, berbagi rasa tanpa perlu saling mengenal atau berinteraksi langsung, disatukan oleh layar raksasa yang menampilkan keajaiban bernama "sinema".