ASAL KAU BAHAGIA (2018)
Rasyidharry
Desember 28, 2018
Aliando Syarief
,
Aline Djayakusuma
,
Aurora Ribero
,
Cukup
,
Dewa Dayana
,
Fantasy
,
Hani Pradigya
,
Indonesian Film
,
Rako Prijanto
,
REVIEW
,
Romance
,
Teuku Rassya
,
Upi
12 komentar
Asal Kau Bahagia dibuat berdasarkan lagu berjudul sama milik Armada, nomor
pop catchy bernuansa mellow yang mengajak pendengarnya
meratapi cinta. Filmnya pun dikemas dalam bentuk serupa. Melodrama ringan yang
mengajak penontonnya meratapi cinta, meski sayangnya, tak punya cukup daya
untuk menyetir rasa biarpun tetap jadi suguhan nikmat di ranah kisah cinta remaja.
Alurnya langsung merangsek menuju
persoalan utama, ketika Aliando alias Ali (Aliando Syarief) terlibat kecelakaan
lalu lintas di tengah perjalanannya menemui sang kekasih, Aurora (Aurora
Ribero). Ali koma, namun jiwanya masih berkeliaran layaknya manusia biasa,
walau tak ada yang mampu melihatnya. Dia pun tak mampu menyentuh orang lain.
Tanpa disangka, menjadi sosok tak terlihat justru membuka jalan baginya
memahami isi hati Aurora, yang diam-diam telah enam bulan berselingkuh dengan
Rassya (Teuku Rassya).
Ali hanya bisa memandang tak
berdaya. Hatinya remuk, sementara saya bertanya-tanya, “Kalau ia bisa menyentuh
barang, kenapa ia tidak menulis pesan guna memberitahukan kondisinya kepada
Aurora?” Hal itu bakal menghemat waktu, tapi kita film ini takkan eksis.
Beruntung, sahabatnya, Dewa (Dewa Dayana), bisa melihat Ali, lalu bersedia
membantunya menguntit Aurora guna menyelidiki kebenaran hubungannya dengan
Rassya.
Mengacu pada trailer, kita tahu bahwa nantinya, Dewa menjadi perantara
komunikasi dua tokoh utama. Momen itu urung terjadi hingga jelang paruh akhir. Kembali,
hal tersebut niscaya menghemat waktu, namun meniadakan kesempatan kita
menikmati interaksi menghibur Ali-Dewa. Dewa adalah sosok “kawan-konyol-tapi-setia”
yang kerap kita temui di film-film serupa. Ketepatan timing komedik Dewa Dayana, pula chemistry solid bersama Aliando, menghasilkan buddy comedy yang efektif memancing tawa.
Aurora adalah gadis populer, dan
itu kerap memancing Ali mempertanyakan alasannya bersedia memacari pria
introvert sepertinya. Tapi tak sekalipun terlihat introversi Ali maupun bagaimana
ketertutupan itu mengganggu Aurora. Mungkin, naskah karya Aline Djayasukmana (Gila Lu Ndro) bersama sang mentor, Upi (Teman Tapi Menikah, Sweet 20), hendak
menempatkan penonton di posisi Ali, yang tak menyadari ketidakbahagiaan sang
kekasih. Namun ada perbedaan antara “menyamakan perspektif” dengan keluputan
eksplorasi. Asal Kau Bahagia termasuk
jenis kedua.
Alhasil, saat Rassya menyulut api
asmara di hati Aurora, sulit memahami alasannya. Anda bisa berargumen bahwa
cinta tidak butuh alasan. Cinta terjadi begitu saja, datang dan pergi seperti mendung.
Masalahnya, film ini sendiri coba menjabarkan alasan itu, yang gagal
dipresentasikan secara meyakinkan. Aurora menyebut Rassya lebih liar, seru,
sosok pria ceria yang menghembuskan angin segar di hidupnya. Tapi, serupa Ali
dengan introversinya, sisi tersebut tak tampak dari Rassya yang justru terkesan
halus, bahkan kalah “membara” dibanding Ali.
Bukan berarti segala sisi naskah
menemui kegagalan. Keengganan menabur “pemanis” berlebih patut diapresiasi. Bahasa
(sok) puitis dihindari, berhati-hati pula dramatisasi, termasuk di momen paling
menyedihkan, diolah. Selaras dengan itu adalah penyutradaraan Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Bangkit!, 3 Nafas Likas)
yang mengedepankan tuturan manis ketimbang drama bergelora. Didukung
sinematografi Hani Pradigya (Teman Tapi Menikah,
Terjebak Nostalgia, Wage) Rako menangkap beberapa gambar indah, menerapkan
gerak lambat, juga memilih sudut kamera yang membuat kedua pemainnya (yang aslinya
sudah rupawan) terlihat makin cantik di layar.
Bukan berarti dua pemain utama kita
sekadar bermodalkan tampang. Sebaliknya, bisa jadi Asal Kau Bahagia telah memberi “It
couple” berikutnya bagi perfilman Indonesia, yang kelak berpotensi
melengserkan kedigdayaan Jefri Nichol-Amanda Rawles. Dibarengi deretan lagu
yang mengalun syahdu di telinga, kebersamaan merekamemberi sokongan tambahan
bagi film ini, di luar pondasi rapuh yang naskahnya sediakan.
Pasca debut meyakinkan di Susah Sinyal (2017), Aurora menunjukkan
kemampuan memanggul beban sebagai pemeran utama. Kapasitasnya bermain drama menghadirkan
kompleksitas bagi tokoh peranannya, yang mana gagal diberikan oleh naskahnya. Sedangkan
untuk Aliando, semestinya inilah pembuka gerbang kesuksesan berkarir di layar
lebar. Aliando menunjukkan jangkauan akting cukup luas, dari kebolehan
menangani humor, pesona dalam interaksi kasual, sampai momen emosional.
Sayang, rute aman dipilih sebagai konklusi
romantsime keduanya, yang turut melucuti peluang film ini menyuguhkan resolusi lebih
dewasa—tanpa harus kehilangan sisi bittersweet—mengenai
“the art of letting go” demi
kebahagiaan sosok tercinta. Tapi sulit dipungkiri, banyak penonton akan terwakili
oleh konfliknya, dan itu sudah menjadi cukup alasan guna memberi kesempatan
pada Asal Kau Bahagia. Mungkin saja
film ini merefleksikan seluk beluk kehidupan cinta anda.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:Di bioskop kota saya, kursi dipenuhi oleh remaja alay sekitar umuran SMP SMA yg ikut termehek mehek oleh cerita cinta Ali dan Aurora, mungkin memang film ini hanya bisa dinikmati oleh remaja 13-18th ya supaya bisa masuk ke ceritanya, klo buat saya yg dewasa yg udh 25 ceritanya jd gk masuk aja gtu. Tp film ini gk jelek kok, tp gk bagus juga. Lumayanlah ya 6/10
Bakal review The Ballad of Buster Scruggs ga? Filmnya Coen Brothers yg terbaru
'saat Rassya menyulut api asmara di hati Aurora, sulit memahami alasannya...'
Memang begitu kok kebanyakan mas. Drama kita gak tau kenapa sulit mengeksplor kenapa si tokoh jatuh cinta? Apa yg membuat mereka saling tertarik? Bukan hanya sekedar pandang2an trus jatuh cinta....
@Sandy Well, sebagai orang umur 26 saya bisa relate ke beberapa konfliknya. Elemen "The art of letting go" itu jauh lebih dewasa dari kebanyakan romansa remaja kita, cuma eksplorasinya yang kurang.
@Anna Nope, tapi udah nonton dan bagus, biar belum sampai ke standar tertinggi Coens.
@Yolana Sebenernya nggak masalah tanpa alasan. Di kehidupan nyata juga sering gitu. Jadi masalah karena film ini justru coba kasih alasan, tapi nggak meyakinkan.
Gue nangis bukan karena baper, tp akting aliando pas sekarat bagus banget,it reminds me of my father before he went away
"Art of letting go" dan bittersweet emang lebih dewasa sih. Kayak di La La Land
@Muh May he rest in peace. I hope Aliando read this compliment :)
@Eduard Bener, makanya agak kecewa film ini pilih konklusi aman. Mau nggak mau harus letting go.
Bang kasihan ya semua tokohnya disini individualis banget.
Orang lagi koma di rumah sakit, gak teman anaknya, teman pacarnya, orang tuanya ataupun familinya, gak ada satupun yang kelihatan batang hidungnya :-D
Setelah saya nonton, emang sih Teman Tapi Menikah masih jadi drama percintaan terbaik dari seorang Rako Pijanto ya mas. Film Asal Kau Bahagia lebih matang di visual, kalau cerita masih serasa kurang nampol. BTW saya juga baru ngeluarin film pendek di chanel youtube saya lhooo, Judulnya INTIMIDASI. Mau dong ditonton dan direview sama mas rasyid,Direview singkat lewat kolom komentar juga boleh hehe :)
Udah saya tonton. Selamat buat semua tim. Semangat berkarya dari temen-temen komunitas ginilah yang bikin harapan saya buat film kita nggak pernah mati.
Buat komentar, karena ini film indie komunitas,saya nggak akan bicara teknis, selain karena keterbatasan yang wajar terjadi, saya selalu percaya kalau film komunitas harus lebih mengutamakan presentasi konten.
Overall, pesan yang ada bisa tersampaikan, tinggal gimana memadatkan presentasinya. Ada beberapa obrolan dan momen filler yang sebenernya kurang signifikan dalam studi ceritanya, or simply, disajikan terlalu lama, jadi kehilangan impact.
Cukup kerasa kalau gaya penulisan naskah & penyutradaraannya "film panjang banget", di mana untuk film pendek, pendekatannya semestinya lebih padat (bahkan tempo lambat pun harus terasa padat). Untuk directing, perlu lebih memaksimalkan permainan sudut kamera & tempo buat bangun intensitas (ex: adegan razia) juga emosi (ex: semua adegan di rumah).
Ada satu kalimat yang saya suka sekali, pas guru BK bilang, "Nggak kasihan sama orang tuamu?". Itu puncak gejolaknya. Di situ pesan soal "mental menghakimi" dan "keengganan melihat lebih dalam" paling menusuk. Nah, hal-hal kayak gini yang saya harapkan lebih banyak muncul sepanjang durasi (nggak harus di semua kesempatan), biar penonton lebih terprovokasi, terstimulus untuk ikut merenungkan kondisi karakternya.
Dan bagian terbaik memang di penulisan dialog. Beberapa obrolannya asyik karena pilihan kalimatnya renyah. Nah saya nggak tahu ini total dari naskah atau banyak improvisasi, kalau improv, berarti supporting actress yang jadi temen si tokoh utama yang jago (well, anak teater wajib jago improv).
Soal ending-nya, itu pilihan. Tapi coba dikulik lagi dinamika psikologis remaja awal yang menghadapi kondisi serupa, termasuk kehidupan sosialnya. Karena ada yang mengganjal soal gradasi kondisi psikisnya. Tapi entah, saya juga lupa, udah lama sekali belajar hal begitu pas kuliah haha.
Dari hasilnya saya bisa ngelihat antusiasme temen-temen sih. Semoga itu tetep hidup :))
Wah terima kasih mas rasyid atas reviewnya. Sungguh padat, kritis dan jelas. Jadi makin semangat belajar bikin film hehe.
Mantap! Salam buat temen-temen SMP Purwodadi yang keren-keren.
Posting Komentar