Tampilkan postingan dengan label Dewa Dayana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dewa Dayana. Tampilkan semua postingan

REVIEW - YANG TAK TERGANTIKAN

Yang Tak Tergantikan merupakan “drama rumah”, di mana hampir semua peristiwa berlatar sebuah rumah, membuat penonton hafal tiap sudutnya, sehingga rumah itu sendiri bak menjadi salah satu karakter. Biasanya meja makan kerap jadi sentral. Di situlah dinamika keluarga banyak terjadi, tempat segala masalah dan perasaan ditumpahkan (motif serupa dipakai film ini). Belakangan, gaya yang sering digunakan dalam drama klasik serta pertunjukan panggung ini sayangnya makin jarang ditemui, karena tendensi tontonan sekarang yang cenderung mengakrabi kompleksitas dan skala besar.

Keluarga yang akan kita kunjungi rumahnya adalah keluarga Aryati (Lulu Tobing), seorang ibu tunggal, yang selepas bercerai, menghidupi ketiga anaknya dengan bekerja sebagai sopir taksi daring. Membiayai sekolah anak, ditambah tagihan kontrakan yang sudah jatuh tempo, membuat perjuangan Aryati tidaklah gampang.

Ketiadaan sang ayah membuat si putera sulung, Bayu, mengambil peran "pria dalam keluarga", walau secara bersamaan ia dipusingkan oleh ancaman PHK dari kantor. Bayu adalah figur yang mengayomi, senantiasa mencoba berkepala dingin menghadapi tiap situasi. Ketimbang terjebak dalam interpretasi klise terhadap tokoh bijaksana (suara diberatkan, tempo bicara diperlambat, dan lain-lain), Dewa Dayana memilih pendekatan lebih natural yang membuat karakternya terasa nyata.

Dua adik Bayu masih duduk di bangku SMA. Ada Tika (Yasamin Jasem) yang memasuki fase remaja yang mulai memberontak dan ingin mengikuti tren, lalu Kinanti (Maisha Kanna), si bungsu yang cerdas dan penuh keingintahuan. Kedua aktris muda ini memperlihatkan chemistry solid sebagai dua saudari yang biarpun sering bertengkar, sejatinya saling menyayangi. Bukan hanya mereka, semua jajaran pemain film ini mampu menjalin ikatan kuat, berujung melahirkan interaksi-interaksi kaya. Terkadang hangat, terkadang menggelitik. 

Sebagaimana seharusnya "drama rumah", fokus penceritaan didominasi dinamika internal para anggota keluarga. Ada kalanya sebuah "drama rumah" tak sekalipun membawa penonton mengunjungi latar lain, maupun bertemu karakter di luar lingkup keluarga. Naskah buatan Herwin Novianto (juga bertindak selaku sutradara) dan Gunawan Raharja (Jingga, 22 Menit) mungkin tidak "seekstrim" itu, tapi tetap berada di jalur serupa. Buktinya, tidak sekalipun kita melihat wajah ayah. Sebab bukan rupa ayah yang penting, melainkan dampak ketiadaan sosoknya. 

Kelamahan naskah terletak pada penuturan yang episodik. Terkadang saya merasa seperti sedang menonton kumpulan film pendek atau serial yang dipaksa menyatu. Mungkin Herwin dan Gunawan berniat menyajikan keping-keping keseharian Aryati sekeluarga bak drama slice of life. Namun akibat banyaknya klimaks dan resolusi, saat klimaks dan resolusi berikutnya hadir, dampak emosinya tidak sekuat yang diharapkan. Itulah kenapa, tuturan slice of life identik dengan pendekatan low-key minim letupan.

Penyutradaraan Herwin Novianto juga tersandung soal penghantaran emosi, ketika terlalu berlebihan menggunakan musik. Sedikit saja intensitas meningkat, musik langsung terdengar. Padahal beberapa momen bisa lebih kuat jika tak diberi terlalu banyak "hiasan". Apalagi Yang Tak Tergantikan punya Lulu Tobing, aktris bertalenta yang saking jarangnya bermain film, tiap kemunculannya patut dirayakan. Monolognya soal sang mantan suami memang menyentuh, menunjukkan bagaimana ibu mengesampingkan ego demi buah hati. Tapi bagi saya, momen terbaiknya hadir saat Aryati mengonfrontasi Bayu terkait rahasia si sulung. Bagaimana Aryati alih-alih menyalahkan justru mengutarakan dukungan sebagai wujud nyata kasih ibu, dibawakan oleh Lulu dengan ketulusan luar biasa, yang menegaskan betapa ibu adalah sosok yang tak tergantikan.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

ASAL KAU BAHAGIA (2018)

Asal Kau Bahagia dibuat berdasarkan lagu berjudul sama milik Armada, nomor pop catchy bernuansa mellow yang mengajak pendengarnya meratapi cinta. Filmnya pun dikemas dalam bentuk serupa. Melodrama ringan yang mengajak penontonnya meratapi cinta, meski sayangnya, tak punya cukup daya untuk menyetir rasa biarpun tetap jadi suguhan nikmat di ranah kisah cinta remaja.

Alurnya langsung merangsek menuju persoalan utama, ketika Aliando alias Ali (Aliando Syarief) terlibat kecelakaan lalu lintas di tengah perjalanannya menemui sang kekasih, Aurora (Aurora Ribero). Ali koma, namun jiwanya masih berkeliaran layaknya manusia biasa, walau tak ada yang mampu melihatnya. Dia pun tak mampu menyentuh orang lain. Tanpa disangka, menjadi sosok tak terlihat justru membuka jalan baginya memahami isi hati Aurora, yang diam-diam telah enam bulan berselingkuh dengan Rassya (Teuku Rassya).

Ali hanya bisa memandang tak berdaya. Hatinya remuk, sementara saya bertanya-tanya, “Kalau ia bisa menyentuh barang, kenapa ia tidak menulis pesan guna memberitahukan kondisinya kepada Aurora?” Hal itu bakal menghemat waktu, tapi kita film ini takkan eksis. Beruntung, sahabatnya, Dewa (Dewa Dayana), bisa melihat Ali, lalu bersedia membantunya menguntit Aurora guna menyelidiki kebenaran hubungannya dengan Rassya.

Mengacu pada trailer, kita tahu bahwa nantinya, Dewa menjadi perantara komunikasi dua tokoh utama. Momen itu urung terjadi hingga jelang paruh akhir. Kembali, hal tersebut niscaya menghemat waktu, namun meniadakan kesempatan kita menikmati interaksi menghibur Ali-Dewa. Dewa adalah sosok “kawan-konyol-tapi-setia” yang kerap kita temui di film-film serupa. Ketepatan timing komedik Dewa Dayana, pula chemistry solid bersama Aliando, menghasilkan buddy comedy yang efektif memancing tawa.

Aurora adalah gadis populer, dan itu kerap memancing Ali mempertanyakan alasannya bersedia memacari pria introvert sepertinya. Tapi tak sekalipun terlihat introversi Ali maupun bagaimana ketertutupan itu mengganggu Aurora. Mungkin, naskah karya Aline Djayasukmana (Gila Lu Ndro) bersama sang mentor, Upi (Teman Tapi Menikah, Sweet 20), hendak menempatkan penonton di posisi Ali, yang tak menyadari ketidakbahagiaan sang kekasih. Namun ada perbedaan antara “menyamakan perspektif” dengan keluputan eksplorasi. Asal Kau Bahagia termasuk jenis kedua.

Alhasil, saat Rassya menyulut api asmara di hati Aurora, sulit memahami alasannya. Anda bisa berargumen bahwa cinta tidak butuh alasan. Cinta terjadi begitu saja, datang dan pergi seperti mendung. Masalahnya, film ini sendiri coba menjabarkan alasan itu, yang gagal dipresentasikan secara meyakinkan. Aurora menyebut Rassya lebih liar, seru, sosok pria ceria yang menghembuskan angin segar di hidupnya. Tapi, serupa Ali dengan introversinya, sisi tersebut tak tampak dari Rassya yang justru terkesan halus, bahkan kalah “membara” dibanding Ali.

Bukan berarti segala sisi naskah menemui kegagalan. Keengganan menabur “pemanis” berlebih patut diapresiasi. Bahasa (sok) puitis dihindari, berhati-hati pula dramatisasi, termasuk di momen paling menyedihkan, diolah. Selaras dengan itu adalah penyutradaraan Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Bangkit!, 3 Nafas Likas) yang mengedepankan tuturan manis ketimbang drama bergelora. Didukung sinematografi Hani Pradigya (Teman Tapi Menikah, Terjebak Nostalgia, Wage) Rako menangkap beberapa gambar indah, menerapkan gerak lambat, juga memilih sudut kamera yang membuat kedua pemainnya (yang aslinya sudah rupawan) terlihat makin cantik di layar.

Bukan berarti dua pemain utama kita sekadar bermodalkan tampang. Sebaliknya, bisa jadi Asal Kau Bahagia telah memberi “It couple” berikutnya bagi perfilman Indonesia, yang kelak berpotensi melengserkan kedigdayaan Jefri Nichol-Amanda Rawles. Dibarengi deretan lagu yang mengalun syahdu di telinga, kebersamaan merekamemberi sokongan tambahan bagi film ini, di luar pondasi rapuh yang naskahnya sediakan.

Pasca debut meyakinkan di Susah Sinyal (2017), Aurora menunjukkan kemampuan memanggul beban sebagai pemeran utama. Kapasitasnya bermain drama menghadirkan kompleksitas bagi tokoh peranannya, yang mana gagal diberikan oleh naskahnya. Sedangkan untuk Aliando, semestinya inilah pembuka gerbang kesuksesan berkarir di layar lebar. Aliando menunjukkan jangkauan akting cukup luas, dari kebolehan menangani humor, pesona dalam interaksi kasual, sampai momen emosional.

Sayang, rute aman dipilih sebagai konklusi romantsime keduanya, yang turut melucuti peluang film ini menyuguhkan resolusi lebih dewasa—tanpa harus kehilangan sisi bittersweet—mengenai “the art of letting go” demi kebahagiaan sosok tercinta. Tapi sulit dipungkiri, banyak penonton akan terwakili oleh konfliknya, dan itu sudah menjadi cukup alasan guna memberi kesempatan pada Asal Kau Bahagia. Mungkin saja film ini merefleksikan seluk beluk kehidupan cinta anda.