Tampilkan postingan dengan label Randy Pangalila. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Randy Pangalila. Tampilkan semua postingan
SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)
Rasyidharry
Terlepas dari hasil akhirnya, “Anggy
Umbara” dan “main aman” tidak pernah eksis secara bersamaan. Begitu pula di Si Manis Jembatan Ancol, remake dari
film berjudul sama rilisan tahun 1973, yang dibuat berdasarkan urban legend masyarakat Betawi, meski
masyarakat umum mungkin lebih akrab dengan dua musim sinetron yang begitu populer
pada era 90-an, hingga melahirkan satu lagi adaptasi layar lebar di tahun 1994.
Melalui naskah hasil tulisannya bersama Fajar Umbara (Mata Batin, Sabrina) dan Isman HS (5 Cowok Jagoan: Rise of the Zombies, Flight 555), Anggy melakukan
modernisasi.
Berlatar tahun 1973, kisahnya
berpusat pada keretakan rumah tangga Maryam (Indah Permatasari) dan Roy (Arifin
Putra), terlebih setelah bisnis Roy berantakan sampai membuatnya terlilit hutang
besar pada Bang Ozi (Ozy Syahputra), seorang lintah darat. Sebagai istri,
Maryam merasa kurang dihargai, namun tetap berusaha menjaga keharmonisan rumah
tangga, bahkan setelah kedatangan pelukis bernama Yudha (Randy Pangalila) yang
menjadikan Maryam sebagai objek. Si Manis jatuh hati, namun yang hadir justru
tragedi.
Tragedi yang tidak datang secepat
itu, mengingat filmnya lebih banyak berkutat dalam drama sampai sekitar 50
menit durasi (dari total 117 menit), ketika kita akhirnya dibawa mengunjungi
jembatan Ancol yang legendaris. Maksudnya baik. Supaya penderitaan Maryam,
hubungan terlarangnya dengan Yudha, juga kesulitan finansial Roy tergali utuh.
Tapi apakah terlalu panjang? Ya. Bisakah dipadatkan? Sangat bisa. Perjalanan
sejam pertamanya cukup bertele-tele, menampilkan banyak hal tak perlu, seperti
keputusan Bang Ozi terus memberi tambahan waktu bagi Roy atau red herring terkait keangkeran rumah
Yudha.
Setidaknya selama itu, hampir
seluruh departemen berkontribusi maksimal. Anggy semakin matang (kalau tak bisa
disebut dewasa) baik urusan menulis maupun menyutradarai, dengan lebih
berkonsentrasi pada merapikan aliran alur ketimang melempar gimmick. Tata dekorasi plus kostum pembangun
latar masa lalunya pun cukup konsisten dan memanjakan mata, apalagi gaun merah
Maryam yang membuatnya otomatis jadi pusat atensi di tiap kemunculan. Satu
elemen yang mengganggu adalah rambut palsu Randy Pangalila, yang kala digerai jauh
dari kesan alamiah, tapi kalau diikat, sosoknya bak pendekar dari era Angling
Dharma.
Melihat pilihan artistik, tema
balas dendam, serta statusnya sebagai remake
judul klasik, mungkin Si Manis
Jembatan Ancol akan mengingatkan banyak penonton kepada Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur (2018).
Ditambah lagi keberadaan unsur komedi yang sayangnya hanya berhasil memancing
tawa bila banyolannya terlontar dari mulut Arief Didu sebagai Bang Kribo si
pemilik warung.
Paruh kedua sepenuhnya
mengesampingkan plot, untuk merangkai menit-menitnya menggunakan pembantaian
demi pembantaian yang dilakukan arwah Maryam selepas ia tewas di tangan Bang Ozi
dan anak buahnya. Anggy menggabungkan jump scare (termasuk di lima adegan mimpi yang pengulangannya tak
sampai mengesalkan karena punya pemicu jelas: ketakutan dan rasa bersalah) dan elemen
kekerasan. Agak disayangkan saat beberapa sadisme terjadi off-screen (mengacu pada bumper
LSF, kemungkinan terdapat revisi), meski kita tetap disuguhi aftermath brutal yang menampilkan
kondisi jenazah mengenaskan.
Mengandalkan kesan misterius, kesenduan,
serta kemarahan yang menyatu di sorot matanya, Indah Permatasari berhasil
menghapus bayang-bayang para pemeran Si Manis sebelumnya dengan, melahirkan
versinya sendiri yang sejalan dengan modernisasi Anggy. Sementara Ozy Syahputra,
dengan kumis dan berewok ditambah aksi kejam karakternya, melepaskan diri dari kecentilan
sosok Karina dalam sinetronnya dulu. Bahkan di sini Ozy diberikan salah satu
momen paling mencengangkan sepanjang film, yang menegaskan upaya Anggy
bermain-main dengan stereotip gender dalam horor.
Di ranah dunia, menyelipkan empowerment dalam horor bukan perkara
baru, tapi masih langka di perfilman lokal. Anggy dan tim penulisnya berani
melakukan itu, termasuk melalui twist yang
tak kalah berani bahkan berpotensi memecah opini penonton. Saya menyukainya.
Sebuah langkah kreatif meski meninggalkan beberapa lubang alur. Masalah justru
muncul terkait keputusan filmnya tak memberi kesempatan si tokoh utama
menuntaskan segalanya. Selain Maryam berhak mendapatkannya, keputusan tersebut
berlawanan dengan pesan empowerment-nya.
Andai itu dilakukan, niscaya Si Manis
Jembatan Ancol akan jauh lebih memuaskan.
Desember 27, 2019
Anggy Umbara
,
Arief Didu
,
Arifin Putra
,
Cukup
,
Fajar Umbara
,
horror
,
Indah Permatasari
,
Indonesian Film
,
Isman HS
,
Ozy Syahputra
,
Randy Pangalila
,
REVIEW
#MALAMJUMAT THE MOVIE (2019)
Rasyidharry
Ini yang saya sebut “kejutan berlapis”. #MalamJumat The Movie awalnya memberi
impresi positif, berpotensi menjadi rilisan terbaik Baginda Dheeraj Kalwani.
Memang bukan horor kelas atas, tapi tak pernah pula menyentuh jurang kehancuran
sebagaimana saya perkirakan bakal dimiliki karya Baginda. Tentu hal tersebut
mengejutkan. Hingga plot twist-nya
terungkap, dan dalam waktu kurang dari 30 menit, #MalamJumat The Movie berakhir setingkat judul-judul lain buatan produser
tercinta kita.
Diangkat dari kanal YouTube milik
Ewing HD, tepatnya seri #MalamJumat
EXPLORE, film ini mengikuti tuturan formulaik tentang penelusuran tempat
angker, ketika Ewing beserta timnya menjelajahi taman bermain bernama Wonder
Park, yang konon kerap jadi lokasi bunuh diri. Mereka bukan cuma menemukan
penampakan, juga jaket dan topi yang ditengarai milik seseorang yang gantung
diri di sana.
Begitu video tersebut diunggah,
gadis bernama Dinda (Zoe Abbas Jackson) meninggalkan komentar, mengaku bahwa
barang-barang itu adalah kepunyaan kakaknya, Ryan (Randy Pangalila), yang sudah
lama hilang. Bersama sahabatnya, Ellen (Sonia Alyssa), yang merasa Ryan
merupakan kekasihnya meski mereka hanya berpacaran semasa SD (sungguh selipan
humor yang salah tempat), Dinda meminta Ewing kembali ke Wonder Park guna
menyelidiki kebenaran di balik hilangnya sang kakak.
Turut serta dalam misi adalah Tio
(Ade Firman Hakim), YouTuber yang
dikenal akan kemampuannya berkomunikasi dengan arwah. Tiap melakukan ritual, Tio
tampak lucu, dengan gestur dan rapalan mantera konyol. Setidaknya kekonyolan
itu disengaja, di mana karakter lain sempat melontarkan olok-olok tentangnya,
meski serupa penokohan Ellen, kehadirannya tidak diperlukan.
Apa yang membuat keklisean #MalamJumat The Movie awalnya terlihat
lebih baik dibanding film Dee Company (dan K2K) pada umumnya? Pertama, naskah
buatan Andhika Lazuardi (Tembang Lingsir)
memang menyajikan alur setipis kertas nan membosankan, namun tak sampai mengesalkan.
Kedua, kuantitas jump scare-nya sesuai
porsi, alhasil efek suara berisik pengiring kemunculan hantu bertata rias buruk
tidak begitu sering menyiksa telinga. Pun penyutradaraan Hadrah Daeng Ratu
sesekali melahirkan keheningan atmosferik, talenta yang sebelumnya ia
perlihatkan lewat Jaga Pocong.
Semua berjalan lancar sampai babak
akhirnya tiba bersama twist yang terkesan
mencurangi penonton akibat hadir tanpa dibangun secara layak alias mendadak. Titik
baliknya datang secara dipaksakan, seolah penulis naskahnya berujar “Fuck it!”, lalu menyerah untuk mencari
cara logis guna menghantarkannya. Silahkan direnungkan: Apa perlunya Dinda
tiba-tiba membuka akun Instagram Ryan di tengah situasi berbahaya? Dan bukankah
sebelumnya akun Ryan baru mengunggah video Ellen sedang mandi? Ke mana perginya
video itu?
Keberhasilan #MalamJumat The Movie membuat otak jungkir balik tidak berhenti di
situ. Setelahnya, masih banyak kejutan yang bisa memancing respon “Eh?”, lalu “Lho??”,
kemudian “Apaaaa??!!”, lalu “What in the
heellll?!!!!”, hingga akhirnya, “Screw
it, I’m done!”. Belum cukup? Nantikan adegan penutup berupa kritik terhadap
komunitas YouTube yang terdengar bagai khotbah salat Jumat. Tapi saya
mengapresiasi bagaimana klimaksnya memperlihatkan bahwa Ewing tidak takut
mempertaruhka citra kanal YouTube miliknya demi film. Sayang, ini film yang
buruk. Seburuk akting kakunya.
Mei 17, 2019
Ade Firman Hakim
,
Andhika Lazuardi
,
Dheeraj Kalwani
,
Ewing HD
,
Hadrah Daeng Ratu
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
KK Dheeraj
,
Randy Pangalila
,
REVIEW
,
Sonia Alyssa
,
Zoe Abbas Jackson
JAFF 2018 - KUCUMBU TUBUH INDAHKU (2018)
Rasyidharry
Alasan saya menyukai banyak karya
Garin Nugroho (Opera Jawa, Under the
Tree, Aach...Aku Jatuh Cinta) adalah karena keahliannya mengambil satu
gagasan, lalu mengembangkannya menjadi cerita berskala luas tanpa harus
kehilangan fokus, dengan ragam simbolisme kecil tersebar guna memperkaya kisah
juga karakter. Demikian pula Kucumbu
Tubuh Indahku, sebuah perayaan akan “tubuh”—manusia dan alam—yang tak lain
merupakan sumber keindahan sekaligus kehidupan.
Film berjudul internasional Memories of My Body yang telah lalu
lalang di banyak festival luar negeri ini berangkat dari satu konsep: Tari
lengger. Seperti diucapkan seorang guru tari (Sujiwo Tejo), “lengger”—setidaknya
menurut pemaknaan Garin—berasal dari perpaduan kata leng (goa, lubang) dengan ngger
(anak laki-laki, atau di sini juga bermaksud kelelakian). Kombinasi keduanya
menghasilkan kehidupan, tapi apabila urung disikapi secara bijak, dapat
memunculkan peperangan serta kehancuran, baik antara manusia atau dalam tatanan
batin seseorang.
Perang pun meletus dalam hati
protagonis kita, Wahyu Juno (Muhammad Khan), yang harus belajar mencintai
tubuhnya walau pahitnya realita senantiasa menghalangi. Sejak kecil (Juno kecil
diperankan Raditya Evandra), ia terus menyaksikan kehancuran: penis salah satu
penari yang dihantam hingga hancur, wanita yang diusir dari kampung karena
memperbolehkan Juno menyentuh dadanya (Oedipus
Complex bagai pola wajib karya Garin, baik esensial atau tidak, dan entah bentuk exploration atau sebatas pervertion),
bahkan romansa Juno dengan seorang petinju—yang diperankan Randy Pangalila
dalam penampilan yang berpotensi menghembuskan napas baru untuk karirnya—pun berujung
kehancuran tubuh.
Darah terus mengikutinya, sehingga
Juno enggan “mencumbu” tubuhnya, bahkan melukai diri dengan tusukan jarum,
bentuk hukuman yang telah ia terima sedari kecil. Dan sepanjang durasi, entah
melalui dialog subtil, gambar-gambar, sampai aspek etnografi, kita bakal selalu
mempelajari hal baru tentang apa saja yang Garin ingin sampaikan. Setiap momen
punya makna, tujuan, dan tak sedikitpun terbuang sia-sia. Di antaranya, turut
tampil Rianto, penari yang kehidupannya menginspirasi penulisan naskah Garin.
Ibarat seorang narator orang pertama, ia bermonolog, mendeskripsikan perjalanan
Juno lewat bahasa verbal maupun tarian.
Kemunculan Rianto adalah pilihan
artistik menarik, meski sebagaimana di mayoritas film (realis) miliknya, ketimbang
berfokus merias pernak-pernik, Garin butuh memberi perhatian lebih terhadap
aliran penceritaan. Di sini, progresi alur liar (kalau tak mau dibilang kacau)
yang seringkali membingungkan akibat ketiadaan pembentukan sebelum konflik
dipaparkan, yang mana kerap terjadi sejak Cinta
dalam Sepotong Roti (1990), masih sesekali mengganggu walau tidak dalam
kuantitas berlebih.
Tapi jika anda mencari penyatuan
kesenian, Kucumbu Tubuh Indahku
merupakan karya Garin paling memuaskan sejak Opera Jawa (2006). Tari-tarian (lengger, reog), iringan musik Mondo
Gascaro (Berbagi Suami, Pintu Terlarang,
Modus Anomali), plus sinematografi garapan Teoh Gay Hian (Opera Jawa, Soegija, Setan Jawa) yang
mampu menjabarkan keindahan mistis, melebur apik, entah selaku alat tutur atau
ekspresi seni yang cantik.
Seperti biasa, Garin menyuntikkan
kritik politik, di mana para politikus film ini membentang dari sosok penguasa
kejam haus kekuatan hingga badut-badut yang berulang kali menyebut “Ini zaman
bebas’ sembari melakukan perbuatan konyol guna membantu mereka (atau pejabat di
atas mereka) bertahta. Namun ketimbang distraksi, elemen tersebut justru
memperkaya aspek sosial-masyarakat filmnya, menjadi salah satu bagian tubuh
negara, bahkan semesta.
Pada skala lebih kecil, Kucumbu Tubuh Indahku tetap kisah soal
Wahyu Juno, pria lembut (fisik dan hati) bermasalah yang namanya berasal dari
Arjuna si pahlawan dari dunia pewayangan, yang berbeda dibanding penggambaran
pahlawan negeri Barat, Arjuna adalah sosok bertubuh indah nan lembut. Ketika
maskulinitas dan feminitas melebur seperti kala sang penari lengger dan petinju
berdiri bersama di arena, maka terciptalah kesempurnaan harmoni.
Desember 05, 2018
Bagus
,
Drama
,
Garin Nugroho
,
Indonesian Film
,
Mondo Gascaro
,
Muhammad Khan
,
Raditya Evandra
,
Randy Pangalila
,
REVIEW
,
Rianto
,
Sujiwo Tejo
,
Teoh Gay Hian
Langganan:
Postingan
(
Atom
)