THE WAY I LOVE YOU (2019)
Rasyidharry
Februari 11, 2019
Adi Nugroho
,
Baskara Mahendra
,
Gendis Hapsari
,
Indonesian Film
,
Johanna Wattimena
,
Kurang
,
REVIEW
,
Rizky Nazar
,
Romance
,
Rudi Aryanto
,
Surya Saputra
,
Syifa Hadju
,
Tissa Biani Azzahra
,
Windy Wulandari
7 komentar
The Way I Love You punya kans menjadi suguhan bernilai tentang proses saling
menemukan belahan jiwa yang sanggup menambal lubang dalam hati, andai pilihan
fokus utama bukan dijatuhkan kepada unsur lain yang lebih dangkal. Tidak
sepenuhnya keliru memang, namun menghilangkan peluang filmnya memiliki pembeda
dibanding setumpuk cerita cinta remaja pada umumnya.
Faktanya, naskah buatan Johanna
Wattimena (#Teman tapi Menikah) dan
Gendis Hapsari menyimpan banyak elemen menarik, seperti duka keluarga,
persahabatan yang mengobati kesedihan, atau perihal jatuh cinta lewat perkenalan
di dunia maya. Semua itu pernah diangkat ke layar lebar tentu saja, tapi
eksplorasi lebih jauh dapat menghasilkan kisah kaya rasa yang tak berkutat di
drama romantika remaja yang itu-itu saja.
Setelah kehilangan sang ibu, Senja
(Syifa Hadju) tinggal bersama sepupunya, Anya (Tissa Biani), beserta kedua
orang tuanya (Adi Nugroho dan Windy Wulandari). Usia sepantaran memudahkan
keduanya menjalin persahabatan erat, di mana mereka menganggap satu sama lain
sebagai hal terpenting dalam hidup. Bahkan saat menghilangkan buku harian yang
selalu jadi tempat Senja menuliskan kegundahan termasuk kerinduan akan mendiang
ibunya, Anya membelikan laptop untuk menebus kesalahannya. Melihat itu, Senja
memeluk sang sahabat, berurai air mata, sambil berkata, “Keterlaluan lo”. Ucapan
sederhana itu merupakan satu-satunya kalimat di film ini yang tak terdengar
membosankan sekaligus memiliki rasa.
Tanpa mereka tahu, buku Senja ada
di tangan Bara (Rizky Nazar), murid baru yang enam bulan lalu juga baru saja
ditinggal pergi ibu. Ayahnya (Surya Saputra), memaksa Bara ikut pindah dari
Bandung ke Jakarta guna memulai lembaran kehidupan baru, dan itu memancing
amarahnya. Hingga pada satu adegan yang sekali lagi menunjukkan kapasitas Surya
Saputra memerankan sosok ayah sentimentil nan gundah gulana, keduanya saling
memaafkan. Momen itu muncul di paruh awal, mengakhiri konflik ayah-anak yang
ada sebelum sempat berkembang.
Buku itu tidak sengaja ditinggalkan
Anya—yang jatuh cinta kepada Bara—ketika duduk di sebelah Bara. Anehnya, tidak
sekalipun Bara berasumsi buku tersebut kepunyaan Anya. Jika saya adalah Bara,
Anya bakal jadi orang pertama yang saya datangi. Setidaknya langkah itu logis,
serta punya probabilitas keberhasilan lebih besar ketimbang secara acak meminta
satu per satu siswi di sekolah memperlihatkan tulisan tangan mereka.
Berkat laptop pemberian Anya, Senja
pun memulai menulis kisah pribadinya di blog menggunakan nama pena Caramel
Latte. Di sana, Senja bertemu seseorang dengan nama pengguna BadBoy, yang
mengaku menyukai tulisannya. Senja pun terpikat oleh kata-kata manis si pria
misterius. Setelah rutin mengobrol di dunia maya, keduanya memutuskan bertemu.
Bertatap mukalah akhirnya Senja dengan Rasya (Baskara Mahendra), dan hubungan
mereka makin dekat. Tapi pelan-pelan, Senja merasa ada keanehan. Berbeda dengan
BadBoy, Rasya lebih “nakal”, gemar merayu, juga “agresif”.
Tentu kita tahu ke mana alurnya bergerak.
Kita tahu bahwa Bara, yang selalu terlibat pertengkaran dengan Senja di
sekolah, sejatinya adalah BadBoy. Kita tahu hubungan Senja dan Anya akan diuji
begitu rahasia identitas BadBoy terungkap. Kita pun tahu, jika kisah semacam
ini punya akhir bahagia, ketika kekuatan persahabatan mendorong salah satu untuk
mengalah. Dikarenakan Rasya adalah pria brengsek, kita tahu kalau Senja takkan
berakhir di pelukannya, sehingga bisa ditebak, Anya yang bakal berbesar hati
merelakan cintanya.
Teramat klise, namun sekali lagi, bukan
hal haram. Kekeliruan terletak pada ketiadaan elemen dalam plot yang membuat
proses tetap layak kita lewati walau tujuannya mudah ditebak. Aspek-aspek
penceritaan yang saya sebut di paragraf awal urung dikembangkan agar tak
berakhir sebagai pajangan belaka. Naskahnya kekurangan daya guna menciptakan
interaksi dinamis di antara karakter, sedangkan Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, Dancing
in the Rain) bagai memasang mode autopilot di penyutradaraannya. Terdapat
usaha memproduksi kejenakaan, tapi satu-satunya momen di mana tawa saya meledak
yakni ketika Adi Nugroho melontarkan “lelucon Gaara”.
Beruntung, The Way I Love You punya dua talenta muda berbakat. Syifa Hadju
mampu menghadirkan protagonis likeable
yang piawai memancing senyum tiap kali ia bertingkah canggung menanggapi
pesan-pesan BadBoy di layar laptop. Sementara Tissa Biani melahirkan tokoh
paling memorable di sini, serupa keberhasilannya
di Laundry Show yang juga rilis
minggu ini. Lain cerita bagi Rizky Nazar. Bukan kharismanya yang perlu
dipertanyakan, melainkan seberapa alamiah ia dalam berlakon. Tengok tawa
dipaksakan selaku respon Bara tatkala sang ayah salah mengartikan “kecelakaan”
sebagai “menghamili”, yang menambah kecanggungan adegan komedik gagal tersebut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Terlepas dari cerita yg agak2 ngeganjel/maksa si Syifa Hadju Lovable sih..
Bang Rasyid, mendekat tanggal oscar, ada rencana bikin prediksinya bang?
Mas Rasyid,
Review Isabelle dan The Knight of Shadows doooonk..
Bingung mw nuntun yg mana.. hari biasa nggk bisa nuntun maraton sehari 2 film, wkwkwkwk..
Mas rasyid, this is unrelated with the post. . Tapi aku mau nanya kira2 The wandering earth kpn release di indo ya? Xie xie
Oh ini jelas, tunggu nggak lama lagi
Mendingan nonton Happy Death Day 2 U
Sayangnya sampai sekarang belum ada tanda bakal masuk sini. Padahal nungguin juga.
Posting Komentar