KUAMBIL LAGI HATIKU (2019)
Rasyidharry
Maret 22, 2019
Arief Ash Shiddiq
,
Azhar Kinoy Lubis
,
Cut Mini
,
Dian Sidik
,
Dimas Aditya
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Lala Karmela
,
REVIEW
,
Ria Irawan
,
Rino Sarjono
,
Sahil Shah
Tidak ada komentar
Produksi pertama PFN (Produksi Film
Negara) selama 27 tahun setelah kali terakhir menelurkan Pelangi di Nusa Laut karya MT Risyaf pada 1992 ini sebenarnya
berpeluang menghembuskan angin segar bagi film lokal bertema keluarga,
khususnya berkat suntikkan unsur asimilasi budaya antara India dengan Jawa.
Apalagi melihat jajaran pemain papan atas miliknya. Sayang, kekacauan naskahnya
dalam menyatukan berbagai cabang cerita berujung melahirkan sebuah film yang
kebingungan menentukan arah.
Sinta (Lala Karmela), puteri
pasangan pria India dan wanita Indonesia, menjalani hidup bahagia di Agra
bersama sang ibu, Widhi (Cut Mini). Karirnya melesat, dan ia pun sedang
mempersiapkan pernikahan dengan Vikash (Sahil Shah) yang tinggal menghitung
hari. Tapi mendekati Hari-H, Widhi mendadak pulang ke kampung halamannya di
Desa Borobudur, Magelang, setelah mendengar kabar bahwa ayahnya telah wafat
sejak tiga bulan lalu.
Masalahnya, Widhi selama ini
mengaku sudah tak lagi memiliki kerabat di Indonesia. Sinta yang kebingungan
akhirnya nekat menyusul ibunya ke Magelang, hanya untuk menyaksikan ketidakharmonisan
sebuah keluarga. Widhi bersetigang dengan kakaknya, Dewi (Ria Irawan),
sementara Dimas (Dian Sidik) terlilit hutang yang mengancam keberlangsungan
penginapan yang ia kelola.
Kuambil Lagi Hatiku diawali secara menjanjikan. Meski terkadang usaha Lala
berbicara Bahasa Indonesia memakai logat India terdengar mengganggu, cukup
jarang kita melihat karakter dalam film lokal yang bukan sekadar tinggal
sementara atau jalan-jalan di luar negeri, namun menetap, bahkan
mengimplementasikan kultur setempat dalam keseharian. Setibanya Sinta di
Borobudur, ia sempat membantu peneliti muda (atau mahasiswa?) bernama Panji
(Dimas Aditya), menjelaskan makna relief Candi Borobudur kepada wisatawan asal
India, sebagai simbol penyatuan dua budaya. Tapi asimilasinya berhenti di situ.
Setelahnya, tak ada lagi eksplorasi lanjutan yang dapat memperkaya filmnya.
Akhirnya Sinta bertemu Widhi. Dia
menuntut jawaban, tetapi sang ibu malah bersikap tak acuh. Dari sinilah naskah
karya Arief Ash Shiddiq dan Rino Sarjono (Negeri
5 Menara, Pintu Harmonika) mulai menumpuk kelemahan, yang kebanyakan
melibatkan turnover dadakan dan
ketidakjelasan motivasi karakter. Cut Mini kembali menghantarkan performa sarat
emosi yang dengan gampangnya menjadi aspek terbaik film ini, tapi itu pun tak
kuasa menjustifikasi respon dingin Widhi kepada puterinya. Bahkan pasca
kebenaran terungkap saya tetap bertanya, “Kenapa?”.
Kata “Kenapa” memang terus mencuat
sepanjang durasi, karena tiap karakternya membuat keputusan besar, termasuk
titik balik di mana terjadi perubahan sikap, sulit memahami alasan di balik
tindakan mereka. Selalu timbul kesan dadakan dan dipaksakan. Serupa Cut Mini,
Ria Irawan pun tampil baik, memberi dimensi lebih pada sosok Dewi yang dari
luar tampak kejam namun sejatinya berhati lapang. Perselisihan Dewi dengan
Widhi menghasilkan problematika keluarga kompleks, sampai filmnya menyelesaikan
konflik tersebut melalui sebuah simplifikasi yang akan sulit diterima nalar
maupun hati.
Salah satu benda yang memegang peranan
penting dalam cerita adalah foto masa kecil yang disimpan Widhi. Di foto itu,
ia, Dewi, dan Dimas duduk di Candi Borobudur. Kelak terungkap, itu merupakan
foto favorit mendiang ayah mereka, karena di sanalah ketiganya berkumpul sambil
tersenyum bersama sebagai satu keluarga bahagia. Andai Kuambil Lagi Hatiku mau berfokus pada unsur satu ini, potensi
menjadi drama keluarga yang menyentuh hati sangatlah tinggi. Tapi tidak.
Naskahnya selalu hadir dengan konflik baru yang mayoritas tak perlu, yang
ironisnya, muncul untuk menyelesaikan konflik lain.
Etos kerja “gali lubang tutup
lubang” ini melahirkan problematika yang tidak logis (masalah Sinta di kantor),
kekurangan pondasi (kisah cinta Sinta), out-of-place
(subplot kasus pencurian dan penculikan), maupun yang cuma numpang lewat tanpa
dampak (Widhi melarang Sinta menari). Bicara soal menari, melihat nomor tarian
yang kasar dan canggung, rasanya sutradara Azhar ‘Kinoi’ Lubis (Surat Cinta Untuk Kartini, Kafir: Bersekutu
Dengan Setan) kekurangan referensi film Bollywood atau belum memahami inti
kekuatan estetikanya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar