REVIEW - TUHAN MINTA DUIT
Ada kata "Tuhan" di judul, kisah sarat kebajikan (sedikit) beraroma religi, karakter dalam jerat kemiskinan, melibatkan Asrul Dahlan di jajaran cast. Sebuah film tidak bisa terasa "lebih Ramadan" dari ini.....well, kecuali jika menambahkan nama Deddy Mizwar.
Kisahnya seputar Maya (Anantya Kirana), yang menyamar jadi anak laki-laki bernama Adi, agar bisa menyemir sepatu di jalan. Anak perempuan dilarang menyemir karena dianggap lebih memancing simpati pelanggan. Penceritaannya tanpa basa-basi. Sejak detik pertama kita sudah melihat Maya menjadi Adi, dan bagi saya ini poin plus naskahnya.
Mungkin karena keterbatasan, ada tuntutan bercerita seringkas mungkin (durasinya cuma 77 menit), yang mengharuskan Puguh PS Admadja dan Harris Fabillah memadatkan penulisan mereka. Keduanya terbukti mampu. Prolog ditiadakan, informasi-informasi diselipkan lewat obrolan sepanjang durasi.
Maya terpaksa bekerja karena kedua orang tuanya sudah meninggal akibat kecelakaan. Sedangkan sang nenek, Mbah Kedah (Putri Ayudya), yang selamat dalam kecelakaan, mengalami cedera kaki permanen. Keduanya hidup berkesusahan. Jangankan memuaskan hasrat makan nasi padang, menambal genteng bocor dan membayar token listrik saja tak mampu. Kondisi serupa dialami tetangga mereka, Bama (Asrul Dahlan), yang pusing memikirkan biaya persalinan istrinya.
Setiap hari, di sela-sela menyemir sepatu, Maya rajin salat di masjid, lalu berdoa meminta duit pada Tuhan. Nantinya permintaan itu terkabul, hanya saja melalui cara tidak terduga. "Tuhan bergerak secara misterius" jadi pesan utama filmnya, yang dijadikan pondasi membentuk drama klise, yang untungnya tak terasa cerewet berceramah. Ringan, berisikan ajaran kebaikan. Cocok sebagai tontonan menanti buka puasa selama Ramadan.
Kuncinya ada di kepolosan bocah. Sulit untuk menampik kehangatan kala melihat bocah seusia Maya, khusyuk berdoa tiap hari demi kepentingan orang lain. Pun saat "rezeki" datang, ia pakai itu untuk orang lain pula, baik nenek maupun Bama. Sang pemeran, Anantya Kirana, melakoni debut yang cukup gemilang melakoni interaksi-interaksi natural. Bahkan lebih natural dibanding beberapa pemeran pendukung dewasa.
Putri Ayudya lagi-lagi kebagian peran yang jauh lebih tua dari usia aslinya. Walau tata riasnya tak seburuk yang dipakainya di Menunggu Bunda (rest in peace Richard Oh, no disrespect here), tetap saja menjadikannya nenek renta dengan seorang cucu adalah wujud casting yang dipaksakan. Apalagi mengingat ada banyak aktris senior pemilik nama besar (jika Putri dipilih karena faktor popularitas) yang pantas memerankan Mbah Kedah. Paling tidak Putri memberi penampilan meyakinkan, baik dalam hal rasa atau performa fisik.
Masalahnya penokohan Mbah Kedah agak inkonsisten. Di satu kesempatan ia mengutarakan penyesalan, berharap nyawanya saja yang diambil dalam kecelakaan alih-alih orang tua Maya. Bahkan Mbah Kedah nekat mencoba berjualan gado-gado meski fisiknya kurang mendukung. Tetapi di sisi lain, berulang kali disampaikannya keinginan makan nasi padang, yang jelas membebani Maya. Sempat pula ia meminta Maya mengisi token listrik agar bisa menonton sinetron. Soal "nonton sinetron" mungkin wujud candaan, namun menyuruh si bocah tanpa bertanya berapa uang yang dihasilkan hari itu (atau eskpresi kepedulian lain), terasa out-of-character.
Jika diperhatikan, kelemahan Tuhan Minta Duit menumpuk selepas Maya "menerima uang dari Tuhan". Padahal sebelumnya, alur bergulir mulus, dipandu pacing solid dalam penyutradaraan Azhar Kinoi Lubis. Karena saat itu semuanya tampil sederhana. Sebatas perjuangan bocah yang menolak kehilangan harapan meski ditekan kemiskinan.
Sementara paruh akhirnya lebih kompleks, melibatkan kasus perampokan, proses investigasi ngawur, sebelum ditutup oleh rencana penggerebekan bodoh pihak kepolisian. "Jangan berdoa yang muluk-muluk", ucap seorang ustaz. Andai para penulis naskahnya turut mengaplikasikan kalimat buatan mereka itu.
(Klik Film)
REVIEW - PULANG
Belakangan muncul pesimisme terhadap film-film lokal produksi KlikFilm. Cenderung medioker, dengan tema-tema usang yang digarap sekenanya. Tidak sepenuhnya keliru, sebab produk cepat saji macam itu memang pas dijadikan "film eksklusif OTT" (istilah lebih halus dan modern sebagai ganti "straight-to-DVD" yang punya konotasi negatif).
Ditengok sekilas, Pulang tidak jauh beda. Tapi timbul ketertarikan melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi penyutradaraan. Melalui filmografi berisi judul-judul seperti Di Balik 98 (2015, selaku co-director), Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), hingga Mangkujiwo (2020), reputasinya tentu lebih mentereng dibanding mayoritas nama rekrutan KlikFilm biasanya (Semisal Dyan Sunu Prastowo yang dalam dua tahun terakhir sudah menelurkan DELAPAN judul. Bagaimana bisa memercayai kualitasnya?). Terbukti, film ini tampil sebagai drama keluarga menyentuh.
Pras (Ringgo Agus Rahman) mengajak puterinya, Rindu (Ziva Magnolya), melakukan road trip ke Yogyakarta untuk menyusul sang istri, Santi (Imelda Therinne), dan si putera bungsu, Biru (Malvin Yoel). Mobil tua itu dipilih sebagai kendaraan, dengan alasan nostalgia. Pras ingin mengenang masa kala masih tinggal di Yogyakarta, di mana mereka sering berkeliling kota menaiki mobil tersebut.
Rindu tidak terlalu akrab dengan ibunya, yang sebagai seorang pengajar (sebentar lagi menjadi rektor), memang cenderung lebih tegas dan ketat. Apalagi Rindu ada di usia remaja. Gesekan dan pemberontakan pun jamak terjadi. Diam-diam Rindu berpacaran, berencana liburan ke Bali bersama teman-teman, bahkan membuat tato.
Sebaliknya, Pras lebih santai. Sebagai ayah tentu beberapa petuah masih terucap dari mulutnya, tapi itu ia imbangi dengan upaya memahami. Dia tanyakan makna tato baru Rindu, pun ia puji sang puteri ketika mampu menjabarkan soal jurusan-jurusan kuliah yang ingin diambil. Alhasil, Rindu merasa lebih nyaman bersama Pras. Interaksi keduanya adalah suguhan utama Pulang, yang mendominasi 84 menit durasinya.
Naskah buatan Anggoro Saronto (Sang Kiai, Bangkit!, Warkop DKI Reborn 4) tersusu atas obrolan yang mengalir mulus, natural, tidak dibuat-buat, tanpa upaya berlebihan untuk terdengar dramatis. Interaksi sewajarnya antara ayah yang menyenangkan dan anak yang kebandelannya lebih dikarenakan kerinduan atas kasih sayang.
Chemistry dua pemain jelas berperan dalam keberhasilan di atas. Ziva Magnolya melakoni debut yang solid, sedangkan Ringgo mengulangi pencapaian di Keluarga Cemara (2019) melalui kapasitas menghidupkan figur ayah hangat yang tak terjebak keklisean membosankan. Dia jago menjaga dinamika, sekaligus melempar respon-respon terhadap lawan bicara, yang membuat obrolan lebih berwarna.
Hangat. Tapi Rindu tidak tahu bahwa kehangatan tersebut mungkin takkan terulang lagi. Sebab perjalanan ini menyimpan niat terselubung. Pras dan Santi sepakat bercerai, dan hendak menyampaikan itu kepada anak-anak mereka di Yogyakarta. Ketika rumah bernama "keluarga" itu runtuh, ke mana lagi mereka bisa pulang?
Masalah dalam penceritaan Pulang adalah terkait keseimbangan. Ini kisah seputar keluarga. Tentang hubungan anak-orang tua. Sayang, tuturannya berat sebelah, dengan lebih condong ke sisi ayah. Begitu film usai, kita kenal betul siapa Pras. Kita tahu ia baik namun memiliki cela, kita tahu Pras memandang dirinya bak kura-kura yang bergerak lambat dalam hidup, kita tahu bahwa di balik segala kekurangan dan kesalahan, ia ingin memperbaiki keadaan. Tapi bagaimana dengan Santi? Dia sebatas sosok di ujung panggilan telepon, yang sesekali melempar common sense ketika film menampilkan flashback.
Mengingat bobot kesalahan Pras jelas lebih besar (di luar benar atau tidak ia berselingkuh), mengapa hanya dia yang diberi kesempatan mengambil hati kita? Untungnya Pulang piawai memainkan emosi berkat kombinasi akting, penulisan, serta penyutradaraan, yang seluruhnya tampil penuh sensitivitas. Tengok saat Pras menceritakan awal pertemuannya dan Santi pada Rindu. Sebuah rekoleksi memori hangat nan romantis.
Kuantitas pemakaian Sesuatu di Jogja memang berlebihan (diputar lima kali), tapi keefektifan lagu tersebut membangun mood harus diakui. Mood tenang namun menghanyutkan jadi pendekatan Azhar Kinoi Lubis, yang dalam pengarahannya tak banyak memberi letupan. Termasuk di babak konklusi, ketika menggambarkan indahnya wajah manis cinta masa lalu. Masa sebelum dua sejoli mengenal kepahitan realita. Masa yang membawa keduanya menemukan rumah, yang dibangun oleh kenangan-kenangan, yang jadi penunjuk arah untuk pulang tiap penghuninya tersesat.
(Klik Film)