Tampilkan postingan dengan label Raim Laode. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Raim Laode. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KUKIRA KAU RUMAH

Ada kekhawatiran sebelum menonton adaptasi lagu berjudul sama milik Amigdala ini. Perihal kesehatan mental (dalam konteks film ini, bipolar) amat penting, tapi jika ditangani secara keliru, justru bisa melanggengkan stigma negatif dan kesalahan-kesalahan persepsi publik awam. Untungnya Kukira Kau Rumah, selaku debut penyutradaraan Umay Shahab (juga menulis naskah bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy), dibuat dengan ketepatan, didasari kesadaran atas urgensi temanya. 

Karena bipolar yang ia derita, Niskala (Prilly Latuconsina) merasa hidup dalam kurungan. Biarpun sang ibu (Unique Priscilla) cenderung suportif, ayahnya (Kiki Narendra) bersikap sangat protektif. Bahkan Niskala mesti berkuliah secara diam-diam di belakang sang ayah. Kedua sahabatnya sejak kecil, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Oktavianus (Raim Laode), jadi pemberi kekuatan terbesar, yang senantiasa mendukung dan menjaga Niskala. 

Lalu Niskala bertemu Pram (Jourdy Pranata), seniornya di kampus, sekaligus aspiring singer yang rutin menulis lagu, namun belum mendapat kesempatan memperdengarkannya ke khalayak. Serupa Niskala, Pram juga merasakan lubang di hidupnya. Dua individu yang akrab dengan sepi ini pun akhirnya saling mengisi lewat musik, kemudian menemukan "rumah" dalam diri satu sama lain.

Alurnya memang tidak jauh-jauh beranjak dari formula romansa tentang sepasang individu "bermasalah" yang bersatu lalu saling menguatkan. Tapi bagaimana elemen kesehatan mental diterapkan, tanpa harus jatuh ke ranah iklan layanan masyarakat, adalah suatu pencapaian. Apalagi, seperti saya singgung di atas, penggambarannya akan bipolar tergolong tepat.

Memang presentasinya masih di tataran permukaan, namun mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat kita mengenai bipolar, "perkenalan" seperti ini saja rasanya sudah memadai. Salah satu poin terpenting adalah pengenalan dua sisi, yakni manik dan depresif, pada pengidap bipolar.

Masih banyak yang mendefinisikan bipolar sebagai "mudah ngamuk". Kukira Kau Rumah meluruskannya lewat sebuah sekuen, kala suasana hati Niskala berubah secara ekstrim, dari luapan emosi tinggi (mania) ke rendah (depresi). Sebagai sutradara dan penulis, Umay tahu batasan antara "informatif" dan "iklan layanan masyarakat". Dia memotret kondisi karakternya, menampilkannya, tanpa dibumbui penjabaran cerewet bak sebuah kelas. 

Sedangkan kisah cintanya pun mampu tampil solid. Saya terpikat pada momen kali pertama Niskala dan Pram berduet di atas panggung. Selain karena lagu Belenggu memang manis (bukan cuma titular song milik Amigdala, Kukira Kau Rumah punya deretan soundtrack apik, yang beberapa di antaranya buatan Umay sendiri), Prilly dan Jourdy pun saling berbagi rasa, melahirkan momen yang berhasil ditangkap oleh sang sutradara berkat sensitivitasnya atas romantisme. 

Prilly luar biasa di sini, memamerkan totalitas dengan range yang cukup luas, guna menghidupkan dua sisi pengidap bipolar. Juga kuat dalam mengolah rasa walau dengan porsi kemunculan terbatas adalah Unique Priscilla dan Kiki Narendra. Unique melalui kehangatan, sedangkan Kiki sejak awal bak gunung berapi, yang kita tahu nantinya bakal meletus, pula dengan kadar letusan tidak main-main.

Solidnya presentasi Kukira Kau Rumah sayangnya agak terganggu oleh cara konklusinya dikemas. Di situ terjadi peristiwa mengejutkan yang tak bisa saya sebut. Apakah peristiwa itu sebuah ketidaksengajaan? Atau memang disengaja? Jika disengaja, apa alasan di belakangnya? Dampak emosi berkurang, bahkan memunculkan kebingungan, akibat kurang jelasnya penyampaian gejolak batin salah satu tokoh (bukan cuma di peristiwa itu, juga di keseluruhan cerita), baik di naskah maupun cara Umay merangkai bahasa visual. 

Kekurangan tersebut hadir pada babak konklusi, sehingga berdampak cukup besar (ending can make or break a movie). Tapi tidak mengurangi fakta, bahwa Kukira Kau Rumah, selain dieksekusi dengan solid, juga penting disimak, guna memperluas pemahaman seputar kesehatan mental, khususnya bipolar. 

(JAFF 2021)

POHON TERKENAL (2019)

Daripada propaganda penuh usaha mengagungkan Akademi Kepolisian (Akpol) atau iklan layanan masyarakat berkedok film, saya mengapresiasi usaha Pohon Terkenal tampil ringan nan menghibur dengan memakai sampul film romansa anak muda. Walau bagaimana ceritanya bergulir bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Lahir satu lagi film dengan niatan baik namun tersandung penuturan lemah di mana beberapa konflik selesai secara ajaib, sedangkan lainnya ditinggalkan begitu saja untuk hilang tanpa bekas.

Judulnya merujuk pada sebutan bagi biang onar di Akpol. Para biang onar itu adalah tiga sahabat: Johanes (Raim Laode) si jenaka dari Papua, Ayu (Laura Theux) si anak jenderal yang punya hubungan renggang dengan sang ayah, dan Bara (Umay Shahab) yang terpaksa masuk Akpol karena terlanjur bernazar saat berdoa demi kesembuhan ibunya.

Di antara ketiganya, Bara paling sering membuat masalah, yang bahkan kerap membuat satu angkatan dikenai tindakan (hukuman). Dia bahkan sempat mencoba kabur di satu titik, sebab baginya tak ada alasan untuk tetap tinggal menjalani pelatihan keras di sana. Sampai romansa antara ia dan Ayu mulai bersemi, memberi Bara alasan bertahan di Akpol. Apakah nantinya Bara menemukan alasan selain cinta? Rupanya tidak.

Saya mengira alasan lain itu bakal muncul dalam wujud sang ibu, tapi elemen ibu-anak yang dibangun di awal, hilang sejak pertengahan tanpa memberi emotional payoff sepantasnya. Hal serupa menimpa konflik antara Ayu dengan salah satu senior Taruni yang menuduhnya bersikap manja sebagai puteri jenderal. Pertikaian panas mereka yang bahkan sempat menjurus ke arah benturan fisik mendadak usai, sama mendadaknya dengan menguapnya cemoohan publik terhadap protagonis kita pasca mereka melakukan suatu pelanggaran serius.

Bahkan Pohon Terkenal ditutup lewat cara serupa, sehingga bukan mustahil banyak penonton akan mengira filmnya belum usai. Ketimbang menutup secara pantas, diselipkanlah voice over merangkup nasib karakter-karakternya selepas masa pendidikan yang terasa seperti sebuah langkah malas, kemudian disusul mid-credits scene dengan eksekusi cringey. Tapi saya berbohong jika berkata tidak sekalipun merasa terhibur. Beberapa humornya bekerja cukup baik, khususnya yang melibatkan karakter komikal Johanes.  

Sedangkan romansanya diawali kurang meyakinkan akibat sebuah adegan “ciuman di kening” yang terasa canggung (for the wrong reason), sebab naskah serta penyutradaraan Monty Tiwa (Critical Eleven, Lagi-Lagi Ateng) yang berduet bersama mantan asistennya, Annisa Meutia, menghasilkan proses stimulus-respon yang aneh. Setidaknya performa Laura dan Umay menjadikan romansanya layak tonton. Laura memancarkan aura gadis bertekad kuat, sementara Umay cukup piawai bermain rasa.

Satu hal yang melukai akting Umay adalah tubuhnya. Bukan, ini bukan komentar bernada bodyshaming, melainkan murni logika. Diceritakan, Bara menjalani empat tahun latihan keras di Akpol, namun tubuh sang aktor tak memperlihatkan itu. Gesturnya lembek, posturnya jauh dari tegap, dan tubuhnya belum mengering (berbeda dengan kurus). Dia masih tampak bagai remaja awal yang baru lulus SMA.

Saya tak pernah tertarik pada Akpol atau instansi serupa lain. Walau Pohon Terkenal takkan tiba-tiba memancing rasa kagum, saya suka caranya menggambarkan Akpol sebagai tempat di mana hal-hal keseharian seperti jatuh cinta dan persahabatan bisa terjadi. Penuh ketegasan, tapi bukan neraka dunia, sebab perbedaan ras, agama, atau gender tak jadi masalah. Bukannya membusungkan dada soal kehebatan Akpol, film ini menginformasikan bahwa mereka membuka tempat membangun masa depan bagi masyarakat dengan finansial lemah. “Daripada menganggur tanpa arah, lebih baik masuk Akpol”. Biar bagaimanapun, saya mengamini pernyataan tersebut.

Pohon Terkenal tak lupa menyinggung dualitas peran anggota kepolisian, yakni sebagai individu dan pelayan negara lewat hubungan Ayu dengan sang ayah (Cok Simbara), yang meski pendek pula urung menyentuh tingkat emosi yang diharapkan, cukup selaku penjelas kondisi di atas. Presentasinya pun bukan melalui teriakan nasionalisme berlebihan, tapi tuturan hangat. Andai saja naskah hasil tulisan Monty Tiwa, Annisa Meutia, dan Lina Nurmalina (Bukan Bintang Biasa The Movie, Istri Bo’ongan) mampu tampil solid guna menyokong pesan baik filmnya.