PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA (2019)
Rasyidharry
Mei 10, 2019
Agustinus Sitorus
,
Andibachtiar Yusuf
,
Atiqah Hasiholan
,
Bill Tristiandy
,
Comedy
,
Cukup
,
Ganindra Bimo
,
Indonesian Film
,
Mak Gondut
,
REVIEW
,
Ridho Brado
,
Rizky Mocil
,
Romance
5 komentar
Kalau anda mencari pemahaman
mendalam mengenai budaya Batak lewat Pariban:
Idola dari Tanah Jawa, maka anda akan pulang dengan tangan hampa, karena
filmnya sendiri hanya berintensi memancing tawa penonton. Tapi apakah film
berlatar luar Jawa harus menitikberatkan pada edukasi budaya? Tidak bolehkah
mereka sekadar bersenang-senang layaknya karya-karya dari ibu kota?
Saya ingat perkataan Jordan Peele
tentang Us beberapa waktu lalu. Dia
ingin membuat film dengan protagonis kulit hitam yang bukan bicara soal
rasisme. Itu pula yang coba dilakukan Andibachtiar Youtube Yusuf (Love for Sale, Romeo Juliet, Hari ini Pasti
Menang), walau bisa dipahami jika beberapa penonton berharap disuguhi eksplorasi
akan pariban (bukan budaya Batak
secara umum) ketimbang hanya tentang dua pria berebut wanita, mengingat itulah
tajuk yang filmnya usung.
Memakai gaya breaking the fourth wall, kita berkenalan dengan Halomoan (Ganindra
Bimo), pria kelahiran Jakarta berdarah Batak yang telah mendapatkan segalanya.
Dia tampan, kaya raya berkat kesuksesan bisnis aplikasi miliknya, dan
dikelilingi wanita. Meski mengencani banyak wanita, Moan yang telah berusia 35
tahun belum berniat menjalin hubungan serius. Sang ibu (Lina Marpaung a.k.a.
Mak Gondut) yang kerap dicemooh teman-teman arisannya karena puteranya belum
juga beristri akhirnya menyuruh Moan pulang ke Samosir guna menikahi sepupunya,
Uli (Atiqah Hasiholan).
Sepupu yang menjadi “hak” untuk
dinikahi pria Batak, demikian kira-kira definisi pariban. Walau bermodal tampang rupawan dan harta melimpah, membawa
Uli ke Jakarta bukan perkara sederhana bagi Moan, karena si gadis tidak segampang
itu terpikat rayuan, ditambah keberadaan Binsar (Rizky Mocil), pria lokal yang
telah lama mencintai Uli. Pariban: Idola
dari Tanah Jawa memang berhenti di tataran komedi-romantis soal cinta
segitiga, sementara elemen kulturalnya cuma numpang lewat. Pemahaman terbesar
yang didapat selain definisi pariban adalah
begitu cantik pemandangan Samosir, berkat keberhasilan sinemtografi garapan Bill
Tristiandy menangkap keindahan sarat kedamaian alam di sana, termasuk bentangan
Danau Toba.
Atiqah kembali mempersembahkan
performa apik nan dinamis, sehingga andaikan film ini diubah jadi 100 menit yang
hanya berisi obrolan Uli dengan karakter lain, saya yakin takkan merasa bosan.
Atiqah memerankan wanita mandiri dan cerdas yang tinggal dalam struktur sosial konvensional.
Dia percaya wanita punya hak menentukan jalan hidupnya sendiri, sebuah
perspektif yang bisa memancing gesekan menarik antara sudut pandang kuno dengan
modern. Sayang, skrip buatan Andibachtiar, Ridho Brado, dan Agustinus Sitorus
urung melangkah ke sana.
Walau pantas disayangkan, itu bukan
dosa besar. Sebab sebagai hiburan, Pariban:
Idola dari Tanah Jawa bekerja amat baik. Humornya berani bermain di ranah
absurditas kreatif, yang diterjemahkan dengan sempurna ke layar oleh
Andibachtiar. Banyak amunisi pemancing gelak tawa, tak hanya satu-dua senyum biasa,
seolah ingin merobohkan stigma bahwa orang-orang Batak punya perangai
mengerikan. Seisi auditorium tertawa lepas menyaksikan banyolannya, bersorak
saat situasi manis terjadi. Romansa
ringan dan relatable tentang
pencarian jodoh jelas berkontribusi, namun respon tersebut takkan hadir tanpa
pesona Ganindra Bimo yang memadukan karisma dan kelucuan sehingga Moan menjadi
protagonis likeable.
Bagi saya masalah terbesar Pariban: Idola dari Tanah Jawa bukan
minimnya pendalaman kultur, melainkan naskah yang berantakan. Alurnya banyak
diisi lompatan kasar dan beberapa filler nihil
substansi (pertandingan catur Moan melawan Binsar misalnya), yang makin
menyulitkan penonton menikmati jalannya cerita tatkala penyuntingan kasar turut
ambil bagian. Pun keputusan memposisikan Pariban:
Idola dari Tanah Jawa sebagai jilid pertama dari dua bagian cerita, di mana
film berakhir di tengah jalan, turut melukai narasinya. Mencapai akhir, Moan
masih seorang playboy yang belum
memahami keburukan-keburukannya, atau dengan kata lain, karakternya tak
mengalami progres. Saran saya, datanglah ke bioskop hanya untuk mencari tawa,
dan anda akan pulang membawa kepuasan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Wow... mungkin aku saya akan melewati film ini... agak kecewa ama tema film kita yg gk jauh dari cinta dan jodoh. Tapi mo nanya... wajib kah semua film selalu ada adegan komedinya ?
Of course not? Masak belum pernah nonton yang nihil komedi? Tapi humor memang sering diperlukan buat banyak hal, bukan cuma penyegar suasana, bisa juga buat mendekatkan karakter ke penonton
Bakal nuntun Roh Fasik nggk mas, hahahha..
Menyambut lebaran 2019 nih Mas Rasyid,
Prediksi donk, film Bioskop Indonesia Lebaran 2019 diurutkan dari (yg menurut Mas Rasyid) paling laku..
1. Single 2
2. Si Doel 2
3. Kuntilanak 2
4. Ghost Writer
5. Hit n Run
6. Koki² Cilik 2
KKC2 sih masih belom ada promosi'nya yak.. nggk tau deh bener apa nggk tayang Lebaran 2019..
Apakah gak ada bola2 nya disini
Haha kagak, Andibachtiar masih break bikin felem bola
Posting Komentar