PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA (2019)

5 komentar
Kalau anda mencari pemahaman mendalam mengenai budaya Batak lewat Pariban: Idola dari Tanah Jawa, maka anda akan pulang dengan tangan hampa, karena filmnya sendiri hanya berintensi memancing tawa penonton. Tapi apakah film berlatar luar Jawa harus menitikberatkan pada edukasi budaya? Tidak bolehkah mereka sekadar bersenang-senang layaknya karya-karya dari ibu kota?

Saya ingat perkataan Jordan Peele tentang Us beberapa waktu lalu. Dia ingin membuat film dengan protagonis kulit hitam yang bukan bicara soal rasisme. Itu pula yang coba dilakukan Andibachtiar Youtube Yusuf (Love for Sale, Romeo Juliet, Hari ini Pasti Menang), walau bisa dipahami jika beberapa penonton berharap disuguhi eksplorasi akan pariban (bukan budaya Batak secara umum) ketimbang hanya tentang dua pria berebut wanita, mengingat itulah tajuk yang filmnya usung.

Memakai gaya breaking the fourth wall, kita berkenalan dengan Halomoan (Ganindra Bimo), pria kelahiran Jakarta berdarah Batak yang telah mendapatkan segalanya. Dia tampan, kaya raya berkat kesuksesan bisnis aplikasi miliknya, dan dikelilingi wanita. Meski mengencani banyak wanita, Moan yang telah berusia 35 tahun belum berniat menjalin hubungan serius. Sang ibu (Lina Marpaung a.k.a. Mak Gondut) yang kerap dicemooh teman-teman arisannya karena puteranya belum juga beristri akhirnya menyuruh Moan pulang ke Samosir guna menikahi sepupunya, Uli (Atiqah Hasiholan).

Sepupu yang menjadi “hak” untuk dinikahi pria Batak, demikian kira-kira definisi pariban. Walau bermodal tampang rupawan dan harta melimpah, membawa Uli ke Jakarta bukan perkara sederhana bagi Moan, karena si gadis tidak segampang itu terpikat rayuan, ditambah keberadaan Binsar (Rizky Mocil), pria lokal yang telah lama mencintai Uli. Pariban: Idola dari Tanah Jawa memang berhenti di tataran komedi-romantis soal cinta segitiga, sementara elemen kulturalnya cuma numpang lewat. Pemahaman terbesar yang didapat selain definisi pariban adalah begitu cantik pemandangan Samosir, berkat keberhasilan sinemtografi garapan Bill Tristiandy menangkap keindahan sarat kedamaian alam di sana, termasuk bentangan Danau Toba.

Atiqah kembali mempersembahkan performa apik nan dinamis, sehingga andaikan film ini diubah jadi 100 menit yang hanya berisi obrolan Uli dengan karakter lain, saya yakin takkan merasa bosan. Atiqah memerankan wanita mandiri dan cerdas yang tinggal dalam struktur sosial konvensional. Dia percaya wanita punya hak menentukan jalan hidupnya sendiri, sebuah perspektif yang bisa memancing gesekan menarik antara sudut pandang kuno dengan modern. Sayang, skrip buatan Andibachtiar, Ridho Brado, dan Agustinus Sitorus urung melangkah ke sana.

Walau pantas disayangkan, itu bukan dosa besar. Sebab sebagai hiburan, Pariban: Idola dari Tanah Jawa bekerja amat baik. Humornya berani bermain di ranah absurditas kreatif, yang diterjemahkan dengan sempurna ke layar oleh Andibachtiar. Banyak amunisi pemancing gelak tawa, tak hanya satu-dua senyum biasa, seolah ingin merobohkan stigma bahwa orang-orang Batak punya perangai mengerikan. Seisi auditorium tertawa lepas menyaksikan banyolannya, bersorak saat situasi manis terjadi.  Romansa ringan dan relatable tentang pencarian jodoh jelas berkontribusi, namun respon tersebut takkan hadir tanpa pesona Ganindra Bimo yang memadukan karisma dan kelucuan sehingga Moan menjadi protagonis likeable.

Bagi saya masalah terbesar Pariban: Idola dari Tanah Jawa bukan minimnya pendalaman kultur, melainkan naskah yang berantakan. Alurnya banyak diisi lompatan kasar dan beberapa filler nihil substansi (pertandingan catur Moan melawan Binsar misalnya), yang makin menyulitkan penonton menikmati jalannya cerita tatkala penyuntingan kasar turut ambil bagian. Pun keputusan memposisikan Pariban: Idola dari Tanah Jawa sebagai jilid pertama dari dua bagian cerita, di mana film berakhir di tengah jalan, turut melukai narasinya. Mencapai akhir, Moan masih seorang playboy yang belum memahami keburukan-keburukannya, atau dengan kata lain, karakternya tak mengalami progres. Saran saya, datanglah ke bioskop hanya untuk mencari tawa, dan anda akan pulang membawa kepuasan.

5 komentar :

Comment Page:
Masban mengatakan...

Wow... mungkin aku saya akan melewati film ini... agak kecewa ama tema film kita yg gk jauh dari cinta dan jodoh. Tapi mo nanya... wajib kah semua film selalu ada adegan komedinya ?

Rasyidharry mengatakan...

Of course not? Masak belum pernah nonton yang nihil komedi? Tapi humor memang sering diperlukan buat banyak hal, bukan cuma penyegar suasana, bisa juga buat mendekatkan karakter ke penonton

Unknown mengatakan...

Bakal nuntun Roh Fasik nggk mas, hahahha..

Menyambut lebaran 2019 nih Mas Rasyid,
Prediksi donk, film Bioskop Indonesia Lebaran 2019 diurutkan dari (yg menurut Mas Rasyid) paling laku..
1. Single 2
2. Si Doel 2
3. Kuntilanak 2
4. Ghost Writer
5. Hit n Run
6. Koki² Cilik 2

KKC2 sih masih belom ada promosi'nya yak.. nggk tau deh bener apa nggk tayang Lebaran 2019..

Ulik mengatakan...

Apakah gak ada bola2 nya disini

Rasyidharry mengatakan...

Haha kagak, Andibachtiar masih break bikin felem bola