DARK PHOENIX (2019)
Rasyidharry
Juni 15, 2019
Action
,
Cukup
,
Hans Zimmer
,
James McAvoy
,
Jennifer Lawrence
,
Jessica Chastain
,
Kodi Smit-McPhee
,
Michael Fassbender
,
Nicholas Hoult
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Simon Kinberg
,
Sophie Turner
,
Tye Sheridan
25 komentar
Simon Kinberg betul-betul memahami X-Men tapi tidak soal penyutradaraan.
Kesimpulan itu saya ambil setelah menyaksikan Dark Phoenix, film X-Men kedua
dan mungkin terakhir untuk jangka yang lama (Marvel Studios takkan menampilkan
para mutan dalam waktu dekat dan pastinya bakal mengeksplorasi cerita lain
dahulu) yang mengadaptasi The Dark
Phoenix Saga.
Judul-judul X-Men terburuk, dari X-Men
Origins: Wolverine, X-Men: Apocalypse dan tentu saja X-Men: The Last Stand, selalu menampilkan misinterpretasi dan/atau
penyia-nyiaan karakter. Dark Phoenix
berbeda. Filmnya tahu bahwa Charles Xavier (James McAvoy) bukan orang suci,
Erik Lehnsherr (Michael Fassbender) (seringkali) merupakan antihero, Scott Summers (Tye Sheridan) adalah jagoan tangguh, sementara
entitas Phoenix memberontak bila Jean Grey (Sophie Turner) mengalami
ketidakstabilan emosi.
Kinberg pun tidak lupa
menggambarkan X-Men selaku tim penuh warna, seperti ditampilkan babak pertama,
tatkala mereka melakoni misi luar angkasa guna menyelamatkan para astronot yang
pesawatnya rusak akibat energi bak suar matahari. Kinberg memanfaatkan misi
tersebut untuk memperlihatkan X-Men bekerja sebagai tim dalam sekuen seru yang
pantas dijadikan klimaks.
Saat itulah Jean terpapar pancaran
energi misterius tadi, memberinya kekuatan tanpa batas. Menebus kesalahan di The Last Stand, Kinberg kali ini lebih
setia kepada materi aslinya dengan menjadikan Phoenix entitas kosmik ketimbang
perwujudan kepribadian ganda Jean Grey. Kembali ke Bumi, Jean makin kehilangan
kontrol atas kekuatannya, sebelum emosinya meledak begitu mengetahui rasa gelap
yang disembunyikan Charles.
Sisi problematik Charles sudah menggaggu Raven (Jennifer Lawrence), yang merasa sang sahabat lama enggan
mempedulikan keselamatan murid-muridnya demi kejayaan pribadi. Raven berniat pergi, tapi Hank (Nicholas Hoult) menghalanginya. Charles sendiri tak menyangkal jika ia menikmati diperlakukan layaknya pahlawan dan dibanjiri penghargaan
dari pemerintah Amerika Serikat. Pembaca komiknya tentu tahu jika Charles
senantiasa berada di area abu-abu, bahkan melakukan berbagai tindakan yang jauh
lebih kejam daripada versi film. Patrick Stewart memerankan Charles tua dengan
baik, tapi McAvoy lebih cocok memotret sisi kelam sang tokoh tatkala jiwanya
berantakan.
Jean kehilangan kontrol, Charles
terobsesi memegang kontrol, dan seolah belum cukup, muncul rintangan baru bagi
X-Men, saat ras alien pengubah wujud bernama D’Bari menginvasi demi mengambil
alih kekuatan Phoenix. Walau karakternya dangkal, sebagai Vuk sang pemimpin ras
D’Bari, Jessica Chastain punya aura tak manusiawi yang misterius, membuatnya
paling tidak jadi antagonis yang lebih enak dilihat ketimbang si konyol
Apocalypse.
Ketika hampir semua pihak termasuk
dirinya sendiri merasa bahwa Jean membawa kehancuran, Vuk sebaliknya,
menyampaikan gagasan tentang bagaimana ia adalah sumber kehidupan. Itu dia.
Biarpun keseluruhan alurnya kurang solid, dibangun atas rangkaian perdebatan idealisme
yang gagal memprovokasi, keberadaan motivasi jelas nan tepat bagi gejolak batin
Jean telah membawa Dark Phoenix
menyelesaikan misinya selaku remedial untuk The
Last Stand.
Lewat naskahnya, Kinberg
menunjukkan cara tepat (meski tidak luar biasa) mengadaptasi The Dark Phoenix Saga. Tapi Kinberg “si
sutradara debutan” sayangnya tak sepiawai Kinberg si “penulis naskah film buku
komik”. Eksekusi adega aksinya acap kali penuh kecanggungan, walau beragam
gagasan brilian nampak jelas tersimpan dalam kepalanya.
Salah satu contoh gagasannya terkait
kemampuan para mutan di medan pertarungan. Teleportasi Kurt (Kodi Smit-McPhee)
terbukti banyak menolong, optic blast milik
Scott adalah serangan yang layak ditakuti, kekuatan Phoenix praktis membuat
Jean dapat melakukan apa saja, dan Erik adalah sosok badass. Entah saat ia melempar helikopter atau menghancurkan lawan
menggunakan kereta, Erik membuktikan bahwa film X-Men tak selalu membutuhkan Wolverine guna menghadirkan aksi
keren.
Tapi sekali lagi, banyak di antara
gagasan tersebut hanya berhenti sebagai gagasan. Tengok pertempuran di depan
rumah Jean. Cara Kinberg memposisikan kamera, mengatur tempo dan mise-en-scène, kerap melucuti sisi epik
yang sang sutradara inginkan. Itu pula alasan mengapa suatu peristiwa tragis yang menyusul tak lama kemudian gagal
memberi dampak. Peristiwa itu dibangun, terjadi, dan diakhiri secara
terburu-buru.
Lemahnya pengadeganan Kinberg kian
nyata kala disandingkan dengan musik bombastis Hans Zimmer. Kedua sisi seolah
eksis dalam alam yang berbeda sehingga kesulitan saling melengkapi. Gubahan
musik Zimmer terdengar mengguncang seperti biasa (pemakaian terletak pada
sekuen misi luar angkasa), meski saya menyayangkan ketiadaan Suite, lagu tema ikonik buatan John
Ottman.
Filmnya berakhir antiklimaks.
Selepas sekuen kereta yang menghibur, Kinberg justru menyajikan pertarungan
membosankan nihil tensi dan kreativitas, ketika dua karakter dengan aura
berapi-api tampak sibuk saling peluk. Keseluruhan Dark Phoenix pun terkesan mirip. Selaku penutup, film ini jelas
jauh dari ideal, namun keengganan mengkhianati sumber adaptasinya adalah
sesuatu yang pantas mendapat pujian.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
25 komentar :
Comment Page:Walo bisa dibilang Jean(mutan) superhero terkuat(Capt Marvel bisa babak belur ngadepin Jean...dgn telekinetis dan power segede itu...kereta jd kayak krupuk di 'remas")tp Jean kurang beringas sbg mutan yg kerasukan.malah kesannya banyak keraguan dan masih agak 'sadar'.pdhl perawakan Sophie sudah cukup mrngintimidasi.terlepas dari itu..sekuen di kereta emang keren.
Betul juga ya. Pas nonton film ini, rasanya hambar. Tapi ketika disajikan dalam bentuk tulisan di review ini, rasanya megah.
Bang gak review film bollywood Bharatnya Salman dan Katrina ?
gak sabar liat bang rasyid nangis pas liat toy story 4 karena ceritanya mengetarkan hati, dan pastinya dapet rating 100% di rotten tomatoes.. 😁
Itu bagian dari developing sih. Sepanjang film kan memang Jean masih gamang, nggak sepenuhnya bisa kontrol tapi belum dikuasai total juga. Baru lah di akhir "total"
Itulah. Di kepala Kinberg ada semua itu konsep keren. Eksekusi yang kurang. Dia sendiri ngakuin kok, terlalu prematur dia turun jadi sutradara
Nah ini udah beli tiket tapi mendadak batal karena urusan lain. Semoga besok-besok masih sempet
Sial. Sini nonton bareng biar lihat banjir air mata 😂
Ada post creditsnya atau gak ya?
komentar mengandung spoiler harap kasih note "Spoiler Alert"
paling atas ya
Hans Zimmer? Katanya bosen ngegubah musik buat film superhero. X-Men ini film superhero juga, kan?
@Andi Suhendar:
Film Wonder Woman 2 nanti Hans Zimmer juga kok yang gubah musiknya
Asal naek bayaran, bosan pun hilang haha
Nope. Karena memang udah film terakhir
Yoi. Mau ngomong apa kalau duit banjir ya hajaaar haha
- Di film inilah akhirnya Beast punya wujud yang paling keren. (di first class mukanya cute)
- Nightcrawler in "evil mode" keren sih. Setelah sebelumnya mukanya kikuk bingung sejak apocalypse.
- Tye sheridan pas banget meranin cyclops.Aura kapten dan jiwa bucinnya cocok banget.
Baru aja selesai nonton. "SPOILER ALERT".
.
.
.
.
Sedih karakter sepenting dan sekuat Raven hanya mati begitu saja :(. Dan quicksilver hanya seperti tempelan.
Tapi aksi Jane dibabak akhir melawan Vuk cukup kerenn dan layak diapresiasi. Hanya saja feel drama bagusss di film pertama dan kedua,justru hilang magisnya di dark phoenix. Tp overall tetap bisa dinikmati
Yah J-Law sama Evan Peters udah terlalu sibuk (dan ogah) sih buat dapet peran signifikan. At least penokohannya bener, nggak kurang ajar macem The Last Stand
Tumben, film superhero komenannya sepi banget bang haha
Bukan Marvel Studios atau DC sih 😂
Jlaw jadi mystique itu kurang tepat. Mystique itu karakter assassin misterius dan licik bukan tipe leadership penuh inspirasi.
Gimana kalau Jlaw yg jadi jean grey. Trus Vuq bukan antagonis tapi pembawa pesan bahwa ada phoenix mendekati bumi dan bisa menghancurkan planet bumi. Prof. X bilang ke jean untuk berkorban menampung kekuatan phoenix. Nah dari situ konflik mulai berkembang.
Baru nonton semalem, dan ya memang semenjak X-Men direboot lagi agak kaget sama penokohannya si Mystique, apalagi dengan akhir hidup yang (maaf) semudah itu. Menurut w kenapa feel Last Stand lebih megah apalagi pas final battle team Magneto dan X-Men. Dari feelnya Sophie Turner sendiri memang kurang beringas dan entah kenapa dari awal nonton masih kurang rasa simpati ke tokoh utamanya sendiri, walaupun sebenarnya ga niat ngebandingin sama Famke Jenssen. Sempat denger mas katanya Dark Phoenix sendiri sebenarnya mau dibagi jadi 2 part dan ada beberapa naskah yang diubah dari Pihak Studio itu apa benar? Dan w merhatikan ada beberapa scene di trailer tidak muncul di movienya. Serta ngeliat Magneto yang punya potensi jadi Villain super keren tapi melempem di Dark Phoenix.
Perubahan pastinya nggak bisa konfirmasi ya, tapi jelas banyak. Salah satu faktornya ya karena "dipaksa" jadi penutup seri setelah dibeli Disney.
Sebagai salah satu fans xmen dan juga seri ini mulai jauh kebih dulu dari gempita marvel universe, sedih ngeliat penutup yang ga sebanding ekspektasi (saya menyalahkan disney yg marketing nya brusaha menjual sbagai penutup 20 tahun layaknya endgame) sempat mrasakan ketika days of future past menjadi perbincangan dan bahan diskusi lalu logan yang di puji" lalu berakhir aga hambar seperti ini, semoga di tamgan disney bisa lebih layak krena sejatinya fans xmen itu banyak dan cukup loyal
Posting Komentar