MEN IN BLACK: INTERNATIONAL (2019)
Rasyidharry
Juni 20, 2019
Action
,
Art Marcum
,
Chris Hemsworth
,
Comedy
,
Emma Thompson
,
F. Gary Gray
,
Kurang
,
Liam Neeson
,
Matt Holloway
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Tessa Thompson
8 komentar
Men in Black pertama sanggup menyihir lewat keberhasilannya
menghidupkan dunia unik milik komik The
Men in Black karya Lowell Cunningham, di mana manusia dan alien secara
diam-diam hidup berdampingan. Tapi tak ubahnya pertunjukan sulap, daya magis
makin menipis seiring terjadinya pengulangan minim (atau malah nihil)
modifikasi. Mungkin masih menyenangkan, tapi dampaknya melemah karena penonton
sudah memahami segala triknya.
Kurang lebih begitulah Men in Black: International, yang jadi
usaha mengenalkan seri ini ke khalayak modern. Pun filmnya mencoba tampil
relevan dengan menghadirkan protagonis wanita dalam diri Molly alias Agen M
(Tessa Thompson), membuatnya mempertanyakan pemakaian kata “Men” pada nama organisasi meski ada
banyak anggota wanita (dilakukan pula oleh rilisan minggu lalu, Dark Phoenix), termasuk sang pimpinan,
Agent O (Emma Thompson).
Tapi naskah buatan duo Art Marcum
dan Matt Holloway (Iron Man,
Transformers: The Last Knight) justru melupakan satu poin penting: plot
solid. Urgensi Men in Black:
International akan kualitas plot melebihi pendahulunya, sebab seperti saya
singgung di atas, penonton sudah memahami segala triknya. Satu-satunya bagian
menarik milik plotnya adalah ketika suatu kejutan klise nan predictable di babak ketiga, menggiring
kita menuju kejutan lain yang lebih menarik.
Alkisah, Molly mengabdikan seluruh
hidupnya mencari keberadaan MIB setelah mengintip aksi para pria berstelan
hitam tersebut sewaktu kecil. Molly terobsesi, ingin bergabung demi memenuhi
hasratnya mempelajari rahasia-rahasia semesta. Singkat cerita (tentu saja) ia sukses menemukan MIB, diterima sebagai
agen, mendapat kode nama “Agen M”, dan mesti menjalani masa percobaan di London
di bawah pimpinan Agen High T (Liam Neeson).
Berharap bisa segera membuktikan
diri, M nekat menawarkan bantuan kepada H (Chris Hemsworth), agen ternama yang
dikenal lewat aksi heroiknya menyelamatkan dunia bersama High T, sebelum
reputasinya tercoreng sebagai pembuat onar. Misi keduanya sederhana, yakni
menemani Vungus the Ugly (Kayvan Novak), si alien keluarga kerajaan, selama
kunjungannya ke Bumi. Misi tersebut berubah rumit kala Vungus tewas di tangan
dua alien berdesain keren (tubuh mereka bagai jendela luar angkasa,
mengingatkan saya pada karakter Eternity dari komik Marvel) dengan kemampuan
mematikan sekaligus jago menari (keduanya diperankan Les Twins, duo
penari/koreografer asal Prancis).
Sepanjang investigasi M dan H, kita
diajak melihat elemen-elemen khas Men in
Black, dari alien-alien yang membaur bersama manusia, hingga beberapa
teknologi keren seperti kereta yang bisa melesat ribuan kilometer hanya dalam
hitungan detik, atau mobil penuh amunisi canggih. Apakah semua itu mencengangkan?
Tidak lagi. Apakah menyenangkan? Lumayan.
Apalagi sutradara F. Gary Gray masih
cakap mengkreasi adegan aksi bertenaga sebagaimana ia pamerkan lewat judul-judul
seperti The Italian Job, Law Abiding
Citizen, Straight Outta Compton, dan pastinya The Fate of the Furious. Pengadeganan sang sutradara cukup
menghibur, selama aksinya melibatkan ragam teknologi tinggi kepunyaan para
agen. Tanpa itu, MIB: International sekadar
tontonan medioker yang memperlihatkan karakternya berlarian di berbagai negara,
karena, well, film ini mengandung
kata “International” dalam judulnya.
Terkait hiburan, naskahnya berusaha
keras menjadi jenaka melalui lemparan celetukan-celetukan, yang sayangnya tak
pernah hadir sesegar harapan kedua penulis. Beruntung, ikatan kuat di antara Tessa
Thompson dan Chris Hemsworth cukup sering memperkaya warna humornya. Saya pun
lega ketika hubungan M dan H urung terjerumus ke dalam romantika dangkal.
Terdapat adegan saat para protagonis
kita memakai Neuralyzer untuk menghapus memori puluhan warga yang menyaksikan
aksi heboh mereka (anehnya, mereka langsung lanjut beraksi di depan lebih
banyak warga tanpa “menetralisir” ingatan orang-orang itu, yang mana cukup
merusak esensi bangunan dunia Men in
Black). Sungguh malang, padahal pemandangan tersebut akan jadi kenangan
yang seru bagi warga. Tapi Men in Black:
International tidak perlu menggunakan Neuralyzer bagi penonton, sebab
keseruan yang ditawarkan amat mudah dilupakan. Anda mungkin (sedikit)
bersenang-senang di dalam bioskop, namun segalanya bakal lenyap dari ingatan
begitu melangkahkan kaki keluar.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Tapi Men in Black: International tidak perlu menggunakan Neuralyzer bagi penonton, sebab keseruan yang ditawarkan amat mudah dilupakan...*plokk plok plok.., sadesss hahahahahaa.
Emang ga pasang ekspetasi tinggi waktu nanti liat ini.
Btw ada credit scene ga bang?trus ini adalah film lanjutan dari mib 3 atau ini film lepas layaknya hobss and shaw?
Bang rasyid, review film Furie dongg hehehee
Terimakasih bang infonya, sukses terus,.
Haha serius deh. Pas kredit "oke, that was fun". Begitu masuk wc "Anjir tadi apaan aja isi felemnya?"
Nggak ada credit scene dan ini terpisah. Lebih terpisah dibanding Hobb & Shaw malah.
Ditunggu Review DoReMi & You nya, Mas Rasyid!
Hahahahaha kalimat trakhir itu bnr2 ngena sama saya bang, jaLan keluar dr studio kek merasa "anjir tadi gw nonton apaan ya.."
Dibandingkan Sama men in black 3 kaya bumi dan langit ,jauhhhh
Baru nonton..dan ternyata kerasa datar aja.humor ga masuk.ga ada perasaan tegang walo antagonis keren tp kok kalah gitu aja...ikatan emosi tessa dan chris malah bagusan di ragnarok...hahaha
Posting Komentar