KAPAL GOYANG KAPTEN (2019)
Rasyidharry
September 07, 2019
Ananta Rispo
,
Arief Didu
,
Asri Welas
,
Awwe
,
Babe Cabita
,
Comedy
,
Cukup
,
Ge Pamungkas
,
Indonesian Film
,
Mamat Alkatiri
,
Muhadkly Acho
,
Raymond Handaya
,
REVIEW
,
Romaria Simbolon
,
Roy Marten
,
Yuki Kato
,
Yusril
4 komentar
Setelah (gagal) memancing tawa
melalui pembajakan pesawat di Flight 555 tahun
lalu, Raymond Handaya melahirkan sau lagi komedi seputar pembajakan
transportasi, tapi kali ini, latarnya beralih dari udara ke perairan dan pulau
terpencil. Perubahan itu rupanya berdampak, karena cakupan kapal dan pulau tidak
sesempit pesawat, yang berarti bertambahnya hal untuk dieksplorasi. Walau tidak
lebih pintar, Kapal Goyang Kapten jelas
lebih lucu.
Kapal tersebut dimiliki Gomgom
(Babe Cabita), pemilik usaha wisata kecil di Manado. Begitu kecil, posisi
pemandu tur, sopir bus, dan kapten kapal diemban oleh Gomgom seorang, suatu
kondisi yang rutin dijadikan bahan banyolan di paruh awal. Turis yang jadi
kliennya sekarang adalah Tiara (Yuki Kato),
Burhan (Arief Didu) beserta istri (Asri Welas) dan puterinya (Romaria
Simbolon), pasangan suami-istri Darto (Yusril) dan Salma (Naomi Papilaya),
serta tiga mahasiswa Noni (Andi Anissa), Cika (Ryma Gembala) dan Agung (Ananta
Rispo).
Sementara itu, pemuda kaya asal
Jakarta, Daniel (Ge Pamungkas), juga baru tiba di Manado setelah kabur dari
rumah guna membuktikan bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada uang
ayahnya (Roy Marten). Sementara waktu, Daniel menetap di rumah mantan sopir
pribadinya, Cakka (Muhadkly Acho). Cakka sendiri tengah mengalami masalah
berupa ketidakmampuan finansial guna mengobati penyakit sang ibu. Bersama
Bertus (Mamat Alkatiri), ia berencana membajak kapal Gomgom. Walau awalnya
menolak, didorong keinginan membantu Cakka, Daniel memutuskan bergabung.
Bisa ditebak, akibat aksi amatiran
ditambah sisi manja Daniel, pembajakan tersebut berantakan. Alih-alih mendapat
uang, mereka bertiga, bersama seluruh penumpang, justru terdampar di pulau
terpencil setelah kapal kehabisan solar. Kedua belah pihak pun terpaksa
mengesampingkan perbedaan, berdamai demi bertahan hidup dann mencari jalan
pulang.
Humor recehnya, yang mayoritas
berupa kelakar dan plesetan bodoh, tingkah laku bodoh, atau bentuk kebodohan
lain, masih sama, namun ketika Flight 555
menyia-nyiakan premis dan latar uniknya, Kapal Goyang Kapten, walau belum bisa disebut maksimal,
menanganinya dengan lebih baik. Setidaknya humor datang dari situasi khusus
terkait kapal, survival, maupun
pembajakan, daripada sekadar kekonyolan acak.
Banyolan semacam itu punya tingkat
risiko kegagalan tinggi, tapi duo penulis Muhadkly Acho dan Awwe (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1
& 2) memahami itu, memilih menjadikan lelucon garing sebagai sebuah
kesengajaan yang disadari. Contohnya sewaktu puteri Burhan kerap mengomentari
ketidaklucuan Gomgom. Sebuah win-win
solution cerdik. Bagus jika penonton menganggap lawakan Gomgom lucu, tapi
jika tidak, mereka akan menertawakan kritik pedas si gadis cilik.
Kapal Goyang Kapten juga dibantu jajaran pemain yang seolah tengah on fire. Kedua penulis menggunakan polah
absurd Babe hingga celetukan-celetukan Arief Didu dengan cara yang tepat, di
tempat yang tepat, juga dalam dosis memadai. Tentu tidak seluruhnya mengenai
sasaran, namun saya mendapati diri lebih sering tertawa daripada memasang wajah
datar sambil garuk-garuk kepala.
Menyentuh pertengahan durasi,
karakter baru diperkenalkan, yaitu Pak Sentot (Mathias Muchus), yang sudah
terperangkan di pulau selama 10 tahun. Pak Sentot lebih terasa sebagai rip-off Chuck Noland di Cast Away ketimbang parodi dari tokoh
yang dipopulerkan oleh Tom Hanks itu. Baik nasib atau tampilan fisik mereka
serupa. Bahkan Pak Sentot pun berteman dengan bola voli yang diberi nama Mika
(dari Mikasa) sebagaimana Chuck dan Wilson. Beruntung, totalitas sang aktor
berhasil menjadikan Pak Sentot karakter menarik. Melihat Mathias Muchus
bertingkah eksentrik dibalut riasan meyakinkan, menggendong bola voli layaknya
puteri sendiri, merupakan hiburan tersendiri.
Kelemahan terbesar film ini adalah
tiap kali menampilkan sisi serius. Meski Ge tampak berusaha sebaik mungkin
menangani elemen dramatis, perjalanan Daniel membuktikan kapasitasnya,
dipaparkan teramat dangkal, sehingga mustahil bersimpati kepadanya. Begitu pula
benih cintanya dengan Tiara, yang dipaksa masuk. Di antara penumpang, Yuki
paling vokal menyuarakan kebencian terhadap tiga pembajak, sampai tiba-tiba,
hatinya berubah secara radikal dengan begitu mudah. Pun di tengah sederet
individu absurd, Daniel dan Tiara selaku “sosok serius” merupakan karakter
paling kurang menarik yang tak punya cukup daya guna menggoyang hati penonton.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Bukan Manado. Tapi Ambon. Dari logat & dialog, mereka jelas menyebut Ambon.
Filmnya emang kocak. Terutama Babe ama Arief Didu. Hihi.. Tapi emang sih soal karakter Ge Pamungkas rada kurang simpati ama dia..
bukannya lokasinya di Ambon ya?
Kak lokasinya Ambon, Maluku. Daniel (Ge pamungkas) dan Tiara ( Yuki kato) dia tuh mantanan makanya masalah perampokan itu ya dia jd benci bgt sama ketiga perompak amatiran itu, walaupun ga ada Story kisahnya yg dulu ky flashback mereka pas sblm.putus itu gimana, dan kek kebetulan aja gt tiara lg traveler sendiri ke ambon eh Daniel pas bgt kabur ke ambon lalu pas bgt jg pas ngerampok kapal itu kapalnya tiara sendiri . Jadi agak krg kuat soal based story cinta mereka jd chemistrynya krg dapat apalagi karakter daniel manja tiara galak hahhah tapi cukup manis kok di ending akhir.
Posting Komentar