Tampilkan postingan dengan label Asri Welas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asri Welas. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KELUARGA CEMARA 2

Ada perbedaan antara "film anak" dan "film dengan protagonis anak". Jenis pertama berbentuk hiburan ringan, sedangkan yang kedua punya jangkauan lebih luas, dari crowd-pleaser untuk semua kalangan hingga arthouse. Di bawah pengarahan Ismail Basbeth, Keluarga Cemara 2 ingin menyeimbangkan sisi mainstream dan alternatif (hal yang nampak dalam filmografi sang sutradara), namun justru melahirkan inkonsistensi. 

Akibat COVID, Abah (Ringgo Agus Rahman) mesti mencari pekerjaan baru, sedangkan Emak (Nirina Zubir) mendapati penjualan opaknya menurun drastis. Tabungan menipis, padahal kini sudah ada puteri ketiga, Agil (Nilouger Bahalwan). Tapi Keluarga Cemara 2 adalah "filmnya Ara (Widuri Puteri)". Ara yang merasa keluarganya selalu ingkar janji. Ara yang merasa ditinggalkan oleh kakaknya, Euis (Adhisty Zara), yang memasuki usia remaja dan mulai mengenal cinta. 

Saat itulah Ara mulai akrab dengan Aril (Muzakki Ramdhan), lalu memulai petualangan bersama, yang melibatkan seekor ayam. Film ini memang penuh dengan ayam. Ara mendengar suara ayam memanggilnya, bahkan bisa mengajak bicara Neon, anak ayam yang ia temukan di jalan. Mungkin karena Ara sendiri seperti anak ayam yang terpisah dari keluarga. Hanya saja, Ara dan keluarganya terpisah bukan secara fisik. 

Mereka tetap serumah, selalu bersama, namun sulit bersatu. Abah makin sibuk karena pekerjaan baru, Emak harus memikirkan bisnis sampingan sembari menjaga Agil, sementara Euis memasuki masa puber. Kondisi berubah, anggota keluarga berubah, hubungan pun berjarak. Sulitnya Abah memercayai kemampuan Ara berkomunikasi dengan ayam juga menunjukkan jurang pemisah, di mana orang tua kesulitan memahami dunia anak yang jauh dari "masuk akal". Alhasil, Ara lancar berkomunikasi dengan dengan Neon, tapi tidak dengan keluarganya.

Naskah buatan M. Irfan Ramly sudah punya gagasan dasar kuat nan kreatif, tentang bagaimana karakternya menghadapi perubahan, guna mempertahankan nilai "harta paling berharga adalah keluarga". Mudah bersimpati pada Ara yang merasa dipojokkan semua orang, tapi kita pun dibuat tak serta merta menyalahkan Abah maupun Euis, sebab perubahan mereka beralasan. 

Satu kelemahan naskahnya adalah, tingginya kuantitas konflik berujung merendahkan kualitas dalam hal kematangan cerita. Tiada yang benar-benar maksimal. Jika film pertamanya terasa utuh, maka Keluarga Cemara 2 bak rangkuman berbagai episode serial. 

Lalu ada perihal inkonsistensi yang telah saya singgung di atas. Di satu sisi, Keluarga Cemara 2 tampil bagai film anak berisi petualangan dua karakter bocah. Selipan humor yang masih digawangi Asri Welas dan Abdurrahman Arif pun menguatkan kesan "ini hiburan ringan". Tapi tidak jarang, filmnya muncul dengan kemasan yang sukar dinikmati penonton bocah, yang membuatnya terombang-ambing di antara dua sisi tanpa kepastian. 

Mari simak perjalanan Ara dan Aril mencari keluarga Neon. Bagi penonton dewasa yang tumbuh di pedesaan seperti saya, menyaksikan mereka melewati hujan dan menembus kabut di tengah alam asri, yang ditangkap secara cukup cantik oleh kamera Yadi Sugandi selaku sinematografer, memancing rasa homey yang mendamaikan. Tapi penonton anak bakal sulit mempertahankan atensi akibat minimnya dinamika. Ketimbang "petualangan" mungkin lebih pas disebut "jalan santai".

Pacing-nya tak kalah memberatkan. Beberapa adegan bergulir beberapa detik lebih lama dari semestinya, pun sebuah shot bernuansa sunyi yang berlangsung tidak sebentar, kala Emak merenung di malam hari, terasa out-of-place bagi film anak. Walau harus diakui, beberapa shot yang Basbeth rangkai, mampu berbicara lebih kuat dibanding bahasa verbal. Misal sewaktu Ara duduk di meja makan, dan kursi sebelahnya, yang biasa diduduki Euis, nampak kosong. Momen tersebut efektif menggambarkan kehilangan yang menusuk hati Ara. 

Setidaknya jajaran cast masih muncul dengan akting memuaskan. Ringgo dan Nirina kembali membawa sensitivitas yang hangat, Zara semakin nyaman di depan kamera, pun Widuri membuktikan diri pantas diberi porsi lebih. Muzakki tidak perlu ditanya. Memerankan Aril adalah tugas ringan baginya. 

Tapi jangan harap dibuat mengharu biru seperti film pertama. Pendekatan alternatif yang Basbeth terapkan cenderung menekan luapan emosi. Ada kalanya ekspresi rasa berhasil dipercantik sebagaimana adegan Ara di meja makan tadi, namun acap kali, rasa itu sebatas ditahan. Dibiarkan mengendap. Setidaknya, babak konklusi Keluarga Cemara 2 menyimpan keindahan bermakna, saat semua orang diperlihatkan "menuju ke Ara". Ara menyatukan semuanya, karena sekali lagi, mereka adalah keluarga cemara. 

REVIEW - GHIBAH

Saya punya kenalan yang....."unik". Bercandaannya selalu garing. Begitu garing, sampai sering terasa menyebalkan. Tapi saat serius malah bisa membuat teman-teman tertawa, karena dia sangat buruk dan canggung dalam tiap hal yang dilakukan secara sungguh-sungguh. 

Orang itu sekarang sehat. Tapi saya tidak, gara-gara menonton Ghibah, yang ciri-cirinya hampir sama, bahkan lebih parah, dibanding teman saya tadi. Sewaktu melempar humor (yang mana kerap dilakukan), saya malah kesal, karena selain sering tidak lucu, pula berkali-kali salah tempat. Sebaliknya, ketika meneror, hasilnya buruk, cenderung konyol, hingga memancing tawa. 

Jadi, bagaimana ghibah bisa berujung maut? Pertama, mari berkenalan dulu dengan Firly (Anggika Bolsterli), seorang mahasiswi yang aktif terlibat di kegiatan jurnalistik kampus. Firly adalah vegetarian, sehingga kala diminta menggantikan tugas Yola (Josephine Firmstone) yang sakit untuk meliput acara penyembelihan kurban, Firly sebenarnya keberatan. 

Terkejutlah Firly, saat mendapati unggahan foto di Instagram Yola, yang memperlihatkannya sedang berada di hotel. Esoknya, Firly marah-marah di depan umum, menuduh Yola "check-in" di hotel dan meninggalkan tanggung jawab. Artinya, FIRLY SUDAH MELAKUKAN GHIBAH!! (cue musik dramatis).

Apa dampaknya? Tentu saja didatangi jin Ifrit. Karena dosa serta ancaman siksa api neraka saja tidaklah cukup. Firly berhalusinasi, dari mengelupas kulit wajah (dalam balutan gore over-the-top yang harus diakui cukup efektif), sampai memakan daging yang dia kira tempe. Teman satu kosnya, Okta (Adila Firti), juga bernasib sama, akibat menulis berita palsu tentang perselingkuhan dosen dan mahasiswi. 

Kenapa tidak semua pelaku ghibah didatangi Ifrit? Naskah buatan Monty Tiwa (juga sebagai sutradara), Aviv Elham, Riza Pahlevi, dan Vidya Talisa Ariestya, luput menerapkan standar pasti terkait kehadiran Ifrit. Apakah saya yang terpancing melakukan ghibah di grup Whatsapp dan Twitter saat menonton film ini juga bakal dihantui? Kalaupun iya, setidaknya saya hafal ayat kursi, yang rupanya cukup untuk menumpas Ifrit, sebagaimana dilakukan Asri Welas.

Anda tidak salah baca. Asri Welas memerankan Umi Asri, ibu kos Firly sekaligus keturunan Mataram yang sakti. Pilihan tidak biasa, namun saya mengapresiasi. Tidak semua karakter orang sakti atau dukun atau indigo harus digambarkan serius, misterius, dan memakai baju serba hitam. Pun Asri, bersama Opie Kumis (memerankan Mang Opie, suami Umi Asri), tetap menangani momen komedik, yang seperti saya sebutkan, tidak lucu.

Bukan salah keduanya. Naskahnya memaksa menabur komedi setiap ada celah. Selain Asri dan Opie, dua penghuni kos lain, Ulfa (Arafah Rianti) dan Dina (Zsa Zsa Utari) juga dituntut melakukan hal serupa. Jika diibaratkan masakan, humor film ini bukan bumbu, melainkan tambahan lauk yang terus dijejalkan ke mulut kita, sampai terasa muak dan mual. 

Saat tidak melucu, Ghibah malah mengocok perut lewat kekonyolan, yang muncul karena eksekusi buruk. Misal, penampakan hantu di handphone Firly yang bak sedang selfie sambil memasang pose sok genit, ucapan "sosisnya enak ya" dari mulut Yola sewaktu berhalusinasi dan memakan jarinya sendiri, sampai desain hantu berlidah panjang yang mengingatkan ke boneka-boneka berwajah tumpahan bubur ayam khas era keemasan Dheeraj Kalwani alias Baginda Maha Besar KKD dahulu. Oh, benar juga. Saya lupa Ghibah diproduksi Sang Agung KKD. Mau berharap apa lagi? 

Masih banyak contoh lain, tapi kalau dilanjutkan, saya khawatir Ifrit benar-benar datang. Jadi, mari beralih ke pujian. Anggika Bolsterli tampil total. Ekspresi takut, jijik, semua dilakukan 100%. Tapi Anggika pantas mendapat film yang 12483749 kali lipat lebih bagus. Dia pantas mendapat tantangan lebih, di horor yang memberinya materi memadai. 

Teror apa yang paling sering menimpa Firly? Jawabannya, "kecipratan". Kecipratan darah kambing, darah teman sendiri, sampai cairan hijau kehitaman dari toilet. Rasanya itu cukup menjelaskan, seberapa kreatif orang-orang di balik Ghibah. Film ini lebih tepat disebut Kecipratan The Movie. 

Tersimpan beberapa niat baik di sini, seperti menyampaikan wejangan agar menghindari ghibah, dan mengutarakan tentangan atas kekerasan hewan. Bagus, meski bakal lebih bagus kalau diimbangi dengan kualitas yang juga bagus. 

Ada pula upaya menghembuskan diversity melalui karakter Dina, yang beragama Kristen, dan diajak ikut berdoa sesuai kepercayaannya ketika proses pengusiran jin. Tapi menjadi percuma, karena pada akhirnya, film ini tetap Islam-sentris. Dina malah seperti terkucilkan, layaknya minoritas di realita, yang terjebak dalam hegemoni para mayoritas, yang.....ah, sudahlah. Saya sudah melantur. Ghibah memang film tentang anti-ghibah yang memancing penontonnya untuk melakukan ghibah.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

REVIEW - ALI & RATU RATU QUEENS

Berbeda dengan mayoritas film Indonesia berlatar luar negeri, Ali & Ratu Ratu Queens tidak dibuat memakai kacamata turis. Berlatar New York, karakternya kerap berkeliling kota (yang tampak cantik berkat tangkapan kamera Batara Goempar selaku sinematografer), bukan sebatas jalan-jalan, namun merekam memori. Di tengah dunia yang asing, rekaman itu dipakai si protagonis untuk mengenal orang-orang di sekitarnya, guna menghapus keterasingan dan kesendiriannya. 

Protagonis kita bernama Ali (Iqbaal Ramadhan), yang menyambangi New York seorang diri, demi mencari sang ibu, Mia (Marissa Anita), yang pergi ke sana sewaktu Ali kecil, guna menggapai mimpi sebagai penyanyi. Ali nekat, biarpun mendapat tentangan dari keluarga besar, termasuk budenya (Cut Mini). Dia ingin tahu, mengapa Mia tidak pernah pulang ke Indonesia. 

Satu hal yang langsung mencur perhatian saya adalah tata suara. Ambience, semisal suara burung, terasa nyata, seolah kita berada langsung di lokasi. Pun baik musik (berisi deretan lagu catchy seperti Khayalan hingga Location Unknown) maupun dialog tampil jernih, walau saat keduanya muncul bersamaan, kerap terdengar tumpang tindih. 

Sesampainya di New York, Ali mendapati sang ibu tidak lagi menetap di alamat lamanya yang terletak di Queens. Tapi ia beruntung, sekarang di sana tinggal para ratu. Empat imigran wanita asal Indonesia dengan kepribadian penuh warna, yang siap membantu pencariannya, termasuk mengizinkan Ali tinggal sementara waktu bersama mereka. Mereka adalah Party (Nirina Zubir), Ajeng (Tika Panggabean), Biyah (Asri Welas), dan Chinta (Happy Salma). Ali turut bertemu Eva (Aurora Ribero), puteri Ajeng, yang bisa ditebak, bakal menjadi love interest-nya.

Ali, yang membawa Iqbaal menampilkan akting natural, memang tokoh utama. Sedangkan Marissa Anita kembali membuktikan diri sebagai salah satu aktris terbaik negeri ini, yang piawai menangai kompleksitas emosi. Tapi keempat ratulah jiwa Ali & Ratu Ratu Queens sesungguhnya. Melalui mereka, sudut pandang imigran dari kelas menengah ke bawah yang jarang diambil film kita, dipresentasikan. Mereka tidak datang untuk liburan. Bukan pula kalangan beruntung yang pergi dari Indonesia karena tawaran pekerjaan menggiurkan atau kesempatan menempuh pendidikan. 

Dari mereka, mimpi-mimpi memperbaiki hidup milik para imigran ditampilkan. Pula bagaimana berkat semangat kebersamaan mereka, penderitaan di tengah upaya menggapai mimpi tersebut dapat terobati, atau setidaknya diringankan. Padahal mereka adalah orang asing. Bukan kawan lama, apalagi keluarga. Gagasan mengenai "chosen family" pun diusung. Bahwa individu bisa, dan berhak, memilih siapa keluarganya. Bahwa keluarga tidak harus terikat hubungan darah. Tempat di mana kita bisa menemukan kehangatan sebagai diri sendiri, itulah keluarga. 

Di Queens, Ali belajar soal itu. Dia menemukan kenyamanan bersama para ratu, sebagaimana saya menemukan kenyamanan selama menonton filmnya. This is a comforting movie. The Queen themselves radiate comfort and warmth. Naskah buatan Ginantri S. Noer (Posesif, Dua Garis Biru, Keluarga Cemara) penuh akan celetukan menggelitik keempat ratu, yang selain berfungsi memancing tawa (berhasil), pula menggambarkan betapa hangatnya berada di sekitar mereka (juga berhasil).

Berstatus "comforting movie", naskahnya tidak membiarkan penonton berlarut-larut menyaksikan permasalahan. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin dianggap kekurangan, karena filmnya tak membiarkan konflik lebih berkembang dan berakhir secara instan. Tapi bagi saya, justru di situlah letak pesonanya. Ali & Ratu Ratu Queens ingin selama mungkin membuat penonton dikelilingi emosi positif berupa kedamaian, kehangatan, dan kebahagiaan. Takkan menghapus masalah di dunia nyata, tapi minimal, selama sekitar 100 menit, kita dibawa melupakan realita itu, dalam dunia fiksi yang dipenuhi senyuman.

Tapi bukan berarti terjadi simplifikasi, khususnya perihal konflik keluarga Ali. Mudah saja menggambarkan ayah Ali, Hasan (Ibnu Jamil), sebagai pria pengekang mimpi istri. Mungkin ada sedikit unsur itu, namun filmnya enggan seketika menyalahkan. New York adalah tempat yang jauh. Tentu sulit baginya menjalani perpisahan itu. Dinamika batinnya masih menyisakan ruang untuk ditelusuri, namun dilemanya bisa dipahami. 

Apabila anda menyalahkan Mia, patut dicatat, sebagai wanita apalgi yang tinggal di Indonesia, peluang sekecil apa pun mahal harganya. Pria bisa membuang satu-dua kesempatan meraih mimpi dan punya berpeluang lebih besar dari wanita untuk  mendapatkannya lagi suatu hari kelak. Lewat akting Marissa Anita, dilema antara cita-cita dan keluarga mampu dirasakan. Mia membayar harga yang mahal, dan bagaimana itu berdampak besar terhadapnya, nampak betul dari penampilan sang aktris.

Pengarahan Lucky Kuswandi (Selamat Pagi Malam, Galih dan Ratna) membawa semangat serupa naskahnya, dengan sensitivitas yang sanggup memancing rasa haru tidak harus melalui tangisan, melainkan kehangatan. Departemen lain turut membantu Lucky mewujudkan visinya, termasuk montase jelang akhir, yang menampilkan animasi karya Pinot W. Ichwandardi. Beberapa kecanggungan masih sesekali terasa, baik di gagasan naskah atau pengadeganan, tetapi tidak sampai menghambat laju Ali & Ratu Ratu Queens, yang dengan mulus menjadi film Indonesia terbaik 2021 sejauh ini. 


Available on NETFLIX

REVIEW - GURU-GURU GOKIL

Guru-Guru Gokil menandai beberapa hal. Inilah film panjang Indonesia perdana yang rilis selepas pandemi, sekaligus jadi yang pertama mengubah perilisan layar ke layanan streaming (berikutnya judul-judul MD dan Falcon bakal mengambil langkah serupa di Disney+ Hotstar). Pun ini menandai debut Dian Sastrowardoyo sebagai produser, di samping turut meramaikan jajaran cast filmnya. Jajaran trivia di atas sudah secara otomatis membuat filmnya tercatat di buku sejarah perjalanan industri perfilman tanah air. 

Tapi apabila khusus membicarakan pencapaian dari sisi kualitas, apakah Guru-Guru Gokil juga spesial? Film keempat sutradara Sammaria Simanjuntak (Cin(T)a, Demi Ucok, Sesat) ini sebenarnya serupa dengan komedi-komedi ringan yang membanjiri layar bioskop kita tiap Kamis, mampu menghibur lewat beberapa tawa sepanjang durasi, namun penceritaan yang kurang solid membuatnya mudah terlupakan. Tapi tidak bisa dipungkiri, Guru-Guru Gokil sedikit mengobati kerinduan atas karya teranyar sineas tanah air, setelah absen sekitar lima bulan lamanya. 

Gading Marten memerankan Taat Pribadi, pria kampung yang nekat mengadu nasib ke ibukota, akibat enggan mengikuti jejak ayahnya, Pak Purnama (Arswendi Bening Swara), yang berprofesi sebagai guru. Dia susah memahami, mengapa ayahnya, bukan cuma betah mengajar di kampung dengan gaji minim, juga menikmatinya. Pak Purnama adalah guru favorit, yang mana membuat puteranya bertanya, kenapa sang ayah seolah lebih memedulikan dan mendengarkan murid-murid ketimbang anaknya sendiri?

Sayang, sebagaimana banyak perantau, Taat mengalami kegagalan. Tanpa ijazah apalagi uang, ia terpaksa pulang kampung. Dasar nasib, usahanya mencari pekerjaan justru membawa Taat menjadi guru sejarah pengganti di SMA sang ayah. Tentu Taat tidak sedikitpun mengerti sejarah, pula metode mengajar. Tapi bukan cuma itu masalahnya. Suatu sore, dua perampok membawa kabur gaji para guru. Pelakunya adalah anak buah Pak Le (Kiki Narendra), mafia setempat yang memiliki banyak "jaringan" sehingga susah diringkus tanpa bukti kuat. 

Taat berinisiatif mengusut kasus itu bersama tiga guru lain: Rahayu (Faradina Mufti) si guru matematika merangkap kepala tata usaha merangkap penjaga perpustakaan (plus mantan satpam sekolah); Nirmala (Dian Sastrowardoyo) si guru kimia yang tengah hamil tua, dan biarpun cerdas, gampang kehilangan fokus; Nelson (Boris Bokir) yang diam-diam menyukai Nirmala.

Tentu saja terjalin subplot romansa antara Taat dan Rahayu, yang hadir memuaskan berkat dinamika menarik Gading-Faradina dalam memerankan dua individu bertolak belakang. Taat selalu bercanda, sedangkan Rahayu ibarat "rem" yang menahan ketidakseriusan Taat. Ada romantisme manis yang subtil kala Rahayu memelototi Taat, karena si "guru gokil" tidak bisa menjaga mulutnya. Sebuah tatapan yang hanya bisa muncul saat dinding pembatas antara dua individu mulai runtuh, atau malah sudah sepenuhnya hilang.

Berbeda dengan Rahayu, saya tak mengeluh ketika Taat, maupun tokoh-tokoh lain, silih berganti menampilkan tingkah yang memancing tawa. Di situlah kekuatan utama Guru-Guru Gokil. Talenta Gading tak perlu diragukan. Materi-materi yang bisa berakhir cringey (sewaktu Taat menggoda Rahayu sambil mencuci piring misal) dijadikannya jenaka. Tapi tidak ada pencuri perhatian sebesar Dian Sastrowardoyo, dengan jerawat memenuhi wajah, dan keluhan-keluhan soal rengginang. Menghibur. 

Tapi Guru-Guru Gokil ingin berakhir lebih dari sekadar menghibur. Ada nilai-nilai soal guru selaku pahlawan tanpa tanda jasa. Ada hubungan guru dan guru, guru dan murid, pula ayah dan anak. Ada banyak hal. Terlalu banyak, sampai naskah buatan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus) kewalahan menyatukannya. Filmnya berusaha menekankan kegokilan para guru, sampai lupa menggambarkan mereka sebagai guru yang berbagi setumpuk pelajaran serta kebersamaan berharga dengan para murid, agar babak ketiganya, tatkala kedua pihak akhirnya bersatu, punya dampak emosi. Satu sesi memecahkan bentuk tato yang bergulir singkat tidaklah cukup.

Kenapa Pak Purnama (dan banyak guru lain) bahagia menjalani profesi mereka? Taat menanyakan itu. Mungkin sebagian dari penonton pun demikian. Filmnya berhasil memberi jawaban. Apresiasi para murid merupakan alasannya. Tapi, walau adegan saat Taat menerima hadiah "kecil" dari muridnya jadi pemandangan sederhana yang hangat (dibantu reaksi natural Gading), ada juga beberapa momen berlebihan yang dipaksa hadir demi menguatkan pesan tersebut. Murid SMA mana yang sedemikian mencintai suatu pelajaran hingga serempak bersorak dan bertepuk tangan dalam kelas? 

Sedangkan subplot ayah dan anak, meski menyimpan permasalahan serupa soal minimnya porsi eksplorasi, setidaknya memberikan resolusi emosional berkat kepiawaian kedua pemerannya menyampaikan rasa. Arswendi secara subtil melalui mata yang berbicara banyak mengenai isi hati, sedangkan Gading lebih "meledak". Hasilnya saling melengkapi, mewakili dinamika seorang anak yang ingin didengar, dan ayah yang menyimpan harapan bercampur kekecewaan. 

Di departemen akting lain, Asri Welas tampil lebih serius. Hasilnya cukup solid, meski di antara kekonyolan-kekonyolan filmnya, pilihan itu terasa menyia-nyiakan potensi. Sementara, setelah kemunculan singkat nan berkesan di Perempuan Tanah Jahanam, akhirnya Faradina mendapat kesempatan melakoni peran utama. Kesempatan yang dimanfaatkan secara maksimal lewat kemampuan memberikan warna bagi sosok Rahayu, membuatnya tak tenggelam berdiri di samping tokoh-tokoh yang jauh lebih "gila". 

Available on NETFLIX

KAPAL GOYANG KAPTEN (2019)

Setelah (gagal) memancing tawa melalui pembajakan pesawat di Flight 555 tahun lalu, Raymond Handaya melahirkan sau lagi komedi seputar pembajakan transportasi, tapi kali ini, latarnya beralih dari udara ke perairan dan pulau terpencil. Perubahan itu rupanya berdampak, karena cakupan kapal dan pulau tidak sesempit pesawat, yang berarti bertambahnya hal untuk dieksplorasi. Walau tidak lebih pintar, Kapal Goyang Kapten jelas lebih lucu.

Kapal tersebut dimiliki Gomgom (Babe Cabita), pemilik usaha wisata kecil di Manado. Begitu kecil, posisi pemandu tur, sopir bus, dan kapten kapal diemban oleh Gomgom seorang, suatu kondisi yang rutin dijadikan bahan banyolan di paruh awal. Turis yang jadi kliennya sekarang adalah Tiara (Yuki Kato),  Burhan (Arief Didu) beserta istri (Asri Welas) dan puterinya (Romaria Simbolon), pasangan suami-istri Darto (Yusril) dan Salma (Naomi Papilaya), serta tiga mahasiswa Noni (Andi Anissa), Cika (Ryma Gembala) dan Agung (Ananta Rispo).

Sementara itu, pemuda kaya asal Jakarta, Daniel (Ge Pamungkas), juga baru tiba di Manado setelah kabur dari rumah guna membuktikan bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada uang ayahnya (Roy Marten). Sementara waktu, Daniel menetap di rumah mantan sopir pribadinya, Cakka (Muhadkly Acho). Cakka sendiri tengah mengalami masalah berupa ketidakmampuan finansial guna mengobati penyakit sang ibu. Bersama Bertus (Mamat Alkatiri), ia berencana membajak kapal Gomgom. Walau awalnya menolak, didorong keinginan membantu Cakka, Daniel memutuskan bergabung.

Bisa ditebak, akibat aksi amatiran ditambah sisi manja Daniel, pembajakan tersebut berantakan. Alih-alih mendapat uang, mereka bertiga, bersama seluruh penumpang, justru terdampar di pulau terpencil setelah kapal kehabisan solar. Kedua belah pihak pun terpaksa mengesampingkan perbedaan, berdamai demi bertahan hidup dann mencari jalan pulang.

Humor recehnya, yang mayoritas berupa kelakar dan plesetan bodoh, tingkah laku bodoh, atau bentuk kebodohan lain, masih sama, namun ketika Flight 555 menyia-nyiakan premis dan latar uniknya, Kapal Goyang Kapten, walau belum bisa disebut maksimal, menanganinya dengan lebih baik. Setidaknya humor datang dari situasi khusus terkait kapal, survival, maupun pembajakan, daripada sekadar kekonyolan acak.

Banyolan semacam itu punya tingkat risiko kegagalan tinggi, tapi duo penulis Muhadkly Acho dan Awwe (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2) memahami itu, memilih menjadikan lelucon garing sebagai sebuah kesengajaan yang disadari. Contohnya sewaktu puteri Burhan kerap mengomentari ketidaklucuan Gomgom. Sebuah win-win solution cerdik. Bagus jika penonton menganggap lawakan Gomgom lucu, tapi jika tidak, mereka akan menertawakan kritik pedas si gadis cilik.

Kapal Goyang Kapten juga dibantu jajaran pemain yang seolah tengah on fire. Kedua penulis menggunakan polah absurd Babe hingga celetukan-celetukan Arief Didu dengan cara yang tepat, di tempat yang tepat, juga dalam dosis memadai. Tentu tidak seluruhnya mengenai sasaran, namun saya mendapati diri lebih sering tertawa daripada memasang wajah datar sambil garuk-garuk kepala.

Menyentuh pertengahan durasi, karakter baru diperkenalkan, yaitu Pak Sentot (Mathias Muchus), yang sudah terperangkan di pulau selama 10 tahun. Pak Sentot lebih terasa sebagai rip-off Chuck Noland di Cast Away ketimbang parodi dari tokoh yang dipopulerkan oleh Tom Hanks itu. Baik nasib atau tampilan fisik mereka serupa. Bahkan Pak Sentot pun berteman dengan bola voli yang diberi nama Mika (dari Mikasa) sebagaimana Chuck dan Wilson. Beruntung, totalitas sang aktor berhasil menjadikan Pak Sentot karakter menarik. Melihat Mathias Muchus bertingkah eksentrik dibalut riasan meyakinkan, menggendong bola voli layaknya puteri sendiri, merupakan hiburan tersendiri.

Kelemahan terbesar film ini adalah tiap kali menampilkan sisi serius. Meski Ge tampak berusaha sebaik mungkin menangani elemen dramatis, perjalanan Daniel membuktikan kapasitasnya, dipaparkan teramat dangkal, sehingga mustahil bersimpati kepadanya. Begitu pula benih cintanya dengan Tiara, yang dipaksa masuk. Di antara penumpang, Yuki paling vokal menyuarakan kebencian terhadap tiga pembajak, sampai tiba-tiba, hatinya berubah secara radikal dengan begitu mudah. Pun di tengah sederet individu absurd, Daniel dan Tiara selaku “sosok serius” merupakan karakter paling kurang menarik yang tak punya cukup daya guna menggoyang hati penonton.

RUMPUT TETANGGA (2019)

Sejauh ini, meski masih menyisakan sedikit kepahitan, 2019 adalah tahun yang menjanjikan bagi industri perfilman Indonesia. Banyak judul berkualitas paten buatan sineas kawakan, tapi hal paling menyenangkan adalah ketika beberapa pihak yang identik dengan produk bermutu jongkok, mulai melahirkan karya yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah minggu lalu MD Pictures merilis Sunyi, kini giliran RA Pictures—salah satu rumah produksi dengan reputasi paling negatif—melepas drama-komedi yang biarpun tetap menyimpan setumpuk kekurangan, sanggup tampil menghibur, bahkan menghangatkan hati.

Kita pernah berada di posisi Kirana (Titi Kamal). Dihantui ketidakpuasan, penyesalan, dan ingin menjalan kehidupan berbeda sesuai impian. Kirana merupakan ibu rumah tangga, sementara suaminya, Ben (Raffi Ahmad) bekerja di bidang jual-beli mobil. Kehidupan mereka berkecukupan, cukup bahagia, meski Kirana kerap kerepotan mengurusi kedua anaknya. Alergi sang puteri, Windy (Aqila Herby), terhadap kacang membuatnya harus selalu waspada, sedangkan puteranya, Rega (Daffa Deddy), mengidap disleksia. Kirana kekurangan percaya diri, merasa status sebagai ibu rumah tangga tak cukup mentereng, apalagi selepas pertemuannya dengan seorang kawan lama, Diana (Donita). Diana adalah konsultan PR ternama yang hidup bergelimang kemewahan dan masih melajang. Kirana menginginkan kehidupan semacam itu.

Mengusung premis fantasi menarik soal “hidup yang tertukar” seperti Freaky Friday, The Change-Up, dan lain-lain, Rumput Tetangga enggan terburu-buru membawa alurnya memasuki materi jualan utamanya itu. Digarap oleh Alim Sudio (99 Cahaya di Langit Eropa, Chrisye, Kuntilanak), naskahnya bergerak penuh kesabaran, terlebih dulu memantapkan pondasi, mendeskripsikan betapa beratnya keseharian Kirana supaya penonton bisa memahami frustrasinya.

Memasuki sekitar setengah jam, barulah elemen fantasi diperkenalkan. Di malam reuni SMA, Kirana bertemu Madam Sri Menyan (diperankan Asri Welas lewat kejenakaan khas yang tak pernah gagal mengocok perut lewat kata-kata tanpa saringan), peramal yang sanggup mengabulkan permintaan Kirana. Pagi berikutnya, Kirana terbangun di apartemen mewah, menyandang gelar CEO perusahaan sekaligus konsultan PR nomor satu, memiliki segala yang telah lama diimpikan. Hanya satu yang sekarang tidak ia punya: keluarga.

Sebaliknya, kini Diana menjadi ibu rumah tangga, istri Ben, sekaligus ibu bagi Windy dan Rega. Seperti telah judulnya tuliskan, mudah menebak ke mana Rumput Tetangga bakal berujung: Kirana akan menyadari betapa ia terlalu dikuasai rasa iri dan selalu merasa “rumput tetangga lebih hijau”. Tapi mudah ditebak atau tidak bukanlah soal. Terpenting adalah bagaimana film karya Guntur Soeharjanto (Jilbab Traveler, Ayat-Ayat Cinta 2, Belok Kanan Barcelona) ini menjadi drama-komedi menyenangkan yang lancar menyampaikan pesan sambil memainkan perasaan.

Sejatinya Rumpu Tetangga berpotensi turut mengolah kisah seputar pemberdayaan wanita, tepatnya membahas bahwa ibu rumah tangga bukan profesi memalukan, terlebih jika itu dijalankan tanpa paksaan alias merupakan pilihan. Cukup disayangkan, naskahnya urung mengeksplorasi isu di atas secara mendalam, tapi toh memang bukan itu fokusnya, melainkan tentang mensyukuri kehidupan.

Dramanya bergerak dengan baik, dihiasi ketepatan Guntur Soeharjanto memilih lagu-lagu pengiring seperti Yang Kumau-nya Krisdayanti atau Andai Aku Bisa milik Chrisye, yang berkontribusi menambah bobot emosional beberapa momen, tatkala Titi Kamal memamerkan talentanya memadukan comic timing dengan akting dramatik. Saya yakin anda akan menemukan banjir pujian bagi Titi di ulasan-ulasan lain, sehingga biarkan saya turut menekankan betapa bagusnya penampilan Gading Marten sebagai Indra, asisten Kirana (dan Diana), bukti betapa kualitasnya di Love for Sale bukan kebetulan. Gading punya sensitivitas yang berguna menghadirkan akting subtil, sehingga ia mampu banyak bicara meski tanpa tuturan kata.

Unsur fantasi pun dipresentasikan lumayan rapi, saat berbagai tebaran petunjuk bisa ditemukan sepanjang durasi sebelum kebenaran sesungguhnya terungkap. Sayang, mencapai babak ketiga, naskahnya keteteran. Berbagai lubang serta ketidakjelasan aturan perihal “tukar-menukar hidup”, datang silih berganti begitu twist diungkap. Mencuat pula beberapa tanya, misalnya, “Mengapa Madam Sri Menyan harus berteka-teki tentang cara kembali ke kehidupan semula?”. Beruntung filmnya memiliki protagonis likeable ditambah cerita yang mendapat eksplorasi memadahi, di mana saya mampu diyakinkan jika kehidupan lama Kirana memang layak diperjuangkan. Alhasil, biarpun telah tercium sedari awal filmnya bergulir, Rumput Tetangga memiliki penutup yang memuaskan.

JAFF 2018 - KELUARGA CEMARA (2018)

Di tangan yang salah, Keluarga Cemara bisa berujung suffering porn, di mana tiap sudut ibarat musibah yang melulu memicu ratap tangis. Beruntung, naskahnya ditangani duo penulis, Yandy Laurens dan Gina S. Noer (Posesif, Kulari ke Pantai) yang tahu batas pemisah antara dramatisasi dengan eksploitasi, juga penyutradaraan berbekal pemahaman milik Yandy perihal kapan serta seberapa dramatisasi perlu diterapkan. Adaptasi sinetron legendaris Keluarga Cemara (1996-2005) yang juga dibuat berdasarkan kumpulan cerita pendek berjudul sama karya Arswendo Atmowiloto ini pun menjadi drama keluarga yang menyentuh hati lewat kehangatan alih-alih kesedihan.

Walau bukan hyperrealism (dan tak perlu menjejakkan kaki ke sana), Keluarga Cemara coba tampil senyata mungkin. Mengambil latar sebelum peristiwa di sinetron, filmnya memulai kisah kala Cemara (Widuri Puteri) sekeluarga masih hidup makmur, sehingga menyulut pertanyaan, “Bagaimana mungkin Abah si pengusaha properti jatuh begitu dalam hingga memilih profesi tukang becak?”.

Rupanya film ini mampu menawarkan jawaban logis yang juga relevan bila dihadapkan pada situasi sosial sekarang (salah satunya berbentuk peletakkan produk cerdik). Beberapa perubahan perlu dilakukan, namun tanpa mengkhianati substansi materi asalnya, bahkan masih sempat menyelipkan deretan referensi untuk momen-momen ikonik sinetronnya, dalam penempatan tepat yang selaras dengan keperluan cerita ketimbang bentuk pemaksaan diri menebar easter eggs.

Alkisah, kejatuhan Abah (Ringgo Agus Rahman) memaksa keluarganya pindah ke rumah masa kecilnya di sebuah desa di Jawa Barat. Abah terjerat rasa bersalah, terlebih setelah mendapati faktor usia menyulitkannya memperoleh pekerjaan layak secepatnya, sedangkan di saat bersamaan Emak (Nirina Zubir) mesti ikut menyokong ekonomi keluarga, Cemara harus berjalan jauh menuju sekolah, dan Euis (Zara JKT48) terpaksa bersekolah di tempat baru, meninggalkan para sahabat (sekaligus rekan tim dance) lamanya.

Khususnya bagi Euis yang tengah menginjak masa remaja awal, perubahan tersebut amatlah berat, yang akhirnya menyulut salah satu konflik utama, termasuk pertengkaran beruntun dengan Abah. Sosok Abah sendiri belum sebijak versi Adi Kurdi di sinetron.  Wajar, sebab ia masih pria berusia prima (35 tahun) yang tiba-tiba terjerembab ke titik terendah hidupnya. Dampaknya, emosi gampang tersulut, keputusan-keputusan buruk dibuat, kalimat-kalimat menyakitkan terlontar, menjauhkannya dari kesempurnaan, yang mana merupakan wujud karakterisasi menarik.

Bukan berarti anggota keluarga lain dikesampingkan. Cemara sang peluluh hati keluarga diperankan begitu alamiah oleh peforma kaya dinamika milik Widuri. Tingkah laku dan tutur katanya mampu mendinginkan pertikaian panas. Tapi tiang penyangga keluarga sesungguhnya adalah Emak. Berkatnya, keluarga tetap berdiri meski kerap terombang-ambing. Emak menyediakan tempat mengadu, meluapkan kegundahan terpendam, meski artinya, ia dituntut menyimpan beban berlebih dalam hati yang bisa kita lihat jelas melalui tatapan kaya rasa Nirina.

Gempuran masalah-masalahnya adalah gambaran keseharian yang tak terasa episodik, sebab Yandy dan Gina bukan sedang mengadaptasi mentah-mentah sinetronnya. Pun di sela-selama problematika, Keluarga Cemara bersedia menyegarkan suasana berkat kemampuan jajaran pemeran pendukung—pastinya termasuk Asri Welas sebagai “loan woman turns enter woman”—memaksimalkan gaya hiperbola guna memancing tawa.

Pilihan lagu-lagunya tak kalah memikat. Berasal dari beragam genre dan masa, membentang dari Sepanjang Jalan Kenangan, Tentang Rumahku, sampai Harta Berharga versi Bunga Citra Lestari, berbagai adegan diiringi, dengan mood berhasil terwakili. Ketepatan pemilihan lagu termasuk pembuktian kepekaan Yandy terkait membangun suasana dan rasa. Kalau mau, tearjerker bisa saja diciptakan dari semua konflik, namun ia bersedia menunggu hingga tiba titik terbaik untuk meletupkannya. Resolusinya menghadirkan payoff melalui ekspresi cinta kasih jujur nan sederhana yang bakal menumpahkan air mata.

Keberhasilan momen tersebut tak lepas juga dari kombinasi Ringgo-Zara. Walau perlu mengasah lagi kemampuan menangani ledakan amarah yang belum seberapa meyakinkan, sebagai ayah lembut, Ringgo piawai mencuri hati. Sementara Zara memberi kejutan terbesar, ketika air mata dan senyumnya bisa memicu penonton memunculkan respon serupa sewaktu menyaksikan adegan puncak.

Tidak ada konflik pengancam pernikahan, tidak ada murid baru dari kota jadi korban perundugan, tidak ada anak bermasalah yang memberontak (hanya beberapa ketidakpatuhan), tidak ada penyakit kronis dan kecelakaan (Thank God!), atau masalah-masalah tak perlu lain. Keluarga Cemara menyulut tangis tanpa menjual air mata semata, pula memperlihatkan perjuangan tanpa mengeksplotasi penderitaan. Karena akhirnya, film ini “cuma” memaparkan nilai kekeluargaan sederhana tentang memiliki dan dimiliki, menjaga dan dijaga, di mana kala semua bersatu dalam harmoni, tercipta harta yang paling berharga: Keluarga.

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018)

Judul film ini terdengar seperti gabungan antara Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971), dua film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel” alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak mengambil inspirasi dari Sundel Bolong (1981).

Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi saya bakal percaya jika muncul pernyataan bahwa easter egg di atas adalah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala membuat “Film Suzzanna”. Ini bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar usaha tak tahu malu guna mengeruk uang. Ini adalah ode yang menunjukkan betapa (warisan) Suzzanna masih menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.

Pendekatan tersebut tampak dari pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar) Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan sempurna sebagai sang ratu horor. Dalam wujud manusia (a.k.a. sebelum bertransformasi menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang membuatnya bak kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat bak noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna adalah pemandangan adiktif yang membuat saya lupa, jika butuh beberapa lama sebelum horor merangsek masuk.

Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya saat setelah tujuh tahun, momongan yang dinanti akhirnya tiba. Tapi jika mengenal film-film Suzzanna, tentu anda tahu ada tragedi bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra). Mereka memutuskan merampok rumah Satria setelah permintaan naik gaji ditolak. Aksi itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna sedang  menghabiskan malam Minggu menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka berempat terpaksa membunuh, lalu menguburnya di pekarangan belakang rumah.

Keesokan paginya ia terbangun, seolah baru bermimpi buruk seperti biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip & Pensil) yang dibuat berdasarkan cerita buatannya bersama Sunil Soraya (Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts). Sekilas absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melakukan “A” daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur berdasarkan aturan yang ia tetapkan.

Film-film Suzzanna dahulu adalah wujud totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode membunuh over-the-top dari sundel bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.

Ketiganya memerankan pembantu Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film. Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan absurd yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang komedian berbakat yang butuh lebih banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul seperti Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar” diterapkan, yang mana dapat kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna memeriksa seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu seisi ruangan lewat single take untuk memperlihatkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara mewah menyusun tensi dramatis, yang sayangnya kurang berdampak akibat lemahnya performa aktor utama.

Bentuk modernisasi lainnya adalah ditiadakannya cara membunuh cartoonish, lalu sebagai gantinya, menambah kadar gore. Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai mobil atau traktor, harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih memberi kepuasan serupa kala memperlihatkan setan yang punya peran cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala dunia nyata kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap wanita dari hukuman, menyaksikan mereka menerima penghakiman di sini jelas menyenangkan.

Aspek horornya memang tak seberapa mengerikan. Mungkin karena sundel bolong tak pernah menampakkan diri di lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan, perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, karena Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat telinga dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya dapat menyebabkan kematian.

Awalnya film ini disutradarai Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu peristiwa (yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The Doll, Sabrina) bergabung, berbagi kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya memutuskan menganggapnya sama rata. Pergerakan ceritanya mulus, menyebabkan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan utamanya tak langsung muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak berdiam terlalu lama di satu momen sampai intensitasnya turun drastis, tapi siapa pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot untuk.....

SUSAH SINYAL (2017)

Apakah Ernest Prakasa kelelahan? Atau ia belum menemukan formula mengolah kisah di luar sentilan kultur Cina yang kali ini hanya muncul sekelebat sebagai balutan humor sesaat? Masih menggunakan perpaduan drama keluarga dan komedi "acak" serupa Ngenest dan Cek Toko Sebelah, kedua unsur tersebut sesekali tersampaikan, namun tak jarang luput dari sasaran, kurang mulus pula dikawinkan. Koneksi dengan penonton timbul tenggelam, kadang lancar, kadang terganggu. Sepertinya film ini tengah mengalami susah sinyal. 

Seperti kebanyakan drama serupa, hubungan berjarak antara orang tua dan anak film ini disebabkan urusan pekerjaan. Ellen (Adinia Wirasti), pengacara sukses sekaligus ibu tunggal, jarang meluangkan waktu bersama puterinya, Kiara (Aurora Ribero), yang lebih terikat dengan kehidupan media sosial dan sang nenek, Agatha (Niniek L Karim). Di suatu malam, sepulang kerja, Ellen berusaha terlibat pembicaraan tentang film favorit Kiara, Moana, tapi justru menyebut Lilo & Stitch. Nenekmu lebih tahu film yang kamu cintai daripada ibumu, yang notabene jarang memberi perhatian. Tentu menyakitkan. 
Alhasil, wajar Kiara amat terpukul saat nenek meninggal. Mengetahui itu, Ellen mengabulkan keinginan Kiara berlibur ke Sumba, sembari berharap menemukan sinyal yang terputus di antara mereka. Tapi liburan ke tempat di mana Asri Welas, Arie Kriting, Abdur Arsyad, Ge Pamungkas, sampai Chew Kin Wah yang menikahi Selfi KDI berkumpul, jelas takkan berlangsung normal. Ernest menyediakan panggung melucu seliar mungkin. Asri yang lebih kalem tetap mengocok perut kala memperagakan capoeira, pun Ge sebagai tokoh penuh trauma yang memfasilitasi gaya ekspresifnya. 

Keliaran komedi, yang acap kali tak terkait alur utama, berhasil sebagai bumbu penyedap dalam Cek Toko Sebelah. Susah Sinyal memunculkan kesan berbeda. Menulis naskahnya bersama sang istri, Meira Anastasia, Ernest bagai menabur bumbu terlalu banyak demi menutupi kekurangan di bahan pokok, alias alur yang tipis. Kelakar Arie dan Abdur misalnya. Menggelitik, namun seketika kehilangan daya bunuh sewaktu hadir berkepanjangan. Titik tertinggi komedi film ini terletak pada guyonan sekilas dengan kesempurnaan timing, seperti Asri Welas yang cenderung serius sehingga dampaknya berlipat ganda saat celotehan yang dinanti tiba, atau absurditas Dodit Mulyanto yang mengisi sesuai kebutuhan, tak dieksploitasi.
Ellen berharap perjalanan ke Sumba merekatkan hubungannya dengan Kiara. Kita menghabiskan sepertiga durasi di sana, melewati berbagai peristiwa, termasuk ketertarikan Kiara pada karyawan hotel bernama Abe (Refal Hady), sayangnya itu semua bukan quality time. Terlampau sering distraksi hadir, keduanya telah menemukan kembali sinyal yang terputus sebelum penonton sempat direnggut oleh gesekan yang terjadi. Film ini membawa karakternya ke Sumba, lalu seolah bingung mesti berbuat apa pada mereka. Aspek teknis pun gagal membantu, baik pilihan shot ala kadarnya (Ernest pernah melahirkan gambar luar biasa kuat berupa Chew Kin Wah bersandar di tiang toko kosong dalam Cek Toko Sebelah) maupun transisi kasar musik selaku cue emosi. 

Untungnya Susah Sinyal punya Adinia Wirasti, seorang aktris langka yang sanggup menyulap obrolan kasual jadi menarik. Bersama debut memikat Aurora Ribero dalam gaya sinis yang menjadikan ketakutan Ellen mendekatinya terasa masuk akal, Adinia menghembuskan nyawa, menghindarkan filmnya dari kehampaan total. Susah Sinyal is a step back. Tapi bukan kemunduran jauh, apalagi suguhan buruk. Ernest selalu belajar, dan itu membuat kepercayaan saya padanya tidak luntur.