IMPERFECT (2019)
Rasyidharry
Desember 20, 2019
Aci Resti
,
Bagus
,
Comedy
,
Drama
,
Ernest Prakasa
,
Indonesian Film
,
Jessica Mila
,
Karina Suwandi
,
Kiky Saputri
,
Meira Anastasia
,
Neneng Wulandari
,
REVIEW
,
Reza Rahadian
,
Shareefa Daanish
,
Yasmin Napper
,
Zsazsa Utari
12 komentar
Setelah Susah Sinyal lalu Milly &
Mamet yang merupakan penurunan dibanding dua karya perdananya meski tetep
digarap baik, Ernest Prakasa kembali pada performa terbaiknya melalui Imperfect selaku adaptasi novel berjudul
sama karya sang istri, Meira Anastasia, yang di sini turut berperan sebagai
penulis naskah sekaligus co-director. Membahas
persoalan sensitif perihal standar kecantikan, filmnya bijak menyikapi
kompleksitas isu tersebut, mengambil lebih dari satu perspektif, mengambil
jalan tengah tanpa perlu terkesan main aman dengan tetap menyediakan solusi
berupa, “Berusahalah menjadi versi terbaik dirimu”.
Melalui sekuen pembuka yang
memperlihatkan sensitivitas bertutur Ernest dan Meira, kita melihat bagaimana
sejak kecil, Rara (Jessica Mila) sudah jadi korban body shaming, bahkan oleh sang ibu, Debby (Karina Suwandi) yang di
masa mudanya merupakan seorang model. Ketika adiknya, Lulu (Yasmin Napper)
banyak dipuji karena paras ayu serta tubuh langsing yang menurun dari Debby,
Rara lebih mirip ayahnya, Hendro (Kiki Narendra) yang bertubuh tambun, berkulit
gelap, dan berambut ikal. Begitu Hendro meninggal, Rara merasa sendirian, dan
cokelat selalu jadi pelarian tiap dibuat kesal oleh komentar pedas atau paksaan
diet dari Debby.
Di kantor kondisinya tidak jauh
beda. Rara hanya memiliki Fey (Shareefa Daanish), si gadis berpenampilan tomboi
serba hitam sebagai teman. Setidaknya keberadaan Dika (Reza Rahadian), si
fotografer tampan kekasih Rara, kerap jadi penawar kepahitan. Di depan Dika,
Rara bisa menjadi dirinya sendiri yang daripada kesempurnaan fisik, lebih
memedulikan kebaikan hati, sebagaimana ia perlihatkan kala secara sukarela
mengajar anak-anak asuhan Bu Siska (Asri Welas) yang tinggal di pemukiman
kumuh. Sampai peluang meningkatkan karir tiba, ketika bos Rara, Kelvin (Dion
Wiyoko) menawarinya kenaikan jabatan, dengan syarat, Rara mau mengubah
penampilannya.
Pertama, pemilihan pemain Ernest
dan Meira (tentunya berkat jasa casting
director pula) patut diacungi jempol. Imperfect
menyajikan ensemble cast yang
bukan asal ramai, tapi masing-masing nama, sekecil apa pun perannya, sempurna
melakoni tiap peran. Di jajaran pendukung, Karina Suwandi bukan semata sosok ibu
kejam; Yasmin Napper adalah akrtis muda yang saya pastikan takkan lama lagi
mendapat peran utama di film remaja; Boy William seolah ditakdirkan memerankan George,
kekasih Lulu sekaligus “selebgram dangkal”; sedangkan Shareefa Daanish bisa jadi menemukan angin kedua di karirnya melalui
kejenakaan yang sebelumnya baru pernah ia perlihatkan di sinetron.
Para pencuri perhatian lainnya
adalah Kiky Saputri (sebagai Neti), Zsazsa Utari (sebagai Maria), Aci Resti
(sebagai Prita), dan Neneng Wulandari (sebagai Endah), yang jadi ujung tombak
elemen humor, menjadikan ini film terlucu Ernest. Tentu pondasinya memang sudah
kuat, pun Imperfect memiliki kelucuan
yang terasa “paling Ernest” terkait ketajamannya. Dari Yesus hingga jenazah
dijadikan materi. Dan kali ini tidak ada kesan acak, sebab kuartet gadis di
atas juga merasakan kegelisahan seputar fisik, memberi benang merah kuat dengan
konflik utamanya.
Sementara kedua pemain utamanya
tidak kalah bersinar. Tidak perlu banyak membahas Reza Rahadian. Pidato
sambutan acara kecamatan pun bisa dikemas dinamis dan menarik olehnya. Jessica
Mila, yang sepertinya juga menambah beberapa kilogram berat badannya selain
memakai fat suit sehingga
transformasi karakternya kelak terkesan natural, mampu membuat kita mendukung
Rara mencapai impiannya, bahkan sewaktu ia “tersesat” sekalipun. Romansa mereka
merupakan kunci. Reza dan Jessica menghadirkan chemistry yang memudahkan kita percaya, bahwa romantika Dika dan
Rara adalah ketulusan yang didasari ketertarikan terhadap inner beauty.
Permainan flow Ernest pun meningkat dibanding keempat film sebelumnya. Tidak
ada lagi lompatan kasar dan adegan minim signifikansi yang dipaksa masuk di
sela-sela penceritaan (sebenarnya masalah ini rutin muncul di film produksi
Starvision). Satu-satunya ganjalan adalah lemahnya departemen tata suara yang
kerap mengakibatkan kata-kata dari mulut pemain sukar didengar. Pun seperti
telah disebut di awal, sensitivitas pengarahan Ernest dan Meira sungguh kuat, yang
membantu terciptanya keintiman emosional di adegan berlatar keluarga, pula
pemandangan uplifting jelang akhir
yang memantapkan status Imperfect kepada
perayaan atas kecantikan dalam ketidaksempurnaan.
Imperfect semakin layak diapresiasi atas kedalaman eksplorasi
isunya. Benar bahwa mereka yang kerap disebut “buruk rupa” mengalami
ketidakadilan, namun bukan berarti keindahan paras otomatis memuluskan hidup
pemiliknya. Konflik kakak beradik Rara dan Lulu membuktikan itu. Dari konflik
itu pula lahir salah satu kalimat favorit saya di film ini: “Ngapain mikir
omongan orang, orangnya aja nggak mikirin omongannya sendiri”. Lugas. Menusuk.
Tepat sasaran dalam menyentil kultur toxic
media sosial dewasa ini.
Tidak ada yang disalahkan (maupun dibenarkan sepenuhnya) di sini.
Debby punya alasan mengkritik Rara, pun bukan kesalahan kala akhirnya
memutuskan berubah. Karena itu hidup dia, tubuh dia, hak dia. Menjadi sebuah
kesalahan ketika bukan cuma fisik, jati diri ikut diubah secara terpaksa demi
beragam tuntutan sosial. Saat itulah selain berat badan, harta-harta berharga
(baca: sosok-sosok tercinta) dalam hidup juga hilang.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:Kalau dana terbatas mending ini apa Habibie Ainun bang?
Pake nanya lu kerak panci
Masih suka ngakak sendiri kalo nginget bagian bloopers ya uus dkk, yaallah kerjaan masa kecil banget itu kalo lagi gabut XD
@crooked face yg bilang ngga demen sinetron ketika ane nanya tentang vagabond. Gmana tuh tanggepan nya sinetron korea tunnel di remake ma sineas kita. Mungkin Kualitas Sinetron korea jelek parah sehingga kita perlu membuat versi yg lebih baik ya??? Atau mungkin??? Atau Mungkin apa yah??? Bingung koh...
Mas Rasyid,
Bagi Mas Rasyid Milly&Mamet merupakan penurunan karya Koh Ernest, padahal bagi gw M&M aja udah bikin perut gue pusing, sampai² gw bilang M&M film terlucu versi gue..
Beda lah ya antara orang biasa yang cuman hobby nuntun dengan orang yg bener² ahli di bidang perfilm'an πππ
Wajib nuntun nih Imperfect..
Ntr gw balik lagi abis nuntun nih film!!
Mas Rasyid, minta list film terbaik mas thn 2019 ini dong
Ditunggu review The Lighthouse-nya Robert Pattinson bang.
Imperfect but Perfect ( suka sekali film ini )
Maaf ini menurut pendapat saya yah yg sangat awam dalam perfilman ππ✌️
Koh Ernest tuh kayaknya pasti bisa buat film horror, pas scene Dika nunduk trus dongak kaget liat model yg gak disangka-sangka tuh agak menakutkan π sama pas scene gelap2an juga bagus bukan gelap doang...
Oh iya saya paling suka angle shot pas scene gelap Rara meluk Dika meskipun gak keliatan ekspresinya tpi feel atau aura nya tuh dpt banget haha sotoy banget sih maaf π€£π✌️
Btw semoga koh Ernest bikin film genre horror dll aamiin ππ
Imperfect bagus dan lucu..
Tapi nggk suka pas scene ada Uus nya..
Maaf yak subjektif sih..
Tetep, Milly Mamet terbaik, terlucu, terkocak versi gue!!
Semoga taon depan Koh Ernest bisa bikin yg lebih lucu dari Milly Mamet yak, gw tunggu!!
Menggunakan keempat gadis kosan sbg model itu bener2 twist yg cerdas menurut saya. Keempat2nya bkin pangling, belum lagi kelimanya (trmsuk Yasmin) mewakili tipikal2 kecantikan wanita Indonesia yang berbeda2. Sindiran keras buat yg keukeuh kalau cantik itu harus putih, tinggi, berambut lurus.
True!
Posting Komentar