Tampilkan postingan dengan label Andrew Lanham. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Andrew Lanham. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings takkan menghasilkan dampak kultural signifikan sebagaimana Black Panther, karena representasinya terhadap Asia masih amat terbatas. Pun jika familiar dengan film-film wuxia, khususnya yang dibintangi Jackie Chan, disutradarai Zhang Yimou, atau diproduseri Shaw Brothers, apa yang ditawarkan sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Just Mercy) dan tim sama sekali tidaklah baru. Tapi apakah semua itu wajib?

Hal-hal di atas memang menghalangi tercapainya potensi, namun berkaca pada iklim film pahlawan super yang masih terlalu Barat-sentris, apa yang Shang-Chi tawarkan tetap memberi angin segar. 

Shang-Chi, yang kini memakai nama Shaun (Simu Liu), menyembunyikan identitasnya sebagai jago kung-fu, menjalani hidup sederhana sebagai valet bersama sahabatnya, Katy (Awkwafina). Sampai terjadilah reuni antara Shang-Chi dengan adiknya, Xu Xialing (Meng'er Zhang), yang kini mengelola underground fight club di Makau, juga ayah mereka, Xu Wenwu (Tony Leung), si pemimpin Ten Rings, organisasi yang namanya diambil dari sepuluh cincin ajaib, yang memberinya kekuatan super sekaligus keabadian.

Dibuat Cretton bersama Andrew Lanham (The Glass Castle, Just Mercy) dan Dave Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984), naskahnya masih menawarkan formula familiar seputar keluarga disfungsional, yang kemudian menggiring proses pencarian jati diri sang protagonis. Karena sejak kecil dilatih sebagai pembunuh, apakah berarti itu merupakan takdir yang tak bisa ia lepaskan? Pertanyaan itu sudah kita ketahui secara pasti jawabannya. 

Naskahnya memang tidak beranjak dari tuturan formulaik, tidak pula mengeksplorasi temanya lebih mendalam, namun porsi drama, terutama perihal hubungan keluarga, mampu tampil solid berkat Tony Leung. Di tangan sang aktor legendaris, Wenwu bukan villain yang bakal kita benci, melainkan pahami. Leung tidak hanya memberi karisma sosok pembunuh yang telah hidup ribuan tahun, juga kerapuhan pria biasa yang kehilangan cintanya, kehilangan alasan terbesarnya untuk memiliki hati nurani. Dia bukan figur penghancur dunia. Tapi demi mengembalikan "dunianya" yang hancur, Wenwu rela bila harus menghancurkan dunia. Menyaksikan Leung membuat saya berpikir, "Kalau ditempatkan di situasinya, apakah akan melakukan hal yang sama?". 

Di ranah aksi, Cretton menggabungkan tiga elemen, yakni pertempuran masif sarat CGI khas MCU, baku hantam chaotic ala Jackie Chan, dan seni bela diri selaku ekspresi rasa serta filosofi sebagaimana kerap dipakai Zhang Yimou. Dua jenis terakhir tampil paling mengesankan. Simu Liu dan Meng'er Zhang (such badass) membantu Cretton memaksimalkan latar kreatif aksinya (bus, konstruksi gedung pencakar langit), yang juga mengedepankan koreografi, sambil menekan jumlah manipulasi lewat penyuntingan. 

Pengaruh karya-karya Zhang Yimou terasa betul pada pertemuan perdana Wenwu dengan sang istri, Ying Li (Fala Chen), dan ketika Shang-Chi dilatih oleh bibinya, Ying Nan (Michelle Yeoh). Ketimbang perkelahian, momen-momen tersebut lebih seperti pertukaran rasa. Yeoh, berbekal pengalaman membintangi judul martial arts selama hampir empat dekade, bergerak indah, namun tidak lemah, layaknya entitas yang sudah mengentaskan diri dari fase duniawi. 

Tapi Shang-Chi tentu saja masih installment MCU dengan segala ramuan khasnya (for better or worse). Humor yang meski cenderung hit-and-miss tetap memancing beberapa tawa, ekspansi universe melalui deretan cameo serta hint bahwa sang protagonis bakal memegang peranan besar di masa depan, pula set-piece aksi masif yang tetap punya tempat, kendati di paruh akhir, filmnya mendekatkan diri ke nuansa fairytale, ketika latar bergerak memasuki dunia fantasi penuh hewan-hewan mitologi. 

CGI di klimaksnya agak inkonsisten, yang mungkin disebabkan karena bujet dialokasikan untuk membungkus pertarungah terakhir, saat Shang-Chi berpindah ke genre kaiju. Di satu sisi, pilihan ini melucuti keintiman emosional yang dibawa elemen wuxia, tapi di sisi lain, turut menegaskan bahwa wajah film Asia bukan cuma martial arts, sebagaimana stigma yang sering disematkan terhadapnya.  

JUST MERCY (2019)

Seorang terpidana mati kulit hitam mendengar pernyataan jaksa penuntut yang berbunyi, “Aku tahu kamu adalah pembunuh hanya dengan melihat wajahmu”. Sementara dalam sidang terhadap veteran Perang Vietnam pengidap PTSD yang akhirnya dijatuhi hukuman mati (juga berkulit hitam), seorang hakim menyebut bahwa rehabilitasi adalah sebuah lelucon. Menurut sang veteran, setidaknya di Vietnam dia berkesempatan mempertahankan hidup. Apakah hukuman hati lebih buruk daripada perang? Atau lebih menyakitkan lagi, apakah berkulit hitam lebih mematikan ketimbang terjun ke medan perang?

Just Mercy merupakan adaptasi memoar Just Mercy: A Story of Justice and Redemption buatan Bryan Stevenson (versi filmnya diperankan Michael B. Jordan), pengacara yang mengkhususkan diri membela para terpidana mati yang tak memperoleh pembelaan secara layak. Bersama Eva Ansley (Brie Laron), ia mendirikan badan non-profit Equal Justice Initiative (EJI) di Alabama. Mengapa Alabama? Sebab di sanalah tindak rasisme pada penerapan hukum, yang berujung pada individu tak bersalah mendapat hukman mati, banyak terjadi. Salah satunya menimpa Walter “Johnny D.” McMillian (Jamie Foxx).

Johnny D. adalah tukang kayu yang dituduh membunuh seorang gadis kulit putih 18 tahun. Hanya berdasarkan pengakuan rancu narapidana bernama Ralph Myers (Tim Blake Nelson), pun tanpa bukti memadai, Johnny D. dijatuhi hukuman mati. Terdapat ironi. Johnny D. berasal dari Monroeville, Alabama, yang dikenal sebagai rumah untuk To Kill a Mockingbird. Beberapa karakternya bahkan membanggakan keberadaan museum selaku tribute untuk novel klasik karya Harper Lee, yang jadi simbol keadilan hukum dan antirasisme itu. Mereka membanggakan itu, seolah ingin menegaskan, “Kami tidak rasis. Mana mungkin masyarakat Monroeville, rumah To Kill a Mockingbird, rasis.”. Ya, sama seperti orang yang mengaku tidak rasis hanya karena memiliki teman berkulit hitam.

Mengamati perjuangan Stevenson, timbul beberapa pertanyaan. Bila seorang terpidana mati ternyata memang seorang kriminal keji, apakah secara moral ia layak dibela? Bagaimana pertentangan batin Stevenson kala membela seseorang yang sungguh bersalah? Just Mercy sayangnya tidak menyentuh pertanyaan-pertanyaan kompleks tersebut. Para terpidana mati di film ini seluruhnya adalah korban ketidakadilan berbasis rasisme. Tapi tak apa. Itu pembicaraan untuk lain waktu. Mengacu pada title card di akhir film yang menyatakan kalau satu dari sembilan terpidana mati di Amerika Serikat sejatinya tidak bersalah, apa yang diangkat Just Mercy lebih mendasar, dengan urgensi lebih besar.

Walau berbentuk legal drama, filmnya lebih banyak memperlihatkan insiden-insiden rasisme ketimbang membicarkan seluk beluk legalitas yang bisa memusingkan penonton awam. Mengapa sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings) yang turut menulis naskahnya bersama Andrew Lanham memakai pendekatan demikian? Sebab dalam konteks filmnya, ketidakadilan hukum terjadi akibat rasisme.

Just Mercy berusaha memprovokasi (bukan dalam artian negatif), guna menggiring penonton agar mengecam ketidakadilan tersebut, melalui adegan-adegan emosional, misalnya saat tanpa alasan jelas, Stevenson dihadang oleh dua polisi patroli. Penyutradaraan Cretton mampu menghadirkan efek dramatis yang ampuh menyulut amarah. Mungkin bagi sebagian kalangan, Cretton menempuh jalan yang terlalu mudah. Terlalu blatant. Tapi adakah cara subtil untuk mempresentasikan isu ini? Kalau pun ada, apakah diperlukan? Rasanya tak perlu kesan elegan atau lembut untuk mengemas masalah brutal semacam ini, selama sudut pandangnya bijak. Keberadaan Eva dan sesosok sipir muda kulit putih baik hati sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan itu.

Di jajaran penampil, Tim Blake Nelson bermain solid sebagai narapidana yang mengalami konflik hati, sedangkan Jamie Foxx—yang berhasil meraih nominasi Outstanding Performance by a Male Actor in a Supporting Role dalam SAG Awards tahun ini—mampu mengolah emosi dengan kuat. Pun Michael B. Jordan punya kepercayaan diri seorang pengacara muda yang kompeten namun naif. Kepercayaan dirinya berasal dari ketidaktahuan tentang seberapa keji realita. Dan Just Mercy merupakan proses belajarnya menempa ketangguhan tanpa harus kehilangan hati.


Available on CATCHPLAY