REVIEW - MARRIAGE

8 komentar

Reviu ini mengandung SPOILER

Klik Film kembali merilis beberapa film Indonesia dalam satu hari. Selain Marriage, ada Pesan di Balik Awan dan Balada Sepasang Kekasih Gila. Film yang disebut terakhir hanya kuat saya tonton selama 40 menit, sebelum akhirnya sadar kalau saya bisa lebih gila daripada karakternya andai nekat meneruskan. Sedangkan Marriage, meski belum pantas disebut "solid", setidaknya masih punya sedikit kelebihan. Sekali lagi, "sedikit". 

Pernikahan Mirza dan Vika (diperankan pasutri asli, Ge Pamungkas dan Anastasia Herzigova) terancam kandas. Keduanya selalu bertengkar, menyatakan bahwa selama lima tahun bersama, tak ada satu pun momen bahagia. Bagi Vika, Mirza sangat kekanak-kanakan. Sebaliknya, Mirza tak tahan lagi dengan buruknya regulasi emosi sang istri. Mereka sepakat pisah rumah sembari mengurus proses perceraian. 

Mirza yang kembali ke rumah ibunya (Ira Wibowo), bertemu lagi dengan Dara (Lania Fira), mantan kekasihnya. Cinta lama mulai bersemi kembali. Di sisi lain, Vika bertemu Rio (Axel Matthew Thomas), yang baginya jauh lebih perhatian ketimbang si suami. Tidak sulit menebak bakal dibawa ke mana permasalahan tersebut. 

Tapi di film seperti Marriage, hal terpenting bukanlah destinasi, melainkan proses. Proses agar penonton percaya jika Mirza dan Vika pernah, bahkan masih saling mencintai, kemudian mendukung keduanya supaya rujuk. Di situ asal mula kegagalan naskah buatan Evelyn Afnilla (Keluarga Tak Kasat Mata, Surat dari Kematian, Janin). 

Sebagai individu, saya sulit mendefinisikan kelebihan masing-masing. Mirza adalah psikiater ngawur, yang diam-diam memberi antidepresan pada istrinya, lalu asal melempar diagnosis dengan menyebut kalau Vika bisa saja mengidap bipolar. Vika sendiri bersikap egois dengan mengirim surat cerai ke rumah ibu Mirza, walaupun tahu jantung mertuanya lemah. Secara individual, protagonisnya kekurangan kualitas untuk diberi simpati.

Bagaimana sebagai pasangan? Sejak menit-menit awal, keduanya sudah bersitegang. Seiring bergulirnya durasi, Marriage tak kunjung berhasil meyakinkan, bahwa ada romantisme indah di antara mereka. Sesekali kita sejenak melihat ada tawa, tapi pasangan mana yang tak pernah tertawa? Presentasinya terlalu dangkal, terlalu general untuk bisa menggambarkan betapa spesial hubungan tokoh utamanya.

"Aku kangen kamu yang dulu...kangen kita", begitu ucap Vika. Tapi seperti apa "Mirza yang dulu"? Entahlah. Pasangan ini terlalu asing. Padahal, Ge dan Anastasia tampil cukup menghibur kala bersama. Terutama Anastasia lewat lemparan komentar-komentar menggelitik bernada sarkas. Walau di momen dramatik, biarpun tidak bisa sepenuhnya disebut "buruk", kedua pemain terjebak dalam gaya klise berupa parade teriakan guna meluapkan segala emosi negatif.

Terkait elemen drama, momen terbaik Marriage jatuh pada adegan kala Mirza dan Vika duduk berdua, meneteskan air mata tanpa meraung-raung, sambil membicarakan soal perceraian yang makin dekat. Dikemas oleh penyutradaraan sensitif Danial Rifki (La Tahza, Haji Backpacker, 99 Nama Cinta), rasa sakit terpancar di sana, kala menyadari rumah tangga ini bakal segera berakhir. Mungkin juga ada penyesalan dan keinginan menata ulang, yang urung terucap karena merasa sudah terlambat. 

Sebenarnya ada potensi mengangkat perspektif unik, mengenai cekcok yang justru jadi perekat. Wajar, sebab suatu pertengkaran yang telah lama berlalu, kerap memancing romantisme yang kelak bakal dirindukan. Tapi sekali lagi, naskahnya tak melakukan eksplorasi memadai. Durasi pendek (79 menit) menekan potensi filmnya terasa membosankan, tapi juga mengurangi kesempatan mengulik temanya secara lebih jauh. Babak ketiga menjadi titik nadir naskah, termasuk konklusi yang buru-buru. Tapi kelemahan paling fatal adalah penggambaran karakter Mirza. 

(SPOILER STARTS) Akhirnya Mirza memilih rujuk, namun terkesan, ia melakukan itu bukan karena sungguh-sungguh mencintai Vika sehingga menyadari kekeliruannya, melainkan didorong kekecewaan, sebab Dara tidak seperti yang ia bayangkan. Seumpama Dara "lebih baik", apakah keputusan Mirza tetap sama? Marriage gagal membuat saya percaya bahwa itu akan terjadi. (SPOILER ENDS)


Available on KLIK FILM

8 komentar :

Comment Page:
varado mengatakan...

Balada sepasang kekasih gila kenapa bang emang? Padahal trailer lumayan meyakinkan

Mukhlis mengatakan...

Haaaaaah, dari trailer, 3film ini emang nggak meyakinkan blas.

ane udah nyerah nonton film Indonesia yang release di OTT, 90% ampas semua.

BTW, kenapa ya bang, kebanyakan film Indo yang langsung release di platform itu hampir semua ampas?

nuril mengatakan...

bang jadi balada sepasang kekasih gila itu salahnya di naskah atau sutradaranya.gue pikir karena film kita kekurangan naskah yang bagus jadi film itu bakal lumayan karena naskahnya kan dari pemenang perlombaan.gue mah dadri tujuh naskah yang terpilih mending nungguin ifa ifansyah selain dia itu bisa dibilang veteran dia juga bakal garap genre yang beda

Rasyidharry mengatakan...

Pure statistik. Pandemi produksi film makin dikit, produksi makin dikit otomatis yang bagus juga berkurang. Dan karena di ott nggak butuh bujet marketing sebesar rilis bioskop, produser makin enteng aja acc ini itu

Dan karena dirilis di ott yang semua orang punya akses, film-film jelek yang kalo dirilis di bioskop nggak akan masuk radar (layar dikit) jadi ketahuan

Rasyidharry mengatakan...

Jelas di naskah. Tone yang nggak jelas, unsur psikologis ngawur, dll. Justru karena hasil lomba, artinya penulis emang belum pengalaman (walau bukan berarti penulis baru pasti jelek)

Ya dari 7 sutradara itu Ifa emang paling punya reputasi. Walaupun pas nyoba bikin film di luar zona nyaman, hasilnya bisa bagus (Hoax), tapi bisa juga ancur (Pesantren Impian)

nuril mengatakan...

kalau emang di naskah mengapa sutradara tercinta kita ini malah milih naskah itu.dia kayaknya selalu pengen anti mainstream filmnya tapi kalau tanpa bakat directing yang mumpuni mah semuanya cuma buang-buang waktu.

tapi gue mikir bang sebenarnya perfilman kita itu punya masa depan yang cerah.karena banyak sineas kita tuh sekarang mulai kreatif dan berani keluar zona nyaman dalam buat film kaya ernest (teka teki tika) sama garin (puisi cinta yang membunuh) kalau gak ada pandemi (bangsat) ini mungkin laju perfilman kita bakal terus naik.

Rasyidharry mengatakan...

Ya pilihan naskah mencerminkan sutradara. Anggy ini tipe yang agak "latah". Apa yang lagi dia demen, langsung dibikin. Dulu film CGI, terus pamer twist, sekarang geser lagi ke transgressive (child sex, rape, dll) yang malah bikin ancur

Kalo Garin sih dari dulu felemnya gitu ya. Tapi Ernest emang mulai nyoba arah lain. Walaupun Teka-Teki Tika dari premis, karakter, sampe poster, agak terlalu ngingetin ke Knives Out. But it's fine. Selama oke nggak masalah

Mahendrata mengatakan...

Bagusan mana dari Selesai bang?