REVIEW - SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

9 komentar

Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings takkan menghasilkan dampak kultural signifikan sebagaimana Black Panther, karena representasinya terhadap Asia masih amat terbatas. Pun jika familiar dengan film-film wuxia, khususnya yang dibintangi Jackie Chan, disutradarai Zhang Yimou, atau diproduseri Shaw Brothers, apa yang ditawarkan sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Just Mercy) dan tim sama sekali tidaklah baru. Tapi apakah semua itu wajib?

Hal-hal di atas memang menghalangi tercapainya potensi, namun berkaca pada iklim film pahlawan super yang masih terlalu Barat-sentris, apa yang Shang-Chi tawarkan tetap memberi angin segar. 

Shang-Chi, yang kini memakai nama Shaun (Simu Liu), menyembunyikan identitasnya sebagai jago kung-fu, menjalani hidup sederhana sebagai valet bersama sahabatnya, Katy (Awkwafina). Sampai terjadilah reuni antara Shang-Chi dengan adiknya, Xu Xialing (Meng'er Zhang), yang kini mengelola underground fight club di Makau, juga ayah mereka, Xu Wenwu (Tony Leung), si pemimpin Ten Rings, organisasi yang namanya diambil dari sepuluh cincin ajaib, yang memberinya kekuatan super sekaligus keabadian.

Dibuat Cretton bersama Andrew Lanham (The Glass Castle, Just Mercy) dan Dave Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984), naskahnya masih menawarkan formula familiar seputar keluarga disfungsional, yang kemudian menggiring proses pencarian jati diri sang protagonis. Karena sejak kecil dilatih sebagai pembunuh, apakah berarti itu merupakan takdir yang tak bisa ia lepaskan? Pertanyaan itu sudah kita ketahui secara pasti jawabannya. 

Naskahnya memang tidak beranjak dari tuturan formulaik, tidak pula mengeksplorasi temanya lebih mendalam, namun porsi drama, terutama perihal hubungan keluarga, mampu tampil solid berkat Tony Leung. Di tangan sang aktor legendaris, Wenwu bukan villain yang bakal kita benci, melainkan pahami. Leung tidak hanya memberi karisma sosok pembunuh yang telah hidup ribuan tahun, juga kerapuhan pria biasa yang kehilangan cintanya, kehilangan alasan terbesarnya untuk memiliki hati nurani. Dia bukan figur penghancur dunia. Tapi demi mengembalikan "dunianya" yang hancur, Wenwu rela bila harus menghancurkan dunia. Menyaksikan Leung membuat saya berpikir, "Kalau ditempatkan di situasinya, apakah akan melakukan hal yang sama?". 

Di ranah aksi, Cretton menggabungkan tiga elemen, yakni pertempuran masif sarat CGI khas MCU, baku hantam chaotic ala Jackie Chan, dan seni bela diri selaku ekspresi rasa serta filosofi sebagaimana kerap dipakai Zhang Yimou. Dua jenis terakhir tampil paling mengesankan. Simu Liu dan Meng'er Zhang (such badass) membantu Cretton memaksimalkan latar kreatif aksinya (bus, konstruksi gedung pencakar langit), yang juga mengedepankan koreografi, sambil menekan jumlah manipulasi lewat penyuntingan. 

Pengaruh karya-karya Zhang Yimou terasa betul pada pertemuan perdana Wenwu dengan sang istri, Ying Li (Fala Chen), dan ketika Shang-Chi dilatih oleh bibinya, Ying Nan (Michelle Yeoh). Ketimbang perkelahian, momen-momen tersebut lebih seperti pertukaran rasa. Yeoh, berbekal pengalaman membintangi judul martial arts selama hampir empat dekade, bergerak indah, namun tidak lemah, layaknya entitas yang sudah mengentaskan diri dari fase duniawi. 

Tapi Shang-Chi tentu saja masih installment MCU dengan segala ramuan khasnya (for better or worse). Humor yang meski cenderung hit-and-miss tetap memancing beberapa tawa, ekspansi universe melalui deretan cameo serta hint bahwa sang protagonis bakal memegang peranan besar di masa depan, pula set-piece aksi masif yang tetap punya tempat, kendati di paruh akhir, filmnya mendekatkan diri ke nuansa fairytale, ketika latar bergerak memasuki dunia fantasi penuh hewan-hewan mitologi. 

CGI di klimaksnya agak inkonsisten, yang mungkin disebabkan karena bujet dialokasikan untuk membungkus pertarungah terakhir, saat Shang-Chi berpindah ke genre kaiju. Di satu sisi, pilihan ini melucuti keintiman emosional yang dibawa elemen wuxia, tapi di sisi lain, turut menegaskan bahwa wajah film Asia bukan cuma martial arts, sebagaimana stigma yang sering disematkan terhadapnya.  

9 komentar :

Comment Page:
Hendra triwijaya mengatakan...

punya teori soal kembalinya dua superhero MCU di Post credit scene nya ssang chi gak bang??

Anonim mengatakan...

Nonton dimana nih mas? Bioskop atau rent stream? Hehehe

Rasyidharry mengatakan...

Bioskop dong, udah 2 tahun lebih nggak nonton MCU di layar lebar

Rasyidharry mengatakan...

Masih ambigu. Soalnya ten rings versi MCU beda dari versi komik. Nyambung ke Eternals bisa, ke soal multiverse bisa, atau ke hal baru yang kita belum tahu

wins mengatakan...

Tony Leung adalah alasan ane mau nonton film ini...

Rengga mengatakan...

kirain bakal dikasih nilai "lumayan" setelah baca lengkap ulasannya mas rasyid.

agoesinema mengatakan...

End fightnya malah anti klimaks, gw lebih suka pertarungan di bus... lebih keren saja, seperti nonton Jackie Chan masa muda, koreonya jg diarahkan mendiang Brad Allan salah satu mantan Jackie Chan Stunt Team.
Btw penampilan Cynthia Chandranaya (pesilat Lampung) sebagai stunt double karakte Xu Xialing sangat keren sih.

bantul mengatakan...

Kenapa ibunya shaun bisa kalah dan mati ketika berkelahi. Bukannya dia sangat kuat bahkan bisa mengalahkan dengan mudah suaminya sendiri

Anonim mengatakan...

Kan di awal film si shang-chi kecil nanya apakah ibunya masih ada kekuatan magisnya yg berasal dr naganya, trus ibunya jawab saat dia ninggalin Ta Lo, kekuatannya udh ga ada, kalo ga salah diambil balik lg ama naganya.