Tampilkan postingan dengan label Awkwafina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Awkwafina. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE BAD GUYS

Ingat bagaimana Quentin Tarantino membuka Pulp Fiction? Pumpkin dan Honey Bunny mengobrol santai di sebuah diner sebelum menjalankan aksi perampokan. Menyusul berikutnya adalah perdebatan Vincent Vega dan Jules Winnfield tentang burger di tengah misi pembunuhan. Gabungkan keduanya, maka jadilah adegan pembuka The Bad Guys. 

Mr. Wolf (Sam Rockwell) dan Mr. Snake (Marc Maron) duduk di restoran, "bertukar pikiran" soal mana makanan yang lebih enak: kue atau guinea pig. Kemudian, dibungkus dengan single take, keduanya berjalan santai menuju bank yang jadi target jarahan. Siapa sangka penghormatan bagi karya Tarantino (yang dilakukan secara sempurna alias bukan gimmick asal-asalan) dapat ditemukan di animasi anak? 

Belakangan baru saya tahu, Aaron Blabey, kreator seri buku anak berjudul sama yang diadaptasi filmnya, merupakan pengagum Tarantino. Referensi di dalamnya pun nampak jelas. Jika pembukanya "mencomot" Pulp Fiction, maka keseluruhan alurnya bak cerminan Reservoir Dogs. 

Mr. Wolf adalah pimpinan sekelompok kriminal yang aksinya senantiasa merepotkan polisi, pula meresahkan warga. Anggotanya terdiri dari Mr. Snake si pembobol brankas, Mr. Shark (Craig Robinson) si ahli menyamar, Ms. Tarantula (Awkwafina) si peretas, dan Mr. Piranha (Anthony Ramos) si tukang pukul. Kelimanya menikmati status sebagai "orang jahat", karena selama ini, cap itulah yang masyarakat sematkan, hanya karena tampilan fisik mereka dianggap mengerikan.

Film ini berlatar dunia di mana manusia dan hewan antropomorfisme tinggal berdampingan. Kisahnya coba menyentil perihal stigma di lingkup sosial, namun bangunan dunianya kurang kuat. Apakah para protagonis dibenci karena mereka hewan buas? Kalau demikian, kenapa Diane (Zazie Beetz) yang berwujud rubah bisa menjadi gubernur tanpa tentangan? Mengapa ada hewan antropomorfisme dan ada juga hewan biasa? Saya takkan mengeluhkan hal-hal di atas dalam memandang film animasi anak andai Zootopia belum eksis.

Lubang itu toh tidak mengubah fakta kalau mereka merupakan korban ketidakadilan. Alhasil, mudah mendukung mereka, termasuk saat Profesor Marmalade (Richard Ayodae), guinea pig yang dipuja karena kemuliaan hatinya, mencetuskan eksperimen untuk memunculkan kebaikan dari hati kelima penjahat tersebut. 

Hal paling menonjol di The Bad Guys tentu estetikanya. Ditangani Pierre Perifel di kursi penyutradaraan, kombinasi animasi 3D dengan sentuhan ala gambar tangan 2D bukan cuma memberi keunikan lewat visual tajam, pula menambah energi. Terutama pada adegan aksi, ketika gerak-gerak bertempo tinggi makin tampak dinamis. Ditambah humor lucu yang efektif memanfaatkan konsep "bad-guys-go-good" serta karakteristik hewani karakternya, The Bad Guys pun tampil makin mumpuni sebagai hiburan.

Terpenting, filmnya tak melupakan hati. Protagonisnya kerap bertingkah absurd, namun ikatan di antara mereka amat kuat, memberi nyawa bagi tuturan The Bad Guys mengenai persahabatan. Khususnya Mr. Wolf dan Mr. Snake. Jajaran pengisi suara berperan besar di sini. Terdapat momen kala Mr. Snake merasa dikhianati sang sahabat, dan voice acting Marc Maron membuat perpecahan keduanya terasa menyakitkan. 

The Bad Guys memang kisah mengenai para penjahat yang mencicipi nikmatnya berlaku baik. Tapi kisahnya tidak berpesan agar individu  membuang identitas mereka demi kebaikan. "Memperbaiki" bukan berarti membunuh jati diri. "Memulai kembali" bukan berarti membuang segala hal yang ada. Kita hanya perlu menjadi versi lebih baik dari diri kita yang asli.

REVIEW - SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings takkan menghasilkan dampak kultural signifikan sebagaimana Black Panther, karena representasinya terhadap Asia masih amat terbatas. Pun jika familiar dengan film-film wuxia, khususnya yang dibintangi Jackie Chan, disutradarai Zhang Yimou, atau diproduseri Shaw Brothers, apa yang ditawarkan sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Just Mercy) dan tim sama sekali tidaklah baru. Tapi apakah semua itu wajib?

Hal-hal di atas memang menghalangi tercapainya potensi, namun berkaca pada iklim film pahlawan super yang masih terlalu Barat-sentris, apa yang Shang-Chi tawarkan tetap memberi angin segar. 

Shang-Chi, yang kini memakai nama Shaun (Simu Liu), menyembunyikan identitasnya sebagai jago kung-fu, menjalani hidup sederhana sebagai valet bersama sahabatnya, Katy (Awkwafina). Sampai terjadilah reuni antara Shang-Chi dengan adiknya, Xu Xialing (Meng'er Zhang), yang kini mengelola underground fight club di Makau, juga ayah mereka, Xu Wenwu (Tony Leung), si pemimpin Ten Rings, organisasi yang namanya diambil dari sepuluh cincin ajaib, yang memberinya kekuatan super sekaligus keabadian.

Dibuat Cretton bersama Andrew Lanham (The Glass Castle, Just Mercy) dan Dave Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984), naskahnya masih menawarkan formula familiar seputar keluarga disfungsional, yang kemudian menggiring proses pencarian jati diri sang protagonis. Karena sejak kecil dilatih sebagai pembunuh, apakah berarti itu merupakan takdir yang tak bisa ia lepaskan? Pertanyaan itu sudah kita ketahui secara pasti jawabannya. 

Naskahnya memang tidak beranjak dari tuturan formulaik, tidak pula mengeksplorasi temanya lebih mendalam, namun porsi drama, terutama perihal hubungan keluarga, mampu tampil solid berkat Tony Leung. Di tangan sang aktor legendaris, Wenwu bukan villain yang bakal kita benci, melainkan pahami. Leung tidak hanya memberi karisma sosok pembunuh yang telah hidup ribuan tahun, juga kerapuhan pria biasa yang kehilangan cintanya, kehilangan alasan terbesarnya untuk memiliki hati nurani. Dia bukan figur penghancur dunia. Tapi demi mengembalikan "dunianya" yang hancur, Wenwu rela bila harus menghancurkan dunia. Menyaksikan Leung membuat saya berpikir, "Kalau ditempatkan di situasinya, apakah akan melakukan hal yang sama?". 

Di ranah aksi, Cretton menggabungkan tiga elemen, yakni pertempuran masif sarat CGI khas MCU, baku hantam chaotic ala Jackie Chan, dan seni bela diri selaku ekspresi rasa serta filosofi sebagaimana kerap dipakai Zhang Yimou. Dua jenis terakhir tampil paling mengesankan. Simu Liu dan Meng'er Zhang (such badass) membantu Cretton memaksimalkan latar kreatif aksinya (bus, konstruksi gedung pencakar langit), yang juga mengedepankan koreografi, sambil menekan jumlah manipulasi lewat penyuntingan. 

Pengaruh karya-karya Zhang Yimou terasa betul pada pertemuan perdana Wenwu dengan sang istri, Ying Li (Fala Chen), dan ketika Shang-Chi dilatih oleh bibinya, Ying Nan (Michelle Yeoh). Ketimbang perkelahian, momen-momen tersebut lebih seperti pertukaran rasa. Yeoh, berbekal pengalaman membintangi judul martial arts selama hampir empat dekade, bergerak indah, namun tidak lemah, layaknya entitas yang sudah mengentaskan diri dari fase duniawi. 

Tapi Shang-Chi tentu saja masih installment MCU dengan segala ramuan khasnya (for better or worse). Humor yang meski cenderung hit-and-miss tetap memancing beberapa tawa, ekspansi universe melalui deretan cameo serta hint bahwa sang protagonis bakal memegang peranan besar di masa depan, pula set-piece aksi masif yang tetap punya tempat, kendati di paruh akhir, filmnya mendekatkan diri ke nuansa fairytale, ketika latar bergerak memasuki dunia fantasi penuh hewan-hewan mitologi. 

CGI di klimaksnya agak inkonsisten, yang mungkin disebabkan karena bujet dialokasikan untuk membungkus pertarungah terakhir, saat Shang-Chi berpindah ke genre kaiju. Di satu sisi, pilihan ini melucuti keintiman emosional yang dibawa elemen wuxia, tapi di sisi lain, turut menegaskan bahwa wajah film Asia bukan cuma martial arts, sebagaimana stigma yang sering disematkan terhadapnya.  

REVIEW - RAYA AND THE LAST DRAGON

Karakter Raya (Kelly Marie Tran) di Raya and the Last Dragon, tak ubahnya nama-nama seperti Merida, Elsa, dan Moana, memimpin langkah animasi Disney menuju era baru, sebagai protagonis wanita (tidak harus termasuk "Disney Princess") kuat nan mandiri, yang tak terlibat romansa, tak perlu menunggu satu kecupan dari pria untuk memancarkan cahayanya. 

Sah atau tidaknya film ini sebagai representasi orang Asia Tenggara mungkin menyulut perdebatan, meski gelombang protes tersebut bagi saya malah bentuk ketidakhormatan terhadap Kelly. Seorang keturunan Vietnam, yang tengah berusaha bangkit pasca menjadi korban rasisme para penggemar Star Wars. Keterlibatannya membuat film ini patut dirayakan. 

Di luar soal representasi, sebagaimana dilakukan Black Panther dengan budaya Afrika, Raya and the Last Dragon meleburkan elemen-elemen kultural Asia Tenggara, guna melahirkan dunia fiktif bernama Kumandra, yang tampil beda, terlihat menyegarkan dibanding animasi Disney lain. Sebuah sekuen di awal yang merangkum sejarah Kumandra misalnya, dikemas menggunakan estetika bak pertunjukan wayang. Sebuah epos, ketimbang flashback generik ala Hollywood. 

Dahulu kala, manusia dan naga hidup harmonis di Kumandra. Sampai Druun, entiti jahat berbentuk asap hitam dengan cahaya ungu di intinya, menyerang. Umat manusia selamat berkat pengorbanan para naga. Seluruh naga punah, termasuk Sisu (Awkwafina), yang konon merupakan pahlawan terbesar di peperangan itu. Sisu meninggalkan permata naga ajaib yang dapat melindungi dari Druun, namun manusia malah saling berperang memperebutkannya, berujung memecah belah mereka menjadi lima suku: Heart, Fang, Spine, Tail, dan Falon. 

Raya merupakan puteri dari kepala suku Heart, Benja (Daniel Dae Kim), yang bertugas menjaga permata tadi. Cita-cita Benja adalah menyatukan lagi seluruh suku, agar keharmonisan Kumandra dapat kembali. Diundanglah keempat suku lain dalam perjamuan, yang justru berakhir bencana, tatkala Namaari (Gemma Chan), puteri kepala suku Fang, menipu Raya dengan tujuan mencuri permata naga. Timbul kekacauan, saat secara tak sengaja permata itu pecah, membangkitkan Druun yang seketika mengubah orang-orang menjadi batu, termasuk Benja. Sekali lagi, peradaban manusia terancam.

Beberapa tahun berselang, kita berjumpa lagi dengan Raya. Dia bukan lagi sesosok bocah. Ditemani sahabatnya, armadillo raksasa bernama Tuk Tuk (Alan Tudyk), Raya melakukan perjalanan mengumpulkan pecahan permata naga yang tersebar di tiap suku, untuk membangkitkan Sisu, yang diharapkan mampu memulihkan segalanya, termasuk sang ayah. Raya dipersenjatai pedang ayahnya yang tampak seperti keris raksasa (satu lagi sentuhan kultural menarik), namun senjata terkuat yang membuatnya jadi salah satu protagonis wanita Disney favorit saya sepanjang masa, adalah keberanian. Melalui suaranya, Kelly menghidupkan keberanian Raya. 

Tapi ada satu hal yang masih harus Raya pelajari, yakni soal rasa percaya. Sulit baginya mempercayai orang lain, apalagi setelah pengkhianatan Namaari, yang di awal pertemuan mereka, bersikap layaknya teman. Raya belajar menaruh rasa percaya, tatkala umat manusia dikuasai keserakahan. Druun bukanlah antagonis utama film ini. Bahkan, Druun bisa dipandang bukan sebagai monster, melainkan wabah, yang diciptakan pula ditularkan oleh keserakahan manusia, yang mana adalah musuh sesungguhnya.

Di tiap daerah, kawan perjalanan Raya bertambah. Ada Boun (Izaac Wang, yang mencuri perhatian lewat debutnya di Good Boys) si bocah 10 tahun pemilik restoran perahu dari Tail, Noi (Thalia Tran) si balita penipu dari Talon yang melancarkan aksi bersama trio ongis (separuh monyet, separuh lele), dan Tong (Benedict Wong) si prajurit bertubuh besar namun berhati lembut dari Spine. Mereka merupakan jajaran tokoh pendukung penuh warna yang mudah mencuri hati penonton, khususnya Noi yang menggemaskan. Pun fakta bahwa selain berasal dari lokasi berbeda, mereka juga mempunyai kepribadian, usia, serta gender berbeda-beda, turut mewakili pesan utama filmnya, yakni soal "persatuan di balik perbedaan". 

Naskah buatan Qui Nguyen (keturunan Vietnam) dan Adele Lim (berkebangsaan Malaysia) memang apik perihal menjalin pesan bermakna. Kelemahannya, naskah kerap terburu-buru. Alurnya kerap terkesan bergerak melewati jalan pintas, termasuk beberapa simplifikasi, semisal terlalu mudahnya upaya membangkitkan Sisu. Menurut legenda, jiwa Sisu masih bersemayam di salah satu dari sekian banyak ujung sungai di Kumandra. Tentu sebagai makhluk legendaris nan misterius, kebangkitannya takkan segampang merapal mantra sederhana bukan? Well, pikir lagi.

Berlatar dunia sarat keajaiban, rupanya tak otomatis menghindarkan Raya and the Last Dragon dari plot generik. Bahkan cenderung seperti video game yang terdiri atas deretan checkpoint, di mana jagoan kita tiba di suatu lokasi, melewati beberapa rintangan, mengambil permata, lalu beranjak menuju lokasi berikutnya guna melakukan proses serupa. Begitu pula penanganan aksi duo sutradara, Don Hall (Winnie the Pooh, Big Hero 6) dan Carlos López Estrada (Blindspotting), yang biarpun jauh dari kata "buruk", tidaklah sefantastis premisnya. 

Beruntung, segala kekurangan di atas, dibayar oleh kemampuan mereka mengolah rasa. Jangan mengharapkan pertempuran epik naga melawan monster di klimaks, namun di situlah puncak emosi film terletak. Karena Raya and the Last Dragon bukanlah kisah soal pertempuran fisik, melainkan batin. Saya teringat pada klimaks Guardians of the Galaxy, tapi dengan dampak emosi berkali-kali lipat. 

Saya dibuat terharu bukan cuma karena unsur drama, juga oleh keindahannya. Visualnya memanjakan mata, tapi seindah apa pun rasanya menyaksikan Sisu terbang di bawah guyuran hujan, keindahan terbesar justru muncul dari pemandangan yang terasa dekat. Terutama di Heart. Bentangan alam hijau, deretan pohon kelapa, dan dataran yang basah selepas guyuran hujan, membuat saya ingin berdiri, merasakan siraman matahari pagi di sana. 

JUMANJI: THE NEXT LEVEL (2019)

Dua tahun lalu, Jumanji: Welcome to the Jungle meruntuhkan segala skeptisme lewat petualangan segar nan menghibur yang juga sukses secara finansial dengan pendapatan $962 juta. Franchise-nya pun mendapat suntikan tenaga sekaligus arah baru. Sekuelnya ini—yang bisa dianggap film ketiga atau keempat di seri Jumanji tergantung apakah anda menghitung Zathura: A Space Adventure (2005) atau tidak—mungkin tak menghadirkan petualangan tingkat lanjut sebagaimana judulnya siratkan, namun petualangan yang familiar ini masih sama menyenangkannya.

Selepas peristiwa film pertama, Fridge (Ser'Darius Blain) si atlet, Martha (Morgan Turner) si pemalu yang cerdas, dan Bethany (Madison Iseman) si gadis populer, masih rutin berkomunikasi lewat grup chat meski sudah tinggal terpisah. Spencer (Alex Wolff) juga tergabung di grup itu, tapi ia lebih banyak diam. Hubungan jarak jauhnya denga Martha pun bermasalah. Spencer kehilangan arah. Kepercayaan dirinya terkikis, dilahap oleh hiruk New York. Saat keempatnya hendak bereuni, Spencer justru punya rencana lain.

Dia rindu menjadi Dr. Bravestone (Dwayne Johnson) yang perkasa. Akhirnya, ia nekat memperbaiki gim Jumanji yang diam-diam dipungutnya, lalu kembali memasuki dunia tersebut. Mengetahui itu, Martha, Fridge, dan Bethany terpaksa menyusul demi menolong Spencer, sampai peristiwa mengejutkan terjadi. Di Jumanji, Martha masihlah Ruby Roundhouse (Karen Gillan) dengan segala keatletisannya. Sial bagi Fridge. Kini avatarnya adalah Professor Sheldon (Jack Black) si arkeologis yang menurutnya tidak berguna.

Tapi bukan itu saja. Kakek Spencer, Eddie (Danny DeVito) serta mantan sahabatnya, Milo (Danny Glover) ikut terhisap ke Jumanji, dan masing-masing menempati avatar Dr. Bravestone dan Mouse (Kevin Hart) si zoologist, sedangkan Bethany tertinggal di dunia nyata. Ke mana perginya Spencer? Pertanyaan itu bakal terjawab bersama paparan filmnya soal penerimaan diri. Nantinya diungkap bahwa avatar Spencer tidak jauh beda dibanding sosoknya di kehidupan nyata. Dari situ, Jumanji: The Next Level memperlihatkan proses Spencer menerima seluruh kekurangan dirinya, lalu berusaha melakukan yang terbaik. Bukan begitu?

Awalnya demikian, sampai naskah buatan sutradara Jake Kasdan (yang turut membidani film sebelumnya) bersama Jeff Pinker dan Scott Rosenberg (keduanya pernah berduet di Jumanji: Welcome to the Jungle dan Venom) merusak pesan tersebut di babak ketiga, sewaktu filmnya menempuh jalur malas guna menyelesaikan masalah tokoh-tokohnya yang terjadi akibat avatar mereka saling tertukar. Bobot emosi justru hadir di tengah konflik Eddie dan Milo, dalam kisah tentang retaknya persahabatan yang awalnya konyol, namun perlahan menemukan hati, kala menyinggung betapa pertemanan dua manusia lanjut usia punya makna lebih, sebab mereka mesti bergulat dengan waktu, juga “akhir”.

Humornya masih mengandalkan kekacauan kala beberapa avatar diisi oleh seseorang dengan karakterisasi berlawanan. Bahkan beberapa humor Welcome to the Jungle, seperti “smoldering intensity” atau “jurus menari” milik Ruby, ditampilkan lagi, seolah Jumanji: The Next Level coba menghadirkan nostalgia dari film yang baru rilis dua tahun lalu. Tidak sesegar dulu? Jelas. Apakah masih lucu? Ternyata iya. Jake Kasdan sanggup memanfaatkan talenta luar biasa jajaran pemainnya, yang dituntut memerankan berbagai macam kepribadian.

Dwayne Johnson sebagai kakek pelupa yang cerewet, Kevin Hart sebagai zoologist dengan tempo bicara super lambat yang kerap menggiring teman-temannya menuju bahaya, dan Jack Black, meski tak lagi mengutamakan kecentilan seperti film sebelumnya, membawa sisi histerikal yang juga menghibur. Karen Gillan masih menggila, apalagi saat di satu titik, avatar Ruby Roundhouse sempat dimasuki karakter lain, sedangkan Awkwafina sebagai Ming, si avatar baru dengan spesialisasi mencuri, bakal membuatmu sakit perut hanya dengan melihat postur dan gesturnya.

Dunia Jumanji mayoritas terbuat dari CGI, tapi itu urung membuat Jake Kasdan terlalu bergantung kepadanya. Sewaktu banyak film setipe cuma asal membentangkan dunia CGI warna-warni yang terasa mati, Kasdan memperhatikan betul tiap set piece aksi, membuatnya bertenaga berkat penempatan sekaligus pergerakan kamera yang sesuai. Dan sewaktu saya mulai khawatir bila film keempatnya kelak bakal repetitif, Jumanji: The Next Level menampilkan mid-credits scene yang menjaga antusiasme untuk menantikan sekuelnya. Bring me the next, more advance level!


CRAZY RICH ASIANS (2018)

Di luar menjadi film berlatar modern produksi studio besar Hollywood pertama yang mayoritas pemainnya diisi jajaran pemain Asia sejak The Joy Luck Club (1993), Crazy Rich Asians tidak berusaha membongkar pakem. Filmnya menerapkan formula komedi-romantis mengenai jatuh-bangun hubungan romansa, mencampurnya dengan formula lain tentang “Cerita Cinderella” lengkap dengan momen makeover  yang bakal membuatmu berharap didatangi ibu peri beserta kereta labu ajaib. Adaptasi novel bestseller berjudul sama karya Kevin Kwan ini tak berusaha menjauh, tapi memperkaya, memperdalam, sekaligus mempercantik formula yang telah paten. Demikian, Crazy Rich Asians berpeluang membangkitkan komedi-romantis arus utama dari mati suri.

Aksi kucing-kucingan untuk mendapatkan pria/gadis idaman ditiadakan (setidaknya sampai babak akhir), diganti usaha merebut hati calon mertua. Rachel Chu (Constance Wu), gadis Cina-Amerika yang menjabat profesor ekonomi di New York University menerima ajakan sang kekasih, Nick Young (Henry Golding) menghadiri pernikahan sahabatnya, Colin Khoo (Chris Pang) dengan Araminta (Sonoya Mizuno) di Singapura, sekaligus bertemu ibunya, Eleanor (Michelle Yeoh). Satu hal yang Rachel belum ketahui, Nick merupakan anak sulung salah satu keluarga terkaya di sana.

Pesona Golding membuatnya tampak meyakinkan sebagai pewaris tahta dinasti keluarga terpandang dan figur publik idola, sementara Wu, menampilkan kepolosan yang seiring waktu berkembang jadi kepercayaan diri. Berdua, mereka menciptakan pasangan komedi-romantis sempurna, tapi tidak di mata Eleanor yang menyatakan keengganan menerima Rachel lewat kesopnanan tutur yang menusuk. Tapi Eleanor bukan antagonis dangkal berupa sosok ibu kejam. Dia menyayangi Nick dan sebagai orang tua, sepenuhnya berhak meragukan Rachel. Eleanor tidak jahat, melainkan tradisional.

Karena di samping kemewahan lokasi, properti, pula busananya, Crazy Rich Asians bicara soal tradisi masyarakat Asia (termasuk Indonesia), yang mementingkan restu keluarga sebelum membawa hubungan ke tingkat lanjut. Sementara pihak keluarga menimbang “bibit, bebet, bobot”. Petuah “Menikahlah dengan orang yang satu ras/daerah /agama” seolah bergema sepanjang film. Rachel dianggap berbeda karena merupakan Cina-Amerika, tidak “murni”, dan Amerika, atau negeri Barat secara umum, terlihat negatif bagi Eleanor. Mereka rela mengorbankan keluarga demi impian. Kata “mandiri” pun bak bersinonim dengan “membuang keluarga”. Maka saat Nick berkata, “I’ll figure it out ON MY OWN”, Eleanor merespon sinis, menyebutnya sebagai “aksen Amerika”.

Crazy Rich Asians tidak berusaha mencela perspektif Eleanor, melainkan mengajak penonton mengobservasi pemicunya, yakni tradisi panjang nan mengakar, yang mau tidak mau wajib Eleanor terima dan internalisasikan sebagai kepercayaannya sendiri. Michelle Yeoh memastikan di setiap respon dingin atau keheningan dengan senyum yang terasa intimidatif untuk calon menantu mana pun, terdapat lapisan lain. Eleanor tenang di luar, namun pembawaan Yeoh membuat saya yakin bahwa di dalam, otaknya sibuk bekerja, mengkalkulasikan tiap opsi langkah layaknya pemain mahjong berpengalaman.

Mahjonng turut memainkan peran di sebuah momen penting yang berguna menyampaikan salah satu pesan utama filmnya: proses mengenali. Pertama kali kita bertemu Rachel, ia sedang mengajar di kelas, memperlihatkan kepada murid-muridnya jika kunci kemenangan dalam permainan apa pun adalah mengenali lawan. Itu pula yang terjadi sepanjang film. Permainan. Guna memenangkannya, Rachel—atau siapa saja yang mencari kelanggengan hubungan—mesti mengenali sang lawan, entah itu si calon mertua, atau sang kekasih sendiri. Crazy Rich Asians dipenuhi konflik serupa, ketika rahasia dan ketidaktahuan berujung menciptakan masalah.

Di Singapura, bukan Eleanor saja lawan Rachel, wanita-wanita sosialita pemuja Nick yang cemburu melihat si pangeran idola jatuh ke pelukannya pun jadi rintangan. Beruntung, Rachel ditemani beberapa kawan yang selalu siap sedia memberi dukungan. Salah satunya Peik Lin, sahabat Rachel semasa kuliah, yang berkat keeksentrikan Awkwafina, menjadi sumber tawa. Apabila Peik Lin adalah “Asian Ellen”, maka Gemma Chan sebagai Astrid, saudari Nick sekaligus ikon fashion Singapura, bagaikan “Asian Audrey Hepburn”. Glamor, memesona, mengenakan gaun serta perhiasan mewah ketimbang “dikenakan” oleh mereka. Keduanya, juga tokoh pendukung lain termasuk ibunda Rachel, Kerry (Tan Kheng Hua), memegang peran penting dalam perjalanan protagonis kita memahami kalau ia harus bangga akan dirinya, lalu memanfaatkan seluruh talentanya agar menjadi kekuatan. The Cinderella doesn’t needs a fairy in this fairy tale.

Anda mungkin sudah mendengar puja-puji bagi adegan pernikahan film. Saya pastikan puja-puji tersebut tidaklah berlebihan. Pernikahan Colin-Araminta  adalah adegan terbaik Crazy Rich Asians, pula salah satu momen film terindah sepanjang tahun. Pertama, tentu saja berkat hasil kerja menakjubkan departemen artistik yang turut melibatkan talenta lokal, Teddy Setiawan (Beirut) sebagai drafter. Diceritakan pernikahan itu memakan biaya $40 juta, lebih mahal dari bujet $30 juta milik filmnya. Namun saat kreativitas mengambil alih, tiada yang mustahil. Rerumputan dan bunga-bunga di kapel hingga tongkat bercahaya yang digenggam masing-masing tamu menghasilkan nuansa surgawi. Hasil karya di momen-momen lain tak kalah memikat, termasuk dekorasi ruang kelas satu pesawat yang mesti dibangun dari nol akibat maskapai Singapore Airlines menolak tawaran kerja sama.

Sutradara Jon M. Chu (Step Up 3D, Justin Bieber: Never Say Never, G.I. Joe: Retaliation) sudah terbiasa menangani film berbasis parade visual, tapi pada pengikatan janji suci Colin-Araminta, Chu membuktikan ia bukan saja jago mengkreasi gambar cantik. Penyutradaraannya mewakili keyakinan bahwa pernikahan itu sakral. Chu menghasilkan nuansa yang nyaris mystical (dan pastinya magical). Puncaknya saat kapel dialiri air dan Chu menghentikan semua sumber suara termasuk iringan manis Can’t Help Falling in Love versi Kina Grannis. Keheningan magis yang sulit ditandingi film lain tahun ini pun merobohkan pertahanan emosi saya. Pernikahan ini tidak hanya perihal pameran visual, juga interaksi karakter, dari bisikan “I love you” dua protagonis sampai kedatangan Astrid bersama sang nenek (Lisa Lu), menampakkan ragam wujud cinta, baik antar-kekasih juga keluarga.

Crazy Rich Asians adalah film yang bertujuan menyebarkan kebahagiaan, entah melalui romansa manis dan uplifting-nya, komedi segar, enegi, maupun keglamoran yang bersinar terang berkat kerja luar biasa departemen artistiknya. Mengikuti formula, di atas permukaan kisahnya takkan terlihat spesial, namun sebagaimana karakternya lakukan, cobalah mencari tahu, mengenali lebih lanjut. Amati, dapatkan pemahaman lebih lanjut, dan anda bakal menemukan berlian yang sama menyilaukannya dengan koleksi Astrid.


Note: Setelah menonton untuk kedua kali, nilai diubah dari 4 menjadi 4,5 bintang.

OCEAN'S 8 (2018)

Genre heist caper punya formula klasik, aturan-aturan yang diawali dengan (1) perkenalan benteng yang mustahil ditembus (brankas, kasino, museum), lalu kita (2) bertemu sekelompok pria necis yang berencana membobolnya, (3) melihat mereka membeberkan rencana mengenai siapa harus melakukan apa serta bagaimana. Ocean’s 8 sepenuhnya berjalan mengikuti pakem kecuali pada poin kedua, di mana alih-alih pria necis, kita berkenalan dengan para wanita berkelas. Sandra Bullock dengan ketenangan elegannya, Cate Blanchett dalam lagak semaunya, sikap eksentrik Helena Bonham Carter sebagaimana biasa, Rihanna yang melambungkan level “keren” peretas beberapa tingkat lebih tinggi, Anna Hathaway dengan senyum yang mewakili definisi “selebritis bodoh”.

Ocean’s 8 adalah sepenuhnya soal star power. Ditambah Sarah Paulson, Awkwafina, dan Mindy Kaling, tercipta kombinasi menarik yang bukan cuma tentang multikultural, juga beragam kepribadian. Walau bertindak selaku spin-off untuk remake dari Ocean’s 11 (1960) yang juga mengandalkan star power kelima Rat Pack (Peter Lawford, Frank Sinatra, Dean Martin, Sammy Davis, Jr., dan Joey Bishop), toh naskah garapan Gary Ross bersama Olivia Milch bergerak layaknya reka ulang dari versi Steven Soderbergh (di sini bertindak selaku produser). Debbie Ocean (Sandra Bullock) baru keluar dari penjara, menemui partner sekaligus sahabatnya, Lou (Cate Blanchett), menyusun rencana merampok Toussaint, kalung berlian senilai $150 juta, lalu membentuk tim guna menjalankan perampokan.

Seperti saat Rusty Ryan (Brad Pitt) menentang niatan Danny Ocean (George Clooney) menyelipkan usaha balas dendam personal di tengah misi, Lou pun bakal menyatakan hal serupa pada Debbie, yang dijebloskan ke penjara akibat pengkhianatan Claude Becker (Richard Armitage), mantan kekasih sekaligus rekan dalam praktek penipuan benda seni. Dari konsep, persamaan dengan Ocean’s Eleven (2001) memang tak terhindarkan, sayang, detail eksekusinya justru mengingatkan akan Ocean’s Thirteen (2007), yang notabene film terburuk dalam triloginya. Sebelum perampokan utama, penipuan, sabotase, dan penyusupan dilakukan terlebih dahulu sebagai persiapan. Di fase ini, cuma para karakter yang tahu apa rencananya, sementara penonton dibiarkan buta hingga misi berakhir, tapi filmnya berharap kita terpukau oleh eksekusi rencana yang disusun di balik layar itu. Bagaimana bisa jika penonton diasingkan dan tidak merasa terlibat?

Tidak peduli seberapa mustahil rencananya, penonton mesti diyakinkan bahwa itu bisa dilakukan, setidaknya oleh jajaran protagonisnya. Filmnya perlu memperlihatkan keberhasilan misi terjadi berkat kapasitas karakternya, bukan akibat kebodohan korban seperti saat Rose Weil (Helena Bonham-Carter) sang desainer dan Amita (Mindy Kalling) si pembuat berlian berusaha memindai barang target perampokan. Keduanya bersikap konyol, bodoh, aneh, mencurigakan, namun urung dicurigai. Ketika karakternya lolos semudah itu, hilang pula tensi filmnya. Praktis sebelum sajian utama di klimaks, kenikmatan hidangan pembukanya sebatas menyaksikan kepiawaian aktris-aktris kelas satu memerankan sederet tokoh tanpa kedalaman penokohan. Tapi siapa peduli? Film macam ini bukan studi karakter. Kemampuan khusus masing-masing jadi kepribadian pengganti yang mendefinisikan dan membedakan mereka.

Puncak aksinya berjalan cukup singkat, tapi dikemas penuh gaya kala Ross mengkreasi ulang Met Gala secara otentik di Metropolitan Museum of Art selaku lokasi asli, lengkap dengan barang-barang seni asli pula, yang semuanya mampu diperoleh berkat restu Anna Wintour, pimpinan redaksi Vogue sekaligus kurator Met Gala sejak 1995 yang juga menjadi cameo. Tentu cameo para pesohor diperlukan demi menjaga otentitas, sehingga nama-nama seperti Zayn Malik, Katie Holmes, Maria Sharapova, Serena Williams, Kim Kardashian, Adriana Lima, Kylie Jenner, Kendall Jenner, Olivia Munn, dan lain-lain turut hadir di antara keglamoran yang mampu membuat penonton berteriak “oooohh”. Itu juga respon saya tatkala Rihanna, pasca menghabiskan sepanjang film memakai pakaian kasual, mendadak memasuki lantai Met Gala dalam balutan gaun merah menawan.

Apalah artinya heist tanpa twist yang bertempat pasca perampokan ketika kita merasa segalanya telah usai. Kejutan yang hadir semata untuk menghentak ketimbang memperkuat jalinan cerita, walau beberapa dari penonton mungkin telah menyadarinya, mengingat film ini bukan berjudul Ocean’s 7. Kejutan yang justru menambah pertanyaan terkait logika serta detail daripada menjawab. Dalam Ocean’s 8, star power, setting megah dan gaun mewah jauh lebih mencuri perhatian dibanding aksi perampokannya sendiri. Kalau cuma itu, tidak perlu rasanya menyaksikan film heist, cukup karpet merah Met Gala sungguhan, walau di sana kita takkan melihat keluwesan Sandra Bullock mengutil, terlibat pembicaraan renyah dengan Cate Blanchett, atau Rihanna bersenang-senang mengakali sistem keamanan melalui laptop miliknya. Ocean's 8 adalah aksi perampokan biasa oleh para wanita luar biasa.