REVIEW - THE BAD GUYS
Ingat bagaimana Quentin Tarantino membuka Pulp Fiction? Pumpkin dan Honey Bunny mengobrol santai di sebuah diner sebelum menjalankan aksi perampokan. Menyusul berikutnya adalah perdebatan Vincent Vega dan Jules Winnfield tentang burger di tengah misi pembunuhan. Gabungkan keduanya, maka jadilah adegan pembuka The Bad Guys.
Mr. Wolf (Sam Rockwell) dan Mr. Snake (Marc Maron) duduk di restoran, "bertukar pikiran" soal mana makanan yang lebih enak: kue atau guinea pig. Kemudian, dibungkus dengan single take, keduanya berjalan santai menuju bank yang jadi target jarahan. Siapa sangka penghormatan bagi karya Tarantino (yang dilakukan secara sempurna alias bukan gimmick asal-asalan) dapat ditemukan di animasi anak?
Belakangan baru saya tahu, Aaron Blabey, kreator seri buku anak berjudul sama yang diadaptasi filmnya, merupakan pengagum Tarantino. Referensi di dalamnya pun nampak jelas. Jika pembukanya "mencomot" Pulp Fiction, maka keseluruhan alurnya bak cerminan Reservoir Dogs.
Mr. Wolf adalah pimpinan sekelompok kriminal yang aksinya senantiasa merepotkan polisi, pula meresahkan warga. Anggotanya terdiri dari Mr. Snake si pembobol brankas, Mr. Shark (Craig Robinson) si ahli menyamar, Ms. Tarantula (Awkwafina) si peretas, dan Mr. Piranha (Anthony Ramos) si tukang pukul. Kelimanya menikmati status sebagai "orang jahat", karena selama ini, cap itulah yang masyarakat sematkan, hanya karena tampilan fisik mereka dianggap mengerikan.
Film ini berlatar dunia di mana manusia dan hewan antropomorfisme tinggal berdampingan. Kisahnya coba menyentil perihal stigma di lingkup sosial, namun bangunan dunianya kurang kuat. Apakah para protagonis dibenci karena mereka hewan buas? Kalau demikian, kenapa Diane (Zazie Beetz) yang berwujud rubah bisa menjadi gubernur tanpa tentangan? Mengapa ada hewan antropomorfisme dan ada juga hewan biasa? Saya takkan mengeluhkan hal-hal di atas dalam memandang film animasi anak andai Zootopia belum eksis.
Lubang itu toh tidak mengubah fakta kalau mereka merupakan korban ketidakadilan. Alhasil, mudah mendukung mereka, termasuk saat Profesor Marmalade (Richard Ayodae), guinea pig yang dipuja karena kemuliaan hatinya, mencetuskan eksperimen untuk memunculkan kebaikan dari hati kelima penjahat tersebut.
Hal paling menonjol di The Bad Guys tentu estetikanya. Ditangani Pierre Perifel di kursi penyutradaraan, kombinasi animasi 3D dengan sentuhan ala gambar tangan 2D bukan cuma memberi keunikan lewat visual tajam, pula menambah energi. Terutama pada adegan aksi, ketika gerak-gerak bertempo tinggi makin tampak dinamis. Ditambah humor lucu yang efektif memanfaatkan konsep "bad-guys-go-good" serta karakteristik hewani karakternya, The Bad Guys pun tampil makin mumpuni sebagai hiburan.
Terpenting, filmnya tak melupakan hati. Protagonisnya kerap bertingkah absurd, namun ikatan di antara mereka amat kuat, memberi nyawa bagi tuturan The Bad Guys mengenai persahabatan. Khususnya Mr. Wolf dan Mr. Snake. Jajaran pengisi suara berperan besar di sini. Terdapat momen kala Mr. Snake merasa dikhianati sang sahabat, dan voice acting Marc Maron membuat perpecahan keduanya terasa menyakitkan.
The Bad Guys memang kisah mengenai para penjahat yang mencicipi nikmatnya berlaku baik. Tapi kisahnya tidak berpesan agar individu membuang identitas mereka demi kebaikan. "Memperbaiki" bukan berarti membunuh jati diri. "Memulai kembali" bukan berarti membuang segala hal yang ada. Kita hanya perlu menjadi versi lebih baik dari diri kita yang asli.
REVIEW - SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS
Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings takkan menghasilkan dampak kultural signifikan sebagaimana Black Panther, karena representasinya terhadap Asia masih amat terbatas. Pun jika familiar dengan film-film wuxia, khususnya yang dibintangi Jackie Chan, disutradarai Zhang Yimou, atau diproduseri Shaw Brothers, apa yang ditawarkan sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Just Mercy) dan tim sama sekali tidaklah baru. Tapi apakah semua itu wajib?
Hal-hal di atas memang menghalangi tercapainya potensi, namun berkaca pada iklim film pahlawan super yang masih terlalu Barat-sentris, apa yang Shang-Chi tawarkan tetap memberi angin segar.
Shang-Chi, yang kini memakai nama Shaun (Simu Liu), menyembunyikan identitasnya sebagai jago kung-fu, menjalani hidup sederhana sebagai valet bersama sahabatnya, Katy (Awkwafina). Sampai terjadilah reuni antara Shang-Chi dengan adiknya, Xu Xialing (Meng'er Zhang), yang kini mengelola underground fight club di Makau, juga ayah mereka, Xu Wenwu (Tony Leung), si pemimpin Ten Rings, organisasi yang namanya diambil dari sepuluh cincin ajaib, yang memberinya kekuatan super sekaligus keabadian.
Dibuat Cretton bersama Andrew Lanham (The Glass Castle, Just Mercy) dan Dave Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984), naskahnya masih menawarkan formula familiar seputar keluarga disfungsional, yang kemudian menggiring proses pencarian jati diri sang protagonis. Karena sejak kecil dilatih sebagai pembunuh, apakah berarti itu merupakan takdir yang tak bisa ia lepaskan? Pertanyaan itu sudah kita ketahui secara pasti jawabannya.
Naskahnya memang tidak beranjak dari tuturan formulaik, tidak pula mengeksplorasi temanya lebih mendalam, namun porsi drama, terutama perihal hubungan keluarga, mampu tampil solid berkat Tony Leung. Di tangan sang aktor legendaris, Wenwu bukan villain yang bakal kita benci, melainkan pahami. Leung tidak hanya memberi karisma sosok pembunuh yang telah hidup ribuan tahun, juga kerapuhan pria biasa yang kehilangan cintanya, kehilangan alasan terbesarnya untuk memiliki hati nurani. Dia bukan figur penghancur dunia. Tapi demi mengembalikan "dunianya" yang hancur, Wenwu rela bila harus menghancurkan dunia. Menyaksikan Leung membuat saya berpikir, "Kalau ditempatkan di situasinya, apakah akan melakukan hal yang sama?".
Di ranah aksi, Cretton menggabungkan tiga elemen, yakni pertempuran masif sarat CGI khas MCU, baku hantam chaotic ala Jackie Chan, dan seni bela diri selaku ekspresi rasa serta filosofi sebagaimana kerap dipakai Zhang Yimou. Dua jenis terakhir tampil paling mengesankan. Simu Liu dan Meng'er Zhang (such badass) membantu Cretton memaksimalkan latar kreatif aksinya (bus, konstruksi gedung pencakar langit), yang juga mengedepankan koreografi, sambil menekan jumlah manipulasi lewat penyuntingan.
Pengaruh karya-karya Zhang Yimou terasa betul pada pertemuan perdana Wenwu dengan sang istri, Ying Li (Fala Chen), dan ketika Shang-Chi dilatih oleh bibinya, Ying Nan (Michelle Yeoh). Ketimbang perkelahian, momen-momen tersebut lebih seperti pertukaran rasa. Yeoh, berbekal pengalaman membintangi judul martial arts selama hampir empat dekade, bergerak indah, namun tidak lemah, layaknya entitas yang sudah mengentaskan diri dari fase duniawi.
Tapi Shang-Chi tentu saja masih installment MCU dengan segala ramuan khasnya (for better or worse). Humor yang meski cenderung hit-and-miss tetap memancing beberapa tawa, ekspansi universe melalui deretan cameo serta hint bahwa sang protagonis bakal memegang peranan besar di masa depan, pula set-piece aksi masif yang tetap punya tempat, kendati di paruh akhir, filmnya mendekatkan diri ke nuansa fairytale, ketika latar bergerak memasuki dunia fantasi penuh hewan-hewan mitologi.
CGI di klimaksnya agak inkonsisten, yang mungkin disebabkan karena bujet dialokasikan untuk membungkus pertarungah terakhir, saat Shang-Chi berpindah ke genre kaiju. Di satu sisi, pilihan ini melucuti keintiman emosional yang dibawa elemen wuxia, tapi di sisi lain, turut menegaskan bahwa wajah film Asia bukan cuma martial arts, sebagaimana stigma yang sering disematkan terhadapnya.
REVIEW - RAYA AND THE LAST DRAGON
Karakter Raya (Kelly Marie Tran) di Raya and the Last Dragon, tak ubahnya nama-nama seperti Merida, Elsa, dan Moana, memimpin langkah animasi Disney menuju era baru, sebagai protagonis wanita (tidak harus termasuk "Disney Princess") kuat nan mandiri, yang tak terlibat romansa, tak perlu menunggu satu kecupan dari pria untuk memancarkan cahayanya.
Sah atau tidaknya film ini sebagai representasi orang Asia Tenggara mungkin menyulut perdebatan, meski gelombang protes tersebut bagi saya malah bentuk ketidakhormatan terhadap Kelly. Seorang keturunan Vietnam, yang tengah berusaha bangkit pasca menjadi korban rasisme para penggemar Star Wars. Keterlibatannya membuat film ini patut dirayakan.
Di luar soal representasi, sebagaimana dilakukan Black Panther dengan budaya Afrika, Raya and the Last Dragon meleburkan elemen-elemen kultural Asia Tenggara, guna melahirkan dunia fiktif bernama Kumandra, yang tampil beda, terlihat menyegarkan dibanding animasi Disney lain. Sebuah sekuen di awal yang merangkum sejarah Kumandra misalnya, dikemas menggunakan estetika bak pertunjukan wayang. Sebuah epos, ketimbang flashback generik ala Hollywood.
Dahulu kala, manusia dan naga hidup harmonis di Kumandra. Sampai Druun, entiti jahat berbentuk asap hitam dengan cahaya ungu di intinya, menyerang. Umat manusia selamat berkat pengorbanan para naga. Seluruh naga punah, termasuk Sisu (Awkwafina), yang konon merupakan pahlawan terbesar di peperangan itu. Sisu meninggalkan permata naga ajaib yang dapat melindungi dari Druun, namun manusia malah saling berperang memperebutkannya, berujung memecah belah mereka menjadi lima suku: Heart, Fang, Spine, Tail, dan Falon.
Raya merupakan puteri dari kepala suku Heart, Benja (Daniel Dae Kim), yang bertugas menjaga permata tadi. Cita-cita Benja adalah menyatukan lagi seluruh suku, agar keharmonisan Kumandra dapat kembali. Diundanglah keempat suku lain dalam perjamuan, yang justru berakhir bencana, tatkala Namaari (Gemma Chan), puteri kepala suku Fang, menipu Raya dengan tujuan mencuri permata naga. Timbul kekacauan, saat secara tak sengaja permata itu pecah, membangkitkan Druun yang seketika mengubah orang-orang menjadi batu, termasuk Benja. Sekali lagi, peradaban manusia terancam.
Beberapa tahun berselang, kita berjumpa lagi dengan Raya. Dia bukan lagi sesosok bocah. Ditemani sahabatnya, armadillo raksasa bernama Tuk Tuk (Alan Tudyk), Raya melakukan perjalanan mengumpulkan pecahan permata naga yang tersebar di tiap suku, untuk membangkitkan Sisu, yang diharapkan mampu memulihkan segalanya, termasuk sang ayah. Raya dipersenjatai pedang ayahnya yang tampak seperti keris raksasa (satu lagi sentuhan kultural menarik), namun senjata terkuat yang membuatnya jadi salah satu protagonis wanita Disney favorit saya sepanjang masa, adalah keberanian. Melalui suaranya, Kelly menghidupkan keberanian Raya.
Tapi ada satu hal yang masih harus Raya pelajari, yakni soal rasa percaya. Sulit baginya mempercayai orang lain, apalagi setelah pengkhianatan Namaari, yang di awal pertemuan mereka, bersikap layaknya teman. Raya belajar menaruh rasa percaya, tatkala umat manusia dikuasai keserakahan. Druun bukanlah antagonis utama film ini. Bahkan, Druun bisa dipandang bukan sebagai monster, melainkan wabah, yang diciptakan pula ditularkan oleh keserakahan manusia, yang mana adalah musuh sesungguhnya.
Di tiap daerah, kawan perjalanan Raya bertambah. Ada Boun (Izaac Wang, yang mencuri perhatian lewat debutnya di Good Boys) si bocah 10 tahun pemilik restoran perahu dari Tail, Noi (Thalia Tran) si balita penipu dari Talon yang melancarkan aksi bersama trio ongis (separuh monyet, separuh lele), dan Tong (Benedict Wong) si prajurit bertubuh besar namun berhati lembut dari Spine. Mereka merupakan jajaran tokoh pendukung penuh warna yang mudah mencuri hati penonton, khususnya Noi yang menggemaskan. Pun fakta bahwa selain berasal dari lokasi berbeda, mereka juga mempunyai kepribadian, usia, serta gender berbeda-beda, turut mewakili pesan utama filmnya, yakni soal "persatuan di balik perbedaan".
Naskah buatan Qui Nguyen (keturunan Vietnam) dan Adele Lim (berkebangsaan Malaysia) memang apik perihal menjalin pesan bermakna. Kelemahannya, naskah kerap terburu-buru. Alurnya kerap terkesan bergerak melewati jalan pintas, termasuk beberapa simplifikasi, semisal terlalu mudahnya upaya membangkitkan Sisu. Menurut legenda, jiwa Sisu masih bersemayam di salah satu dari sekian banyak ujung sungai di Kumandra. Tentu sebagai makhluk legendaris nan misterius, kebangkitannya takkan segampang merapal mantra sederhana bukan? Well, pikir lagi.
Berlatar dunia sarat keajaiban, rupanya tak otomatis menghindarkan Raya and the Last Dragon dari plot generik. Bahkan cenderung seperti video game yang terdiri atas deretan checkpoint, di mana jagoan kita tiba di suatu lokasi, melewati beberapa rintangan, mengambil permata, lalu beranjak menuju lokasi berikutnya guna melakukan proses serupa. Begitu pula penanganan aksi duo sutradara, Don Hall (Winnie the Pooh, Big Hero 6) dan Carlos López Estrada (Blindspotting), yang biarpun jauh dari kata "buruk", tidaklah sefantastis premisnya.
Beruntung, segala kekurangan di atas, dibayar oleh kemampuan mereka mengolah rasa. Jangan mengharapkan pertempuran epik naga melawan monster di klimaks, namun di situlah puncak emosi film terletak. Karena Raya and the Last Dragon bukanlah kisah soal pertempuran fisik, melainkan batin. Saya teringat pada klimaks Guardians of the Galaxy, tapi dengan dampak emosi berkali-kali lipat.
Saya dibuat terharu bukan cuma karena unsur drama, juga oleh keindahannya. Visualnya memanjakan mata, tapi seindah apa pun rasanya menyaksikan Sisu terbang di bawah guyuran hujan, keindahan terbesar justru muncul dari pemandangan yang terasa dekat. Terutama di Heart. Bentangan alam hijau, deretan pohon kelapa, dan dataran yang basah selepas guyuran hujan, membuat saya ingin berdiri, merasakan siraman matahari pagi di sana.