REVIEW - A WORLD WITHOUT

1 komentar

Menciptakan dunia distopia di narasi fiksi tidak bisa asal. Proses "melebih-lebihkan" suatu elemen sosial harus dilakukan secara cermat. Harus ada pijakan kokoh berbasis kondisi realita, agar sewaktu mengunjunginya, penonton dapat mengasosiasikan dunia tersebut dengan masa depan yang mungkin terjadi. 

Menonton A World Without karya Nia Dinata (Arisan, Berbagi Suami, Ini Kisah Tiga Dara), yang menulis naskahnya bersama Lucky Kuswandi (Galih dan Ratna, Ali & Ratu Ratu Queens), saya merasa asing. Bagaimana bisa dunia kita berubah menjadi dunia di dalamnya? Pertanyaan yang lebih penting, "Apa sebenarnya yang hendak disampaikan film ini?".

A World Without berlatar tahun 2030 selepas pandemi COVID-19 usai, di mana sebuah komunitas bernama The Light milik pasangan suami-istri, Ali Khan (Chicco Jerikho) dan Sofia (Ayushita). Bisa dibilang The Light adalah evolusi dating app. Para remaja berkumpul, belajar beragam kemampuan, lalu saat menginjak 17 tahun, The Light bakal menikahkan mereka dengan pasangan yang dipilih menggunakan algoritma. 

Tiga sahabat, Salina (Amanda Rawles), Tara (Asmara Abigail), dan Ulfah (Maizura) baru saja bergabung. Melihat ketiganya, pertanyaan-pertanyaan langsung memenuhi otak. Nia dan Lucky ingin menyentil "kaum kanan" melalui idelogoi The Light yang menentang konsep pacaran (termasuk lewat video propaganda palsu), pula mendukung gerakan nikah muda dan poligami. 

Saya termasuk yang bakal menentang, alias berada di pihak pembuat film ini. Di realita, ideologi The Light berasal dari sudut pandang agama. Saya bisa memahami alasan Tara yang mempunyai masa lalu kelam (orang-orang serupa kerap mudah tergoda "hijrah salah kaprah"), tapi bagaimana dengan Salina? Dia mengidolakan Ali Khan karena merindukan sosok ayah, namun itu belum cukup menjelaskan, mengapa gadis sepertinya bersedia jadi "budak moral", seperti saat merekam orang-orang yang berpacaran di ruang publik? 

Mari berasumsi kalau Salina begitu memuja Ali, sampai mau mengikuti seluruh perkataannya. Kalau begitu, menjadi tidak wajar tatkala prinsipnya goyah hanya karena sekali menerima bantuan dari Hafiz (Jerome Kurnia dengan rambut acak-acakan, yang kembali menunjukkan kengawuran perspektif sineas Jakarta dalam menggambarkan orang miskin dan/atau daerah). Mendadak ia jatuh cinta, mendadak ia bersedia melanggar aturan terkait interaksi antar lawan jenis. 

Seiring waktu, Salina menyadari betapa The Light bukan surga seperti bayangannya. The Light ibarat cult. Pengikut Ali memanggilnya "Yang Istimewa". Wajar jika The Light tampak menggoda karena menawarkan kepemilikan properti setelah menikah, namun mengingat anggotanya adalah remaja (yang belum dicekoki beban pikiran membeli rumah dan sebagainya), pun latarnya tidak sampai satu dekade di masa depan, saya kembali mempertanyakan, fenomena apa yang mendasari perubahan ekstrim tersebut? Pandemi bukan alasan kuat. Begitu pun soal maraknya propaganda bernapas agama. Naskahnya seperti enggan berpijak pada realita, dalam usahanya mengkritik realita. 

Anda bakal sering menemukan kata "cringey" dalam berbagai ulasan atau reaksi penonton terhadap A World Without. Tidak salah. Desain kostum Isabelle Patrice dan Tania Soeprapto (dua penata kostum langganan Joko Anwar, yang turut muncul sebagai cameo guna menyindir perihal "co-director" di perfilman Indonesia), terutama yang dikenakan Chicco dan Ayushita, memang bagus. Glamor. Unik. Tapi deretan properti futuristik seperti bingkai foto digital, hingga jam pintar ala Nubia Smartwatch, malah tampak menggelikan. 

Bukan hanya di tata artistik, penulisan maupun penyutradaraannya pun tidak jarang terasa cringey. Asmara Abigail tampil semaksimal mungkin, namun sialnya, ia banyak mendapat bagian momen, yang entah disengaja atau tidak, tersaji konyol. Amanda Rawles dan Ayushita lebih beruntung. Keduanya (khususnya Ayushita) merupakan elemen terbaik A World Without, sebuah film yang pasca melewati klimaks tanpa sense of urgency, menawarkan konklusi yang justru semakin meninggalkan kebingungan tentang, "Apa yang sebenarnya mau dibicarakan?". 


(Netflix)

1 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Masi gak habis pikir film se ngawur ini kok bisa muncul dari tangan sutradara nia dinata plus Lucky kuswandi dan jejeran pemeran/cameo kelas atas
Dari keliatan mau bawa pesan "wah" malah berujung lahiran di mobil
Sungguh random