REVIEW - TEKA-TEKI TIKA

8 komentar

Durasi pendek tidak semestinya menyulut kekhawatiran dan pesimisme. Bisa saja sineas memilih bercerita secara to the point. Padat, singkat, sesuai kebutuhan. Sayangnya Teka-Teki Tika tidak demikian. Ketika film berdurasi hanya 83 menit terkesan kehabisan ide, artinya ide dasarnya memang sudah lemah sejak awal. 

Pasca Imperfect (2019) membawa Ernest Prakasa kembali ke performa terbaiknya, ia mengambil langkah berani dengan menjajal genre thriller misteri. Wajar. Lima film drama komedi dalam lima tahun berturut-turut rasanya memang cukup untuk melahirkan kejenuhan dan/atau ambisi mencoba warna baru. Bisa dibilang Ernest bereksperimen. Tapi sebuah eksperimen, apalagi di percobaan pertama, memang besar kemungkinan berujung kegagalan.

Walau demikian, Teka-Teki Tika sejatinya bukan eksperimen yang ekstrim. Semua nampak serius di awal. Budiman (Ferry Salim) dan Sherly (Jenny Zhang adalah penampil terbaik film ini) tengah merayakan ulang tahun pernikahan, di tengah gonjang-ganjing perusahaan mereka yang terjebak kredit macet. Si putera sulung, Arnold (Dion Wiyoko) datang bersama istrinya yang hamil sembilan bulan, Laura (Eriska Rein), sementara Andre (Morgan Oey) si putera kedua, membawa kekasih barunya, Jane (Tansri Kemala). 

Jane merupakan alasan mengapa saya menyebut ini bukan eksperimen yang ekstrim. Fungsi Jane cuma satu: comic relief. Seolah ia eksis guna mengingatkan pada penonton, bahwa kita sedang menonton karya Ernest. Tansri melakoni debutnya dengan gemilang, selalu memancing tawa lewat kepolosannya (kalau tak mau disebut "kebodohan"), tapi beberapa humor muncul di waktu kurang tepat, sehingga menciptakan inkonsistensi tone. 

Inkonsisten, namun menghibur. Itulah paruh awal Teka-Teki Tika, pasca kemunculan tiba-tiba Tika (Sheila Dara), yang mengaku sebagai puteri hasil perselingkuhan Budiman. Ernest menggerakkan tempo secara cepat, sembari melempar satu demi satu fakta mengejutkan mengenai rahasia kelam Keluarga Budiman. Tempo cepat itu meniadakan eksplorasi karakter, juga mendangkalkan pendalaman terkait kritik terhadap praktek korupsi serta sentilan bagi pelaku perselingkuhan yang reputasinya telah cacat di mata pasangan, tetapi efektif menjaga atensi penonton, yang terus dibuat ingin tahu jati diri beserta motivasi Tika sesungguhnya.

Dari segi artistik, Teka-Teki Tika justru pencapaian terbaik Ernest, yang biasanya cuma fokus pada pengolahan cerita, lalu melupakan tetek bengek sinematik. Desain produksinya memanjakan mata, pewarnaan gambarnya lebih diperhatikan, musiknya pun tergarap apik meski mengikuti pola klise scoring bagi genre misteri. 

Masalahnya, memasuki pertengahan, makin kentara kalau Ernest kesulitan mengembangkan misterinya. Hasilnya adalah setumpuk momen filler yang tak memberi dampak apa pun, baik pada penokohan maupun penceritaan. Semisal obrolan Andre dan Jane yang cuma berisi banyolan-banyolan tak perlu nan berkepanjangan. 

Tapi kejatuhan sebenarnya dari film ini baru terjadi saat memasuki paruh akhir. Momen "pengungkapan" yang semestinya merupakan puncak untuk film semacam ini, tampil datar akibat lemahnya pembangunan intensitas dalam pengadeganan Ernest. Setelah satu jam lebih disuguhi konflik yang melibatkan intrik pelik bahkan usaha pembunuhan, misteri ditutup oleh ucapan "Yaah, sebenarnya saya....." dari mulut protagonisnya, yang lebih terdengar seperti pengakuan atas hal sepele. 

Kemudian Teka-Teki Tika memberikan epilog, yang biarpun menampilkan sesosok cameo luar biasa menarik, bergulir terlalu lama, sekaligus bak berasal dari film berbeda. Jika ini "petunjuk" bahwa kelak Ernest ingin mencoba genre aksi, saya amat menantikan itu. Teka-Teki Tika memang buruk, tapi saya takkan berkata, "Sebaiknya Ernest membuat komedi saja". Karena sewaktu eksperimen berhenti gara-gara satu kegagalan, maka usaha perdana itu jadi sia-sia. 

8 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Ah, setelah ane amati, Ernest itu emang jago ya bang , ngembangin cerita, yang itu dari pengalaman pribadi dia, atau pribadi orang di sekitar, kayak ngenes, cek toko sebelah, sama imperfect.

Saat dia nggarap film yang bukan pengalaman pribadi kayak susah sinyal, mili mamet, hasilnya kurang maksimal.

Tapi ane tetep nonton sih, salut sama Ernest yang berani mencoba hal baru.

Udin mengatakan...

Film terburuk ernest kah?

Fradita Wanda Sari mengatakan...

Setuju bgt sama ending reviewnya *jempol*

bintang mengatakan...

yah setidaknya bang ernest gak bakalan bikin serial dari film ini.(semoga) karena susah sinyal maksa banget

Rasyidharry mengatakan...

Ya itulah yang jadi tantangan Ernest. Udah terbukti tuh, misal personal sukses. Di luar itu, so far baru I perfect yang bagus. Itu pun masih ngangkat soal "diskriminasi" yang jelas dia paham banget

It's okay. Proses

Chan hadinata mengatakan...

Yg sy senang respon ernest di twitter.. bnyk yg hujat dgn label film terburuk ernest (ya emang sih).. tp direspon dgn santai dan terima aja.. apalgi pake analogi "tempe & keju"😜
Tetap menunggu karya dia selanjutnya👍

Rasyidharry mengatakan...

Ernest is always a good sport. Zaman CTS dulu tiap ada orang yang "capable" kasih review negatif, bukannya marah, dia nanya ke diri sendiri "Kurang gw sebelah mana? Apa yang kudu dibenerin?

Summer Soul mengatakan...

Lebih ke gak tau dibawa kemana aja film Ernest satu ini. Thriller mystery tapi gak dapet, malah poin dari semuanya ya credit akhir film yang bikin seakan akan 70 menit tampak sia-sia. Penokohan yang kurang, alur pertengahan film yang gak jelas juga seakan akan semacam mengisi kekosongan untuk menjawab "Siapa itu Tika?". Isu besar juga tidak terlalu kena. Jokes-nya ditempatkan di saat tidak tepat, padahal ketegangan sudah dibangun dengan baik dan terkesan tidak lucu sama sekali malah. Mungkin Ernest harus banyak belajar lagi buat direct film semacam ini, atau kembali ke film komedi aja mungkin lebih baik