REVIEW - LUZZU

8 komentar

Apa yang mendefinisikan sesuatu? Ketika sebuah kapal telah diganti seluruh bagiannya setelah melalui perbaikan demi perbaikan, masihkah itu kapal yang sama? Begitu pun manusia. Ketika berbagai tuntutan, entah zaman atau finansial, mengharuskannya berubah, apakah ia masih orang yang sama?  

Ditangani Alex Camilleri selaku sutradara sekaligus penulis naskah yang baru melakoni debutnya, Luzzu (perwakilan Malta di Academy Awards 2022) mengetengahkan dilema nelayan bernama Jesmark (Jesmark Scicluna). Dia kukuh menjunjung tradisi. Luzzu (kapal kayu tradisional Malta) warisan kakek buyutnya masih ia pakai melaut. Pun Jesmark keras menentang penggunaan pukat karena dampak destruktifnya.

Belakangan situasi makin terasa mencekik. Ikan sulit didapat, terutama akibat regulasi EU (European Union) yang melarang penangkapan jenis-jenis tertentu selama closed season. Di tempat lelang pun ikan-ikannya dihargai tak seberapa. Secara bersamaan, putera Jesmark yang masih bayi mengalami masalah gizi. Asupan susu formula serta penanganan dari dokter spesialis dibutuhkan. Istri Jesmark, Denise (Michela Farrugia), cuma bekerja sebagai pelayan restoran, yang artinya, keuangan keluarga ini benar-benar dalam kondisi darurat. 

Prinsip Jesmark pun diuji. Dia mulai tergoda memasuki bisnis pasar gelap. Jesmark, si nelayan berdedikasi tinggi yang mengutuk pemakaian pukat dan ketidakadilan regulasi bagi sejawatnya, kini mencetuskan ide menjual kerang palsu yang diolah menggunakan ikan buangan. Seiring waktu, pekerjaan yang mesti ia jalani semakin buruk. 

Alurnya familiar (kalau tidak mau disebut "klise"), mengikuti formula kisah-kisah seputar keterpaksaan mengkhianati prinsip dan tradisi demi bertahan hidup. Tapi di tangan Camilleri, Luzzu jadi tuturan naturalistik yang tersusun rapi, kemudian pelan-pelan menggenggam emosi penonton.

Keberadaan Jesmark Scicluna, yang memang seorang nelayan sebelum ditunjuk jadi pemeran utama (membawanya memenangkan World Cinema Dramatic Special Jury Award untuk kategori akting pada Festival Film Sundance 2021), menguatkan kesan naturalistik tersebut. Scicluna bukan cuma meyakinkan di atas kapal, pula perihal bermain rasa, berbekal pemahamannya atas gejolak-gejolak sang protagonis. 

Luzzu milik Jesmark (maupun nelayan lain) membawa kenangan masa lalu. Cerita kejayaan, kehebatan, atau sekadar kelakar untuk ditertawakan bersama. Luzzu dipakai mencari ikan sebagai penghidupan, namun ia lebih dari sebatas alat pencari uang. Bagaimana di tubuhnya tercetak jejak kaki si pewaris (sebagaimana dilakukan sang ayah dahulu, Jesmark mencap luzzu miliknya dengan telapak kaki si buah hati) adalah perwujudan cinta, yang didasari nilai-nilai dan tradisi. 

Lalu apa yang mesti dilakukan sewaktu alasan ekonomi, juga perubahan zaman menuntut perubahan? Di sinilah Luzzu berkembang dari cerita yang "sangat Malta" menjadi presentasi universal. Sebagai manusia, mau tidak mau kita bakal berubah, untuk kemudian menghilang suatu hari nanti. Kulit luar boleh berubah, namun jiwa harus tetap sama. Tubuh akan tiada, namun cerita-cerita tidak boleh sirna. 

(Klik Film)

8 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Mas, request makmum 2

Anonim mengatakan...

Mas rasyid diserang buzzer dr Makmum 2 ini wkwkwk, ada2 aja netijen kurang kerjaan

Anonim mengatakan...

ini knp pada bilang makmum 2 semua dah wkwkwk

Rasyidharry mengatakan...

Bukan buzzer. Orang caper~

Anonim mengatakan...

Menanti mas Rasyid..mereview makmum 2.. bagaimana penyutradaraan mas Guntur, dan akting para talent di makmum 2 ini..mas

vian mengatakan...

Ini pengemis review Makmum 2, kok makin annoying ya? Sorry to say. Asli, lebay.

Anonim mengatakan...

Apakah mas Rasyid akan menyerah dan meriview makmum2? he. he. canda

Cece mengatakan...

Saran gua gg usah review Makmum 2 mam,biarkan aja yang lain berkoar.
Sumpah makin lama jadi spam gitu. caper bangeet, pengen liat comment lain dari review film sesuai judul, eeeeh isi comment nya malah makmum 2 semua --"