REVIEW - APOLLO 10½: A SPACE AGE CHILDHOOD

4 komentar

Bocah bernama Stanley (Milo Coy) ditunjuk sebagai astronot dalam misi Apollo½, yang dilangsungkan secara rahasia sebelum peluncuran Apollo 11. Penunjukan Stanley terjadi akibat NASA membangun kokpit pesawat terlalu kecil untuk orang dewasa. Bagaimana bisa NASA luput dalam hal mendasar tersebut? Bagaimana pula cara menerbangkan roket diam-diam ketika perhatian seluruh negeri tertuju pada misi ke bulan? 

Tenang, Apollo½ bukannya memiliki lubang raksasa di alurnya. Sebab misi di atas cuma ada dalam khayalan Stanley. Richard Linklater, selaku penulis naskah sekaligus sutradara, mengadaptasi lepas kehidupan masa kecilnya, guna menyampaikan perihal kenangan. Mengingat cara memori bekerja, ditambah tendensi berfantasi seorang bocah, ketepatan sebuah kenangan mungkin dipertanyakan, namun tidak dengan nilainya.

Stanley, bungsu dari lima bersaudara, tumbuh di area suburban Houston, yang pada era 60an bak pusat peradaban, karena di situ misi bersejarah menerbangkan manusia ke bulan berlangsung. Teknologi demi teknologi berkembang. Stadion canggih Astrodome dibangun, transplantasi jantung pertama kali dilakukan, telepon bertombol mulai dipakai. Manusia seolah memenuhi superioritas mereka. Alam beserta segala rintangan lain kini tak jadi hambatan. 

Pemilihan medium animasi (tepatnya rotoscoping) pun merefleksikan itu. Berkatnya, Linklater mampu mewujudkan apa saja. Batasan ditiadakan. Menghidupkan kembali lingkungan masa kecil secara detail, merekayasa perjalanan luar angkasa termasuk yang melibatkan Stanley, dan paling penting, menyalurkan semangat carefree yang melandasi keseharian kala itu. 

Kultur berasas "act first think later", ditunjang perekonomian keluarganya, yang meski bukan golongan kaya raya, tetaplah memadai sebab sang ayah (Bill Wise) bekerja di bagian administrasi NASA), menyebabkan masa kecil Stanley amat berwarna. Liburan ke pantai, beragam permainan outdoor, sisa-sisa era keemasan televisi, semua dipunyai Stanley. Konflik-konflik seperti Perang Vietnam maupun rasismey ia dengar, namun sebagai bocah, hal-hal itu bukan bagian realitanya. Hidup Stanley bahagia. 

Kebahagiaan itu pula yang mungkin memantik kekayaan imajinasi Stanley. Di depan kelas, ia bercerita tentang pertemuan dengan (semacam) robot alien. Tentu tak satu pun yang percaya. Ketika ditegur oleh sang ibu (Lee Eddy), Stanley beralasan bahwa ia cuma bercerita, sambil berharap teman-temannya bisa membayangkan. 

Menonton Apollo½: A Space Age Childhood bagai proses membaca isi hati Linklater. Tidak heran ia tumbuh menjadi seorang pencerita. Tidak heran pula, dengan masa kecil sedemikian berwarna, ia berhasrat menumpahkan seluruhnya ke dalam film. Alurnya menyerupai vinyet, mencerminkan keping-keping memori yang cenderung berserakan daripada tertata. Cara tutur yang sebenarnya tidak baru, apalagi dalam konteks film mengenai kenangan masa lalu, pun harus diakui ada beberapa titik di mana gaya itu agak melelahkan diikuti. 

Satu sentuhan menarik dalam penuturannya adalah keberadaan voice over Stanley dewasa (Jack Black) yang mengiringi nyaris sepanjang durasi. Suara Black, yang jeli memainkan dinamika, memberikan emosi subtil, membuat pengalaman menonton filmnya terasa layaknya mendengarkan rekoleksi memori dari pria yang berbahagia. Tanpa sadar, saya tersenyum selama menonton.

Paruh akhirnya otomatis berfokus pada peristiwa pendaratan di bulan. Keluarga Stanley menonton bersama di televisi. Tapi berbeda dengan banyak film lain yang menggambarkan reaksi emosional masyarakat, selain kedua orang tua mereka, respon Stanley beserta kakak-kakaknya tak seantusias itu. Ada senyum, tapi lebih ke arah ekspresi kekaguman normal. Stanley bahkan terkantuk-kantuk karena menghabiskan hari di wahana bermain.

Apakah Stanley sempat melihat langkah pertama Neil Armstrong, atau malah terlelap? Entahlah. Lagipula Apollo½: A Space Age Childhood bukan soal itu. Menurut Armstrong, langkah kakinya adalah "one small step for man, one giant leap for mankind". Pengalaman-pengalaman yang kita saksikan selama 98 menit mungkin terkesan remeh (a very small step for mankind), tapi berpengaruh besar terhadap hidup individunya (one giant leap for a man). Hidup Stanley, dan tentunya hidup Linklater. 

(Netflix)

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Gue kira tahun ini Richard Linklater bakalan rilis sekuelnya Before Sunrise mengingat tiap sekuel dirilis 9 tahun sekali he-he-he

Anonim mengatakan...

voice overnya buat gw cukup mengganggu, kebanyakan.

Rasyidharry mengatakan...

Bukan kebanyakan. Emang sengaja bentuknya gitu

Rasyidharry mengatakan...

Oh, jangan lupa. Dulu Before Midnight juga kita nggak tahu pas produksi. Tahu-tahu kelar, siap rilis 😁