REVIEW - PULANG

3 komentar

Belakangan muncul pesimisme terhadap film-film lokal produksi KlikFilm. Cenderung medioker, dengan tema-tema usang yang digarap sekenanya. Tidak sepenuhnya keliru, sebab produk cepat saji macam itu memang pas dijadikan "film eksklusif OTT" (istilah lebih halus dan modern sebagai ganti "straight-to-DVD" yang punya konotasi negatif). 

Ditengok sekilas, Pulang tidak jauh beda. Tapi timbul ketertarikan melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi penyutradaraan. Melalui filmografi berisi judul-judul seperti Di Balik 98 (2015, selaku co-director), Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), hingga Mangkujiwo (2020), reputasinya tentu lebih mentereng dibanding mayoritas nama rekrutan KlikFilm biasanya (Semisal Dyan Sunu Prastowo yang dalam dua tahun terakhir sudah menelurkan DELAPAN judul. Bagaimana bisa memercayai kualitasnya?). Terbukti, film ini tampil sebagai drama keluarga menyentuh.

Pras (Ringgo Agus Rahman) mengajak puterinya, Rindu (Ziva Magnolya), melakukan road trip ke Yogyakarta untuk menyusul sang istri, Santi (Imelda Therinne), dan si putera bungsu, Biru (Malvin Yoel). Mobil tua itu dipilih sebagai kendaraan, dengan alasan nostalgia. Pras ingin mengenang masa kala masih tinggal di Yogyakarta, di mana mereka sering berkeliling kota menaiki mobil tersebut. 

Rindu tidak terlalu akrab dengan ibunya, yang sebagai seorang pengajar (sebentar lagi menjadi rektor), memang cenderung lebih tegas dan ketat. Apalagi Rindu ada di usia remaja. Gesekan dan pemberontakan pun jamak terjadi. Diam-diam Rindu berpacaran, berencana liburan ke Bali bersama teman-teman, bahkan membuat tato. 

Sebaliknya, Pras lebih santai. Sebagai ayah tentu beberapa petuah masih terucap dari mulutnya, tapi itu ia imbangi dengan upaya memahami. Dia tanyakan makna tato baru Rindu, pun ia puji sang puteri ketika mampu menjabarkan soal jurusan-jurusan kuliah yang ingin diambil. Alhasil, Rindu merasa lebih nyaman bersama Pras. Interaksi keduanya adalah suguhan utama Pulang, yang mendominasi 84 menit durasinya.

Naskah buatan Anggoro Saronto (Sang Kiai, Bangkit!, Warkop DKI Reborn 4) tersusu atas obrolan yang mengalir mulus, natural, tidak dibuat-buat, tanpa upaya berlebihan untuk terdengar dramatis. Interaksi sewajarnya antara ayah yang menyenangkan dan anak yang kebandelannya lebih dikarenakan kerinduan atas kasih sayang. 

Chemistry dua pemain jelas berperan dalam keberhasilan di atas. Ziva Magnolya melakoni debut yang solid, sedangkan Ringgo mengulangi pencapaian di Keluarga Cemara (2019) melalui kapasitas menghidupkan figur ayah hangat yang tak terjebak keklisean membosankan. Dia jago menjaga dinamika, sekaligus melempar respon-respon terhadap lawan bicara, yang membuat obrolan lebih berwarna.

Hangat. Tapi Rindu tidak tahu bahwa kehangatan tersebut mungkin takkan terulang lagi. Sebab perjalanan ini menyimpan niat terselubung. Pras dan Santi sepakat bercerai, dan hendak menyampaikan itu kepada anak-anak mereka di Yogyakarta. Ketika rumah bernama "keluarga" itu runtuh, ke mana lagi mereka bisa pulang?

Masalah dalam penceritaan Pulang adalah terkait keseimbangan. Ini kisah seputar keluarga. Tentang hubungan anak-orang tua. Sayang, tuturannya berat sebelah, dengan lebih condong ke sisi ayah. Begitu film usai, kita kenal betul siapa Pras. Kita tahu ia baik namun memiliki cela, kita tahu Pras memandang dirinya bak kura-kura yang bergerak lambat dalam hidup, kita tahu bahwa di balik segala kekurangan dan kesalahan, ia ingin memperbaiki keadaan. Tapi bagaimana dengan Santi? Dia sebatas sosok di ujung panggilan telepon, yang sesekali melempar common sense ketika film menampilkan flashback. 

Mengingat bobot kesalahan Pras jelas lebih besar (di luar benar atau tidak ia berselingkuh), mengapa hanya dia yang diberi kesempatan mengambil hati kita? Untungnya Pulang piawai memainkan emosi berkat kombinasi akting, penulisan, serta penyutradaraan, yang seluruhnya tampil penuh sensitivitas. Tengok saat Pras menceritakan awal pertemuannya dan Santi pada Rindu. Sebuah rekoleksi memori hangat nan romantis.

Kuantitas pemakaian Sesuatu di Jogja memang berlebihan (diputar lima kali), tapi keefektifan lagu tersebut membangun mood harus diakui. Mood tenang namun menghanyutkan jadi pendekatan Azhar Kinoi Lubis, yang dalam pengarahannya tak banyak memberi letupan. Termasuk di babak konklusi, ketika menggambarkan indahnya wajah manis cinta masa lalu. Masa sebelum dua sejoli mengenal kepahitan realita. Masa yang membawa keduanya menemukan rumah, yang dibangun oleh kenangan-kenangan, yang jadi penunjuk arah untuk pulang tiap penghuninya tersesat.

(Klik Film)

3 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Wah, bagus ya ternyata.
Hihi samaan kita, pesimis duluan sama kualitas klik film original.
Dah kapok njajal film original dari sana dari film sampai jadi debu.

BTW, TUHAN, MINTA DUIT Itu bagus nggak Bang? Premisnya menarik soalnya. Masih maju mundur buat nonton-nya.

Billy Loomis mengatakan...

Tuhan minta duit direview juga sekalian.
Baru nonton tadi malam.
Karya Azwar Kinoi Lubis juga.
Buat saya sih lumayan.
Sederhana tapi menyentuh.

Anonim mengatakan...

Setahu saya RA Banjaratma toll arah Jakarta deh, bukan arah Jogja. Di film Ringgo istirahat di toll tersebut, padahal dia mau ke Yogyakarta.