REVIEW - KELUARGA CEMARA 2
Ada perbedaan antara "film anak" dan "film dengan protagonis anak". Jenis pertama berbentuk hiburan ringan, sedangkan yang kedua punya jangkauan lebih luas, dari crowd-pleaser untuk semua kalangan hingga arthouse. Di bawah pengarahan Ismail Basbeth, Keluarga Cemara 2 ingin menyeimbangkan sisi mainstream dan alternatif (hal yang nampak dalam filmografi sang sutradara), namun justru melahirkan inkonsistensi.
Akibat COVID, Abah (Ringgo Agus Rahman) mesti mencari pekerjaan baru, sedangkan Emak (Nirina Zubir) mendapati penjualan opaknya menurun drastis. Tabungan menipis, padahal kini sudah ada puteri ketiga, Agil (Nilouger Bahalwan). Tapi Keluarga Cemara 2 adalah "filmnya Ara (Widuri Puteri)". Ara yang merasa keluarganya selalu ingkar janji. Ara yang merasa ditinggalkan oleh kakaknya, Euis (Adhisty Zara), yang memasuki usia remaja dan mulai mengenal cinta.
Saat itulah Ara mulai akrab dengan Aril (Muzakki Ramdhan), lalu memulai petualangan bersama, yang melibatkan seekor ayam. Film ini memang penuh dengan ayam. Ara mendengar suara ayam memanggilnya, bahkan bisa mengajak bicara Neon, anak ayam yang ia temukan di jalan. Mungkin karena Ara sendiri seperti anak ayam yang terpisah dari keluarga. Hanya saja, Ara dan keluarganya terpisah bukan secara fisik.
Mereka tetap serumah, selalu bersama, namun sulit bersatu. Abah makin sibuk karena pekerjaan baru, Emak harus memikirkan bisnis sampingan sembari menjaga Agil, sementara Euis memasuki masa puber. Kondisi berubah, anggota keluarga berubah, hubungan pun berjarak. Sulitnya Abah memercayai kemampuan Ara berkomunikasi dengan ayam juga menunjukkan jurang pemisah, di mana orang tua kesulitan memahami dunia anak yang jauh dari "masuk akal". Alhasil, Ara lancar berkomunikasi dengan dengan Neon, tapi tidak dengan keluarganya.
Naskah buatan M. Irfan Ramly sudah punya gagasan dasar kuat nan kreatif, tentang bagaimana karakternya menghadapi perubahan, guna mempertahankan nilai "harta paling berharga adalah keluarga". Mudah bersimpati pada Ara yang merasa dipojokkan semua orang, tapi kita pun dibuat tak serta merta menyalahkan Abah maupun Euis, sebab perubahan mereka beralasan.
Satu kelemahan naskahnya adalah, tingginya kuantitas konflik berujung merendahkan kualitas dalam hal kematangan cerita. Tiada yang benar-benar maksimal. Jika film pertamanya terasa utuh, maka Keluarga Cemara 2 bak rangkuman berbagai episode serial.
Lalu ada perihal inkonsistensi yang telah saya singgung di atas. Di satu sisi, Keluarga Cemara 2 tampil bagai film anak berisi petualangan dua karakter bocah. Selipan humor yang masih digawangi Asri Welas dan Abdurrahman Arif pun menguatkan kesan "ini hiburan ringan". Tapi tidak jarang, filmnya muncul dengan kemasan yang sukar dinikmati penonton bocah, yang membuatnya terombang-ambing di antara dua sisi tanpa kepastian.
Mari simak perjalanan Ara dan Aril mencari keluarga Neon. Bagi penonton dewasa yang tumbuh di pedesaan seperti saya, menyaksikan mereka melewati hujan dan menembus kabut di tengah alam asri, yang ditangkap secara cukup cantik oleh kamera Yadi Sugandi selaku sinematografer, memancing rasa homey yang mendamaikan. Tapi penonton anak bakal sulit mempertahankan atensi akibat minimnya dinamika. Ketimbang "petualangan" mungkin lebih pas disebut "jalan santai".
Pacing-nya tak kalah memberatkan. Beberapa adegan bergulir beberapa detik lebih lama dari semestinya, pun sebuah shot bernuansa sunyi yang berlangsung tidak sebentar, kala Emak merenung di malam hari, terasa out-of-place bagi film anak. Walau harus diakui, beberapa shot yang Basbeth rangkai, mampu berbicara lebih kuat dibanding bahasa verbal. Misal sewaktu Ara duduk di meja makan, dan kursi sebelahnya, yang biasa diduduki Euis, nampak kosong. Momen tersebut efektif menggambarkan kehilangan yang menusuk hati Ara.
Setidaknya jajaran cast masih muncul dengan akting memuaskan. Ringgo dan Nirina kembali membawa sensitivitas yang hangat, Zara semakin nyaman di depan kamera, pun Widuri membuktikan diri pantas diberi porsi lebih. Muzakki tidak perlu ditanya. Memerankan Aril adalah tugas ringan baginya.
Tapi jangan harap dibuat mengharu biru seperti film pertama. Pendekatan alternatif yang Basbeth terapkan cenderung menekan luapan emosi. Ada kalanya ekspresi rasa berhasil dipercantik sebagaimana adegan Ara di meja makan tadi, namun acap kali, rasa itu sebatas ditahan. Dibiarkan mengendap. Setidaknya, babak konklusi Keluarga Cemara 2 menyimpan keindahan bermakna, saat semua orang diperlihatkan "menuju ke Ara". Ara menyatukan semuanya, karena sekali lagi, mereka adalah keluarga cemara.
REVIEW - PULANG
Belakangan muncul pesimisme terhadap film-film lokal produksi KlikFilm. Cenderung medioker, dengan tema-tema usang yang digarap sekenanya. Tidak sepenuhnya keliru, sebab produk cepat saji macam itu memang pas dijadikan "film eksklusif OTT" (istilah lebih halus dan modern sebagai ganti "straight-to-DVD" yang punya konotasi negatif).
Ditengok sekilas, Pulang tidak jauh beda. Tapi timbul ketertarikan melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi penyutradaraan. Melalui filmografi berisi judul-judul seperti Di Balik 98 (2015, selaku co-director), Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), hingga Mangkujiwo (2020), reputasinya tentu lebih mentereng dibanding mayoritas nama rekrutan KlikFilm biasanya (Semisal Dyan Sunu Prastowo yang dalam dua tahun terakhir sudah menelurkan DELAPAN judul. Bagaimana bisa memercayai kualitasnya?). Terbukti, film ini tampil sebagai drama keluarga menyentuh.
Pras (Ringgo Agus Rahman) mengajak puterinya, Rindu (Ziva Magnolya), melakukan road trip ke Yogyakarta untuk menyusul sang istri, Santi (Imelda Therinne), dan si putera bungsu, Biru (Malvin Yoel). Mobil tua itu dipilih sebagai kendaraan, dengan alasan nostalgia. Pras ingin mengenang masa kala masih tinggal di Yogyakarta, di mana mereka sering berkeliling kota menaiki mobil tersebut.
Rindu tidak terlalu akrab dengan ibunya, yang sebagai seorang pengajar (sebentar lagi menjadi rektor), memang cenderung lebih tegas dan ketat. Apalagi Rindu ada di usia remaja. Gesekan dan pemberontakan pun jamak terjadi. Diam-diam Rindu berpacaran, berencana liburan ke Bali bersama teman-teman, bahkan membuat tato.
Sebaliknya, Pras lebih santai. Sebagai ayah tentu beberapa petuah masih terucap dari mulutnya, tapi itu ia imbangi dengan upaya memahami. Dia tanyakan makna tato baru Rindu, pun ia puji sang puteri ketika mampu menjabarkan soal jurusan-jurusan kuliah yang ingin diambil. Alhasil, Rindu merasa lebih nyaman bersama Pras. Interaksi keduanya adalah suguhan utama Pulang, yang mendominasi 84 menit durasinya.
Naskah buatan Anggoro Saronto (Sang Kiai, Bangkit!, Warkop DKI Reborn 4) tersusu atas obrolan yang mengalir mulus, natural, tidak dibuat-buat, tanpa upaya berlebihan untuk terdengar dramatis. Interaksi sewajarnya antara ayah yang menyenangkan dan anak yang kebandelannya lebih dikarenakan kerinduan atas kasih sayang.
Chemistry dua pemain jelas berperan dalam keberhasilan di atas. Ziva Magnolya melakoni debut yang solid, sedangkan Ringgo mengulangi pencapaian di Keluarga Cemara (2019) melalui kapasitas menghidupkan figur ayah hangat yang tak terjebak keklisean membosankan. Dia jago menjaga dinamika, sekaligus melempar respon-respon terhadap lawan bicara, yang membuat obrolan lebih berwarna.
Hangat. Tapi Rindu tidak tahu bahwa kehangatan tersebut mungkin takkan terulang lagi. Sebab perjalanan ini menyimpan niat terselubung. Pras dan Santi sepakat bercerai, dan hendak menyampaikan itu kepada anak-anak mereka di Yogyakarta. Ketika rumah bernama "keluarga" itu runtuh, ke mana lagi mereka bisa pulang?
Masalah dalam penceritaan Pulang adalah terkait keseimbangan. Ini kisah seputar keluarga. Tentang hubungan anak-orang tua. Sayang, tuturannya berat sebelah, dengan lebih condong ke sisi ayah. Begitu film usai, kita kenal betul siapa Pras. Kita tahu ia baik namun memiliki cela, kita tahu Pras memandang dirinya bak kura-kura yang bergerak lambat dalam hidup, kita tahu bahwa di balik segala kekurangan dan kesalahan, ia ingin memperbaiki keadaan. Tapi bagaimana dengan Santi? Dia sebatas sosok di ujung panggilan telepon, yang sesekali melempar common sense ketika film menampilkan flashback.
Mengingat bobot kesalahan Pras jelas lebih besar (di luar benar atau tidak ia berselingkuh), mengapa hanya dia yang diberi kesempatan mengambil hati kita? Untungnya Pulang piawai memainkan emosi berkat kombinasi akting, penulisan, serta penyutradaraan, yang seluruhnya tampil penuh sensitivitas. Tengok saat Pras menceritakan awal pertemuannya dan Santi pada Rindu. Sebuah rekoleksi memori hangat nan romantis.
Kuantitas pemakaian Sesuatu di Jogja memang berlebihan (diputar lima kali), tapi keefektifan lagu tersebut membangun mood harus diakui. Mood tenang namun menghanyutkan jadi pendekatan Azhar Kinoi Lubis, yang dalam pengarahannya tak banyak memberi letupan. Termasuk di babak konklusi, ketika menggambarkan indahnya wajah manis cinta masa lalu. Masa sebelum dua sejoli mengenal kepahitan realita. Masa yang membawa keduanya menemukan rumah, yang dibangun oleh kenangan-kenangan, yang jadi penunjuk arah untuk pulang tiap penghuninya tersesat.
(Klik Film)