Tampilkan postingan dengan label Ringgo Agus Rahman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ringgo Agus Rahman. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KELUARGA CEMARA 2

Ada perbedaan antara "film anak" dan "film dengan protagonis anak". Jenis pertama berbentuk hiburan ringan, sedangkan yang kedua punya jangkauan lebih luas, dari crowd-pleaser untuk semua kalangan hingga arthouse. Di bawah pengarahan Ismail Basbeth, Keluarga Cemara 2 ingin menyeimbangkan sisi mainstream dan alternatif (hal yang nampak dalam filmografi sang sutradara), namun justru melahirkan inkonsistensi. 

Akibat COVID, Abah (Ringgo Agus Rahman) mesti mencari pekerjaan baru, sedangkan Emak (Nirina Zubir) mendapati penjualan opaknya menurun drastis. Tabungan menipis, padahal kini sudah ada puteri ketiga, Agil (Nilouger Bahalwan). Tapi Keluarga Cemara 2 adalah "filmnya Ara (Widuri Puteri)". Ara yang merasa keluarganya selalu ingkar janji. Ara yang merasa ditinggalkan oleh kakaknya, Euis (Adhisty Zara), yang memasuki usia remaja dan mulai mengenal cinta. 

Saat itulah Ara mulai akrab dengan Aril (Muzakki Ramdhan), lalu memulai petualangan bersama, yang melibatkan seekor ayam. Film ini memang penuh dengan ayam. Ara mendengar suara ayam memanggilnya, bahkan bisa mengajak bicara Neon, anak ayam yang ia temukan di jalan. Mungkin karena Ara sendiri seperti anak ayam yang terpisah dari keluarga. Hanya saja, Ara dan keluarganya terpisah bukan secara fisik. 

Mereka tetap serumah, selalu bersama, namun sulit bersatu. Abah makin sibuk karena pekerjaan baru, Emak harus memikirkan bisnis sampingan sembari menjaga Agil, sementara Euis memasuki masa puber. Kondisi berubah, anggota keluarga berubah, hubungan pun berjarak. Sulitnya Abah memercayai kemampuan Ara berkomunikasi dengan ayam juga menunjukkan jurang pemisah, di mana orang tua kesulitan memahami dunia anak yang jauh dari "masuk akal". Alhasil, Ara lancar berkomunikasi dengan dengan Neon, tapi tidak dengan keluarganya.

Naskah buatan M. Irfan Ramly sudah punya gagasan dasar kuat nan kreatif, tentang bagaimana karakternya menghadapi perubahan, guna mempertahankan nilai "harta paling berharga adalah keluarga". Mudah bersimpati pada Ara yang merasa dipojokkan semua orang, tapi kita pun dibuat tak serta merta menyalahkan Abah maupun Euis, sebab perubahan mereka beralasan. 

Satu kelemahan naskahnya adalah, tingginya kuantitas konflik berujung merendahkan kualitas dalam hal kematangan cerita. Tiada yang benar-benar maksimal. Jika film pertamanya terasa utuh, maka Keluarga Cemara 2 bak rangkuman berbagai episode serial. 

Lalu ada perihal inkonsistensi yang telah saya singgung di atas. Di satu sisi, Keluarga Cemara 2 tampil bagai film anak berisi petualangan dua karakter bocah. Selipan humor yang masih digawangi Asri Welas dan Abdurrahman Arif pun menguatkan kesan "ini hiburan ringan". Tapi tidak jarang, filmnya muncul dengan kemasan yang sukar dinikmati penonton bocah, yang membuatnya terombang-ambing di antara dua sisi tanpa kepastian. 

Mari simak perjalanan Ara dan Aril mencari keluarga Neon. Bagi penonton dewasa yang tumbuh di pedesaan seperti saya, menyaksikan mereka melewati hujan dan menembus kabut di tengah alam asri, yang ditangkap secara cukup cantik oleh kamera Yadi Sugandi selaku sinematografer, memancing rasa homey yang mendamaikan. Tapi penonton anak bakal sulit mempertahankan atensi akibat minimnya dinamika. Ketimbang "petualangan" mungkin lebih pas disebut "jalan santai".

Pacing-nya tak kalah memberatkan. Beberapa adegan bergulir beberapa detik lebih lama dari semestinya, pun sebuah shot bernuansa sunyi yang berlangsung tidak sebentar, kala Emak merenung di malam hari, terasa out-of-place bagi film anak. Walau harus diakui, beberapa shot yang Basbeth rangkai, mampu berbicara lebih kuat dibanding bahasa verbal. Misal sewaktu Ara duduk di meja makan, dan kursi sebelahnya, yang biasa diduduki Euis, nampak kosong. Momen tersebut efektif menggambarkan kehilangan yang menusuk hati Ara. 

Setidaknya jajaran cast masih muncul dengan akting memuaskan. Ringgo dan Nirina kembali membawa sensitivitas yang hangat, Zara semakin nyaman di depan kamera, pun Widuri membuktikan diri pantas diberi porsi lebih. Muzakki tidak perlu ditanya. Memerankan Aril adalah tugas ringan baginya. 

Tapi jangan harap dibuat mengharu biru seperti film pertama. Pendekatan alternatif yang Basbeth terapkan cenderung menekan luapan emosi. Ada kalanya ekspresi rasa berhasil dipercantik sebagaimana adegan Ara di meja makan tadi, namun acap kali, rasa itu sebatas ditahan. Dibiarkan mengendap. Setidaknya, babak konklusi Keluarga Cemara 2 menyimpan keindahan bermakna, saat semua orang diperlihatkan "menuju ke Ara". Ara menyatukan semuanya, karena sekali lagi, mereka adalah keluarga cemara. 

REVIEW - PULANG

Belakangan muncul pesimisme terhadap film-film lokal produksi KlikFilm. Cenderung medioker, dengan tema-tema usang yang digarap sekenanya. Tidak sepenuhnya keliru, sebab produk cepat saji macam itu memang pas dijadikan "film eksklusif OTT" (istilah lebih halus dan modern sebagai ganti "straight-to-DVD" yang punya konotasi negatif). 

Ditengok sekilas, Pulang tidak jauh beda. Tapi timbul ketertarikan melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi penyutradaraan. Melalui filmografi berisi judul-judul seperti Di Balik 98 (2015, selaku co-director), Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), hingga Mangkujiwo (2020), reputasinya tentu lebih mentereng dibanding mayoritas nama rekrutan KlikFilm biasanya (Semisal Dyan Sunu Prastowo yang dalam dua tahun terakhir sudah menelurkan DELAPAN judul. Bagaimana bisa memercayai kualitasnya?). Terbukti, film ini tampil sebagai drama keluarga menyentuh.

Pras (Ringgo Agus Rahman) mengajak puterinya, Rindu (Ziva Magnolya), melakukan road trip ke Yogyakarta untuk menyusul sang istri, Santi (Imelda Therinne), dan si putera bungsu, Biru (Malvin Yoel). Mobil tua itu dipilih sebagai kendaraan, dengan alasan nostalgia. Pras ingin mengenang masa kala masih tinggal di Yogyakarta, di mana mereka sering berkeliling kota menaiki mobil tersebut. 

Rindu tidak terlalu akrab dengan ibunya, yang sebagai seorang pengajar (sebentar lagi menjadi rektor), memang cenderung lebih tegas dan ketat. Apalagi Rindu ada di usia remaja. Gesekan dan pemberontakan pun jamak terjadi. Diam-diam Rindu berpacaran, berencana liburan ke Bali bersama teman-teman, bahkan membuat tato. 

Sebaliknya, Pras lebih santai. Sebagai ayah tentu beberapa petuah masih terucap dari mulutnya, tapi itu ia imbangi dengan upaya memahami. Dia tanyakan makna tato baru Rindu, pun ia puji sang puteri ketika mampu menjabarkan soal jurusan-jurusan kuliah yang ingin diambil. Alhasil, Rindu merasa lebih nyaman bersama Pras. Interaksi keduanya adalah suguhan utama Pulang, yang mendominasi 84 menit durasinya.

Naskah buatan Anggoro Saronto (Sang Kiai, Bangkit!, Warkop DKI Reborn 4) tersusu atas obrolan yang mengalir mulus, natural, tidak dibuat-buat, tanpa upaya berlebihan untuk terdengar dramatis. Interaksi sewajarnya antara ayah yang menyenangkan dan anak yang kebandelannya lebih dikarenakan kerinduan atas kasih sayang. 

Chemistry dua pemain jelas berperan dalam keberhasilan di atas. Ziva Magnolya melakoni debut yang solid, sedangkan Ringgo mengulangi pencapaian di Keluarga Cemara (2019) melalui kapasitas menghidupkan figur ayah hangat yang tak terjebak keklisean membosankan. Dia jago menjaga dinamika, sekaligus melempar respon-respon terhadap lawan bicara, yang membuat obrolan lebih berwarna.

Hangat. Tapi Rindu tidak tahu bahwa kehangatan tersebut mungkin takkan terulang lagi. Sebab perjalanan ini menyimpan niat terselubung. Pras dan Santi sepakat bercerai, dan hendak menyampaikan itu kepada anak-anak mereka di Yogyakarta. Ketika rumah bernama "keluarga" itu runtuh, ke mana lagi mereka bisa pulang?

Masalah dalam penceritaan Pulang adalah terkait keseimbangan. Ini kisah seputar keluarga. Tentang hubungan anak-orang tua. Sayang, tuturannya berat sebelah, dengan lebih condong ke sisi ayah. Begitu film usai, kita kenal betul siapa Pras. Kita tahu ia baik namun memiliki cela, kita tahu Pras memandang dirinya bak kura-kura yang bergerak lambat dalam hidup, kita tahu bahwa di balik segala kekurangan dan kesalahan, ia ingin memperbaiki keadaan. Tapi bagaimana dengan Santi? Dia sebatas sosok di ujung panggilan telepon, yang sesekali melempar common sense ketika film menampilkan flashback. 

Mengingat bobot kesalahan Pras jelas lebih besar (di luar benar atau tidak ia berselingkuh), mengapa hanya dia yang diberi kesempatan mengambil hati kita? Untungnya Pulang piawai memainkan emosi berkat kombinasi akting, penulisan, serta penyutradaraan, yang seluruhnya tampil penuh sensitivitas. Tengok saat Pras menceritakan awal pertemuannya dan Santi pada Rindu. Sebuah rekoleksi memori hangat nan romantis.

Kuantitas pemakaian Sesuatu di Jogja memang berlebihan (diputar lima kali), tapi keefektifan lagu tersebut membangun mood harus diakui. Mood tenang namun menghanyutkan jadi pendekatan Azhar Kinoi Lubis, yang dalam pengarahannya tak banyak memberi letupan. Termasuk di babak konklusi, ketika menggambarkan indahnya wajah manis cinta masa lalu. Masa sebelum dua sejoli mengenal kepahitan realita. Masa yang membawa keduanya menemukan rumah, yang dibangun oleh kenangan-kenangan, yang jadi penunjuk arah untuk pulang tiap penghuninya tersesat.

(Klik Film)

KOKI-KOKI CILIK 2 (2019)

Dua minggu terakhir merupakan waktu yang mengasyikkan bagi film anak. Setelah Doremi & You menebar kebahagiaan lewat musikal, kini giliran Koki-Koki Cilik 2 menyuguhkan sekuel sedap. Walau kali ini aktivitas memasak bagai hanya hidangan pendamping, drama keluarga yang melibatkan jajaran penampil serta karakter baru, bertindak selaku menu utama yang berhasil meluluhkan hati.

Bima (Farras Fatik) dan teman-temannya kembali berkumpul, berencana mengadakan reuni di Cooking Camp dua tahun selepas peristiwa film pertama, hanya untuk menemukan bahwa tempat itu sudah ditutup setelah komentar miring dari Evan (Christian Sugiono), seorang mantan chef sekaligus pemilik restoran ternama, mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap Cooking Camp yang sekarang dikelola Chef Grant (Ringgo Agus Rahman).

Cukup aneh ketika anak-anak tidak tahu perihal penutupan lokasi seterkenal Cooking Camp, yang juga mempunyai tempat di hati mereka. Setidaknya para orang tua pasti mendengar kabar itu. Alhasil, berangkat dengan penuh suka cita, mereka disambut kamp kosong dan Chef Grant—dengan jenggot palsu jelek—yang kehilangan semangatnya.

Di tengah situasi tersebut, datanglah Adit (M Adhiyat) bersama tantenya, Adel (Kimberly Ryder). Adit boleh berusia paling muda, tapi kemampuan memasaknya luar biasa. Sayang, kesan pertamanya di mata anak-anak Cooking Camp kurang baik. Bima dan teman-teman menganggap Adit arogan.....sampai masakan si bocah menyentuh lidah.

Terpukau oleh masakannya, Adit pun diajak turut bergabung dalam usaha food truck yang dirintis guna membangkitkan Cooking Camp. Dari situlah pelan-pelan Adit merasa dicintai, suatu hal yang jarang ia temukan, mengingat ia senantiasa jadi korban perundungan di sekolah, pun kurang dekat dengan sang ayah.

Paruh awal Koki-Koki Cilik 2 sebenarnya tidak berjalan mulus. Perubahan hati dan sikap Adit terjadi begitu cepat, plus naskah buatan Vera Varidia (Me vs Mami, Surat Cinta untuk Kartini, Koki-Koki Cilik) terlalu banyak menebar konflik. Tentu di saat anak-anak membuat bisnis makanan bersama, masalah bakal kerap terjadi, namun bukan berarti film ini mesti menyediakan gesekan dan/atau pertengkaran baru tiap beberapa menit.

Tapi setelah drama utamanya mengambil alih, Koki-Koki Cilik 2 mulai menemukan pijakan, bahkan membuat saya terenyuh oleh tuturannya. Ada satu titik balik khusus yang amat berkesan, yakni tatkala Adit kehilangan kontrol emosi akibat sikap salah satu pengunjung food truck, dan Adel berusaha menenangkan sang keponakan dengan berkata, “Adit anak baik”.

Terasa emosional  berkat aura keibuan hangat dari Kimberly ditambah bagaimana adegan tersebut memotret kasih sayang melalui kata-kata sederhana. Makin bermakna setelah latar belakang Adit digali lebih jauh, yang juga diikuti dua kejutan. Kejutan pertama mudah diprediksi, sementara yang kedua, biarpun mengejutkan, agak bermasalah karena melibatkan insiden masa lalu, yang secara logika, mustahil dilupakan karakternya. Di luar masalah itu, keberadaannya efekif menambah bobot rasa. Salah satunya berkat penampilan paling solid sepanjang karir Christian Sugiono, juga M. Adhiyat yang sekali lagi membuktikan diri berpotensi menjadi aktor dengan sensibilitas tinggi di masa depan.

Mengedepankan Adit, porsi Bima pun berkurang jauh, yang mana patut disayangkan setelah kita melalui banyak hal bersamanya di film pertama. Tapi paling tidak, Koki-Koki Cilik 2 mampu membayarnya lunas dengan menciptakan ikatan kuat di antara para bocah. Teramat kuat, air mata bisa saja menetes sewaktu melihat mereka bicara hati ke hati, berpelukan, kemudian melakukan “ritual transfer energi”.

Terselip pula pesan anti-bullying selaku bumbu penyedap, yang walau takarannya minim, tetap meninggalkan dampak besar. Orang tua akan memperoleh materi penting untuk diajarkan, yaitu tentang efek perundungan yang masih bisa, atau bahkan baru dirasakan jauh di masa depan.

Mengambil alih tugas penyutradaraan, Viva Westi (Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, Jenderal Soedirman) mungkin belum sejago Ifa Isfansyah dalam mempresentasikan makanan guna membuatnya nampak sedap dengan mengeksplorasi detail tekstur. Tapi kekurangan itu juga dipengaruhi variasi masakan yang dipilih, juga fakta bahwa naskahnya tidak menyelipkan adegan memasak sebanyak film pertama. Lain cerita jika membahas penghantaran rasa, di mana sang sutradara menerapkan dramatisasi secukupnya sehingga sukses menjadikan Koki-Koki Cilik 2 sebuah film keluarga yang demikian hangat.

JAFF 2018 - KELUARGA CEMARA (2018)

Di tangan yang salah, Keluarga Cemara bisa berujung suffering porn, di mana tiap sudut ibarat musibah yang melulu memicu ratap tangis. Beruntung, naskahnya ditangani duo penulis, Yandy Laurens dan Gina S. Noer (Posesif, Kulari ke Pantai) yang tahu batas pemisah antara dramatisasi dengan eksploitasi, juga penyutradaraan berbekal pemahaman milik Yandy perihal kapan serta seberapa dramatisasi perlu diterapkan. Adaptasi sinetron legendaris Keluarga Cemara (1996-2005) yang juga dibuat berdasarkan kumpulan cerita pendek berjudul sama karya Arswendo Atmowiloto ini pun menjadi drama keluarga yang menyentuh hati lewat kehangatan alih-alih kesedihan.

Walau bukan hyperrealism (dan tak perlu menjejakkan kaki ke sana), Keluarga Cemara coba tampil senyata mungkin. Mengambil latar sebelum peristiwa di sinetron, filmnya memulai kisah kala Cemara (Widuri Puteri) sekeluarga masih hidup makmur, sehingga menyulut pertanyaan, “Bagaimana mungkin Abah si pengusaha properti jatuh begitu dalam hingga memilih profesi tukang becak?”.

Rupanya film ini mampu menawarkan jawaban logis yang juga relevan bila dihadapkan pada situasi sosial sekarang (salah satunya berbentuk peletakkan produk cerdik). Beberapa perubahan perlu dilakukan, namun tanpa mengkhianati substansi materi asalnya, bahkan masih sempat menyelipkan deretan referensi untuk momen-momen ikonik sinetronnya, dalam penempatan tepat yang selaras dengan keperluan cerita ketimbang bentuk pemaksaan diri menebar easter eggs.

Alkisah, kejatuhan Abah (Ringgo Agus Rahman) memaksa keluarganya pindah ke rumah masa kecilnya di sebuah desa di Jawa Barat. Abah terjerat rasa bersalah, terlebih setelah mendapati faktor usia menyulitkannya memperoleh pekerjaan layak secepatnya, sedangkan di saat bersamaan Emak (Nirina Zubir) mesti ikut menyokong ekonomi keluarga, Cemara harus berjalan jauh menuju sekolah, dan Euis (Zara JKT48) terpaksa bersekolah di tempat baru, meninggalkan para sahabat (sekaligus rekan tim dance) lamanya.

Khususnya bagi Euis yang tengah menginjak masa remaja awal, perubahan tersebut amatlah berat, yang akhirnya menyulut salah satu konflik utama, termasuk pertengkaran beruntun dengan Abah. Sosok Abah sendiri belum sebijak versi Adi Kurdi di sinetron.  Wajar, sebab ia masih pria berusia prima (35 tahun) yang tiba-tiba terjerembab ke titik terendah hidupnya. Dampaknya, emosi gampang tersulut, keputusan-keputusan buruk dibuat, kalimat-kalimat menyakitkan terlontar, menjauhkannya dari kesempurnaan, yang mana merupakan wujud karakterisasi menarik.

Bukan berarti anggota keluarga lain dikesampingkan. Cemara sang peluluh hati keluarga diperankan begitu alamiah oleh peforma kaya dinamika milik Widuri. Tingkah laku dan tutur katanya mampu mendinginkan pertikaian panas. Tapi tiang penyangga keluarga sesungguhnya adalah Emak. Berkatnya, keluarga tetap berdiri meski kerap terombang-ambing. Emak menyediakan tempat mengadu, meluapkan kegundahan terpendam, meski artinya, ia dituntut menyimpan beban berlebih dalam hati yang bisa kita lihat jelas melalui tatapan kaya rasa Nirina.

Gempuran masalah-masalahnya adalah gambaran keseharian yang tak terasa episodik, sebab Yandy dan Gina bukan sedang mengadaptasi mentah-mentah sinetronnya. Pun di sela-selama problematika, Keluarga Cemara bersedia menyegarkan suasana berkat kemampuan jajaran pemeran pendukung—pastinya termasuk Asri Welas sebagai “loan woman turns enter woman”—memaksimalkan gaya hiperbola guna memancing tawa.

Pilihan lagu-lagunya tak kalah memikat. Berasal dari beragam genre dan masa, membentang dari Sepanjang Jalan Kenangan, Tentang Rumahku, sampai Harta Berharga versi Bunga Citra Lestari, berbagai adegan diiringi, dengan mood berhasil terwakili. Ketepatan pemilihan lagu termasuk pembuktian kepekaan Yandy terkait membangun suasana dan rasa. Kalau mau, tearjerker bisa saja diciptakan dari semua konflik, namun ia bersedia menunggu hingga tiba titik terbaik untuk meletupkannya. Resolusinya menghadirkan payoff melalui ekspresi cinta kasih jujur nan sederhana yang bakal menumpahkan air mata.

Keberhasilan momen tersebut tak lepas juga dari kombinasi Ringgo-Zara. Walau perlu mengasah lagi kemampuan menangani ledakan amarah yang belum seberapa meyakinkan, sebagai ayah lembut, Ringgo piawai mencuri hati. Sementara Zara memberi kejutan terbesar, ketika air mata dan senyumnya bisa memicu penonton memunculkan respon serupa sewaktu menyaksikan adegan puncak.

Tidak ada konflik pengancam pernikahan, tidak ada murid baru dari kota jadi korban perundugan, tidak ada anak bermasalah yang memberontak (hanya beberapa ketidakpatuhan), tidak ada penyakit kronis dan kecelakaan (Thank God!), atau masalah-masalah tak perlu lain. Keluarga Cemara menyulut tangis tanpa menjual air mata semata, pula memperlihatkan perjuangan tanpa mengeksplotasi penderitaan. Karena akhirnya, film ini “cuma” memaparkan nilai kekeluargaan sederhana tentang memiliki dan dimiliki, menjaga dan dijaga, di mana kala semua bersatu dalam harmoni, tercipta harta yang paling berharga: Keluarga.

SATU HARI NANTI (2017)

Mengusung rating 21+, Satu Hari Nanti memang film dewasa. Bukan karena bertebaran sensualitas yang sesungguhnya sebatas beberapa ciuman "panas" dan lingerie Adinia Wirasti, melainkan tema beserta perspektif soal hubungan. Ditulis sekaligus disutradarai oleh Salman Aristo (Bukaan 8, Mencari Hilal), sudut pandang film yang mengetengahkan kisah saling tukar pasangan ini memang cenderung menyasar kalangan dewasa, di mana romantika bukan cuma aktivitas "manis-manis manja", istilah "best friend forever" tidak eksis, sedangkan setting luar negeri bukan dipakai sebagai lahan jalan-jalan ria. 

Bertempat di Swiss memfasilitasi (atau tepatnya memudahkan) empat tokoh utamanya menjalin asmara, tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Bima (Deva Mahenra) yang bergulat meniti karir musik mendapati hubungannya dengan Alya (Adinia Wirasti) yang tengah menempuh pendidikan chocolatier semakin hambar, sementara Chorina (Ayushita Nugraha) si manajer hotel harus sabar menyikapi kegemaran kekasihnya yang berprofesi sebagai tour guide, Din (Ringgo Agus Rahman), bermain wanita. Kedua pasangan ini saling mendukung, menyediakan tempat bersandar kala masing-masing diterpa permasalahan. Sampai semua berjalan terlalu jauh, dan persahabatan berkembang menjadi hasrat menggebu. 
Satu kelebihan yang kerap Salman Aristo munculkan lewat skenario buatannya yakni karakter solid. Dalam Satu Hari Nanti, mudah mendeteksi apa yang tiap tokoh rasakan, inginkan, atau keluhkan dari pasangannya. Serupa pendekatan filmnya, keempat protagonis bukan lagi muda-mudi naif yang selalu kagum bak turis di negeri orang. Akhirnya, biarpun kamera Faozan Rizal sanggup menyibak indahnya alam setempat, dan Aghi Narottama bersama Bemby Gusti membuat musik bernuansa Eropa, Satu Hari Nanti tidak tampil "kampungan" kala enggan meluangkan terlampau banyak waktu berwisata. 

Dewasa dan elegan. Dua kata itu menyusun gerak langkah filmnya, setidaknya itu yang ingin dituju Salman Aristo saat menekan letupan emosi sambil membangun interaksi melalui barisan pembicaraan yang dipakai karakternya untuk menuangkan kegelisahan ketimbang bertukar bahasa puitis. Pun daripada momentum bergelora, Salman memilih memberi panggung bagi jajaran pemain sebagai pembentuk rasa, khususnya Adinia Wirasti yang kembali piawai memberi bobot untuk adegan sesederhana apapun. Tidak semua keputusan Alya simpatik, tapi Adinia bisa mengajak penonton bertahan di sisinya.
Sayang, penyutradaraan Salman Aristo tak memiliki sensitivitas sekuat sang aktris. Keinginan memasang wajah dewasa nan elegan membuatnya lalai menghembuskan rasa. Tidak dibarengi pembentukan dinamika mumpuni ditambah dialog tanpa pokok pembicaraan yang mampu menyulut kemauan penonton menyelami detail setiap kata, Satu Hari Nanti tersaji sedingin Swiss. Padahal bila diamati, tersimpan setumpuk gagasan menarik mengenai cinta, mimpi, hingga gejolak batin manusiawi, yang gagal tertuang maksimal layaknya seseorang penuh ide yang bingung cara menumpahkannya. Penonton dapat menangkap setumpuk gagasan itu, tapi sulit merasa terikat, yang artinya, Satu Hari Nanti hanya bekerja di ranah kognitif, bukan afektif. 

Kekurangan tersebut berakibat fatal tatkala konklusi yang bermakna dan berpotensi mengguncang emosi secara subtil akhirnya kurang berdampak. Mengangkat tagline "Cinta itu Perjalanan", Satu Hari Nanti justru melangkah lemah di paruh tengah, membuat destinasi yang sebenarnya spesial berujung hambar. Padahal resolusi yang dipilih untuk menutup persoalan kedua (atau keempat) hubungan sudah selaras dengan kedewasaan berbasis realita yang dituju. Apalagi ketika Chorina tidak lagi membutuhkan bantuan untuk memotong cokelat kepunyaannya. Tersirat namun kuat. 


Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017