REVIEW - BEFORE, NOW & THEN
Bersama kakaknya, Ningsih (Rieke Diah Pitaloka), Nana (Happy Salma) membawa bayinya kabur untuk lari dari kejaran para "gerombolan". Tidak dijabarkan secara pasti identitasnya, tapi mengingat latar 40-an yang dipakai, kemungkinan mereka adalah gerilyawan. Pemimpin "gerombolan" ingin menikahi Nana, kemudian membunuh ayah Nana saat mendapat penolakan. Sang suami (Ibnu Jamil) menghilang dan diyakini telah tiada.
Mengadaptasi bab pertama dari novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imran, Before, Now & Then menjabarkan bahwa sekalipun penjajah bangsa sudah tumbang, penjajahan terhadap perempuan belum juga hilang. Kamila Andini kembali menyuarakan kegelisahan serta perlawanan. Bukan melalui teriakan, melainkan perenungan.
Peristiwa di paragraf pertama merupakan bagian "before", sedangkan "now" mengajak kita melompat ke 15 tahun pasca pelarian protagonisnya. Nana menikahi Lurah Darga (Arswendy Bening Swara) yang jauh lebih tua, dikaruniai beberapa anak, hidup makmur secara finansial. Walau demikian, kebahagiaan tak nampak di wajahnya. Ada gejolak yang ia pilih untuk pendam. Sewaktu puterinya, Dais (Chempa Puteri), bertanya mengapa perempuan yang sudah menikah menyanggul rambut panjang mereka, Nana menjawab, karena istri harus menyimpan rahasia di balik konde. Sampai kapan rahasia bisa disembunyikan? Haruskah menunggu hingga jadi borok?
Begitu kukuh Nana memegang prinsip itu, satu-satunya tempat di mana ia bisa jujur adalah mimpinya. Nana bermimpi soal kematian sang ayah, penculikan suami pertama, masuknya seekor sapi ke dalam rumah, juga kedatangan sosok gadis muda misterius (Arawinda Kirana), yang jati dirinya baru diungkap di babak "then". Masa lalu yang belum tuntas terus menghantui Nana, sedangkan masa depan masih sulit ia raba.
Nana menghadapi beragam hal, termasuk komentar pedas dari ibu-ibu sekitar mengenai latar belakangnya. Inilah keunggulan Kamila dalam menyampaikan isu empowerment. Dia melawan sembari berpijak pada realita. Di Yuni ia membuka mata atas realita hidup perempuan desa (satu hal yang kerap dikritik aktivis kota yang melupakan privilege mereka), sementara di sini, Kamila tak menutup mata soal fakta kalau perempuan juga bisa menghalangi jalan kemerdekaan perempuan lain.
Tapi masalah yang paling menusuk hati Nana adalah ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan Ino (Laura Basuki), seorang penjual daging di pasar. Di sinilah Kamila menampilkan kejeliannya mengolah kisah empowerment. Ketimbang langsung mengonfrontasi Ino, Nana sekali lagi memilih memendam sakit hati. Seiring keduanya saling mengenal, justru tumbuh pertemanan di antara mereka.
Before, Now & Then bukan cerita dua perempuan berebut pasangan, sebab Nana dan Ino lebih membutuhkan kehadiran sesama perempuan dibanding laki-laki. Nana yang tadinya memproses kegelisahan seorang diri dengan hanya ditemani sebatang rokok, sekarang membagi rokok itu, sebagaimana ia membagi kegelisahannya.
Dua momen secara bergantian menangkap hubungan Nana-Ino. Pertama kala Ino turut serta saat Nana sekeluarga bertamasya. Ino membuka mata Nana akan kebebasan dalam sebuah momen uplifting yang melibatkan sungai. Menyusul kemudian adalah momen dengan suasana berbeda. Lebih kontemplatif. Nana dan Ino merokok berdua, saling berbagi rasa di malam yang sunyi.
Pengarahan Kamila kali ini, khususnya di fase konklusi, mungkin tak sesukses Yuni dalam hal "mempercantik emosi", namun bisa dilupakan berkat keberadaan dua momen di atas. Ditambah lagi kombinasi mumpuni Happy Salma dan Laura Basuki. Happy Salma dengan "kekuatan dalam diam" yang penuh kehormatan, sementara Laura Basuki (menyabet penghargaan Silver Bear untuk penampil pendukung terbaik di Festival Film Internasional Berlin) mendefinisikan arti kata "supporting". Dia bersinar tanpa mencuri sorotan penampil utama. Karakternya benar-benar jadi pendukung proses yang protagonisnya lalui.
Before, Now & Then juga jadi presentasi artistik memukau. Pemakaian lagu Sabda Alam memang terlalu gamblang, tapi scoring buatan Ricky Lionardi tak hanya cantik, pula sempurna mewakili sisi elegan karakter utamanya. Bukan cuma pemakaian musik, Kamila juga menyelipkan beberapa bentuk kesenian lain, yang berfungsi menciptakan potret sebuah era.
Peleburan scoring dan visualnya (gerak lambat, desain properti cantik, mise-en-scène estetis) bakal memunculkan komparasi dengan karya-karya Wong Kar-wai, dan biarpun tidak keliru, saya lebih suka menyebutnya "Bahasa Kamila Andini". Sebuah bahasa cantik yang menegaskan bahwa diam bukan berarti menyerah, bahwa bisikan dapat terdengar lebih lantang ketimbang teriakan.
(Prime Video)
REVIEW - SELESAI
Selesai, selaku kolaborasi kedua Tompi (sutradara) dan Imam Darto (penulis naskah) setelah Pretty Boys (2019), berupaya memberi warna baru di tema lama (kalau tidak mau disebut "usang") soal perselingkuhan. Baik pengembangan alur maupun tata artistik, semua dipilih dengan tujuan tampil beda, setidaknya di skena film Indonesia modern.
Niat itu patut diapresiasi, namun di saat bersamaan, Selesai juga wujud salah kaprah pemahaman atas anggapan bahwa "beda" berarti "bagus". Bahwa film bagus harus unik, harus punya twist, harus berani memasang sensualitas (atau setidaknya, cukup guna memancing rasa penasaran kaum adam dengan birahi tak tersalurkan).
Alurnya mengisahkan pernikahan Broto (Gading Marten) dan Ayu (Ariel Tatum) yang telah mendekati "selesai". Cinta keduanya memudar, apalagi setelah Broto berkali-kali selingkuh dengan Anya (Anya Geraldine dalam porsi yang tak lebih dari glorified cameo). Sewaktu Ayu menemukan celana dalam yang ia yakini sebagai milik Anya, ia pun meminta cerai.
Di tengah pertengkaran, mendadak Sri (Marini Soerjosoemarno), ibunda Broto, datang karena ingin menghabiskan masa lockdown bersama si anak dan menantu. Alhasil keduanya terpaksa berpura-pura akur, sambil terus berupaya mengungkap keburukan masing-masing.
"Apa benar Broto selingkuh?". Itulah pertanyaan pertama yang naskahnya lempar, sekaligus awal timbulnya pertanyaan-pertanyaan lain. Melalui rangkaian pertanyaan tersebut, Imam Darto membawa Selesai, dari drama perselingkuhan biasa ke arah misteri, yang harus diakui cukup menarik. Bukankah di realita, mempertanyakan kesetiaan pasangan juga membuat kita merasa bak karakter dalam cerita misteri?
Sedangkan di kursi penyutradaraan, Tompi, yang notabene seorang musisi, jeli memilih iringan musik. Ditangani oleh Ricky Lionardi, musiknya menjauh dari orkestra mengharu-biru yang kerap jadi andalan suguhan drama kita, menggantinya dengan nuansa jazzy, yang seperti berkiblat pada film noir. Di sini, tujuan Selesai untuk tampil beda telah terpenuhi.
Lalu datanglah penyakit itu. Penyakit di mana penulis naskah merasa, agar cerita lebih menarik, penonton harus dibuat terkejut oleh twist, alih-alih memperdalam tema serta karakter. Mungkin Darto memegang prinsip "the more the better" di segala sisi penceritaan. Termasuk saat memasukkan subplot hubungan Yani (Tika Panggabean) selaku ART di rumah Broto dan Ayu, dengan Bambang (diperankan Darto sendiri). Subplot itu cuma berfungsi menambah jumlah perselingkuhan, di saat naskah semestinya berkonsentrasi memperkuat eksplorasi isu perselingkuhan tersebut.
Beberapa twist-nya cenderung dipaksakan, namun tak ada yang lebih menggelikan dibanding kejutan pamungkasnya. Kejutan berisi trik yang entah sudah berapa kali dipakai banyak film untuk menipu penonton. Saya sebut "menipu", karena kehadirannya begitu tiba-tiba. Something that came out of nowhere. Bukan cuma itu, akibat twist-nya, film ini terasa miskin empati, bagi para istri korban ketidakmampuan suami menahan kelaminnya berkeliaran.
Meski menganggapnya penting, saya bukan orang yang membabi buta menuntut representasi di segala hal tanpa mempertimbangkan aspek lain. Tapi saya cukup yakin, bila ditulis oleh seorang wanita, Selesai bakal mengambil jalan lain dalam merangkum kisahnya. Jalan yang tidak mengorbankan rasa berbasis empati, semata-mata demi shock value. Style over substance.
Begitu pula terkait sensualitas berkadar minimum yang tak berpengaruh apa pun bagi narasinya. Anya Geraldine dalam balutan handuk? Darto bermasturbasi sambil mengintip Ariel Tatum? Shot dari belakang saat Gading Marten telanjang bulat saat mandi? Semua dimunculkan, hanya agar penonton berujar, "WOW! Liar sekali!", sambil terkekeh nakal. Tompi berkata kalau ia ingin membuat film bernuansa sensual yang tak murahan, tapi sensualitas tanpa esensi, di film yang bahkan tidak sampai melangkah ke jalur erotika, justru terkesan murahan. Padahal Selesai tidak perlu semua itu. Pondasi misterinya sudah cukup mengundang rasa penasaran selama menonton. Sayang sekali.
Available on BIOSKOP ONLINE