Tampilkan postingan dengan label Ricky Lionardi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ricky Lionardi. Tampilkan semua postingan

REVIEW - BEFORE, NOW & THEN

Bersama kakaknya, Ningsih (Rieke Diah Pitaloka), Nana (Happy Salma) membawa bayinya kabur untuk lari dari kejaran para "gerombolan". Tidak dijabarkan secara pasti identitasnya, tapi mengingat latar 40-an yang dipakai, kemungkinan mereka adalah gerilyawan. Pemimpin "gerombolan" ingin menikahi Nana, kemudian membunuh ayah Nana saat mendapat penolakan. Sang suami (Ibnu Jamil) menghilang dan diyakini telah tiada. 

Mengadaptasi bab pertama dari novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imran, Before, Now & Then menjabarkan bahwa sekalipun penjajah bangsa sudah tumbang, penjajahan terhadap perempuan belum juga hilang. Kamila Andini kembali menyuarakan kegelisahan serta perlawanan. Bukan melalui teriakan, melainkan perenungan.

Peristiwa di paragraf pertama merupakan bagian "before", sedangkan "now" mengajak kita melompat ke 15 tahun pasca pelarian protagonisnya. Nana menikahi Lurah Darga (Arswendy Bening Swara) yang jauh lebih tua, dikaruniai beberapa anak, hidup makmur secara finansial. Walau demikian, kebahagiaan tak nampak di wajahnya. Ada gejolak yang ia pilih untuk pendam. Sewaktu puterinya, Dais (Chempa Puteri), bertanya mengapa perempuan yang sudah menikah menyanggul rambut panjang mereka, Nana menjawab, karena istri harus menyimpan rahasia di balik konde. Sampai kapan rahasia bisa disembunyikan? Haruskah menunggu hingga jadi borok? 

Begitu kukuh Nana memegang prinsip itu, satu-satunya tempat di mana ia bisa jujur adalah mimpinya. Nana bermimpi soal kematian sang ayah, penculikan suami pertama, masuknya seekor sapi ke dalam rumah, juga kedatangan sosok gadis muda misterius (Arawinda Kirana), yang jati dirinya baru diungkap di babak "then". Masa lalu yang belum tuntas terus menghantui Nana, sedangkan masa depan masih sulit ia raba. 

Nana menghadapi beragam hal, termasuk komentar pedas dari ibu-ibu sekitar mengenai latar belakangnya. Inilah keunggulan Kamila dalam menyampaikan isu empowerment. Dia melawan sembari berpijak pada realita. Di Yuni ia membuka mata atas realita hidup perempuan desa (satu hal yang kerap dikritik aktivis kota yang melupakan privilege mereka), sementara di sini, Kamila tak menutup mata soal fakta kalau perempuan juga bisa menghalangi jalan kemerdekaan perempuan lain.

Tapi masalah yang paling menusuk hati Nana adalah ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan Ino (Laura Basuki), seorang penjual daging di pasar. Di sinilah Kamila menampilkan kejeliannya mengolah kisah empowerment. Ketimbang langsung mengonfrontasi Ino, Nana sekali lagi memilih memendam sakit hati. Seiring keduanya saling mengenal, justru tumbuh pertemanan di antara mereka.

Before, Now & Then bukan cerita dua perempuan berebut pasangan, sebab Nana dan Ino lebih membutuhkan kehadiran sesama perempuan dibanding laki-laki. Nana yang tadinya memproses kegelisahan seorang diri dengan hanya ditemani sebatang rokok, sekarang membagi rokok itu, sebagaimana ia membagi kegelisahannya. 

Dua momen secara bergantian menangkap hubungan Nana-Ino. Pertama kala Ino turut serta saat Nana sekeluarga bertamasya. Ino membuka mata Nana akan kebebasan dalam sebuah momen uplifting yang melibatkan sungai. Menyusul kemudian adalah momen dengan suasana berbeda. Lebih kontemplatif. Nana dan Ino merokok berdua, saling berbagi rasa di malam yang sunyi. 

Pengarahan Kamila kali ini, khususnya di fase konklusi, mungkin tak sesukses Yuni dalam hal "mempercantik emosi", namun bisa dilupakan berkat keberadaan dua momen di atas. Ditambah lagi kombinasi mumpuni Happy Salma dan Laura Basuki. Happy Salma dengan "kekuatan dalam diam" yang penuh kehormatan, sementara Laura Basuki (menyabet penghargaan Silver Bear untuk penampil pendukung terbaik di Festival Film Internasional Berlin) mendefinisikan arti kata "supporting". Dia bersinar tanpa mencuri sorotan penampil utama. Karakternya benar-benar jadi pendukung proses yang protagonisnya lalui. 

Before, Now & Then juga jadi presentasi artistik memukau. Pemakaian lagu Sabda Alam memang terlalu gamblang, tapi scoring buatan Ricky Lionardi tak hanya cantik, pula sempurna mewakili sisi elegan karakter utamanya. Bukan cuma pemakaian musik, Kamila juga menyelipkan beberapa bentuk kesenian lain, yang berfungsi menciptakan potret sebuah era. 

Peleburan scoring dan visualnya (gerak lambat, desain properti cantik, mise-en-scène estetis) bakal memunculkan komparasi dengan karya-karya Wong Kar-wai, dan biarpun tidak keliru, saya lebih suka menyebutnya "Bahasa Kamila Andini". Sebuah bahasa cantik yang menegaskan bahwa diam bukan berarti menyerah, bahwa bisikan dapat terdengar lebih lantang ketimbang teriakan.

(Prime Video)

REVIEW - SELESAI

Selesai, selaku kolaborasi kedua Tompi (sutradara) dan Imam Darto (penulis naskah) setelah Pretty Boys (2019), berupaya memberi warna baru di tema lama (kalau tidak mau disebut "usang") soal perselingkuhan. Baik pengembangan alur maupun tata artistik, semua dipilih dengan tujuan tampil beda, setidaknya di skena film Indonesia modern.

Niat itu patut diapresiasi, namun di saat bersamaan, Selesai juga wujud salah kaprah pemahaman atas anggapan bahwa "beda" berarti "bagus". Bahwa film bagus harus unik, harus punya twist, harus berani memasang sensualitas (atau setidaknya, cukup guna memancing rasa penasaran kaum adam dengan birahi tak tersalurkan). 

Alurnya mengisahkan pernikahan Broto (Gading Marten) dan Ayu (Ariel Tatum) yang telah mendekati "selesai". Cinta keduanya memudar, apalagi setelah Broto berkali-kali selingkuh dengan Anya (Anya Geraldine dalam porsi yang tak lebih dari glorified cameo). Sewaktu Ayu menemukan celana dalam yang ia yakini sebagai milik Anya, ia pun meminta cerai. 

Di tengah pertengkaran, mendadak Sri (Marini Soerjosoemarno), ibunda Broto, datang karena ingin menghabiskan masa lockdown bersama si anak dan menantu. Alhasil keduanya terpaksa berpura-pura akur, sambil terus berupaya mengungkap keburukan masing-masing.

"Apa benar Broto selingkuh?". Itulah pertanyaan pertama yang naskahnya lempar, sekaligus awal timbulnya pertanyaan-pertanyaan lain. Melalui rangkaian pertanyaan tersebut, Imam Darto membawa Selesai, dari drama perselingkuhan biasa ke arah misteri, yang harus diakui cukup menarik. Bukankah di realita, mempertanyakan kesetiaan pasangan juga membuat kita merasa bak karakter dalam cerita misteri? 

Sedangkan di kursi penyutradaraan, Tompi, yang notabene seorang musisi, jeli memilih iringan musik. Ditangani oleh Ricky Lionardi, musiknya menjauh dari orkestra mengharu-biru yang kerap jadi andalan suguhan drama kita, menggantinya dengan nuansa jazzy, yang seperti berkiblat pada film noir. Di sini, tujuan Selesai untuk tampil beda telah terpenuhi.

Lalu datanglah penyakit itu. Penyakit di mana penulis naskah merasa, agar cerita lebih menarik, penonton harus dibuat terkejut oleh twist, alih-alih memperdalam tema serta karakter. Mungkin Darto memegang prinsip "the more the better" di segala sisi penceritaan. Termasuk saat memasukkan subplot hubungan Yani (Tika Panggabean) selaku ART di rumah Broto dan Ayu, dengan Bambang (diperankan Darto sendiri). Subplot itu cuma berfungsi menambah jumlah perselingkuhan, di saat naskah semestinya berkonsentrasi memperkuat eksplorasi isu perselingkuhan tersebut. 

Beberapa twist-nya cenderung dipaksakan, namun tak ada yang lebih menggelikan dibanding kejutan pamungkasnya. Kejutan berisi trik yang entah sudah berapa kali dipakai banyak film untuk menipu penonton. Saya sebut "menipu", karena kehadirannya begitu tiba-tiba. Something that came out of nowhere. Bukan cuma itu, akibat twist-nya, film ini terasa miskin empati, bagi para istri korban ketidakmampuan suami menahan kelaminnya berkeliaran. 

Meski menganggapnya penting, saya bukan orang yang membabi buta menuntut representasi di segala hal tanpa mempertimbangkan aspek lain. Tapi saya cukup yakin, bila ditulis oleh seorang wanita, Selesai bakal mengambil jalan lain dalam merangkum kisahnya. Jalan yang tidak mengorbankan rasa berbasis empati, semata-mata demi shock value. Style over substance. 

Begitu pula terkait sensualitas berkadar minimum yang tak berpengaruh apa pun bagi narasinya. Anya Geraldine dalam balutan handuk? Darto bermasturbasi sambil mengintip Ariel Tatum? Shot dari belakang saat Gading Marten telanjang bulat saat mandi? Semua dimunculkan, hanya agar penonton berujar, "WOW! Liar sekali!", sambil terkekeh nakal. Tompi berkata kalau ia ingin membuat film bernuansa sensual yang tak murahan, tapi sensualitas tanpa esensi, di film yang bahkan tidak sampai melangkah ke jalur erotika, justru terkesan murahan. Padahal Selesai tidak perlu semua itu. Pondasi misterinya sudah cukup mengundang rasa penasaran selama menonton. Sayang sekali.


Available on BIOSKOP ONLINE

REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU (2019)

Rembulan Tenggelam di Wajahmu, selaku adaptasi novel berjudul sama karya Tere Liye, adalah film yang terluka akibat kurang berhasilnya (tidak pantas disebut gagal) naskah dalam merangkum cerita dengan cakupan bentuk dan waktu yang luas. Sepanjang 90 menit durasi, berkali-kali penonton disuguhi konflik-konflik dengan potensi tinggi melahirkan perenungan-perenungan sarat makna tentang hidup, yang pengolahannya kurang matang, sebelum ditutup oleh cliffhanger dadakan, yang memberitahu bila proses yang kita lalui berakhir separuh jalan, alias ada Rembulan Tenggelam di Wajahmu Part 2.

Saya bukan termasuk kaum penentang metode tersebut. Potensi finansialnya memang menggiurkan, pun bisa dipakai mengakali kisah yang dirasa terlalu panjang untuk dijadikan satu film, sementara memangkasnya berisiko melemahkan kualitas. Masalahnya, Rembulan Tenggelam di Wajahmu tidak memanfaatkan itu, dengan tetap terkesan memencet tombol fast forward. Ini kisah tentang Ray (Arifin Putra) yang terbaring sekarat di rumah sakit, kemudian dikunjungi sosok misterius, atau dipanggil “pria berwajah teduh” (Cornelio Sunny), yang mengajaknya mengunjungi babak-babak penting di masa lalunya, dengan tujuan menjawab lima pertanyaan Ray terkait kehidupan.

Sinopsis resminya mendeskripsikan Ray sebagai pria berusia 60 tahun. Walau mengenakan riasan guna menambah kerut wajah serta uban, Arifin, dengan postur tegapnya, masih tampak jauh lebih muda. Setidaknya pemilihan Bio One sebagai Ray muda patut dipuji. Mereka punya kemiripan, dan Bio tidak mengecewakan sebagai remaja bermasalah. Ya, sebelum Ray menjadi pemilik perusahaan sukses, masa mudanya tidak berlangsung mulus. Dia dikenal sebagai biang onar dan mesti berpindah dari satu rumah ke rumah lain, bahkan terlibat kriminalitas.

Dari lima pertanyaan Ray, film ini menelusuri dua di antaranya, yang berarti, kita diajak mengunjungi dua babak dalam hidup sang protagonist. Pertama di panti asuhan tempat ia kerap jadi korban kekerasan oleh bapak pengurus panti (Egi Fedly), kedua di rumah penampungan bernama “Rumah Kita” yang dikelola Bang Ape (Ariyo Wahab), di mana Ray menjalin persahabatan dengan anak-anak lain.

Kedua pertanyaan Ray bersifat filosofis, menyentuh perenungan mengenai eksistensi manusia, yang berarti, tidak bisa dijawab ala kadarnya. Sayangnya, demikianlah naskah buatan Titien Wattimena (Minggu Pagi di Victoria Park, Aruna & Lidahnya, Ambu) bergulir. “Rumah Kita” misalnya, yang disebut jadi tempat Ray belajar banyak hal tak ternilai, namun kesan “tak ternilai” itu urung terasa akibat paparan yang sebatas menyentuh permukaan. Persahabatan dengan Natan (Teuku Rizky) si remaja bersuara emas dan Ilham (Ari Irham) si pelukis yang konon begitu kuat hingga mendorong Ray melakukan tindakan nekat, tidak pernah meyakinkan. Film ini juga urung lepas dari sederet hal yang membuat kita mengernyitkan dahi (Mana mungkin polisi tak mendengar suara tembakan? Dan sebagainya).

Padahal alurnya, dengan beberapa kejutan yang meski dipenuhi kebetulan masih bisa diterima mengingat kisahnya sendiri membahas misteri takdir, mampu membangun rasa penasaran terhadap apa yang terjadi berikutnya, termasuk jawaban apa yang akan diperlihatkan si Pria berwajah teduh pada Ray. Bahkan, walau keseluruhan filmnya agak mengecewakan, saya tetap tertarik menantikan babak berikutnya yang menyoroti romansa Ray (Arifin Putra dengan berewok aneh) dan Fitri (Anya Geraldine).

Selain naskah kurang mendalam, pengadeganan Danial Rifki (Haji Backpacker, 99 Nama Cinta) turut berkontribusi terhadap lemahnya dampak emosi yang dimunculkan, tatkala sang sutradara masih belum mumpuni menerjemahkan momen-momen saat Ray menyadari nilai-nilai hidup jadi suatu peristiwa menggetarkan. Pun penggarapan adegan aksinya kerap canggung, meski dalam hal ini, penempatan dan pergerakan kamera tak dinamis dari sinematografer Gunung Nusa Pelita (Bukan Cinta Biasa, Preman Pensiun) ikut bertanggung jawab. Padahal Bio One, dan tentunya Donny Alamsyah sebagai Bang Plee yang sempat menampung Ray, memiliki kapasitas menghidupkan baku hantam.

Membahas gagasan-gagasan “tinggi”, wajar ketika Rembulan Tenggelam di Wajahmu ingin tampil megah. Tata artistik tidak murahan, walau beberapa CGI tampak kasar, ditambah musik orkestra gubahan Ricky Lionardi (trilogi Danur) cukup berhasil memenuhi target tersebut. Semestinya Rembulan Tenggelam di Wajahmu bisa lebih dari itu dan menyentuh kemegahan dalam wujud lain, yaitu “rasa”.

SUNYI (2019)

Sunyi merupakan remake dari Whispering Corridors (1998), yang mana ambil bagian dalam era baru perfilman Korea Selatan pasca pembebasan dari penyensoran selepas kediktatoran militer berakhir. Alhasil, film tersebut dimanfaatkan selaku media menyuarakan kritik terhadap banyak isu, khususnya perundungan dan kerasnya sistem pendidikan. Itulah alasan mengapa karya Park Ki-hyung tersebut jadi fenomena populer, meski kualitasnya sendiri agak mengenaskan. Berbeda dibanding pendahulunya, Sunyi tak kebingungan menentukan jati diri, mencampur horor dan drama dengan cukup apik, menjadikannya remake yang superior.

Tema perundungan bukan saja dipertahankan oleh Sunyi, bahkan diberi eksplorasi lebih dalam. Kisahnya berlatar tahun 2000 di SMA Abdi Bangsa yang prestisius namun digelayuti isu perundungan yang konon telah berlangsung turun-temurun. Pun tersebar rumor bahwa pada dekade lalu, hal tersebut merenggut nyawa tiga siswi, yang hingga kini arwahnya senantiasa bergentayangan di sekolah.

Protagonis kita bernama Alex (Angga Yunanda), putera mediang paranormal terkenal, yang jelang hari pertamanya bersekolah di Abdi Bangsa, makin mengkhawatirkan senioritas di sana. Ketika ia nyatakan kekhawatiran tersebut, sang ibu (Unique Priscilla) merespon, “Senioritas kan bagus buat character building”. Dari situ kita bisa melihat pola yang menyebabkan perundungan terus lestari.

Pada malam pertama, siswa-siswi tahun pertama dikumpulkan oleh ketiga senior mereka: Andre (Arya Vasco), Erika (Naomi Paulinda), dan Fahri (Teuku Ryzki), guna menghadiri malam orientasi. Saat itulah hukum senioritas mulai diberlakukan. Murid tahun pertama adalah budak (tahun kedua disebut “manusia”, tahun ketiga disebut “raja”, alumni disebut “dewa”) yang wajib menuruti perintah senior yang berhak mengambil barang apa pun milik mereka, bahkan dilarang memasuki area-area seperti perpustakaan, kafetaria, juga toilet.

Bu Ningsih (Dayu Wijanto) selaku kepala sekolah merasa khawatir, tapi atas nama tradisi, memilih membiarkan. Sedangkan para junior tetap diam, karena melawan bukan saja menjadikan mereka musuh publik, pula menghilangkan kesempatan mendapat jaringan luas milik alumni. Sampai titik ini, naskah buatan sutradara Awi Suryadi (Danur, Badoet) bersama duet Agasyah Karim dan Khalid Kashogi (Badoet, Mau Jadi Apa?, Reuni Z), terbukti mampu menyediakan pijakan solid dalam penggambaran lingkaran setan budaya perundungan. Tidak berhenti di situ, naskahnya melangkah lebih jauh menelusuri soal kontribusi pola asuh orang tua lewat tro Andre-Erika-Fahri. Orang tua mereka sama-sama bermasalah, entah menerapkan hukuman fisik, menuntut terlalu tinggi, atau tidak hadir di rumah.

Ketiganya membuat hari-hari Alex bak neraka. Beruntung, ia bertemu Maggie (Amanda Rawles). Keduanya semakin dekat, dan dunia SMA Alex tak lagi sesunyi itu. Sialnya, begitu identitas ayahnya diketahui Fahri, Alex dipaksa memanggil arwah para siswi yang konon bergentayangan di sekolah. Awalnya usaha itu nampak gagal, namun tak lama berselang, kematian mulai menyebar dan darah mulai tumpah di SMA Abdi Bangsa.

Sewaktu Whispering Corridors seolah melupakan hakikatnya sebagai horor, Sunyi menerapkan pendekatan familiar sembari tetap memberi jalan bagi elemen-elemen di atas agar mengalir sebagai pondasi cerita, alih-alih sekedar jump scare layaknya banyak horor medioker lokal belakangan. Di luar adegan “listening class” dan “kolam renang” (yang sudah muncul di trailer), terornya tak banyak memperlihatkan kreativitas. Mayoritas formulaik, ditambah riasan hantu seadanya. Tapi saya mengapresiasi penolakannya untuk melempar jump scare membabi-buta atau memakai efek suara berisik. Serupa judulnya, film ini tidak takut menerapkan kesunyian, tahu kapan mesti berdiam diri, kapan mesti tampil menggelegar (yang juga tak pernah terlampau berisik). Tata musik garapan Ricky Lionardi (Danur, Sakral, Lukisan Ratu Kidul) juga sesekali terdengar atmosferik.

Sunyi pun menempatkan hati di tempat yang tepat. Kembali ke adegan “kolam renang”, secara mengejutkan momen tersebut menyimpan bobot emosi. Ada kesedihan di sana, tatkala senior pelaku perundungan ditampakkan kerapuhannya, digambarkan sebagai salah satu korban kegagalan sistem pendidikan, tentunya tanpa berusaha menjustifikasi perbuatan mereka kepada junior. Momen itu meyakinkan saya bahwa mereka tidak pantas mati. Sehingga saya mengamini ketika Alex mengonfrontasi sang hantu di klimaks sambil menyampaikan pernyataan serupa. Semakin memuaskan kala Sunyi ditutup oleh konklusi hangat, sesuatu yang dikorbankan film aslinya demi tambahan twist tak perlu.

Ya, jika sudah menonton Whispering Corridors, anda tahu akan ada twist. Sepanjang durasi, filmnya menyiratkan itu melalui beberapa petunjuk subtil. Apa yang membuatnya spesial adalah, sekalinya kejutan tersebut diungkap (sayangnya lewat eksekusi antiklimaks), penonton tidak dijejali rekap, selaku penjabaran atas sebaran petunjuk-petunjuk tadi. Seolah semua itu adalah “bonus” bagi penonton yang bersedia menaruh perhatian lebih.

LUKISAN RATU KIDUL (2019)

Oh ya, Lukisan Ratu Kidul adalah film terbaik produksi Paduka Dheeraj Kalwani alias Baginda KKD. Walau status “terbaik “ di sini tingkatannya sama dengan menyebut “susu basi rasa cokelat punya rasa terbaik di antara semua susu basi”. Akhirnya tetap sakit perut kan? Kali ini Paduka menunjuk Ginanti Rona (Midnight Show, Anak Hoki) sebagai nahkoda. Berikutnya giliran Hadrah Daeng Ratu menyutradarai Malam Jumat The Movie. Berapa banyak lagi talenta berbakat akan Paduka coreng reputasinya?

Kisahnya mengetengahkan kakak beradik, Dimas (Teuku Zaky) dan Satria (Wafda Saifan), yang menerima warisan rumah dari mendiang sang ayah. Saat kecil dahulu, mereka sempat tinggal di sana, namun tak ada memori yang tersisa. Mereka berdua, beserta istri Dimas, Astrid (Ussy Sulistyawaty) dan sang puteri, Sandra (Annisa Aurelia), pun menetap sementara di rumah tersebut sembari memikirkan langkah selanjutnya.

Di tengah kebingungan itu, entah mengetahui kedatangan mereka dari mana, datanglah Kevin—diperankan Fadika Royandi lewat akting over-the-top memuakkan—menawarkan diri untuk mencarikan pembeli. Dimas yang kebetulan tengah dilanda kesulitan finansial pun setuju menemui klien Kevin, seorang kolektor lukisan Nyi Roro Kidul (Wawan Wanisar) buatan kakek Dimas, Rusdi Soedibyo (Egi Fedly), yang konon menyimpan kekuatan mistis sehingga dapat memberi keberuntungan bagi pemiliknya.

Sang kolektor mengaku, bahwa dulu ia meminta dibuatkan 13 lukisan, namun baru 12 buah yang ia terima. Dia pun yakin bahwa lukisan ketigabelas masih tersimpan di rumah Dimas, dan berani menawar 8 milyar rupiah guna menebusnya. Rasanya ingin saya menanyakan hal berikut kepada Husein M Atmodjo (Midnight Show, 22 Menit, Perjanjian Dengan Iblis) selaku penulis naskah: Kalau si kolektor memesan 13 lukisan pada Rusdi karena unsur magis di dalamnya, mengapa baru di lukisan terakhir Rusdi menemukan cara meniupkan kekuatan mistis pada karyanya?

Mungkin saya yang salah mengharapkan Lukisan Ratu Kidul memedulikan kesolidan narasi. Terlebih setelah sepanjang durasi, filmnya bertutur secara kasar, yang merupakan kombinasi penulisan janggal, penceritaan kasar sang sutradara, serta penyuntingan asal pasang. Acap kali tidak ada jembatan antar-adegan, sehingga mengesankan ada shot yang hilang ditelan Bumi sebagaimana hilangnya ibunda Dimas dan Satria.

Jangan harapkan pula penampilan jajaran pemain datang menyelamatkan situasi. Selain Fadika Royandi, memang tak ada akting “menyakitkan” lain, namun tidak pula pantas disebut memikat. Terkecuali aktor senior Wawan Wanisar (pemeran Pierre Tendean di Pengkhianatan G 30 S/PKI) lewat penghantaran kalimat paling natural, serta Annisa Aurelia, yang setidaknya, sebagai aktris cilik, cukup meyakinkan melakoni situasi di mana karakternya dihimpit teror.

Walau keseluruhan filmnya nyaris remuk redam, potensi Ginanti Rona sebagai sineas horor masih bisa disaksikan di beberapa kesempatan. Mengandalkan trik kemunculan hantu medioker, jump scare garapan Ginanti punya ketepatan timing yang sesekali efektif mengejutkan penonton meski kerap diganggu musik buatan Ricky Lionardi (Rectoverso, Danur 2: Maddah, Tembang Lingsir) yang lebih berisik daripada sound system konser dangdut RT sebelah.

Sejak alih persona menjadi Dheeraj Kalwani, saya memang mendapati kemajuan di produk-produknya, termasuk soal tata artistik yang bukan lagi sekelas Bandung Lautan Asmara. Hal serupa masih bisa ditemui di sini, kala lokasi indoor-nya digarap cukup solid, khususnya dominasi warna hijau selaku warna Kanjeng Ratu Kidul. Ya, sampai sebuah close-up shot memperlihatkan properti pisau yang kentara dibuat menggunakan aluminium foil. Di situ saya merasa cukup.

ASIH (2018)

Asih membuktikan 2 hal: Awi Suryadi (dwilogi Danur) selalu berusaha memperbaiki kekurangannya dan dia pantas mendapat franchise, atau setidaknya naskah yang lebih baik. Pasca sekelumit peningkatan di Danur 2: Maddah, di sini Awi menyempurnakan penyutradaraannya, tahu kapan waktunya memainkan keheningan guna membangun atmosfer, kapan mengejutkan penonton lewat jump scare, serta bagaimana melakukannya. Patut disayangkan departemen naskah mencoreng pencapaian tersebut.

Bertindak selaku prekuel yang terjadi 37 tahun sebelum film pertama, Asih mengisahkan asal-usul sang titular character (Shareefa Daanish), meski pada kenyataannya, elemen itu cuma muncul dalam satu flashback singkat. Naskah buatan Lele Laila (Keluarga Tak Kasat Mata, dwilogi Danur), yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Risa Saraswati, bahkan tidak berupaya menjelaskan keperluan selipan fakta mengenai perubahan nama Kasih menjad Asih, sebuah informasi yang tak berperan dalam keseluruhan plot.

Sisanya serupa judul-judul lain di Danur Universe, yakni kompilasi teror demi teror yang ditempel paksa tanpa cerita kuat sebagai perekat. Setelah adegan pembuka kala Asih membunuh bayinya sebelum akhirnya bunuh diri, kita dibawa mengunjungi satu keluarga kecil: pasangan suami-istri, Puspita (Citra Kirana) dan Andi (Darius Sinathrya) beserta sang ibu (Marini Soerjosoemarno). Pasutri ini tengah menanti kelahiran anak pertama mereka. Protagonis yang akan memiliki bayi ketika sang antagonis kehilangan bayi jelas bukan pertanda baik.

Asih menebar beberapa benih konflik menarik di awal. Kepikunan ditambah penglihatan Ibunda Andi yang mulai menurun, rasa takut berlebih Puspita akibat mendengar cerita mistis dari sang bidan (Djenar Maesa Ayu), semua itu lebih dari cukup selaku pangkal perpecahan keluarga yang diakibatkan peristiwa mistis, atau tepatnya, ketakutan terhadapnya. Tapi benih-benih menjanjikan itu ditinggal begitu saja seiring penolakan penulis naskah untuk repot-repot menciptakan cerita sungguhan. Menjaga supaya filmnya terus berjalan (baca: mengisi durasi) merupakan fokus tunggal.

Poin menarik naskah Asih hanya saat beberapa kepercayaan mistis lokal turut mengambil peran, yang dapat menghadirkan rasa ngeri bagi penonton yang familiar dengan hal-hal macam suara anak ayam atau tiang listrik yang dipukul. Sisanya nihil. Usaha menjembatani film ini dengan Danur: I Can See Ghosts (2017) pun berujung kekonyolan. Mengapa Asih meningglkan sisirnya?

Di sinilah kapasitas Awi mengambil alih. Dibebani tugas menghabiskan durasi (yang cuma 77 menit), sang sutradara meninggalkan pendekatan mengesalkan yang jadi andalan seri Danur, di mana jump scare berisik menghantam tiap beberapa detik. Kali ini Awi justru berani menyusun atmosfer melalui keheningan plus lagu Indung Indung yang terdengar lebih creepy dibanding Boneka Abdi.

Begitu Asih muncul, musik garapan Ricky Lionardi (Sakral, Rasuk) menolak latah untuk langsung menggebrak. Awi menyimpan gebrakan itu khusus bagi deretan “menu utama” ketika jump scare dilontarkan pada kesempatan  tak terduga, yang sesuai formula di “Buku Panduan James Wan”, saat para hantu bukan sekedar “setor muka”, melainkan menyerang secara agresif. Saya terenta beberapa kali dibuatnya. Bahkan, Awi sanggup memberi sebuah momen yang benar-benar menyeramkan, bukan sebatas mengagetkan. Momen itu berupa sekelebat penampakan Asih, yang mungkin takkan disadari banyak penonton.

Sayang, sekali lagi, pencapaian Awi “dikhianati” kemalasan skenarionya begitu Asih memasuki babak ketiga yang bak tanpa puncak intensitas. Seolah filmnya usai karena penulis naskahnya sudah kehabisan ide, membiarkan teror Asih dihentikan oleh doa ala kadarnya dan teriakan karakter. Secara menyeluruh, Asih memang membuktikan bahwa seri Danur, walau perlahan, konsisten mengalami peningkatan. Namun bila mereka tak kunjung memperbaiki kualitas naskah, sulit membayangkan franchise ini bakal memproduksi installment yang layak menyandang status “film bagus”. Sementara, paling tidak Asih bukan satu lagi horor berisik mengesalkan atau parade repetitif bagi ekspresi gila Shareefa Daanish.

ALAS PATI (2018)

What??? Seriously?! “. Kalau anda menonton Alas Pati, niscaya kalimat tanya tersebut bakal mengendap di otak. Salah satu karakternya mengucapkan itu beberapa kali sebelum tewas. Pun respon itu juga yang sering saya lontarkan sepanjang film. Saya teringat beberapa tahun lalu, semasa SMP, kala tengah menyaksikan pertunjukan musik di pinggir pantai. Suara ombak dan angin berlomba dengan distorsi gitar yang menggedor lewat amplifier. Nada yang dimainkan tak jelas, tapi pastinya gitar rombeng itu dimainkan dalam volume tertinggi. Seusai penampilan, saya mempertanyakan pengaturan suara tersebut, yang dijawab dengan lantang, “rock is loud, bro!”. Mungkin jika anda tanyakan pada Jose Purnomo (Jailangkung, Gasing Tengkorak), ia pun akan menjawab “horror is loud, bro!”.

Dibantu musik gubahan Ricky Lionardi (Danur 2: Maddah, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati), Jose menyerbu telinga penonton dengan musik sekencang mungkin, dalam adegan sebanyak mungkin. Termasuk di setiap false alarm yang kerap terjadi karena karakternya sering salah lihat, mana kaki hantu mana kaki manusia, mana rambut kuntilanak mana rambut mahasiswi. Bahkan sewaktu terornya berwujud kebisingan statis dari alat pendeteksi suara pun, musik tetap diputar sekeras-kerasnya. Seiring waktu saya pun mulai kebal dengan jump scare yang ditawarkan Alas Pati. Saya mulai mati rasa seiring keengganan film horor satu ini untuk memainkan rasa takut penonton.
Padahal premisnya menjanjikan. Naskah yang ditulis berdua oleh Jose Purnomo dan Aviv Elham (Dubsmash, Sang Sekretaris) seolah ingin memberi pelajaran kepada para remaja kekinian yang bersedia melakukan apa saja demi ketenaran dunia maya. Apa saja, termasuk berkunjung ke hutan angker bernama Alas Pati, di mana terdapat kuburan terkutuk di dalamnya, sebagaimana dilakukan lima remaja pencari tantangan dan penonton YouTube. Raya (Nikita Willy) merasa perjalanan itu akan seru, Randy (Roy Sungkono) yakin video petualangan ke lokasi angker bakal mendongkrak jumlah penonton, sementara Vega (Stefhanie Zamora) butuh uang untuk membayar indekos. Ketiga alasan itu sepertinya sudah merangkum tujuan hidup banyak muda-mudi masa kini.

Sesampainya di Alas Pati, para remaja ini mulai bertingkah tidak sopan, bermain-main dengan mayat dan kuburan. Jangankan arwah-arwah penasaran di sana, saya di kursi penonton pun ingin mereka semua tewas. Memiliki deretan tokoh menyebalkan dalam film horor bukan masalah, sebab melihat satu per satu dari mereka dibantai juga memberikan hiburan tersendiri. Tapi alih-alih secara konstan memenuhi harapan tersebut, Alas Pati justru memaksa kita menunggu, menunggu, dan terus menunggu dalam rangkaian keusilan hantu yang cuma sesekali memberi dampak. Salah satu momen paling mencekam justru bukan dari gangguan dedemit, melainkan ketika Roy yang tengah merekam video dari jendela mobil nyaris terserempet truk, karena pemilihan waktunya tak terduga dan tanpa kesan mengulur waktu.
Mayoritas jump scare terlampau diulur, urung memamerkan penampakan ketika kecemasan memuncak, dan baru memunculkan sang hantu saat saya sudah menguap, lelah menanti, bagai usaha malas sutradara dan penulis naskah agar mencapai batas minimal durasi film panjang. Sulit untuk tidak berharap Alas Pati tetap bertahan di hutan. Setidaknya di sana aroma kengerian lebih semerbak. Sayang, pasca sebuah adegan kematian mengejutkan yang dieksekusi solid dibalut gore memadahi, karakternya pulang ke kota, ke rumah masing-masing, dengan darah teman mereka masih mengotori sekujur tubuh. Jika ada di posisi serupa, saya akan mencuci muka di sungai yang harus diseberangi sebelum mencapai hutan daripada menunggu berjam-jam kemudian. Bodoh memang, bahkan untuk ukuran horor remaja.

Bicara soal remaja, jajaran cast-nya bahkan tidak kuasa menjadikan obrolan sehari-hari terdengar realistis, apalagi asyik disimak. Ada usaha dari naskahnya guna menjalin interaksi menarik melalui beragam kelakar, namun kelima bintang mudanya adalah pelontar lelucon yang buruk. Begitu pula tatkala dipaksa berakting ketakutan. Mereka tampak kurang meyakinkan, dibuat-buat, atau menampakkan ekspresi seseorang yang mendapati bakso yang diinginkan sudah habis terjual ketimbang melihat setan. Seperti Jessy (Naomi Paulinda), saya pun berkali-kali ingin berteriak, “What??? Seriously?! “.