REVIEW - TRIANGLE OF SADNESS
Melalui Triangle of Sadness, Ruben Östlund ingin menghadirkan cerita sekaya mungkin, yang dituturkan secara adil dengan memandang segala permasalahan dari berbagai sisi. Ambisi itu justru menyesatkannya, di tengah keruwetan pesan yang kerap saling memberi kontradiksi. Alhasil, Triangle of Sadness yang berusaha menyuarakan semuanya malah terkesan tak menyuarakan apa-apa.
Östlund baru saja tergabung dalam daftar elit sembilan sutradara yang pernah dua kali menyutradarai judul pemenang Palme d'Or. Piala pertama didapat lewat The Square (2017) yang menyentil industri seni. Triangle of Sadness yang membawakannya piala kedua pun awalnya nampak bakal berjalan di jalur serupa.
Prolognya mengetengahkan proses audisi model laki-laki. Carl (Harris Dickinson) jadi salah satu peserta. Dimintanya ia berpose oleh seorang pewawancara. Pose sembari memasang senyum disamakan dengan H&M (baca: murah), sedangkan wajah tanpa emosi diibaratkan Balenciaga (mahal). Apakah kekayaan harta berbanding terbalik dengan kekayaan jiwa?
Baru setelah itu kita memasuki babak pertama (total ada tiga babak) yang diberi tajuk Carl & Yaya. Yaya (Charlbi Dean) adalah model sekaligus influencer yang memacari Carl hanya demi popularitas. Makan malam keduanya berakhir buruk setelah Carl mempermasalahkan siapa yang semestinya membayar. Jika kesetaraan gender selalu digaungkan, kenapa laki-laki masih harus membayar? Apalagi model perempuan seperti Yaya dibayar tiga kali lebih tinggi ketimbang model laki-laki.
Awalnya perspektif Carl terdengar masuk akal. Sampai secara bertahap, naskah buatan Östlund membuat kita mempertanyakan, "Apakah Carl benar-benar memedulikan kesetaraan, atau sekadar menutupi egonya?". Triangle of Sadness menertawakan kesetaraan palsu yang terucap dari mulut para pemegang privilege. Tidak hanya seputar gender, juga kelas sosial, ekonomi, serta kuasa.
Ya, menertawakan. Östlund merangkai komedi satir yang meski tak pernah subtil, efektif memancing tawa lewat olok-oloknya terhadap kaum borjuis. Terlebih sewaktu di babak kedua (The Yacht) latarnya berpindah ke kapal pesiar mewah. Kesenjangan makin mencolok. Para tamu ada di puncak rantai makanan, disusul kru yang menantikan tip mewah di akhir perjalanan, sedangkan posisi buncit ditempati jajaran pesuruh (terdiri atas imigran) yang dapat kehilangan pekerjaan dalam sekejap.
Di suatu kesempatan, Vera (Sunnyi Melles) meminta seorang kru bertukar peran, memintanya berendam di kolam sambil menikmati sampanye. Kru itu gamang. Di satu sisi, aturan melarangnya berenang di tengah jam kerja, namun di sisi lain ia pun wajib menuruti permintaan tamu. Vera tetap ngotot. "Everyone's equal", ucapnya. Mudah bagi Vera bicara. Dia tak harus mempertaruhkan apa pun.
Menu utama Triangle of Sadness tentu makan malam yang diadakan oleh Thomas (Woody Harrelson) si kapten kapal. Tanpa menonton filmnya pun tidak sulit menebak peristiwa macam apa yang telah menanti. Sebuah momen di tengah makan malam telah tersebar luas, bahkan dijadikan alat marketing termasuk poster. Östlund total dalam melepas kekacauan, mengubah olok-olok terhadap kaum elit jadi hukuman untuk mereka. Menjijikkan, tapi luar biasa lucu. Biarpun berjalan cukup lama, saya malah mengharapkan lebih.
Sampai di sini, Triangle of Sadness tak punya masalah berarti. Satirnya cenderung gamblang, meniadakan kesubtilan, tapi efektif dan memiliki daya hibur tinggi. Sampai alurnya mencapai babak ketiga (The Island), menggiring kisah ke arah serta lokasi tak terduga. Sentilan perihal gender dan kelas sosial masih dipertahankan, hanya saja, dengan penambahan kadar kompleksitas.
Di sinilah pesannya terasa rancu. Östlund menginginkan perspektif berimbang dalam ceritanya. Menekankan bahwa isu apa pun tak pernah sesederhana kelihatannya. Tidak melulu hitam-putih. Tapi alih-alih didasari penelusuran mendalam, Östlund bak asal mengadu dua sudut pandang, yang tak jarang justru membantah poin yang sebelumnya sudah film ini utarakan. Seolah Östlund beradu argumen dengan dirinya sendiri. Triangle of Sadness nyaris runtuh akibatnya, andai bukan karena jajaran pemain, termasuk Charlbi Dean lewat karisma menghipnotis yang semestinya jadi breakthrough role bagi sang aktris. Rest in peace.
6 komentar :
Comment Page:film kocak banget
mas coba review the bubble-nya judd apatow
bang ott sih,tapi pengen tahu opinimu soal sekarang banyak festival sama penghargaan film yang mulai menghilangkan sekat "jenis kelamin" buat piala akting.menurutku masuk akal sih soalnya piala buat sutradara aja gak ada "sutradara pria & wanita terbaik".
terus kira-kira oscar bakal ikutan langkah ini gak?
Triangle Of Sadness salah satu film babak komedi satir yang bikin ketawa sepanjang film di putar sekaligus babak tragedi yang kadangkala membuat kita merenung
lumayan bikin ketawa
melepaskan pikiran hahaha
Menurut saya tetap harus di pisah equal tpi jdi tidak adil
Nominasi jadi banyak trs klo yg menang salah satu apalagi berturut2 jdi muncul permasalahan baru ..
Posting Komentar