REVIEW - FURIES
Demam John Wick minggu ini mungkin bakal membuat publik melewatkan berita perilisan Furies di Netflix. Sebuah suguhan martial arts lain yang juga mengambil banyak inspirasi dari sinema Hong Kong era 90-an, baik dalam eksekusi aksi maupun estetika visual.
Sama-sama produksi Vietnam dan melibatkan Veronica Ngo, film ini tidak punya kaitan dengan Furie (2019) yang jadi perwakilan Vietnam di Academy Awards 2020. Kali ini Ngo duduk di kursi sutradara, menulis naskah (bersama empat orang lain), sekaligus tampil di depan kamera sebagai Jacqueline, yang mengumpulkan gadis-gadis tunawisma korban pelecehan seksual.
Tapi bukan Jacqueline karakter utama kita, melainkan Bi (Dong Anh Quynh), yang hidup seorang diri di jalan pasca mengalami tragedi traumatis semasa kecil. Jacqueline menawari Bi tempat tinggal. Sebagai gantinya, ia mesti bergabung dengan Thanh (Toc Tien) dan Hong (Rima Thanh Vy), guna membentuk tim yang bertujuan membersihkan jalanan dari pria-pria pengeksploitasi wanita. Target utamanya adalah Hai (Thuan Nguyen), pelaku perdagangan wanita untuk dijadikan PSK.
Furies jelas mengedepankan gaya ketimbang substansi. Meski punya lima penulis, alur hampir tidak eksis sepanjang 109 menit durasi, dan sekalinya muncul, sifatnya cuma formalitas. Sebatas selingan yang menjembatani tiap set piece aksi. Jangan harap ada dampak emosional dari perjalanan tokoh-tokohnya bergulat dengan kondisi mereka sebagai korban kekerasan, pelecehan seksual, dan manipulasi psikis.
Seluruh perhatian pembuatnya diarahkan pada gaya. Misal estetika visual dengan warna-warna neon mencolok yang seperti versi serba berlebih dari sinema Hong Kong (termasuk Wong Kar-wai). Saking berlebihanya, Furies bahkan menggunakan estetika tersebut kala tidak dibutuhkan. Seolah tiada ruang bagi warna "normal", sehingga alih-alih cantik, di beberapa titik justru terasa mengganggu.
Beberapa estetika audiovisual lain (musik, efek split screen, tata rambut serta busana, dll.) memunculkan kesan cheesy selaku penegas bahwa Furies bukan tontonan yang perlu dianggap terlalu serius. Di babak ketiga, protagonisnya bahkan sempat berhadapan dengan seorang pecandu narkoba yang akibat nyaris overdosis, bertingkah bak zombie ganas.
Kemasan over-the-top di atas bukan suatu masalah andai Furies tidak memiliki wajah lain, yang coba mencerminkan melankoli kelam nan tragis ala drama kriminal Hong Kong. Hasilnya timbul kontradiksi antar dua tone yang bertolak belakang.
Tapi lain cerita bila membicarakan bagaimana Veronica Ngo dan tim membungkus aksinya. Dibantu Phunam selaku sinematografer, Ngo menerapkan gerak kamera dinamis (sudah jadi standar baru sinema aksi sejak The Raid mendobrak pakem 12 tahun lalu) untuk menangkap sederet koreografi yang digarap mumpuni, dengan elemen gun fu jadi yang paling menonjol.
Trio pemain utamanya, Dong Anh Quynh, Toc Tien, dan Rima Thanh Vypun pun tampil meyakinkan melakoni tiap detail koreografi. Tentu saja Veronica Ngo turut ambil bagian di babak puncak dan langsung mencuri perhatian. Satu poin penting yang mampu diperlihatkan para aktris ini lewat penampilannya: Mereka bukan jagoan tanpa tanding. Mereka babak belur, berdarah-darah, berulang kali terpojok di pertarungan, namun kata "menyerah" pantang terucap. Furies bukan soal prajurit nomor satu, melainkan para penyintas yang menolak "berhenti".
Satu-satunya lubang di aksinya muncul dalam sekuen kejar-kejaran motor. Diawali kesenduan ala Fallen Angels-nya Wong Kar-wai, tiba-tiba situasi berubah jadi kekonyolan begitu CGI mengambil alih. Pilihan untuk bergantung pada CGI (yang kualitasnya tak seberapa) daripada stunt atau trik kamera memunculkan distraksi. Padahal pencapaian terbesar Furies sebagai suguhan aksi adalah terkait pemaksimalan kemampuan bela diri pemainnya. Lihat saja baku hantam penutupnya yang epik itu.
(Netflix)
1 komentar :
Comment Page:lgbt+
Posting Komentar