REVIEW - SEWU DINO

15 komentar

Kimo Stamboel ibarat dokter film horor Indonesia. Beberapa franchise pesakitan telah ia sembuhkan. Ivanna mendongkrak Danur, sedangkan Sandekala membuktikan bahwa Jailangkung masih punya harapan. Di Sewu Dino, sang dokter merengkuh prestasi serupa, bahkan bisa dibilang secara lebih ekstrim.

Sewu Dino bukan sekuel KKN di Desa Penari, tapi ia juga membawa embel-embel "adaptasi utas horor populer buatan SimpleMan". Itulah magnet penarik terbesar bagi penonton awam. Mereka berharap disuguhi parade penampakan yang sama. Di atas kertas, pendekatan brutal ala Kimo bakal sempurna membungkus Sewu Dino. 

Lalu muncul twist: Sewu Dino adalah horor slow burn. Tentu warna merah darah masih mewarnai, pun luka-luka khas sang sutradara tetap ditangkap dengan jelas oleh kamera, seolah memastikan penonton tak melewatkan detailnya yang menjijikkan. Tapi landasan utama Sewu Dino adalah atmosfer. 

Berlatar tahun 2003, kita diajak berkenalan dengan Sri (Mikha Tambayong), yang demi membiayai pengobatan ayahnya, memutuskan melamar pekerjaan di kediaman Karsa Atmojo (Karina Suwandhi) yang misterius. Tanpa banyak informasi, Sri bersama dua pekerja lain, Erna (Givina Lukitha) dan Dini (Agla Artalidia), dibawa ke kabin tengah hutan. Di sanalah baru terungkap bahwa ketiganya bertugas melakukan ritual basuh sedo. 

Ritual tersebut mengharuskan mereka memandikan tubuh Dela (Gisellma Firmansyah), cucu Karsa yang terkena santet, di mana tubuhnya dirasuki jin bernama Sengarturih. Konon santet itu bakal terangkat bila ritual basuh sedo terus dilakukan selama 1000 hari. 

Tugas utama tiga protagonisnya adalah menjaga Dela tetap terikat di tempat tidurnya. Ada dua opsi yang bisa diambil. Pertama adalah cara mudah, yaitu membebaskan Dela di paruh awal untuk kemudian memusatkan filmnya pada aksi kucing-kucingan. Kedua adalah cara sulit, yaitu mengekang Dela di mayoritas durasi. Para pembuat Sewu Dino memilih cara kedua.

Agasyah Karim dan Khalid Kashogi selaku penulis naskah bersedia meluangkan waktu merangkai misteri. Isi kepala keduanya bukan dikuasai pertanyaan "Kapan harus memunculkan hantu?", melainkan "Bagaimana mengikat atensi penonton terhadap cerita?". Setiap teror tidak hanya bertujuan menakut-nakuti, pula memancing pertanyaan, mencuatkan rasa penasaran penonton akan kebenaran di balik fenomena mistis yang karakternya hadapi. 

Trio Mikha-Givina-Agla juga tampil kompeten dalam menjaga dinamika sewaktu teror absen dari layar. Meski ada kalanya Bahasa Jawa yang mereka ucapkan bakal kurang nyaman di telinga native speaker, tapi keberhasilan mereka menghidupkan suasana melalui interaksi kasual telah membayar lunas kekurangan itu.   

Lalu bagaimana dengan kualitas terornya sendiri? Ketimbang penampakan murahan, filmnya disusun berdasarkan satu fakta: Sri, Erna, dan Dini tidak boleh berbuat kesalahan. Satu saja syarat ritual gagal dipenuhi, maut telah menanti. Alhasil intensitas berhasil dibangun. Di satu titik timbul masalah ketika karakternya kehabisan air. Terkesan sepele, namun Sewu Dino mampu menciptakan urgensi dari situasi sederhana tersebut guna memacu jantung penonton.

Atmosfernya tidak kalah mencekam. Ada satu adegan ketika Sri mendapat giliran membasuh Dela. Cuma lewat satu suara lirih, "Mbak...", filmnya memancing teriakan seisi studio. Penonton digiring agar membayangkan berada di posisi Sri. Sendirian di kamar gelap bersama tubuh yang dikuasai kekuatan jahat. Tidak perlu iringan musik berisik atau penampakan muka rusak agar kondisi itu mencekam. 

Sayang, tidak semua momen horornya berjalan mulus. Tatkala ia sukses menghantarkan kengerian atmosferik, Kimo justru beberapa kali kepayahan mengemas sekuen bertempo tinggi yang selalu jadi kekuatannya. Kadang pilihan shot-nya kurang mendukung, kadang akibat transisi antar adegan yang dijahit secara kasar sehingga mengganggu aliran intensitas. Babak ketiganya tampil lemah gara-gara dua kelemahan tersebut. Ditambah lagi konklusinya menyisakan rasa "tidak tuntas" karena beberapa poin cerita dibiarkan tak terjawab demi membuka ruang untuk sekuel (Rencananya jagat sinema berdasarkan cerita buatan SimpleMan bakal dikembangkan dari sini).    

Tidak masalah. Anggaplah nilai minus di atas sebagai risiko eksplorasi dalam proses belajar. Artinya, selain mengobati kualitas franchise horor, Kimo sadar bahwa sebagai individu ia juga harus terus berbenah dan berkembang. Tapi untuk kali ini, Kimo kembali memantapkan status sebagai dokter film horor tanah air.  

15 komentar :

Comment Page:
Satriya Widayanto mengatakan...

Gak review 65 bang?

Fitra Ananta mengatakan...

Di cinecrib udah,

Anonim mengatakan...

sayang acting mikha masih kurang ok...padahal di pegang kendali harusnya

Anonim mengatakan...

Semesta Cinematic Universe : Trah Pitu Lakon (SCU TPL) dengan 10 film tiap tahun libur lebaran

film bergenre drama thriller ala slowburn pas melekat di film ini, keren...gue sudah nonton

Jangan beranjak dari kursi studio setelah film berakhir karena bakal ada DUA CREDIT SCENES

Selamat menonton

Skor Film : 7.5/10

prediksi belum akan melewati jumlah angka penonton film KKN Di Desa Penari

Anonim mengatakan...

Saingan BUYA HAMKA

Anonim mengatakan...

Diawal film bikin ngantuk,baru 1 jam setelah nya lumayan lah tapi soundnya agak mengganggu, iya oke lumayan

Anonim mengatakan...

Studio hampir full pas nonton film ini dan pas kelar juga kompak tepuk tangan semua, jarang sih liat reaksi penonton kayak gitu dan film ini cukup layak dapet apresiasi lebih

Alvi mengatakan...

Hah? Serius? Infinity War dan Endgame aja ga ada yg tepuk tangan di bioskop yg gw datengin, hha.

Anonim mengatakan...

dashyatnya film sewo dino sebagai prolog awal trah pitu lakon,,,acungkan jempol untuk film ini dan juga bagi yang sudah nonton di bioskop kesayangan anda

Anonim mengatakan...

film drama thriller indonesia yang bikin tahan nafas sepanjang film di putar di bioskop

Kol Medan mengatakan...

Seru bet pilem sewu dinosaurus

Kol Medan mengatakan...

Teluh darah pengantar dalam pilem ini

Anonim mengatakan...

3 juta penonton sudah kena santet di bioskop

Gunawan S mengatakan...

Filmnya mayan sih, agak bosenin dikit. Tapi secara kesuluruhan pembahasan review Uxfilm di atas cukup informatif

Anonim mengatakan...

tetap bertahan di layar bioskop, serbuan guardian of galaxy volume 3 tidak efek