REVIEW - TOTALLY KILLER
Kita hidup dalam era di mana upaya menyegarkan formula klise telah melahirkan keklisean baru. Salah satunya elemen perjalanan waktu dalam slasher. The Final Girls (2015) hingga Happy Death Day (2017) beserta sekuelnya, Happy Death Day 2U (2019), ambil bagian memopulerkan tren tersebut. Totally Killer menyusul kemudian, yang nyatanya mampu tampil menyenangkan meski tak mendobrak pakem familiar di premisnya.
Karena seperti sudah sering saya singgung, pembaruan bukanlah kewajiban. Bagaimana sineas memaksimalkan materi di tangan mereka jauh lebih penting, dan itulah yang dilakukan Nahnatchka Khan (Always Be My Maybe) selaku sutradara, bersama trio penulis naskahnya, David Matalon, Sasha Perl-Raver, dan Jen D'Angelo.
Satu yang langsung nampak sejak awal adalah kebolehan para penulis merumuskan humor lewat deretan banter dan one-liners menggelitik, yang dibawakan secara sempurna oleh para pemain. Berkatnya, Totally Killer memiliki babak awal yang kuat, kala memperkenalkan kita pada sang protagonis, Jamie (Kierman Shipka).
Jamie adalah remaja pemberontak. Bukan tipikal pemberontak yang memancing kekesalan. Sebaliknya, berbekal comic timing kelas satu, Kierman Shipka memudahkan penonton mencintai karakternya. Ketika film berakhir, teriakan "Too horny! Too soon!" bakal susah lepas dari ingatan.
Tinggal di kota kecil bernama Vernon, Jamie mesti menghadapi sikap paranoid ibunya, Pam (Julie Bowen), tiap hari Halloween. Semua bermula di tahun 1987, tatkala pembunuh yang dijuluki "Sweet 16 Killer" membantai tiga sahabat Pam, menusuk mereka 16 kali tepat di malam ulang tahun ketiganya yang ke-16. Ketakutan Jamie (juga warga Vernon lain) terhadap tragedi 35 tahun lalu, pula berbagai "persiapan" yang ia lakukan untuk berjaga-jaga andai si pembunuh muncul lagi, membuat paruh awalnya terasa unik, bagaikan sekuel lintas generasi untuk film yang tidak pernah ada (bayangkan film kelima Scream tanpa eksistensi empat judul pertamanya).
Bagi Jamie sikap ibunya berlebihan, sebab di era modern seperti sekarang, eksistensi teknologi seperti GPS telah memberi perlindungan dari ancaman pembunuh. Nyatanya ia keliru. Seolah menegaskan bahwa modus operandi kriminalitas pun berevolusi seiring waktu, si pembunuh kembali beraksi. Bermodalkan mesin waktu buatan sahabatnya, Amelia (Kelcey Mawema), Jamie kembali ke tahun 1987 guna menghentikan teror Sweet 16 Killer.
Di masa lalu, beragam rintangan dihadapi Jamie. Pertemuan dengan Pam versi muda (Olivia Holt) yang punya citra jauh berbeda termasuk di antaranya, namun yang tak kalah memusingkan adalah mendapati perbedaan nilai. Terjadilah benturan antar generasi. Hal-hal yang kini dianggap keliru (rasisme, seksisme, body shaming dll.) dirasa wajar oleh masyarakat tahun 1987. Tapi Totally Killer tidak berniat menumpahkan amarah. Sebaliknya, ia memandang segalanya sebagai produk masa lalu konyol yang cukup ditertawakan sembari dijadikan pelajaran.
Sedangkan elemen horornya memang tidak spesial. Desain kostum dan topeng si pembunuh (mengambil inspirasi dari wajah Kiefer Sutherland, Rob Lowe, Dolph Lundgren, dan Johnny Bravo) terlampau generik untuk dapat menonjol di antara antagonis slasher lain, begitu juga sekuen pembunuhannya yang tak seberapa kreatif, walau darah yang tumpah sejatinya memadai dari segi kuantitas.
Setidaknya pengarahan Nahnatchka Khan mampu menambal kelemahan minor di atas melalui energinya. Sang sutradara nampak bersenang-senang dalam menuturkan kisah perjalanan waktu, yang biarpun masih meninggalkan secuil tanda tanya pada konklusinya, secara keseluruhan jelas dirumuskan dengan penuh perhatian terkait detail dan "aturan", sehingga melahirkan misteri menarik yang tak membuat penonton garuk-garuk kepala.
(Prime Video)
REVIEW - MOHON DOA RESTU
Tujuh tahun lalu, Ody C. Harahap sempat menyutradarai film berjudul Me vs. Mami. Komedi yang dibintangi Cut Mini tersebut luar biasa memikat di awal berkat gempuran humor segar, sebelum runtuh di akhir gara-gara pilihan konklusi buruk nan absurd. Mohon Doa Restu tampil sebaliknya.
Naskah buatan Cassandra P. Cameron dan Yayu Yuliani, yang ditulis berdasarkan cerita hasil pengembangan keduanya bersama Hanan Novianti, Amelya Oktavia, Arief Ash Shiddiq, dan (surprisingly) Gina S. Noer, mengawali penceritaan lewat jalur familiar.
Mel (Syifa Hadju) dan Satya (Jefri Nichol) adalah teman kecil yang terpaksa menuruti permintaan (atau lebih tepatnya tuntutan) ibu mereka, Widi (Cut Mini) dan Ira (Sarah Sechan), untuk menjalin hubungan. Bukan hanya berpacaran, tapi melangkah ke jenjang pernikahan dalam waktu singkat. Sewaktu Mel terganggu oleh paksaan kedua ibu, Satya malah terlalu menurut.
Familiar. Klise. Sesuatu yang bakal mendatangkan cap "FTV banget" dari beberapa pihak (meski saya sendiri sangat membenci cap itu karena terasa menggampangkan). Keklisean bukan saja berasal dari alur, pula ide humornya. Tiada yang baru dari sederet banyolan mengenai situasi saat orang tua mengendalikan hidup anak yang film ini miliki.
Ketika humornya kurang menggigit, beruntung Mohon Doa Restu diberkahi jajaran pemain yang sanggup menjaga daya hibur supaya tetap eksis. Cut Mini dan Sarah Sechan adalah dynamic duo yang tak pernah kehabisan bahan bakar, Jefri Nichol mampu melepas citra bad boy untuk menghidupkan Satya si "anak mami", dan Dea Panendra kembali menjadi scene stealer, memerankan Astrid, sahabat Mel yang eksentrik akibat terlalu akrab dengan alkohol.
Kendati demikian, jalan terjal terus dilewati Mohon Doa Restu. Bahkan naskahnya gagal menjustifikasi perubahan sikap salah satu ibu, yang mendadak, tanpa titik balik pasti, sadar dirinya sudah salah karena terlalu mengontrol sang anak.
Tapi sebagaimana telah saya singgung di paragraf pembuka, Mohon Doa Restu bagai kebalikan dari Me vs. Mami. Kesan familiar di paruh awal mulai lenyap selepas momen emosional, tatkala suami Widi, Arief (Kiki Narendra), yang selama ini selalu patuh, memutuskan mengonfrontasi sang istri. Kedua pelakon seniornya menampilkan dinamika emosi memukau. Kiki Narendra meletupkan apa yang selama ini tertahan, sementara Cut Mini meledak akibat fakta baru yang mengguncang hatinya.
Sejak itu, Mohon Doa Restu membaik di segala lini. Babak ketiganya penuh kekacauan menyenangkan berkat naskah yang akhirnya tampil lepas memaksimalkan keabsurdan komedi situasi, sebelum menutup penceritaan secara spesial.
Konklusinya berhasil tampil seimbang. Ada upaya memahami perspektif sikap mengontrol orang tua tanpa harus membenarkannya, dengan tetap tegas menentang berbagai macam bentuk kontrol dalam lingkup keluarga (tidak hanya orang tua ke anak). Tapi pencapaian terbaik film ini adalah saat melalui konklusi tersebut ia memunculkan sudut pandang unik mengenai konsep "doa restu". Menyentuh.
REVIEW - BUDI PEKERTI
Tidak ada film Indonesia, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, yang mampu menangkap fenomena sebuah era seperti yang Budi Pekerti lakukan. Segala keresahan diutarakan. Keresahan akan era mengerikan di mana individu dituntut bersikap sempurna, diharuskan untuk selalu berperilaku "benar", padahal konsep benar/salah sedang mencapai titik paling ambigu, bukan lagi kepastian sederhana layaknya pelajaran budi pekerti di ruang kelas.
Prani (Sha Ine Febriyanti) adalah guru BK yang dikenal lewat metode uniknya dalam mendidik. Alih-alih menghukum, ia memakai teknik "refleksi". Misal, saat ada siswa mengumpat temannya dengan kata-kata kasar, Prani menyuruh siswa tadi mengulangi kata-kata tersebut di depan tumbuhan yang ia tanam, lalu mengukur, "Mana yang tumbuh lebih tinggi? Apakah yang diberi makian, atau yang tidak?".
Prani punya dua anak: Tita (Prilly Latuconsina) yang aktif menyuarakan ketidakadilan melalui musik, dan Muklas (Angga Yunanda) yang angkat nama sebagai influencer dengan ratusan ribu pengikut. Suaminya, Didit (Dwi Sasono), menderita bipolar pasca bisnisnya bangkrut akibat pandemi.
Masalah muncul saat video Prani marah-marah di hadapan penjual putu viral di media sosial. Prani tertangkap kamera berteriak "asui" (anjing lah). Dia berkelit, berusaha meluruskan bahwa yang sesungguhnya ia ucapkan adalah "ah suwi" (ah lama). Tapi warganet selaku hakim telah mengetuk palu, sehingga Prani pun dihujat habis-habisan.
Selama sekitar 110 menit, Budi Pekerti membawa kita mengikuti upaya sang protagonis membersihkan reputasinya. Tidak mudah, sebab tiap langkah yang diambil, entah bersifat pasif atau proaktif, malah kerap mendatangkan masalah baru.
Perlukah kita menelanjangi diri dengan menceritakan semua hal, termasuk yang bersifat personal, demi menggaet kepercayaan publik, saat sejatinya mereka cuma tertarik memercayai apa yang ingin mereka percaya? Itulah satu dari sekian banyak keresahan yang tertuang dalam naskah hasil tulisan sang sutradara, Wregas Bhanuteja.
Wregas turut menyentil setumpuk fenomena lain. Intensi "media edgy" dengan sikap kritisnya disentil, kesungguhan orang-orang yang vokal menyuarakan keadilan di media sosial juga turut dipertanyakan. Serupa Penyalin Cahaya, tendensi institusi pendidikan yang cuma mementingkan reputasi kembali dikritik. Apa pun keresahan yang kita pendam, besar kemungkinan Budi Pekerti mampu menyuarakannya. Naskahnya amat kaya, namun tertulis rapi sehingga tidak penuh sesak.
Budi Pekerti ampuh untuk mengaduk-aduk emosi penonton. Muncul rasa kesal menyaksikan penghakiman yang dialami Prani sekeluarga. Menariknya, dinamika rasa itu bisa Wregas bungkus secara ringan. Film ini adalah karya paling pop miliknya sejauh ini, dengan sempilan humor di sela-sela penderitaan dan amarah.
Bukannya Wregas mengorbankan kualitas. Sebaliknya, saya melihat Budi Pekerti sebagai titik ia mencapai keseimbangan sebagai sineas. Karya kritis tidak melulu berat, dan sebaliknya, tontonan ringan bukan berarti kosong. Di beberapa adegan, Wregas masih memamerkan sensitivitas yang jadi ciri khasnya.
Misal sewaktu Prani beserta dua anaknya jatuh ke jurang keputusasaan terdalam. Muklas tantrum, berteriak sembari membenturkan kepala ke pintu. Ketimbang memaksakan situasi melodramatik, Wregas memilih pendekatan lebih "cantik". Lebih subtil namun tidak kalah (bahkan lebih) menusuk. Sama halnya dengan momen paling menyentuh di filmnya, ketika jelang akhir, dibarengi guyuran hujan serta lantunan Dan Hujan kepunyaan Gardika Gigih, Budi Pekerti menyibak jati dirinya sebagai kisah mengenai balas budi.
Sedangkan di departemen akting, kuartet Sha Ine Febriyanti, Angga Yunanda, Prilly Latuconsina, dan Dwi Sasono saling berbagi tugas menjadi motor penggerak rasa Budi Pekerti. Satu yang spesial adalah terkait penggunaan Bahasa Jawa. Entah proses apa yang dijalani sampai Prilly dan Angga, yang notabene bukan "orang Jawa", dapat sedemikian fasih.
Serupa filmnya, pencapaian terbaik dalam akting Ine adalah soal menampilkan ambiguitas. Kita tahu ia menderita, tapi apa sebenarnya yang berkecamuk dalam hati Prani? Tatkala Prani menerjemahkan ah suwi dan asui ke berbagai bahasa di Google Translate, muncul tanda tanya. Apakah ia meratapi kesialan karena dua ujaran itu terdengar mirip di Bahasa Jawa tapi tidak di bahasan lain, atau sebaliknya, merasa lega sebab kemiripan tersebut memberinya alasan untuk berkelit? Apakah pria yang ia tegur di depan penjual putu memang menyerobot antrian, atau sama seperti para penghujatnya di internet, Prani sudah berprasangka?
Prani memang tidak sempurna. Demikian pula metode "refleksi" yang sangat ia banggakan. Lalu siapa yang paling pantas disalahkan? Warganet? Prani? Si penyerobot antrian? Muklas yang menolak perintah ibunya membeli putu? Gora (Omara Esteghlal), mantan murid Prani yang merekomendasikan putu tersebut? Atau pihak lain?
Rasanya tidak perlu ada jawaban. Sekali lagi, realita berbeda dengan mata pelajaran budi pekerti. Kebenaran bukan bersifat hakiki. Berbeda pula dengan ujian di sekolah, masalah di kehidupan nyata tidak selalu dapat dipecahkan. Daripada memaksakan diri mencari jawaban hanya untuk memenuhi hasrat menghakimi, ada kalanya kita cukup melangkah maju.
REVIEW - HOPELESS
"Bernapas bukan berarti hidup". Begitulah sudut pandang karakter dalam karya penyutradaraan perdana Kim Chang-hoon ini. Serupa judulnya, Hopeless berlatar dalam sebuah dunia di mana harapan memudar, dan semua orang didera penderitaan tanpa akhir. Seolah apa pun keputusan yang mereka ambil, hanya ada keburukan menanti di ujung jalan.
Konsep kebahagiaan terasa asing bagi Yeon-gyu (Hong Xa-bin), remaja 18 tahun yang kerap mendapat siksaan fisik dari ayah tirinya (Yu Seong-ju), sedangkan sang ibu (Park Bo-kyung) lebih banyak diam. Cuma si adik tiri, Hayan (Bibi), yang memihaknya. Sampai perkenalan dengan preman setempat bernama Chi-geon (Song Joong-ki) mengubah trek kehidupan Yeon-gyu.
Kim Chang-hoon yang juga menulis naskah Hopeless memakai 133 menit durasi hanya untuk menegaskan satu hal: Yeon-gyu sangat menderita. Dewi fortuna bak bersikap antipati padanya. Sewaktu Yeon-gyu memukul kepala seorang siswa yang menghina Hayan dengan batu, hukuman dari sekolah diterimanya. Ketika hendak berbuat baik dengan membantu korban praktik piutang kotor, giliran hukuman dari geng Chi-geon yang datang.
Alhasil, kala Yeon-gyu makin gamang hingga terjebak aksi kriminalitas, sulit untuk sepenuhnya menyalahkan si remaja. Siapa pun yang ada di posisi tersebut tentunya bakal mempertanyakan eksistensinya. Kenapa kita hidup? Apa perlunya berbuat baik bila keburukan pula yang akan kita terima? Realita memang tak selalu adil.
Nuansa depresif itu dibungkus menggunakan tempo lambat, sambil sesekali menyelipkan kekerasan, yang bukan ditujukan sebagai alat menghibur, melainkan satu lagi penegas soal betapa menyakitkan hidup tokoh-tokohnya. Pendekatan tersebut berpotensi terasa melelahkan bagi sebagian penonton. Apalagi teknik penyuntingannya, yang kerap tiba-tiba melompat dari satu peristiwa ke peristiwa lain, membuat jalinan cerita yang sejatinya sederhana, tampil lebih kompleks dari seharusnya.
Di jajaran pemain, Song Joong-ki dan Bibi tampil paling menonjol lewat upaya mereka menjauh dari kekhasan masing-masing. Joong-ki mengenyahkan citra flower boy sebagai preman depresif yang merasa dirinya tak lagi hidup. Bibi masih temperamental, tetap rajin bersumpah serapah, namun ada kebaikan tulus dalam diri Hayan.
Sayangnya Hopeless sedikit tersandung di fase konklusi. Keputusan mengakhiri perjalanan karakternya secara uplifting terkesan dipaksakan. Pasca semua kesialan, penderitaan, bahkan berbagai kematian, secercah cahaya yang muncul di penghujung pun terasa semu.
REVIEW - COBWEB
Cobweb bukan penghormatan indah yang bakal meluluhkan hati penonton lewat kecintaan si pembuat terhadap sinema. Kim Jee-woon memang tidak berniat menuliskan surat cinta. Cobweb adalah wujud ekspresi seorang seniman yang kepalanya penuh sesak oleh gagasan serta keresahan, lalu ingin menumpahkan segalanya dengan cara dia sendiri. Sebuah ledakan ego. Ada kalanya melelahkan, namun lebih sering terasa menyenangkan.
Mengambil latar 1970-an tatkala penyensoran dan propaganda mengontrol sinema Korea, kita berkenalan dengan Kim Yeol (Song Kang-ho), sutradara yang baru merampungkan produksi film terbarunya, Cobweb. Tapi setelah dihantui mimpi yang sama selama berhari-hari, ia sampai pada kesimpulan ekstrim: ending filmnya harus dibuat ulang.
Bukan perkaran gampang, meski Kim Yeol cuma perlu tambahan waktu dua hari. Di luar perizinan ketat dari badan sensor, tentangan Baek (Jang Young-nam) selaku produser, hingga drama di balik layar antara dua pemainnya, Kang Ho-se (Oh Jung-se) dan Han Yu-rim (Krystal Jung), turut menghadirkan rintangan.
Sebagaimana sang protagonis yang tidak tahan lagi untuk membuat ulang ending filmnya, Kim Jee-woon bersama penulis naskahnya, Shin Yeon-shick, memperlihatkan sikap khas seniman. Rasa gatal tatkala ada ide maupun keresahan harus segera digaruk. Karya harus dibuat. Bukan secara asal, namun sesuai kata hati.
Kim Yeol tidak peduli saat banyak pihak menganggap ending barunya terlalu aneh. Respon negatif kritikus pun ia pandang sebagai "rasa iri orang-orang yang tak mampu berkarya". Orang-orang di balik Cobweb membawa perspektif serupa. Ditinjau dari prinsip dasar penceritaan, film ini memang terlalu ambisius. Persoalan "life imitates art", sineas film genre yang dipandang sebelah mata, gesekan sineas dengan kritikus, kontrol berlebih lembaga sensor, hingga gejolak batin seorang seniman, semua dipaksa menyatu, menciptakan alur yang tetap penuh sesak biarpun durasinya mencapai 135 menit.
Tapi di sisi lain, saya mengagumi hasrat berkarya pembuatnya. Mereka tahu telah mengambil jalan yang melenceng dari pakem, sadar akan reaksi negatif yang mungkin muncul, dan memilih tak mengindahkan semua itu. Kim Jee-woon dan Shin Yeon-shick adalah seniman yang tengah memberontak dari norma.
Paruh pertamanya terkesan kurang mampu merealisasikan premis unik mengenai sutradara yang ingin me-reshoot filmnya. Tapi kita hanya perlu bersabar. Seiring konfliknya berkembang, kekacauan pun meningkat. Semakin tinggi kekacauan, semakin menyenangkan pula filmnya. Apalagi di departemen sinematografi, pasca keindahan menghanyutkan lewat Decision to Leave tahun lalu, Kim Ji-yong banting setir dengan menyusun gerak kamera dinamis yang seolah mengajak penonton ikut berlari menyusuri keliaran kisahnya.
Keabsurdan datang silih berganti, dibungkus menggunakan semangat "semau gue" oleh pengarahan Kim Jee-woon yang menolak terlampau serius. Tengok adegan "twist berlapis" ala opera sabun yang sengaja mengedepankan hiperbola dalam presentasinya. Lucu. Kim Jee-woon sungguh bersenang-senang, bak sedang mengenang awal karirnya yang diisi judul-judul macam The Quiet Family (1998) dan The Good, the Bad, the Weird (2008).
Kim Jee-woon makin bebas bereksplorasi, sebab deretan pemainnya memberi garansi berupa performa mumpuni. Song Kang-ho memberi nyawa bagi si "seniman yang tersiksa", memberi ruang pada penonton untuk memihak tindakan di luar nalar Kim Yeol.
Sedangkan nama-nama lain berjasa mengundang tawa melalui gaya masing-masing. Oh Jung-se sebagai mata keranjang pecundang, Krystal yang senantiasa histeris, Jang Young-nam dengan gestur-gestur subtil namun menggelitik, dan tentunya Jeon Yeo-been sebagai Shin Mi-do, keponakan Baek yang eksentrik sekaligus satu-satunya pendukung setia Kim Yeol. Ketika "Jeon Yeo-been" dan "konyol" bertemu, mustahil tawa gagal diproduksi.
Konklusi Cobweb yang berpotensi mencuatkan banyak interpretasi ibarat versi kebalikan dari sekuen pembukanya. Dari situ kita diajak menyelami isi pikiran sineas (atau seniman secara general). Apakah kepalanya dipenuhi kreativitas atau sekadar mimpi di siang bolong? Benarkah ia mampu melahirkan mahakarya atau delusi semata? Satu yang pasti. Sungguh sayang bila semua dibiarkan mengendap hanya demi mengikuti norma.
REVIEW - INDIGO
Seorang wanita meminta bantuan paranormal selepas mendapati adiknya mampu melihat hantu. Begitulah premis Indigo. Jika terdengar familiar wajar saja, sebab Mata Batin (2017) pun mengangkat kisah serupa. Kedua film tersebut sama-sama disutradarai Rocky Soraya, serta ditulis naskahnya oleh Riheam Junianti.
Bedanya, kali ini sang protagonis juga seorang indigo. Atas permintaan orang tuanya, mata batin Zora (Amanda Manopo) ditutup oleh Sekar (Sara Wijayanto) saat ia kecil. Memori mengenai pertemuannya dengan hantu wanita hamil bernama Widuri pun dihapus. Selang 17 tahun, giliran adiknya, Ninda (Nicole Rossi) yang dihantui sosok Widuri. Sebaliknya, Zora yang kini menjadi seniman dan tengah menanti hari pernikahan dengan Aksa (Aliando Syarief), sekarang justru bersikap skeptis terhadap fenomena mistis.
Indigo pun menghabiskan babak pertamanya untuk menuturkan kisah mengenai skeptisme karakternya, menggunakan formula usang yang sudah terlampau sering diterapkan horor supernatural. Kesan familiar bukan cuma ditemukan dalam persoalan itu. Keseluruhan alur Indigo bak kompilasi hal-hal formulaik, yang tampil berlarut-larut hingga durasinya hampir menyentuh dua jam.
Ibarat sebuah perjalanan, ketimbang bergerak maju, alurnya lebih banyak berputar-putar di satu area, kemudian mampir ke berbagai destinasi yang sejatinya tak perlu (salah satunya flashback panjang mengenai suami Sekar).
Penulisan kalimatnya pun demikian. Di sekuen pembuka, ayah Zora repot-repot menjelaskan alasan ia baru sempat menemui Sekar saat larut malam, mewakili tendensi naskahnya mengisi kalimat dengan kata-kata mubazir sehingga bergulir terlalu panjang, atau informasi nihil substansi. Bicara soal kalimat, Indigo punya salah satu kalimat paling ajaib dalam horor lokal tahun ini, yang mungkin cuma bisa ditandingi kosakata milik Lantai 4. Kalimat itu berbunyi, "Yuk kita buat peradaban baru". Tonton dan rasakan sensasinya.
Sebagai produksi Hitmaker, tentu Indigo diberkahi bujet tinggi. Sebuah horor mahal dengan kemewahan di tiap sudut latarnya, yang kembali memfasilitasi kegemaran Rocky mengutak-atik gerak kamera. Kualitas CGI-nya pun solid. Biaya itu rupanya tak menjamin kesempurnaan di semua lini. Pada sebuah flashback ke tahun 2005, kakek Zora yang semestinya sudah lansia malah nampak seperti pria 40 tahunan akibat riasan seadanya.
Patut diingat pula, dalam horor, biaya mahal tak selalu bersinonim dengan kengerian. Bahkan ada kalanya bujet minim menghasilkan kesan raw yang menguatkan atmosfer. Indigo memiliki antagonis potensial dalam diri Widuri, hantu dengan desain memadai, yang kemunculannya ditandai suara bak monster. Sayangnya pengarahan Rocky sebatas menempatkan Widuri dalam deretan jumpscare generik, walau minimal, tanpa dibarengi gelegar musik berisik. Indigo masih tahu cara mengatur volume yang aman bagi telinga penonton.
Barulah di klimaks, Rocky coba menerapkan hal baru (setidaknya untuk ukuran karyanya), dengan menekan kuantitas banjir darah yang selama ini jadi kekhasannya. Tapi alih-alih menggantinya dengan hentakan lain, Rocky sebatas memangkas kadar kekerasan. Ketimbang memodifikasi, yang dilakukan hanyalah mengurangi.
REVIEW - KILLERS OF THE FLOWER MOON
Sekuen pembuka Killers of the Flower Moon menggambarkan ritual suku Osage yang tengah resah menatap masa depan. Mereka berdoa seraya menengadah ke langit. Beberapa waktu berselang, muncul semburan kencang minyak dari tanah gersang. Di salah satu shot, Scorsese memakai low-angle untuk menangkap langit biru yang melatari peristiwa ajaib itu. Seolah dari atas sana Tuhan sedang mengulurkan bantuan.
Aroma religi dan spiritualitas memang selalu erat di karya sang sineas. Berikutnya kita berkenalan dengan Ernest Burkhart (Leonardo DiCaprio), yang sepulangnya dari medan perang, coba mencari peruntungan di Osage, dengan menjadi sopir bagi wanita setempat bernama Mollie (Lily Gladstone). Di tengah obrolan, Ernest melempar candaan dengan menyebut dirinya sebagai "handsome devil".
Killers of the Flower Moon adalah kisah tentang para iblis (baca: orang kulit putih), yang didorong keserakahan, berambisi merebut anugerah Tuhan dari tangan yang berhak. Aksi iblis tentunya penuh tipu daya, dan itu pula yang nampak dari sosok William King Hale (Robert De Niro), paman Ernest yang memposisikan diri selaku sahabat suku Osage, namun diam-diam berencana mengeruk harta mereka.
De Niro tampil sarat karisma dalam menghidupkan Hale. Kata-kata manisnya bak bisikan setan yang jago memanipulasi hati manusia. Dia piawai memutarbalikkan fakta, memainkan trik psikologis, kemudian mengadu domba, bahkan di antara kaumnya sendiri.
Mengadaptasi buku nonfiksi berjudul sama karya David Grann, naskah hasil tulisan Scorsese bersama Eric Roth mampu menjustifikasi durasi yang mencapai 206 menit. Tanpa durasi panjang tersebut, kita takkan secara utuh menyaksikan proses berkala saat kejahatan kulit putih yang diprakarsai oleh Hale terus berkembang. Diawali penipuan serta perampokan, pada akhirnya terjadi pembunuhan.
Satu demi satu nyawa suku Osage melayang. Mollie bahkan kehilangan seluruh anggota keluarga. Killers of the Flower Moon bukanlah whodunit. Filmnya tak menutupi jati diri si pelaku. Bahkan si pelaku sendiri tak berusaha terlalu keras menyembunyikan aksinya. Sewaktu Ernest membaca buku mengenai sejarah Osage, ia sampai pada kalimat "Can you find the wolves in this picture?". Tidak sulit menemukan barisan serigala di film ini, sebab mereka pun tak berusaha sembunyi.
Betapa mengerikan sebuah dunia di mana serigala haus darah maupun iblis licik melancarkan aksi di bawah terangnya cahaya matahari. Scorsese pelan-pelan mengikat emosi penontonnya. Secara bertahap kita dibawa memahami modus operandi para maling kulit putih. Semakin banyak pemahaman didapat, semakin hati ini terasa dicabik-cabik. Sekali lagi, proses di atas memerlukan waktu tidak sebentar untuk dipaparkan. Durasi nyaris tiga setengah jam pun kembali menunjukkan fungsinya.
Kengerian dunianya diperkuat oleh kepiawaian Scorsese, yang dibantu tata kamera garapan Rodrigo Prieto, kerap menghantarkan momen heartbreaking. Tiap nyawa tak berdosa melayang digambarkan sebagai mimpi buruk. Tragedi mengiris. Bukan sebatas "satu lagi kematian" tanpa arti. Musik ritmis gubahan Robbie Robertson turut membangun atmosfer mencekam, layaknya detak jantung yang terus berpacu.
Di jajaran pemain, Di Caprio dan Gladstone membawa dinamika menarik. Gladstone membuat karakter Mollie selaku korban tetap berdiri kokoh. Kadang matanya memancarkan amarah, ada kalanya giliran kesedihan yang terpantul dari situ, namun satu yang tak pernah lenyap adalah harga diri.
Sebaliknya, Ernest adalah pecundang yang dikuasai rasa takut. Lihat saat Ernest dikunjungi oleh Tom White (Jesse Plemons) si agen FBI. Di Caprio menampilkan kecemasan lewat segala tindak tanduknya. Gesturnya tidak beraturan, matanya enggan menatap sang lawan bicara. Ernest menyayangi keluarganya, tapi itu tak membuat sosoknya lebih baik. Justru sebaliknya. Dia terlampau bodoh (dan serakah) untuk menyadari betapa tindakannya malah mendatangkan dampak yang bertolak belakang dari "melindungi".
Jika Killers of the Flower Moon membuka penceritaan dengan harapan, penutupnya menampilkan pilihan narasi unik mengenai penyesalan. Lewat sekuen tersebut, sebagai kulit putih, Scorsese mengkritisi dosa sesamanya. Proses penyesalan kerap dijadikan motif dalam karyanya. Begitu pula di film ini. Bedanya, kali ini bukan si protagonis yang dihantui penyesalan, melainkan Scorsese sendiri.
REVIEW - DR. CHEON AND THE LOST TALISMAN
Sudah begitu sering saya mengeluhkan soal film horor (terutama produksi tanah air) yang menjadikan elemen klenik sebagai tempelan semata. Tanpa eksplorasi memadai, bahkan ada kalanya memberi dampak nihil bagi keseluruhan cerita. Dr. Cheon and the Lost Talisman menjawab keresahan tersebut, di mana tiap sudutnya membawa penonton menuju petualangan untuk mengenali ragam mistis dunianya.
Mengadaptasi webtoon berjudul Possessed karya Fresh dan Kim Hong-tae, alurnya mengetengahkan tipu daya yang dilakukan Dr. Cheon (Kang Dong-won) bersama asistennya, In-bae (Lee Dong-hwi). Keduanya mengaku sebagai pengusir setan, menipu klisen, lalu mengunggah aksi mereka di YouTube. Lalu datanglah permintaan dari Yoo-kyung (Esom) terkait sang adik yang ia percaya tengah kerasukan setan.
Pertama memasuki desa tempat Yoo-kyung tinggal, kita disambut oleh anomali. Kabut tebal menyelimuti, begitu pula aroma kematian di tiap kediaman warga (bayangkan Silent Hill memindahkan latarnya ke Korea). Kelak terungkap bahwa dalang di balik keanehan tersebut adalah dukun jahat bernama Beom-cheon (Huh Joon-ho), yang memaksa Dr. Cheon berhadapan dengan ancaman mistis sungguhan.
Dilihat dari permukaan, Dr. Cheon and the Lost Talisman nampak bak blockbuster formulaik asal Korea pada umumnya. Sampai naskahnya semakin dalam menyoroti investigasi sang protagonis, dan filmnya pun melompat lebih tinggi. Setiap destinasi yang karakternya singgahi selalu mengandung mistisisme menarik. Bahkan fenomena kesurupan yang sudah jadi santapan rutin film horor pun mampu dijauhkan dari kesan klise.
Bagaimana modus operandi si antagonis guna menebar ancaman, kemudian langkah apa yang protagonisnya tempuh untuk menangkal ancaman tersebut, konsisten berkontribusi pada pembangunan dunianya. Sebuah dunia dengan kultur mistis unik nan beragam.
Keunikan dunianya melahirkan peleburan genre yang amat menghibur. Di kursi penyutradaraan, Kim Seong-sik adalah sineas blockbuster kompeten yang piawai menyusun aksi dengan intensitas yang senantiasa terjaga. Salah satu momen terbaik hadir kala Dr. Cheon dan Yoo-kyung kabur dari kejaran warga desa yang berada di bawah kendali Beom-cheon. Sekuen tersebut merumuskan aksi bernuansa fantasi seru, dengan sedikit aroma folk horror yang dimodifikasi. Sekali lagi, unik. Begitu unik hingga klimaks yang cenderung generik bisa dimaafkan.
Dr. Cheon and the Lost Talisman turut diberkahi ensemble cast yang lengkap. Esom si wanita misterius dan Huh Joon-hoo sebagai dukun keji mewakili wajah serius (dan agak creepy) dari filmnya, Lee Dong-hwi menghidupkan aspek komedik, sedangkan Kang Dong-won hadir di tengah sebagai jagoan karismatik yang menjembatani kedua sisi. Bahkan nama-nama seperti Park Jeong-min, Park Myung-hoon, Lee Jung-eun, Cho Yi-hyun, sampai Jisoo Blackpink dalam kemunculan mereka yang lebih singkat pun sanggup meninggalkan kesan.
REVIEW - PAMALI: DUSUN POCONG
Mengadaptasi kisah The Tied Corpse dalam permainan Pamali: Indonesian Folklore Horror, sesungguhnya Dusun Pocong menawarkan twist luar biasa menarik, yang selain mengejutkan, pula membawa relevansi terkait keberagaman budaya mistis tanah air. Sayang, pencapaian itu dikacaukan oleh satu hal, apalagi kalau bukan ketidakmampuan filmnya bercerita secara memadai.
Pasca kemunculan singkat di film pertama tahun lalu, kali ini Cecep (Fajar Nugra) mengemban porsi lebih besar, sebagai tukang gali kubur yang datang bersama rekannya, Deden (Bukie B. Mansyur), ke sebuah desa tempat terjadinya wabah mematikan. Keduanya bertugas mengubur mayat korban wabah tersebut yang jumlahnya terus bertambah tiap hari.
Sedangkan tiga nakes, Mila (Yasamin Jasem), Gendis (Dea Panendra), dan Puput (Arla Ailani), turut dikerahkan untuk merawat mereka yang masih bertahan hidup di tengah penderitaan. Tubuh korban dipenuhi luka busuk yang menjijikkan. Kondisi yang mungkin lebih buruk dari kematian. Tapi apa penyebab wabah tersebut? Apa pula alasan di balik teror segerombolan pocong yang mendadak muncul?
Poin plus bagi naskah buatan Evelyn Afnilia yang tak menyalahartikan "kompilasi jumpscare" sebagai "plot". Penampakannya masih "tahu waktu". Poin minusnya, film ini tidak pernah benar-benar bercerita. Menonton Dusun Pocong bak kegiatan mengobservasi rutinitas harian para individu di desa terkutuk.
Pendekatan di atas berpotensi menghadirkan warna berbeda dibanding mayoritas horor lokal, andai kita berhasil dibuat memedulikan deretan karakternya. Tetapi tidak. Seluruh penokohan tersaji dangkal, begitu pun dinamika interpersonal di antara mereka.
Minimal jajaran pemainnya telah bekerja maksimal. Dea Panendra begitu baik sampai memudahkan kita membenci Gendis dengan perangai kerasnya, Yasamin Jasem solid seperti biasa, sementara Fajar Nugra berusaha sebisa mungkin memancing gelak tawa bermodalkan materi humor medioker yang naskahnya sediakan. Menurut film ini, memperdengarkan detail suara kotoran keluar saat seseorang buang air besar adalah bentuk kelucuan.
Kembali ke pembahasan terkait twist di paragraf pembuka. Melalui twist itu, Dusun Pocong mencuatkan perspektif menarik soal pamali. Sebuah pengingat bahwa sejatinya, pamali yang paling pantang untuk dilanggar adalah bersikap sok tahu dengan melupakan peribahasa "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".
Masalahnya, poin-poin yang jadi pondasi twist tersebut hanya numpang lewat, tanpa mengemasnya sebagai misteri yang mengundang tanda tanya. Sekali lagi, alurnya terasa kosong. Bahkan fenomena mengenai wabah pun luput dijawab. Naskahnya bak keliru mendefinisikan "pertanyaan tak terjawab" sebagai "ambiguitas misteri". Apa pula esensi dari keengganan memberi jawaban tentang hal itu?
Perihal teror, penyutradaraan Bobby Prasetyo cenderung main aman. Tidak buruk. Penonton kasual bakal terhibur oleh penampakan demi penampakan pocong yang dibarengi efek suara berisik. Satu momen yang cukup menonjol adalah ketika seorang karakter menemui ajal secara brutal. Itulah titik terbaik Pamali: Dusun Pocong, sebelum terjangkit penyakit khas horor medioker, yakni babak final antiklimaks yang berakhir prematur.
REVIEW - SAW X
Silahkan cari daftar tentang "pembunuh terbaik dalam film slasher". Besar kemungkinan John Kramer / Jigsaw (Tobin Bell) akan disebut. Tapi ia berbeda dengan nama-nama seperti Jason Voorhees atau Michael Myers. Dia bukan pembunuh berdarah dingin. Modus operandinya sarat ambiguitas moral, dan Saw X menjadi film yang menegaskan penokohan unik tersebut.
Di rumah sakit, selepas divonis hanya punya sisa umur beberapa bulan akibat kanker otak, John mendapati seorang petugas berniat mencuri barang milik pasien. John membayangkan menaruh si pegawai di perangkap "penyedot mata" (alat marketing utama filmnya). Ketika si pegawai mengurungkan niat buruknya, John pun membatalkan rencana tersebut. John adalah pria berprinsip.
Sebaliknya, saat menyadari dirinya ditipu oleh pengobatan eksperimental yang dijalankan Cecilia Pederson (Synnøve Macody Lund), John langsung membawa si dokter gadungan beserta kaki tangannya untuk mengikuti permainan maut ciptaannya.
Di antara 10 judul dalam franchise-nya, Saw X merupakan installment yang paling getol bercerita. Naskah buatan Peter Goldfinger dan Josh Stolberg bersedia menghabiskan lebih dari 30 menit guna memasang pondasi, selaku cara menarik keberpihakan penonton pada John. Bahwa tindakan John layak dijustifikasi karena dua poin: 1) Para korban memang pantas dihukum; 2) Tujuan John bukanlah membunuh.
John memandang aksinya sebagai "metode memperbaiki'. Sebagaimana ia memperbaiki sepeda seorang bocah, John percaya bisa memperbaiki para pendosa. Penampilan Tobin Bell memuluskan langkah film ini menghadirkan dimensi berbeda bagi John Kramer. Bell memanusiakan karakternya, yang lebih rapuh secara psikis, namun di sisi lain turut menyimpan kebaikan. Sewaktu ada yang lolos dari permainannya, John segera memberi pertolongan, meyakinkan bahwa orang itu bakal baik-baik saja.
Sayangnya Bell tak mampu melawan kuasa waktu. Saw X mengambil latar pasca film pertama (pilihan narasi cerdik agar franchise ini dapat "kembali ke akarnya"), tapi John di sini nampak lebih tua dibanding kemunculannya di film kedua. Hal serupa dialami Amanda (Shawnee Smith). Mau bagaimana lagi? Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh horor berbiaya 13 juta dollar untuk mengakali persoalan tersebut.
Lalu bagaimana dengan deretan perangkap yang jadi identitas Saw? Di luar dugaan jumlahnya memang dipangkas demi memfasilitasi intensi merombak pola khas torture porn yang tak memedulikan cerita, namun di bawah pengarahan Kevin Greutert (Saw VI, Saw 3D) selaku sutradara, pemandangan brutal seperti tubuh termutilasi atau usus yang terburai akan memuaskan para penggemar.
Saw X bukan mengubah winning formula, melainkan menyempurnakan. Pun ketika lagu ikonik Hello Zepp buatan Charlie Clouser mulai terdengar guna menandai hadirnya twist besar yang telah dinanti (meski daya kejutnya tak seberapa), kita bisa berkata dengan yakin, "Ini masih film Saw!".
REVIEW - BALLERINA
Sutradara Lee Chung-hyeon dan aktris Jun Jong-seo, yang juga pasangan kekasih di dunia nyata, kembali bekerja sama pasca The Call (2020), dalam proyek yang nampak mengakomodasi dorongan artistik mereka. Ballerina punya segala kekhasan film aksi bertema "one-person army" yang belakangan jadi tren, namun dengan pendekatan lebih artsy.
Jun Jong-seo memerankan mantan bodyguard bernama Ok-ju. Apa profesi wanita ini sekarang? Seperti apa kepribadiannya? Entah. Naskah buatan Lee Chung-hyeon tidak terlalu dalam memberi eksplorasi. Ketimbang menggali untuk bercerita, lebih banyak atensi diberikan pada pembangunan vibe.
Sama halnya pasca Ok-ju menemukan sahabatnya yang seorang balerina, Min-hee (Park Yoo-rim), tewas bunuh diri. Filmnya banyak menyelipkan kilas balik berisi fakta-fakta dasar yang tak seberapa mendalam. Penokohan keduanya, begitu pula hubungan yang terjalin, hanya berkutat di permukaan.
Ballerina berfokus pada mood, yang bertujuan mengomunikasikan rasa daripada informasi. Temponya lambat, mengawang-awang, dreamy, pula didominasi kesunyian karena Lee Chung-hyeon mengutamakan penceritaan berbasis visual. Melihat kenangan Ok-ju kala menghabiskan waktu bersama Min-hee, kita tahu ia merindukan sang sahabat, walau akibat dangkalnya penokohan, bakal sulit untuk terikat pada perasaan si protagonis. Sederhananya, "style over substance".
Sebelum mati, Min-hee meminta Ok-ju membalaskan dendamnya. Pro Choi (Kim Ji-hoon) si pengedar narkoba penyuka BDSM jadi target. Konfrontasi dengan Choi membawa Ok-ju menyusuri dunia yang makin kelam, tapi Ballerina tetap mempertahankan keindahan visualnya. Serupa aksi bertema serupa, warna-warni mencolok dan gemerlap neon di malam hari masih jadi pilihan.
Lee Chung-hyeon dapat dengan gampang membawa karakternya menebar kebrutalan tanpa basa-basi, tapi sekali lagi, ia berambisi melahirkan karya yang lebih artsy. Kadang ambisi itu terlalu menguasai, sehingga ada kalanya Ballerina bertahan di momen dramatik sendu secara berlarut-larut.
Muncul juga elemen penceritaan minim substansi. Karakter siswi SMA tanpa nama (Shin Se-hwi) yang jadi korban lain Choi diperkenalkan. Si gadis tidak punya latar belakang maupun karakterisasi memadai. Selain untuk menerapkan formula klise "aku tak bisa melindungi orang tercinta jadi ini kesempatan keduaku" sebagai tambahan motivasi protagonisnya, seolah ia eksis hanya untuk mengulur waktu. Supaya Ballerina bisa berjalan selama 90 menit, tanpa perlu mengembangkan cerita di luar usaha Ok-ju memburu Choi.
Setidaknya di ranah aksi, Lee Chung-hyeon mampu membawa energi tinggi, meski terkadang keliaran berlebih pada gerak kamera dan teknik penyuntingan yang dipakai cukup mengganggu. Untungnya seiring waktu sang sutradara dapat menahan diri, termasuk di babak puncak yang luar biasa menyenangkan, tentunya dengan kadar kekerasan yang memuaskan.
Di awal tulisan, saya menyebut bahwa Ballerina mengakomodasi dorongan artistik dua orang yang terlibat. Tidak hanya Lee Chung-hyeon, juga Jun Jong-seo. Sang aktris, dengan aura misterius nan kelam, seolah ada awan gelap yang selalu menaunginya, sempurna mewakili mood film ini. Ditambah kualitas mumpuni kala melakoni laga, Jung Jong-seo adalah jagoan yang sanggup memancing sorakan penonton dalam aksinya membakar habis hama yang membahayakan para wanita.
(Netflix)
REVIEW - BANGKU KOSONG: UJIAN TERAKHIR
Bagaimana memberi penyegaran sambil tetap menjaga kesan familiar? Bangku Kosong: Ujian Terakhir sejatinya berpeluang menawarkan jalan keluar. Sebuah film zombi berkedok cerita hantu, di mana serbuan mayat hidup digantikan oleh fenomena kesurupan massal. Jalan tengah yang cukup cerdik. Sayang, di ranah eksekusi, para pembuatnya gagal lulus ujian berisi satu soal: Buatlah film horor yang baik.
Lupakan kaitan ambigunya dengan Bangku Kosong (2006). Bukan sekuel, bukan remake, reboot atau soft-reboot pun rasanya kurang pas. Requel? Reimagining? Entahlah. Lupakan tetek bengek istilah. Pastinya, Bangku Kosong: Ujian Terakhir mengawali perjalanan dengan meyakinkan, ketika tak sampai 10 menit, kekacauan telah pecah di SMA yang dikepalai oleh Amanda (Karina Suwandhi).
Satu demi satu murid yang sedang mengerjakan ujian mendadak kerasukan dan saling membunuh. Seluruh murid nihil penokohan. Mereka cuma tumpukan daging yang menunggu giliran untuk dibantai. Bukan masalah. Naskah buatan Alim Sudio memang sengaja mendesain film ini bak slasher yang mengutamakan body count.
Penonton cukup duduk manis menyaksikan aksi para korban kerasukan yang bertingkah bak zombi, membanjiri seisi sekolah dengan darah. Deretan kematiannya tak seberapa kreatif, tidak pula masuk kategori ekstrim, tapi kadar kekerasan yang memadai minimal bisa memproduksi hiburan bagi penggemar gore.
Sebelum penyebab kesurupan massal diungkap di babak akhir, praktis filmnya tidak bercerita. Kemunculan dua karakter baru, Abah Ayub (Teddy Syah) dan Nakila (Lania Fira), yang kedatangannya ditandai oleh iringan musik elektronik 80-an buatan Andhika Triyadi (satu dari sedikit poin positif film ini), juga tak membuat kisahnya banyak berkembang.
Perihal ini pun bisa dimaklumi. Sekali lagi, inilah desain yang dipilih pembuatnya. Bangku Kosong: Ujian Terakhir diniati sebagai horor satu lokasi mengenai teror yang berlangsung hanya dalam sehari. Sebut saja "potret sebuah peristiwa". Berbekal penggarapan mumpuni, pendekatan tersebut sesungguhnya berpotensi melahirkan tontonan dengan intensitas tinggi. Inilah yang filmnya gagal lakukan.
Penyutradaraan Lakonde gagal menjaga intensitas. Tatkala film semacam ini mestinya terus menginjak pedal gas, lemahnya permainan tempo sang sutradara malah membuat durasi yang cuma 86 menit terasa jauh lebih lama. Alhasil, parade gore yang pada dasarnya tidak spesial pun segera kehilangan daya pikatnya.
Tanpa kemampuan menghibur, kekurangan dalam bertutur pun semakin kentara. Bukan soal cerita kosong atau penokohan dangkal. Kelemahan naskah Bangku Kosong: Ujian Terakhir masih senada dengan banyak horor lokal, yakni terkait "rules".
Jika nantinya si hantu dapat menyerang secara langsung, mengapa ia harus repot-repot menciptakan kesurupan massal? Apakah itu didasari keinginan bersenang-senang dengan cara mengontrol lalu menyiksa para korban? Bagaimana cara satu hantu merasuki puluhan siswa? Adakah alasan mengapa korban kerasukan di sini langsung tewas saat hantu dalam tubuhnya dikeluarkan, selain karena "film ini memakai pola film zombi?". Semua dapat dijawab menggunakan beberapa eksposisi singkat yang sayangnya enggan hadir.
REVIEW - THE EXORCIST: BELIEVER
Silahkan cari video reaksi publik pasca menonton The Exorcist (1973). Lihat mata mereka yang dipenuhi ketakutan. Beberapa terlalu terguncang untuk bisa bicara, ada pula yang sampai terbaring lemas. Ketimbang film horor, orang-orang bak baru menyaksikan tragedi. Wajar. Jangankan 50 tahun lalu. Penonton masa kini pun mungkin bakal dibuat ngeri melihat Regan (Linda Blair) menusuk selangkangannya menggunakan salib.
Karya penyutradaraan William Friedkin itu begitu fenomenal. Selain kepanikan massal yang menghasilkan pendapatan 441 juta dollar, The Exorcist menjadi horor pertama yang menyabet nominasi Best Picture di ajang Oscar (plus nominasi di sembilan kategori lain).
Menilik setumpuk prestasi di atas, rasanya tak satu pun berharap Believer mampu menandingi kualitas pendahulunya (dan memang tidak wajib). Bahkan di saat ia terkesan begitu yakin dengan memposisikan diri sebagai sekuel langsung dari film pertama, yang tak mengindahkan eksistensi empat judul lain di serinya.
Tapi apa perlunya menelurkan sekuel jika para pembuatnya tak bernyali? Apa perlunya menggandakan jumlah korban kerasukan bila kadar keekstriman teror yang dilempar tak sampai separuhnya? Dikisahkan, Angela (Lidya Jewett) dan Katherine (Olivia Marcum) menghilang. Tiga hari berselang mereka ditemukan, tapi dalam kondisi yang mengundang segudang pertanyaan.
Tatkala naskah The Exorcist yang diadaptasi William Peter Blatty dari novel berjudul sama buatannya sendiri jeli mengawinkan elemen psikis dengan religiusitas secara mendalam, Peter Sattler bersama sang sutradara, David Gordon Green, yang bertugas menulis naskah Believer, bagai berusaha meraih sesuatu yang ada di luar batas kemampuan mereka.
Niatan meluangkan waktu untuk bercerita justru melahirkan penuturan draggy. Serupa orang-orang di tahun 1973, audiens sekarang berpotensi kehilangan kesadaran di tengah film. Bukan akibat pingsan dikuasai ketakutan, melainkan dikalahkan rasa kantuk.
Ada potensi tinggi menyelipkan drama spiritual emosional. Melalui karakter Victor (Leslie Odom Jr.), ayah Angela, yang meragukan agama selepas kematian sang istri, perenungan mengenai keimanan diajukan. Sudut pandang yang mengambil jalan tengah antara sisi religi dan humanis pun menarik. Misal terkait ibadah di gereja, yang tidak cuma dipandang sebagai komunikasi umat dengan Tuhan, tapi juga interaksi antar manusia. Dari situlah jemaah berbagi energi lalu saling menguatkan.
Artinya, masalah Sattler dan Green bukanlah ketiadaan poin untuk disampaikan. Sebaliknya, mereka terlampau dikuasai ambisi. Terlalu banyak hal coba dituturkan, sehingga tiap poin saling bertubrukan, menciptakan kekacauan, kemudian kehilangan kedalaman. Apalagi saat pembagian porsinya kurang seimbang, di mana paruh awal cenderung kosong, sedangkan paruh akhirnya penuh sesak.
The Exorcist: Believer seperti jus yang mencampur segala jenis buah. Alih-alih makin bergizi, rasanya malah tidak karuan. Khususnya di babak ketiga. Okwui Okpokwasili sebagai Dr. Beehibe "si penyembuh" memberi warna baru bagi kisah pengusiran setan, namun substansi karakternya pantas dipertanyakan. Konklusinya cukup berani dalam upayanya memberi shock value, tapi intensinya ambigu (Mana yang hendak ditekankan? Kesaktian ritual di sekuen pembuka, atau liciknya tipu daya iblis?).
Tapi tidak ada kekurangan yang lebih fatal selain kontrol diri berlebihan yang filmnya lakukan. Keputusan mempertahankan lagu tema Tubular Bells yang legendaris patut diapresiasi, begitu pula teknik subliminal yang dimodernisasi (bukan lagi sekadar menempel muka iblis secara acak dan kasar). Masalahnya, David Gordon Green bak terlalu takut mendobrak norma.
Terornya tanpa taring. Keliaran karya William Friedkin hilang tak berbekas, digantikan momen-momen yang bakal membuat Pazuzu menertawakan kejinakannya. The Exorcist: Believer tidak memiliki nyali mengulangi kegilaan film orisinalnya, tapi ia berani menyia-nyiakan Ellen Burstyn, membawanya kembali setelah 50 tahun, hanya untuk memberi peran minim signifikansi.
REVIEW - ROAD TO BOSTON
Dibuat berdasarkan kisah nyata, Road to Boston meredefinisikan "kemerdekaan". Bukan lewat perspektif-perspektif de facto atau de jure, melainkan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Betapa kemerdekaan yang hakiki baru didapat, ketika rakyat suatu negara telah melangkah (atau dalam konteks film ini belari) dengan kaki mereka sendiri.
Pada Olimpiade Berlin 1936, Sohn Kee-chung (Ha Jung-woo) berhasil menyabet medali emas maraton dengan mencatatkan rekor waktu. Sayangnya pencapaian itu jadi milik Jepang yang kala itu masih menancapkan kuasanya di Korea. Sebuah pengingat bahwa penjajah tak hanya mencuri sumber daya tanah air. Kebebasan membanggakan prestasi sendiri pun turut dilenyapkan.
Tahun 1947, pendudukan Jepang telah berakhir. 15 Agustus 1945 resmi jadi hari kemerdekaan Korea. Tapi apakah kemerdekaan telah sungguh dimiliki? Meski tak mendatangkan penderitaan layaknya Jepang, militer Amerika Serikat datang mengontrol pemerintahan. Sewaktu Kee-chung dan sahabatnya yang menyabet perunggu di Berlin, Nam Sung-yong (Bae Seong-woo), hendak mendaftarkan keikutsertaan Suh Yun-bok (Im Si-wan) di Maraton Boston 1947, rintangan muncul silih berganti.
Akibat belum sepenuhnya diakui merdeka, delegasi Korea wajib didampingi penjamin, harus membayar biaya jutaan won, bahkan mesti berkompetisi memakai baju bergambar bendera Amerika. Benarkah kemerdekaan sudah didapat?
Naskah buatan sang sutradara, Kang Je-gyu (Shiri, Taegukgi), memang masih berseliweran di area familiar. Sebuah drama olahraga inspiratif mengenai mantan jawara yang hidupnya jatuh (Kee-chung tenggelam dalam alkohol), melatih calon bintang masa depan dari latar belakang ekonomi serba kekurangan, yang nantinya bakal mencapai kejayaan, sementara rakyat senegaranya menyuarakan dukungan sembari berkumpul di depan radio mendengarkan jalannya perlombaan.
Singkat kata: klise. Tapi Kang Je-gyu punya berbagai cara agar keklisean itu tak berkembang jadi kelemahan. Pertama, seperti telah disinggung, soal subteks kemerdekaan yang ia tanam. Momen saat rakyat Korea berinisiatif mengumpulkan uang demi membiayai keberangkatan Yun-bok dijadikan titik penanda kemerdekaan yang sejati. Di situ, mereka enggan menggantungkan nasib kepada pihak asing, lalu menegaskan kemampuan berdiri dengan kaki sendiri.
Begitu maraton berlangsung, dua komentator acap kali mengerdilkan Yun-bok dan Korea. Apa itu Korea? Di mana letaknya? Sebagaimana para wartawan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan konyol macam itu kerap terlontar. Di situlah Yun-bok berlari. Membuktikan kehebatan dirinya, membawa kemerdekaan bangsanya. Terjadilah peralihan era. Era Kee-chung digantikan oleh era Yun-bok. Era baru. Era kemerdekaan.
Cara kedua yang sang sutradara pakai untuk menjauhkan keklisean dari Road to Boston adalah metode dramatisasinya. Dia menolak cara murahan. Misal bagaimana musik mendayu-dayu tak seketika menghajar telinga penonton di tengah peristiwa emosional. Tatkala seorang karakter kehilangan orang tercinta, adegan dibiarkan sunyi beberapa saat. Seiring menularnya duka ke hati penonton berkat kekuatan akting pemain, barulah musik pelan-pelan merambat masuk.
Ya, penampilan jajaran pemain tentu berperan. Keberadaan dua nama senior, Ha Jung-woo dan Bae Seong-woo ibarat jaminan mutu. Tapi Road to Boston adalah "filmnya Im Si-wan". Sempat berisiko terkena typecast berupa karakter psikopat (walau harus diakui ia memang cocok), Si-wan buktikan jangkauan luasnya di sini lewat akting terbaik sepanjang karir.
Pernah memerankan pelari handal di Run On (2020-2021) memudahkan Si-wan terlihat meyakinkan sebagai jagoan maraton masa depan. Kapasitas akting dramatiknya pun meningkat. Dia tidak asal meledakkan tangis, tapi membiarkan rasa itu merayap perlahan sebelum akhirnya ia ledakkan. Lihat pula kakinya yang gemetar hebat sewaktu mengalami cedera di tengah lomba. Mungkin baginya, Road to Boston juga bentuk kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai aktor untuk terlepas dari typecast dan bebas mengeksplorasi peran seluas mungkin.
REVIEW - PETUALANGAN SHERINA 2
Petualangan Sherina (2000) punya elemen musikal yang cukup sederhana. Tanpa koreografi kompleks dengan presisi tinggi, maupun tata kamera hal itu mewakili semangat bersenang-senang anak-anak. Dua pemeran utamanya berusia sekitar 10 tahun. Industri film kita pun tak ubahnya bocah, yang baru mulai merangkak keluar dari era kegelapan, salah satunya berkat debut penyutradaraan solo Riri Riza tersebut.
23 tahun telah berlalu. Sherina Munaf dan Derby Romero kini berkepala tiga, sedangkan perfilman Indonesia telah berada di kelas yang jauh berbeda. Walau Petualangan Sherina 2 tak wajib melebihi kualitas pendahulunya, kematangan semestinya terlihat. Sayangnya, dalam presentasi musikalnya, Riri masih berkutat pada pendekatan "merekam orang bernyanyi dan menari" saja.
Jangan khawatir jika sebatas mengharapkan nostalgia. Petualangan Sherina 2 memilikinya. Naskah buatan Jujur Prananto, Mira Lesmana, Riri Riza, dan Virania Munaf menyelipkan banyak tribute ke film pertama. Pertama lewat lirik lagu yang mengalami penyesuaian. Contohnya kalimat "Betapa bahagianya punya banyak teman" diubah jadi "Betapa bahagianya bersama berdua", untuk mewakili fase dewasa karakternya, di mana kualitas hubungan lebih esensial dibanding kuantitas.
Bisa juga melalui jalannya adegan. Kalau sekuen musikal pembuka di film pertama menampilkan Sherina berangkat sekolah, sekarang kantor merupakan destinasinya. Di kantor itulah Sherina dikenal sebagai jurnalis kompeten, terutama terkait isu lingkungan hidup. Karenanya ia diutus ke Kalimantan guna meliput pelepasan orang utan ke habitatnya oleh sebuah LSM konservasi hutan. Reuni pun terjadi. Rupanya Sadam adalah program manajer LSM tersebut.
Di luar lagu-lagu dan adegan, nostalgia terbesar dihadirkan oleh chemistry dua pemeran utama. Mereka bak tidak pernah berpisah. Sherina yang berapi-api, Derby yang lebih tenang, memunculkan versi dewasa dari banter cinta/benci film pertamanya.
Tatkala naskahnya terlalu asyik berlama-lama membagikan informasi tentang lingkungan hidup hingga lupa waktu, Sherina dan Derby mampu menjaga dinamika. Antusiasme mengikuti petualangan mengejar para penculik orang utan pun tetap terjaga karena mereka, ketika jajaran antagonis yang turun ke lapangan punya penokohan membosankan. Randy dengan talenta komediknya dituntut memerankan penjahat serius nihil daya tarik, sedangkan karisma dan kemampuan olah fisik Kelly Tandiono disia-siakan oleh lemahnya pengarahan aksi Riri Riza (walau tak seburuk adegan "Lukman Sardi jatuh" di Paranoia).
Saya menyertakan "turun ke lapangan" saat membahas antagonisnya, karena ada antagonis yang tetap berada di balik layar, dan ia mampu mencuri perhatian. Bahkan tidak berlebihan bila disebut penampil terbaik. Sambutlah Isyana sebagai Ratih Icih Icih si kolektor satwa, dengan keeksentrikan yang membawa magnet kuat di tiap kemunculan. Berbekal pesona ala antagonis film klasik Disney, Isyana mengatrol kualitas dua sekuen musikal yang dibawakannya.
Lain cerita dengan musikal lain yang tak menampilkan si biduan absurd. Derby dan Sherina berusaha semaksimal mungkin, namun kenaturalan mereka tak mampu menyelamatkan musikalnya yang dikemas bak versi murah dari La La Land.
Riri dan tim seperti berujar, "Ayo kita buat yang seperti ini!", namun gagal menangkap alasan kenapa masterpiece karya Damien Chazelle itu begitu memikat. Tata kameranya tanpa energi hingga tak menguatkan gerak koreografi, departemen artistik yang ala kadarnya juga gagal mempercantik presentasi. Sekali lagi, semua masih ada di ranah "merekam orang bernyanyi dan menari". Dua dekade lebih berlalu begitu saja tanpa meningkatnya kematangan.
Puncaknya jelas nomor Mengenang Bintang. Diawali obrolan hangat yang secara cerdik mengaitkan "sinar bintang" dengan "kenangan masa lalu", romantisme momen itu langsung runtuh sewaktu Riri, bersenjatakan CGI buruk yang seolah dibuat tanpa visual sense memadai, berambisi melakukan reka ulang bagi adegan berlatar planetarium di La La Land. Hasilnya mengecewakan (kalau tak mau disebut "memalukan").
Dipandang secara menyeluruh, Petualangan Sherina 2 sesungguhnya masih sebuah nostalgia yang memadai. Tapi saat kelemahan terbesar film musikal malah terletak dalam caranya ber-musikal, artinya ada setumpuk pekerjaan rumah yang luput dibenahi.
REVIEW - IU CONCERT: THE GOLDEN HOUR
Stadion Olimpiade Seoul, 18 September 2022. Langit senja memancarkan warna jingga. Suasana tenang. Damai. Bahkan saat IU (yang menggelar konser solo kembali setelah tiga tahun) membuka pertunjukan lewat lagu Eight, ia mengawalinya dengan akapela. Muncul perasaan khidmat, nyaris religius.
The Golden Hour memang bukan film konser K-pop biasa. Dia tahu cara bernarasi. Banyak hal patut dirayakan. Sebutlah perayaan 14 tahun karir sang penyanyi, pula fakta bahwa ia merupakan musisi wanita Korea pertama yang menggelar konser di stadion berkapasitas hampir 70 ribu orang tersebut. Tapi sebagaimana prinsip bercerita yang tak langsung melompat ke klimaks, The Golden Hour enggan terburu-buru mengajak penontonnya berpesta.
IU sendiri jeli dalam bercerita. Mungkin karena ia telah banyak menyerap ilmu dari para penutur ulung, termasuk kala membintangi Broker karya Hirokazu Kore-eda. Simak susunan setlist yang kentara memperlihatkan intensinya berbagi kisah.
Kisah seperti apa? Kini ia telah dewasa. Sudah menginjak 30 tahun. Bukan lagi nation's little sister (julukannya di awal karir). Mungkin ia tidak lagi lebih menyukai rambut pendek ketimbang rambut panjang seperti lima tahun lalu. Perubahan itu mendorongnya "meluluskan" lagu Palette, yang selepas konser ini takkan lagi dibawakan.
Selain Palette, Good Day juga dipensiunkan. Agak mengejutkan, sebab inilah lagu yang melambungkan nama IU berkat tarikan "tiga nada tinggi" miliknya. Alasannya? Tingkat kesulitan tinggi dalam Good Day membatasi opsi IU mengutak-atik susunan setlist baru. Dia ingin bebas bereksplorasi. Berapa banyak musisi berani mengesampingkan lagu hit mereka atas nama eksplorasi?
Pencapaian terbesar The Golden Hour yang jarang dimiliki film konser terutama K-pop adalah, ia mampu membawa penonton mengenali identitas si penyanyi. Sekali lagi, filmnya piawai bercerita. Bahkan tiga VCR di sela-sela penampilan bukan sebatas parade visual kosong selaku selingan. Ada kisah menyentuh yang mewakili proses pendewasaan IU dalam mengarungi hidup. Bagaimana My Sea, yang mendukung narasi VCR tersebut dijadikan nomor penutup (en-encore di konser lebih seperti mid-credits scene dalam film) juga bukti bahwa konser ini didesain dengan "bercerita" sebagai intensi utama.
The Golden Hour pun sanggup menjustifikasi eksistensinya di layar lebar, meski telah dirilis dalam format DVD dan Blu-ray, pun beberapa klip dapat ditemukan di YouTube. Film ini bukan "rekaman konser" semata, namun sebuah pengalaman sinematik yang layak dikonsumsi di bioskop. Pilihan shot-nya megah, mendukung beragam momen magis yang IU hadirkan. Strawberry Moon yang dibawakan dari balon udara, sampai Above the Time yang didahului pertunjukan drone memukau jadi dua contoh terbaik.
Tapi serupa IU yang dikenal humanis, The Golden Hour bukan cuma pameran teknologi. Manusia adalah komponen terpenting. Tidak perlu lagi membahas kemampuan bernyanyi IU, maupun kehebatannya menguasai panggung. Jajaran penari, musisi pengiring, juga tim orkestra turut diberi sorotan. Sebuah paket lengkap.
Seusai film, saya meninggalkan bioskop dan mendapati langit senja secara kebetulan juga tengah menampakkan golden hour. Tanpa sadar timbul pemikiran, "Bukankah kita sungguh beruntung bisa hidup di era yang sama dengan Lee Ji-eun?".
21 komentar :
Comment Page:Posting Komentar