REVIEW - THE EXORCIST: BELIEVER
Silahkan cari video reaksi publik pasca menonton The Exorcist (1973). Lihat mata mereka yang dipenuhi ketakutan. Beberapa terlalu terguncang untuk bisa bicara, ada pula yang sampai terbaring lemas. Ketimbang film horor, orang-orang bak baru menyaksikan tragedi. Wajar. Jangankan 50 tahun lalu. Penonton masa kini pun mungkin bakal dibuat ngeri melihat Regan (Linda Blair) menusuk selangkangannya menggunakan salib.
Karya penyutradaraan William Friedkin itu begitu fenomenal. Selain kepanikan massal yang menghasilkan pendapatan 441 juta dollar, The Exorcist menjadi horor pertama yang menyabet nominasi Best Picture di ajang Oscar (plus nominasi di sembilan kategori lain).
Menilik setumpuk prestasi di atas, rasanya tak satu pun berharap Believer mampu menandingi kualitas pendahulunya (dan memang tidak wajib). Bahkan di saat ia terkesan begitu yakin dengan memposisikan diri sebagai sekuel langsung dari film pertama, yang tak mengindahkan eksistensi empat judul lain di serinya.
Tapi apa perlunya menelurkan sekuel jika para pembuatnya tak bernyali? Apa perlunya menggandakan jumlah korban kerasukan bila kadar keekstriman teror yang dilempar tak sampai separuhnya? Dikisahkan, Angela (Lidya Jewett) dan Katherine (Olivia Marcum) menghilang. Tiga hari berselang mereka ditemukan, tapi dalam kondisi yang mengundang segudang pertanyaan.
Tatkala naskah The Exorcist yang diadaptasi William Peter Blatty dari novel berjudul sama buatannya sendiri jeli mengawinkan elemen psikis dengan religiusitas secara mendalam, Peter Sattler bersama sang sutradara, David Gordon Green, yang bertugas menulis naskah Believer, bagai berusaha meraih sesuatu yang ada di luar batas kemampuan mereka.
Niatan meluangkan waktu untuk bercerita justru melahirkan penuturan draggy. Serupa orang-orang di tahun 1973, audiens sekarang berpotensi kehilangan kesadaran di tengah film. Bukan akibat pingsan dikuasai ketakutan, melainkan dikalahkan rasa kantuk.
Ada potensi tinggi menyelipkan drama spiritual emosional. Melalui karakter Victor (Leslie Odom Jr.), ayah Angela, yang meragukan agama selepas kematian sang istri, perenungan mengenai keimanan diajukan. Sudut pandang yang mengambil jalan tengah antara sisi religi dan humanis pun menarik. Misal terkait ibadah di gereja, yang tidak cuma dipandang sebagai komunikasi umat dengan Tuhan, tapi juga interaksi antar manusia. Dari situlah jemaah berbagi energi lalu saling menguatkan.
Artinya, masalah Sattler dan Green bukanlah ketiadaan poin untuk disampaikan. Sebaliknya, mereka terlampau dikuasai ambisi. Terlalu banyak hal coba dituturkan, sehingga tiap poin saling bertubrukan, menciptakan kekacauan, kemudian kehilangan kedalaman. Apalagi saat pembagian porsinya kurang seimbang, di mana paruh awal cenderung kosong, sedangkan paruh akhirnya penuh sesak.
The Exorcist: Believer seperti jus yang mencampur segala jenis buah. Alih-alih makin bergizi, rasanya malah tidak karuan. Khususnya di babak ketiga. Okwui Okpokwasili sebagai Dr. Beehibe "si penyembuh" memberi warna baru bagi kisah pengusiran setan, namun substansi karakternya pantas dipertanyakan. Konklusinya cukup berani dalam upayanya memberi shock value, tapi intensinya ambigu (Mana yang hendak ditekankan? Kesaktian ritual di sekuen pembuka, atau liciknya tipu daya iblis?).
Tapi tidak ada kekurangan yang lebih fatal selain kontrol diri berlebihan yang filmnya lakukan. Keputusan mempertahankan lagu tema Tubular Bells yang legendaris patut diapresiasi, begitu pula teknik subliminal yang dimodernisasi (bukan lagi sekadar menempel muka iblis secara acak dan kasar). Masalahnya, David Gordon Green bak terlalu takut mendobrak norma.
Terornya tanpa taring. Keliaran karya William Friedkin hilang tak berbekas, digantikan momen-momen yang bakal membuat Pazuzu menertawakan kejinakannya. The Exorcist: Believer tidak memiliki nyali mengulangi kegilaan film orisinalnya, tapi ia berani menyia-nyiakan Ellen Burstyn, membawanya kembali setelah 50 tahun, hanya untuk memberi peran minim signifikansi.
20 komentar :
Comment Page:plagiat dari film qodrat dan senjakala jailangkung
The Exorcist: Believer lanjut bersambung The Exorcist Deceiver
Naskah The Exorcist: Believer karya lele Laila patut di perhitungkan
Bocil lesbong Angela (Lidya Jewett) dan Katherine (Olivia Marcum) berhasil dalam perankan iblis Pazuzu bangsa Asyur dan iblis Babilonia, yang merupakan putra dari Hanbi, dewa kejahatan dikenal sebagai pelindung bagi wanita hamil dari kejahatan dewi iblis Lamashtu, yang dapat membawa bahaya bagi wanita hamil dan bayi yang dikandungnya
Ngeri bo...
Ellen Burstyn dan Linda Blair ikonik film keren banget
Udah paling bener emang kalo Exorcist yang pertama jangan diotak-atik
the creator belum ya bang
Sattler dan Green perlu menggali lebih dalam lagi di babak selanjutnya
Pazuzu belum hilang, aksi selanjutnya di trilogi pamungkas yang lebih badass
trilogy halloween endingnya di giling mesin, apakah trilogy exorcist endingnya di giling mesin juga sampai iblis punah
bagus film warkop dki dono kasino indro daripada exorcist, lihat aja reaksi penonton
gue sudah nonton ini film, tipikal generik komedi film, lumayan masih bisa berani ketawa di bioskop
ruqyah berjamaah
leher di puter sampai K.O
lihat prolog awal cerita berkaitan dengan epilog cerita : ini bukan tentang ruqyah agama seperti film pertama, ini sekte, jelas dan mudah di mengerti jangan dipertanyakan kembali
Nonton ini memang tidak puas sekali. Lihat review lain pada bagus-bagus. Di sini paling mewakili pemikiran saya saat di bioskop. Terlalu tinggi berekspektasi.
film slowburn horror yang menguliti ruqyah dari materi kepercayaan, cukup mewakili masyarakat komunal
Pazuzu is Back
skor film ini : 9.5/10
film ruqyah modern terbaik 2023
Posting Komentar