REVIEW - HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES

25 komentar

Warisan dapat menghancurkan keluarga. Mungkin darah lebih kental dari air, tapi ia bisa seketika memudar saat dihadapkan dengan lembar demi lembar uang. How to Make Millions Before Grandma Dies merupakan proses karakternya (serta penonton) memahami bahwa harta bukanlah segalanya. 

Bila pesan di atas terdengar klise, itu karena debut penyutradaraan layar lebar Pat Boonnitipat ini memang tidak berniat merombak formula. Dia tetaplah tearjerker yang dibuat untuk membanjiri pipi penonton dengan air mata. Ketika di menit awal para karakternya yang merupakan sebuah keluarga tengah berziarah di makam leluhur, tidak sulit menebak adegan seperti apa yang bakal menutup filmnya. 

Tapi di sisi lain, ada warna berbeda yang ia tawarkan. Lihat saat si protagonis, M (Putthipong Assaratanakul), mengunjungi rumah sang nenek yang dipanggil Amah (Usha Seamkhum) untuk pertama kali. Dia berjalan melintasi sudut-sudut kota, melewati pepohonan yang basah oleh rintik gerimis, ditemani musik lembut buatan Jaithep Raroengjai. Syahdu. 

Kedatangan M bukan kunjungan biasa. Amah baru didiagnosis mengidap kanker usus stadium 4, yang membuat sisa umurnya tinggal setahun lagi. Mengetahui bagaimana sepupunya, Mui (Tontawan Tantivejakul), memperoleh warisan rumah karena merawat kakeknya hingga akhir hayat, M yang gagal meraih kesuksesan sebagai streamer pun berharap bisa mendapatkan keberuntungan serupa. 

Sekali lagi, kita tahu ke mana kisahnya bakal bermuara. Rencana culas M untuk memanfaatkan sang nenek nantinya malah berujung benar-benar merekatkan hubungan keduanya. Tapi siapa peduli di saat proses menuju ke sana mampu menghadirkan beragam emosi, dari tawa hangat sampai tangis haru? 

Usha Seamkhum yang di usia senjanya baru melakoni debut di film ini membuat saya tenggelam di setiap tatapannya yang menyimpan setumpuk misteri mengenai isi hati Amah. Sedangkan Putthipong Assaratanakul paling piawai membawakan tendensi M menyembunyikan kegundahan serta kesedihan memakai senyum dan tawa (poin ini akan berdampak besar di ending). Mereka berdua menjalin chemistry solid yang melahirkan interaksi penuh warna. Ada saling cela, bertukar canda, dan tentunya berbagi rasa. 

Di sisi lain, baik pengarahan Pat Boonnitipat maupun naskah yang ia tulis bersama Thodsapon Thiptinnakorn (SuckSeed, Friend Zone, The Con-Heartist) sama-sama jeli merumuskan tearjerker yang menyentuh tanpa harus terkesan mengemis tangis. Sebagaimana nampak pada momen kedatangan M yang saya singgung sebelumnya, Pat membangun dinamikanya secara bertahap. Cenderung lambat di paruh awal yang berfungsi sebagai fase observasi, sebelum akhirnya meledakkan emosi begitu memastikan penonton sudah terikat dengan karakternya. 

Seberapa pun kalian menahan cucuran air mata, kemungkinan besar tembok tersebut bakal runtuh di ending berlatarkan sebuah mobil pikap, yang menyampaikan salam perpisahan dengan begitu indah. Tebersit sebuah pertanyaan saat menyaksikan adegan itu. Apakah tangisan yang tumpah dikarenakan penggarapan filmnya yang bagus, atau semata karena penonton (termasuk saya) segera mengaitkan peristiwa di layar dengan kenangan personal? 

Jawabannya adalah "keduanya". How to Make Millions Before Grandma Dies terasa dekat karena ia paham betul dinamika keluarga, khususnya keluarga Asia. Bagaimana warisan bisa melenyapkan kasih sayang, bagaimana berkumpul di rumah nenek merupakan momen hangat yang selalu dinanti, bagaimana si nenek dengan tidak sabar menantikan kedatangan anak-cucu sembari mengenakan pakaian terbaiknya, pula bagaimana kesepian selepas kebersamaan terasa begitu menyengat terutama bagi lansia yang hidup seorang diri. Kenangan tentang segala kebersamaan itulah warisan berharga yang sesungguhnya. 

25 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

mantap gilak mmg film ini, saya saja yg mmg susah nangis eh mengeluarkan air mata juga

Anonim mengatakan...

Jawabannya adalah "keduanya".
Aduh nangis lagi 😢

Higholy mengatakan...

Psikopat sih yg nggak nangis saat nonton film ini.

Anonim mengatakan...

biasa aja B kategori

Anonim mengatakan...

bagus film vina sebelum 7 hari, derai air mata

Anonim mengatakan...

skor film horror ini, cukup : 8.5/10

Anonim mengatakan...

anjrittt, ini baru film horror namanya sampai penonton nangis bawang bombay

Anonim mengatakan...

film ini mengandung trigger warning, dampingi dalam menonton di bioskop

Anonim mengatakan...

i love indonesia movie

Anonim mengatakan...

cucu durhaka

Anonim mengatakan...

jelek

Anonim mengatakan...

nggak bagus banget

Anonim mengatakan...

nafsu doang pengen tayang

ternyata penonton nya terbatas

hadeuhhhhhhhhh

Anonim mengatakan...

layar terbatas jam tayang terbatas

nggak cuan

Anonim mengatakan...

nggak jelas

Anonim mengatakan...

mengantuk

Anonim mengatakan...

menjual nenek parobaya, nggak natural

Anonim mengatakan...

bukan film indonesia, bukan panutan

Anonim mengatakan...

nenek oh nenek

Anonim mengatakan...

tipe toxic horror

Anonim mengatakan...

males nonton

agoesinema mengatakan...

Mungkin ekspektasiku yg berlebihan, atau saya gak terlalu related dgn budaya china-thai, sampai ending film ini tdk berhasil membuat sy menangis.

Anonim mengatakan...

film sampah

Anonim mengatakan...

heran gue ada yang suka film ini daripada film indonesia

Anonim mengatakan...

toxic movie