REVIEW - MARNI: THE STORY OF WEWE GOMBEL
Mungkin Marni: The Story of Wewe Gombel adalah salah satu film paling inkonsisten yang saya tonton dalam beberapa waktu terakhir. Ada kalanya ia tampil hebat, terutama saat aksi yang disusun koreografinya oleh Uwais Team mengambil alih fokus. Tapi tidak jarang filmnya diisi pakem-pakem melelahkan khas horor produksi RA Pictures.
Setidaknya naskah yang ditulis Tisa TS bersama sang sutradara, Billy Christian, masih mau bercerita. Berawal dari kepindahan Rahayu (Hannah Al Rashid) ke sebuah desa bersama dua anaknya, Anissa (Amanda Rigby) dan Aan (Athar Barakbah), penonton bakal berkenalan dengan legenda urban yang menghantui tempat tersebut. Ada kisah yang coba disampaikan, alih-alih sebatas kumpulan penampakan.
Naskahnya juga coba memunculkan kesadaran mengenai berbagai isu, dari gangguan perkembangan anak yang diwakili oleh kondisi Aan, masalah parenting yang dipicu kelalaian Rahayu memberi kasih sayang akibat pekerjaan serta dorongan membuktikan kemandirian, hingga soal pelecehan terhadap perempuan. Presentasinya tak pernah mendalam, tapi sekali lagi, membuktikan usaha naskahnya merangkai cerita.
Marni (Ismi Melinda) si wewe gombel nantinya akan menculik Aan, kemudian Rahayu dan Anissa, dengan bantuan Tama (Reza Hilman) si anak lurah yang alim dan jago silat, berusaha melawan. Sedangkan Shareefa Daanish tampil sebagai pelakon paling mencuri perhatian kala memerankan Irma, perempuan yang menderita gangguan jiwa akibat semasa kecil pernah diculik wewe gombel.
Ceritanya sederhana, tapi memadai selaku materi film horor berdurasi satu setengah jam. Masalahnya Marni bergulir selama hampir 120 menit, sekaligus dipecah menjadi dua bagian. Hasilnya adalah prolog yang dipaksa memanjang sampai dua jam. Luar biasa draggy. Andai dijadikan satu film saja, niscaya presentasinya jauh lebih padat dan intens.
Apalagi memasuki paruh kedua suguhan aksi mulai kerap menampakkan diri. Di sini para hantu bukan dilawan (hanya) memakai kekuatan doa, melainkan jurus-jurus bela diri. Walau memunculkan tanda tanya seputar rules (kadang tubuh sang hantu tidak bisa disentuh, kadang bisa jadi sasaran pukul), aksi brutal nan penuh tenaga arahan Uwais Team membuat saya bersedia mengesampingkan lubang logika tersebut.
Seperti biasa, visi Billy Christian memang kental nuansa barat. Ketimbang dedemit ala Indonesia, wewe gombel di sini beraksi layaknya entitas monster yang jago berkelahi. Kesan serupa muncul tatkala satu lagi hantu yang menghuni rumah Rahayu memperlihatkan wujudnya. Desainnya unik (meski berpotensi menjadi bahan "candaan jorok" beberapa penonton), dengan kualitas efek spesial yang juga apik.
Tapi apa perlunya menampilkan hantu tersebut, yang tak mempunyai kaitan dengan cerita utama? Keluhan serupa muncul ketika sesosok pocong diam-diam melompat di background. Mengerikan, tapi apa fungsi kemunculannya? Apakah kelak akan dijelaskan di film kedua? Entahlah.
Sekali lagi, Marni: The Story of Wewe Gombel memang inkonsisten. Sisi positif miliknya senantiasa diimbangi sisi negatif yang tak kalah menyengat, tidak terkecuali beberapa jumpscare yang alih-alih memancing teriakan ngeri justru menyulut tawa geli.
REVIEW - A QUIET PLACE: DAY ONE
Dunia A Quiet Place menempatkan penghuninya dalam situasi yang bukan cuma mengerikan, tapi juga penuh keputusasaan. Manusia sebagai makhluk sosial dipaksa kehilangan suara, yang merupakan salah satu media utama komunikasi. Aroma ketakutan serta kesepian begitu pekat. Apa gunanya melanjutkan kehidupan?
Pertanyaan di atas sudah bergaung di kepala Sam (Lupita Nyong'o) akibat penyakit yang ia derita. Ditemani seekor kucing bernama Frodo, ia menganggap segala aspek di kesehariannya adalah sampah, sembari menanti kematian dengan pasrah. Sampai kematian benar-benar datang dalam wujud alien beringas yang dalam sekejap menghancurkan kota New York.
Timbul suasana mencekam saat para alien turun dari langit bak hujan meteor, yang membuktikan kemampuan sang sutradara, Michael Sarnoski, merekayasa hari kiamat di layar. Masalahnya A Quiet Place Part II (2020) telah menghadirkan pemandangan serupa dengan intensitas yang tidak kalah (bahkan bisa dibilang lebih) mumpuni.
Di titik ini kesan "segar" memang sukar diulangi oleh tiap installment baru A Quiet Place, sebab kita sudah terbiasa dengan konsep unik film pertamanya yang mengedepankan kesunyian. Beruntung, Day One berada di tangan orang-orang yang tepat. Walau tak lagi terasa baru, Sarnoski memastikan penonton dipuaskan oleh suguhan horor yang seru.
Filmnya dibuka oleh teks yang menginformasikan bahwa rata-rata volume suara di New York adalah 90 desibel. Di satu titik, Sam keluar dari sebuah gedung pertunjukan. Suasana sunyi di dalam gedung mendadak berubah 180 derajat tatkala Sam membuka pintu. Itu hanya satu dari sekian banyak contoh kehebatan tata suara filmnya. Tata suara berkualitas tidak hanya sebatas menghajar telinga dengan volume keras. Persoalan transisi sebagaimana contoh di atas pun wajib diperhatikan.
Tidak terkecuali pengaturan ambient sewaktu serbuan alien memaksa kota bising tersebut tiba-tiba membisu. Atmosfer mencekam dari kesunyian juga dibangun oleh departemen tata suara. Sedangkan Sarnoski yang menaruh kepercayaan tinggi pada Lupita Nyong'o, berulang kali memakai close-up guna menangkap teror di wajahnya.
Sang aktris pun (seperti selalu ia lakukan) membayar lunas kepercayaan itu. Caranya mengolah ketakutan serta emosi-emosi lain sungguh luar biasa. Berkatnya rasa humanis film ini menyeruak, kemudian menguat sejak pertemuan Sam dengan Eric (Joseph Quinn), seorang penyintas yang menderita gangguan kecemasan.
Berkat chemistry kedua pemain, pertemuan itu pun berkembang jadi sesuatu yang manis tanpa embel-embel cerita romantis. Hanya kehangatan antara dua manusia terluka, yang memuncak di sebuah "adegan sulap".
A Quiet Place Day One mungkin tidak pernah menjustifikasi statusnya sebagai prekuel. Andai ia diposisikan sebagai sekuel pun tak ada yang berubah dari caranya menebar ketegangan. Minim kebaruan. Tapi Sarnoski yang turut menulis naskahnya berhasil memanfaatkan krisis yang manusia alami di semestanya, untuk menciptakan kisah humanis menggugah tentang "bertahan hidup", yang ditutup oleh shot yang amat powerful.
REVIEW - TRIGGER WARNING
Merupakan kewajaran saat sineas dari luar Amerika mesti menyesuaikan gaya tatkala melakoni debut di Hollywood. Tidak jarang penyesuaian tersebut mengurangi, atau bahkan menghilangkan ciri mereka. Semua dilakukan atas nama "batu loncatan" dan "membuka jalan". Tapi di sisi lain, wajar pula menyayangkan sewaktu sutradara dengan karya-karya unik seperti Mouly Surya membuat b-movie generik seperti Trigger Warning.
Berlawanan dengan Mouly, Jessica Alba menjadikan film yang turut memasang namanya sebagai produser eksekutif ini selaku penanda kembalinya ia ke dunia akting sejak Killers Anonymous empat tahun lalu. Alba yang nampak tangguh memang cocok memerankan anggota pasukan khusus yang telah berulang kali meringkus teroris. Tapi Trigger Warning lebih seperti proyek di penghujung karir ketimbang pemantik untuk membangkitkannya.
Setelah kembali sukses meringkus teroris, Parker (Jessica Alba) mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal akibat tertimbun tambang yang runtuh. Parker yang berduka pun kembali ke kota kecil tempat kelahirannya, hanya untuk mendapati bahwa ada kemungkinan kematian ayahnya merupakan pembunuhan.
Hampir seluruh departemen di film ini tidak bekerja maksimal, namun pangkal permasalahannya terletak pada naskah buatan Josh Olson, John Brancato, dan Michael Ferris. One-liner medioker serta celetukan-celetukan tak lucu menandai kegagalan tiga penulisnya menghasilkan naskah yang menggelitik secara cerdas. Perihal tersebut menunjukkan niat baik untuk membawa filmnya naik kelas dibanding suguhan aksi straight-to-video kebanyakan, namun niat baik bakal percuma tanpa kemampuan memadai.
Kondisi serupa juga bisa ditemukan dalam cara naskahnya menanam subteks soal perlawanan terhadap paham konservatif para white supremacist, dengan membenturkan Parker dengan Ezekiel Swann (Anthony Michael Hall), seorang senator yang secara (agak) tersirat kerap menyampaikan ketidaksukaan pada ras selain kulit putih. Sayangnya poin itu hanya dijadikan tempelan oleh naskahnya tanpa meninggalkan dampak berarti.
Usaha tampil beda lainnya terletak pada bagaimana penceritaan Trigger Warning disusun bak misteri thriller ketimbang aksi biasa. Tapi sekali lagi, misteri mengenai kematian ayah Parker terlalu klise guna memancing rasa penasaran, sedangkan adegan-adegan khas film thriller seperti saat Parker menyusup ke rumah Senator Ezekiel dikemas dengan pengadeganan minim intensitas oleh Mouly.
Tidak ada yang bakal dipicu oleh Trigger Warning kecuali rasa kantuk. Membosankan. Bahkan momen saat Parker akhirnya mengungkap rahasia di balik kematian sang ayah pun dikemas dengan cara yang luar biasa membosankan sekaligus miskin kreativitas. Beberapa ide menarik yang berpotensi melahirkan aksi brutal gagal dimaksimalkan akibat lemahnya tata kamera, penyuntingan, serta penyutradaraan. Kekhasan Mouly lenyap tak berbekas.
Pangkalan militer yang begitu mudah diterobos hingga memperbolehkan perempuan asing masuk hanya karena ia mengaku terluka parah, hingga anggota pasukan khusus yang tanpa pikir panjang meluncurkan roket di dalam tambang sempit, membuktikan bahwa Trigger Warning bukan cuma membosankan, tapi juga bodoh.
(Netflix)
REVIEW - THE BIKERIDERS
Jika buku foto berjudul sama buatan Danny Lyon yang menginspirasi The Bikeriders merupakan potret sebuah era, maka film karya Jeff Nichols (Take Shelter, Mud, Loving) ini mengajak penonton menjadi saksi proses berakhirnya era tersebut. Ketika apa yang manusia bangun perlahan lenyap, sementara satu demi satu individu datang dan pergi. Menyaksikan era yang pupus selalu menyakitkan, tapi mungkin memang begitulah jalan kehidupan.
Seiring memuncaknya subkultur motor di tahun 60-an, Johnny (Tom Hardy) memutuskan mendirikan klub motor sendiri, pasca dibuat terpukau oleh sosok Marlon Brando di The Wild One (1953), di mana sang aktor memerankan biker yang juga bernama Johnny. Klub itu kemudian berkembang menjadi geng bernama Vandals MC.
Salah satu anggotanya adalah Benny (Austin Butler), si pemuda liar tanpa rasa takut yang selalu menyulut keributan. Di adegan pembuka, Benny terlibat perkelahian dengan dua pria akibat menolak melepas jaket berlogo Vandals MC yang ia kenakan. Di mata Johnny, Benny mewakili nilai-nilai kebebasan yang dahulu mendorongnya mendirikan geng motor.
Tapi Kathy (Jodie Comer) awalnya tidak terkesan dengan tingkah polah Vandals MC. Kathy adalah narator kita. Apa yang muncul di layar merupakan hasil wawancaranya dengan Danny Lyon (Mike Faist) yang dilakukan pada tahun 1965 dan 1973. Comer dengan aksen midwestern miliknya, tampil menonjol di tengah kumpulan laki-laki pemuja maskulinitas, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak kalah (bahkan mungkin lebih) tangguh dari mereka.
Wajar Kathy merasa tidak nyaman. Vandals MC diisi oleh orang-orang yang takkan disebut "baik" atau "menyenangkan" oleh masyarakat. Sebutlah Cockroach (Emory Cohen), yang sesuai nama panggilannya, gemar memakan kecoa. Ada pula Zipco (Michael Shannon) dengan dandanan lusuh serta kebenciannya terhadap orang-orang berpendidikan yang ia panggil "pinko".
Nichols yang turut menulis naskah tidak berusaha menjustifikasi pola pikir maupun perilaku ketinggalan zaman milik orang-orang seperti Zipco (yang tentunya memenuhi Vandals MC). Serupa Lyon dan buku fotonya, Nichols sebatas menangkap realita suatu masa. Seperti buku foto itu pula, Nichols menggerakkan narasi The Bikeriders bak keping-keping memori yang tak membentuk satu konflik utama.
Melalui sudut pandang Kathy, kita memahami bahwa di luar berbagai perangai buruk mereka, anggota Vandals MC sesungguhnya hanya sekumpulan manusia terbuang yang saling menemukan, kemudian bersama-sama merindukan kebebasan. Di situlah rasa nyaman mulai mengisi hati Kathy, seiring romansa yang ia jalin dengan Benny.
Penceritaan Nichols bergulir pelan namun tidak berlarut-larut, sembari sinematografi arahan Adam Stone mengubah foto-foto Lyon menjadi gambar bergerak yang tak jarang menampakkan keindahan. Misal sewaktu obrolan Johnny dan Benny terasa makin intim karena cuma diterangi lampu temaram yang membuat sosok keduanya bak siluet.
Jika Austin Butler tampil bak versi modern dari James Dean, maka Tom Hardy berperan layaknya gabungan Johnny-nya Marlon Brando di The Wild One dan Vito Corleone dari The Godfather (1972). Tapi ketika Vito menyambut akhir eranya dengan tangan terbuka, Johnny justru menderita kala mendapati "keluarga" Vandals MC tak lagi menjunjung asas kekeluargaan seiring bertambahnya jumlah anggota, serta pergeseran Amerika menuju era yang lebih kelam.
Begitu The Bikeriders memasuki destinasi akhir, tebersit rasa getir mendapati ke mana hidup tokoh-tokohnya bermuara. Sekali lagi, mungkin memang begitulah jalan kehidupan. Itulah realita. Tapi bukankah menerima fakta dan menyerah pada realita yang tak selalu membawa bahagia justru terasa menyesakkan?
REVIEW - TWILIGHT OF THE WARRIORS: WALLED IN
Sebuah area padat penduduk yang terasa pengap nan gelap karena dikelilingi gedung-gedung tinggi bak dinding raksasa, di mana para Triad memegang kuasa. Kowloon yang dijuluki "Kota Tembok" memang panggung sempurna bagi aksi brutal milik Twilight of the Warriors: Walled In yang dibuat berdasarkan novel City of Darkness karya Yuyi, yang juga diangkat ke dalam medium manhua dengan judul sama oleh Andy Seto.
Walaupun Crime Story (1993) yang dibintangi Jackie Chan dan Bloodsport (1988) yang melambungkan nama Jean-Claude Van Damme telah lebih dulu memakainya sebagai latar, film garapan Soi Cheang ini tampil unik karena mayoritas ceritanya berlokasi di Kowloon. Ada aroma klaustrofobia yang menyengat ketika protagonis kita, Chan Lok-kwan (Raymond Lam), pertama kali menginjakkan kaki di sana.
Status pengungsi membuat Lok-kwan kerap terseret masalah, salah satunya dengan geng Triad pimpinan Mr. Big (Sammo Hung). Lok-kwan pun kabur, dan tanpa sadar memasuki Kowloon yang merupakan teritori kekuasaan Cyclone (Louis Koo). Melalui narasi di awal durasi ditambah beberapa kilas balik, penonton mendapat gambaran mengenai kondisi Kowloon beberapa tahun sebelumnya, termasuk rivalitas antara Cyclone dengan Jim si "Raja Pembunuh" (Aaron Kwok), yang memunculkan potensi besar untuk prekuel.
Naskah buatan Au Kin-yee, Shum Kwan-sin, Chan Taili, dan Lai Chun sejatinya sedikit inkonsisten perihal pembangunan dunia. Ada kalanya Kowloon adalah tempat kumuh namun dihuni manusia-manusia baik yang membuatnya terasa hangat, hanya untuk digambarkan sebagai area kejam minim kemanusiaan. Membingungkan. Satu yang pasti, Lok-kwan betah tinggal di sana.
Si lelaki pengungsi menemukan rumahnya, apalagi setelah ia menjalin persahabatan dengan Shin (Terrance Lau) si tangan kanan Cyclone, AV (German Cheung) yang bertindak selaku ahli medis di Kowloon, dan Twelfth Master (Tony Wu). Hubungan keempatnya (juga koneksi masa lalu antara Cyclone dan Jim) menciptakan narasi khas sinema Hong Kong yang melibatkan persahabatan, pengkhianatan, dan tentunya tragedi.
Alih-alih merombak pakem khas genrenya, Twilight of the Warriors: Walled In memilih untuk memaksimalkannya. Tidak ada yang baru, tapi filmnya mampu mempresentasikan kisah formulaik tersebut secara menarik. Saya pun dibuat lupa pernah menyaksikan cerita serupa puluhan atau bahkan ratusan kali.
Tapi tiada yang lebih memukau dibanding eksekusi aksinya. Pengarahan Soi Cheang, tata kamera Cheng Siu-keung, dan koreografi Kenji Tanigaki saling berpadu sempurna melahirkan aksi yang tidak asal brutal, tapi mengandung setumpuk ide segar yang mungkin tak pernah penonton bayangkan. Sempitnya lokasi bukanlah batasan, melainkan tantangan yang diubah jadi keunggulan. Begitu banyak momen yang sanggup memunculkan decak kagum terkait caranya mengolah baku hantam di ruang sempit.
Para pemainnya turut berjasa merealisasikan visi liar sang sutradara dalam menyusun aksi, termasuk jajaran nama senior seperti Sammo Hung yang tetap lincah di usia 70 tahun dan Louis Koo dengan karisma di balik kacamata hitam serta kepulan asap rokok. Tokoh-tokohnya bergelantungan di bus tingkat, melakukan gerakan parkur berbahaya di gedung tinggi, sampai melompati motor yang melaju kencang. Sungguh pameran aksi yang gila.
REVIEW - IPAR ADALAH MAUT
Normalnya saya mengharapkan kondisi studio yang tenang saat menonton, namun sekali waktu ada pengecualian. Misal di film MCU. Sorak sorai bercampur tepuk tangan meriah para penggemar justru dicari demi pengalaman teatrikal yang maksimal. Tapi tidak pernah terbayang pengalaman serupa bakal dimunculkan oleh sebuah film bertema perselingkuhan yang diangkat dari kisah nyata viral di Tiktok.
Tontonan macam Ipar Adalah Maut tentunya bukan barang baru di perfilman tanah air. Layangan Putus misalnya. Sama-sama bertema perselingkuhan, pula hasil adaptasi konten media sosial. Tapi belum ada yang digarap sekuat kisah yang awalnya diviralkan oleh Eliza Sifa (berdasarkan cerita pengikutnya) ini. Setiap teriakan serta caci-maki yang terdengar di studio bukanlah bentuk gangguan, melainkan luapan emosi yang mewakili isi hati.
Entah kebetulan atau ada alasan lain, suami tak setia di film ini pun bernama Aris (Deva Mahenra). "Mas Aris", begitu ia dipanggil dengan penuh kasih sayang oleh istrinya, Nisa (Michelle Ziudith). Citra Aris memang begitu sempurna. Seorang pria soleh, suami penyayang, ayah penuh cinta, sekaligus dosen teladan.
Kesempurnaan tanpa cela justru semestinya meninggalkan rasa curiga, tapi Nisa terlanjur menaruh rasa percaya kepada Mas Aris. Alhasil, ketika sang ibu (Dewi Irawan) meminta Nisa memperbolehkan adiknya, Rani (Davina Karamoy), tinggal di rumahnya selama berkuliah, ia langsung setuju. Nisa si perempuan religius melupakan perkataan Rasulullah yang diriwayatkan sebuah hadis: "Ipar adalah maut".
Kita semua tahu Aris bakal berselingkuh dengan Rani. Bukannya melucuti kesenangan saat menonton, pemahaman itu malah menambah daya hibur. Pasalnya, naskah buatan Oka Aurora (Ayah Mengapa Aku Berbeda?, Strawberry Surprise, Layangan Putus) jeli menyelipkan baris-baris kata yang mengandung "petunjuk" mengenai perselingkuhan yang bakal terjadi. Setiap ada kata semacam itu terdengar, seisi studio langsung kompak menggerutu, mengeluhkan kepalsuan Mas Aris.
Begitu juga terkait alurnya yang mengikuti formula ala drama opera sabun yang super dramatis. Sekali lagi, pemahaman akan formula tersebut mendorong penonton menantikan tibanya berbagai momen khas genrenya (salah satunya saat Nisa menangkap basah sang suami). Ketika momen-momen itu akhirnya datang, eksekusinya memuaskan.
Di kursi sutradara, Hanung Bramantyo paham betul tipikal film seperti apa yang target pasarnya mau. Alurnya bergerak dalam tempo cepat tanpa basa-basi, sementara pengadeganannya serba gamblang apa pun emosinya, didukung oleh kemegahan di segala sisi, dari tata musik hingga sinematografi.
Di antara jajaran pemain, Michelle Ziudith adalah yang paling berhasil memunculkan semangat yang sama. Apalagi saat Nisa mengonfrontasi Aris terkait perselingkuhannya. Seolah belajar dari kitab akting ala "Golden Age of Hollywood", Michelle tampil eksplosif, melontarkan teriakan diiringi ekspresi serta gestur serba "besar".
Ipar Adalah Maut berhasil menghibur lewat segala lini, termasuk humor yang dimotori Susilo "Den Baguse Ngarso" Nugroho sebagai Junaedi si dosen penyuka tebak-tebakan garing, Devina Aureel sebagai Manda yang merupakan teman terdekat Nisa, hingga penampilan singkat dari Asri Welas.
Tapi walau berstatus popcorn cinema, film ini menolak bersikap bodoh. Perspektif naskahnya dalam memandang perselingkuhan cenderung berimbang, termasuk dengan ketiadaan cap "pelakor" bagi perempuan yang terlibat perselingkuhan. Ipar Adalah Maut membuktikan bahwa masih ada ruang bagi peningkatan kualitas di tipikal film seperti ini.
REVIEW - DILAN 1983: WO AI NI
Konon seri Dilan merupakan kisah nyata masa muda kreator novelnya, Pidi Baiq (juga menyutradarai sekaligus menulis naskah untuk seluruh adaptasi layar lebarnya). Tapi baru pada Dilan 1983: Wo Ai Ni tercium aroma biografi dalam penceritaannya. Seperti album kenangan mengenai dunia anak kecil yang penuh warna.
Mengingat Dilan dikenal lewat romantika sarat rayuan gombal, dan kali ini giliran sosoknya semasa SD yang diceritakan, banyak pihak khawatir filmnya bakal mengajarkan anak-anak berpacaran. Nyatanya tidak demikian. Tidak ada yang berlebihan dalam rasa suka Dilan (M. Adhiyat) kepada Mei Lien (Malea Emma Tjandrawidjaja) si murid baru. Sebatas cinta monyet.
Dilan cilik pun bukan cuma mengisi harinya dengan percintaan. Di sela-sela upayanya menarik perhatian Mei Lien (lewat cara-cara yang "sangat Dilan"), kita juga diajak menengok rutinitas Dilan bersama teman-teman, bagaimana ia dan keluarga menyikapi berita mengenai Petrus yang mulai marak, hingga berbagai kenakalan yang membuatnya jadi target omelan orang di masjid (rasanya banyak dari kita pernah mengalami hal serupa).
Naskah yang ditulis Pidi bersama Alim Sudio mengubah momen-momen di atas menjadi kumpulan fragmen. Terkadang fragmen-fragmen itu bergerak kurang mulus, akibat naskahnya memaksakan adegan minim substansi untuk disertakan. Misal ketika Dilan dan teman-teman memakan mangga di pos ronda. Selain terlalu singkat, peristiwa itu pun tak memiliki dampak pada narasi utama. Seolah Pidi terlalu sayang untuk membuang salah satu keping memorinya.
Benar bahwa Dilan cilik tidak cuma membicarakan cinta, tapi bukan berarti elemen itu dikesampingkan begitu saja. Biarpun gelar "pemain terbaik" pantas disematkan pada Keanu Azka (sebagai Nanang, sahabat Dilan) dengan berbagai polah lucunya, Adhiyat yang makin matang seiring pertambahan usia, juga Malea yang nampak betul sudah berpengalaman di depan kamera (ia angkat nama lewat After Yang buatan Kogonada), turut berjasa membangun rasa manis dalam cinta monyet Dilan dan Mei Lien.
Apabila dibandingkan judul-judul lain, kadar percintaan milik Dilan 1983: Wo Ai Ni memang tergolong minim. Tapi menariknya, ia punya salah satu adegan romantis paling manis dalam sejarah franchise-nya, yakni adegan sewaktu film ini memanfaatkan coretan kapur. Manis sekaligus kreatif. Mungkin bisa disebut "sangat Dilan".
Pesan yang coba disampaikan pun relevan dan penting, baik bagi penonton anak maupun dewasa. Dilan 1983: Wo Ai Ni mengajak kita untuk berpikiran terbuka dalam segala hal. Berpikiran terbuka sewaktu menghadapi kenakalan anak; berpikiran terbuka menyikapi perbedaan suku, agama, serta ras sebagaimana hubungan Dilan dengan Mei Lien; berpikiran terbuka dalam persoalan gender, seperti saat Bunda (Ira Wibowo) menyopiri keluarganya, mengendarai mobil jip yang begitu gagah, meski sang suami (Bucek Depp) yang notabene seorang tentara dengan segala citra maskulinnya ada di sana.
REVIEW - INSIDE OUT 2
Inside Out 2 menghadapi misi yang mustahil untuk menandingi kualitas film pertamanya, yang merupakan salah satu animasi terbaik sepanjang masa. Tapi ia adalah sekuel yang layak. Penonton anak bakal terhibur menyaksikan petualangan para emosi, sementara penonton dewasa akan merasakan kedekatan dengan kisah pendewasaannya.
Tapi supaya mendapat kepuasan tersebut, kita mesti memaklumi lubang yang tercipta. Inside Out (2015) jelas dibuat tanpa memikirkan sekuel. Bangunan dunianya pun sudah paten, termasuk soal lima emosi dasar yang tinggal dalam kepala karakternya. Alhasil, sewaktu film kedua menambah empat emosi baru, muncul tanya perihal kontinuitas.
Riley (Kensington Tallman) kini berusia 13 tahun, yang artinya, ragam dinamika emosi baru akibat pubertas pun mesti ia hadapi. Di dalam kepala Riley, kondisi itu diwakili oleh hancurnya ruang kontrol emosi yang membuat Joy (Any Poehler), Sadness (Phyllis Smith), Anger (Lewis Black), Fear (Tony Hale), dan Disgust (Liza Lapira) kelimpungan. Belum lagi saat datang empat emosi baru: Anxiety (Maya Hawke), Envy (Ayo Edebiri), Embarrassment (Paul Walter Hauser), dan Ennui (Adèle Exarchopoulos).
Keempat emosi baru tadi mewakili proses tumbuh kembang remaja memasuki fase kehidupan yang lebih kompleks. Tapi mengapa di film pertama tak satu pun orang dewasa memiliki mereka? Naskah buatan Meg LeFauve dan Dave Holstein tak mampu menawarkan penjelasan yang memuaskan.
Lubang di atas cukup mengganggu, namun jika sebagai penonton kita bisa menerapkan suspension of disbelief dan melupakan satu kebodohan tersebut, maka deretan kepintaran khas Inside Out telah menanti untuk memancing decak kagum. Gagasan kreatif terkait "dunia dalam kepala manusia" miliknya berhasil dikembangkan, walau ada kalanya film ini bak terbebani oleh presentasinya yang makin kompleks sehingga terkesan sibuk sendiri.
Kita diajak menembus badai ganas bernama "brainstorm", pula memasuki penjara gelap tempat dikurungnya berbagai rahasia Riley. Di situlah humor terlucu filmnya hadir kala memarodikan keabsurdan ala Dora the Explorer. Ketika penonton dewasa tergelitik oleh referensinya, penonton anak pun bakal menertawakan kekonyolannya. Tercapailah keseimbangan.
"Keseimbangan" menjadi poin penting dalam Inside Out 2. Kisahnya menyoroti keseimbangan antara hal baru dan lama. Di kamp hoki yang ia ikuti, Riley merasa harus memilih antara dua sahabat lamanya, atau teman-teman baru yang lebih keren. Muncul gesekan antara masa lalu dengan masa depan.
Padahal semestinya individu tidak harus memilih. Sebagaimana sewaktu Joy (yang mewakili keresahan banyak penonton) berkata, "I can't stop anxiety". Kecemasan bukan musuh yang wajib dilenyapkan. Dia adalah bagian kerumitan tumbuh kembang yang eksistensinya diperlukan, meski pada akhirnya kita tetap mengidamkan kebahagiaan.
Kedekatan yang Inside Out 2 bawa dalam eksplorasi terkait poin di atas mampu diterjemahkan oleh Kelsey Mann selaku sutradara menjadi deretan pemandangan menyentuh terutama di babak akhir, biarpun filmnya tak diberkahi momen emosional setingkat adegan "Take her to the moon for me" dari film pertama.
REVIEW - HIT MAN
Richard Linklater adalah sineas yang fleksibel. Kerap melakukan produksi tanpa naskah yang pasti, juga kecenderungan menanggalkan struktur saklek narasi, jadi beberapa bukti. Tengok pula tema yang luar biasa beragam di karya-karyanya. Sehingga merupakan proses natural saat melalui Hit Man ia membahas soal fleksibilitas. Bagaimana kebakuan semestinya tidak menguasai diri manusia, moralitas, dan hal-hal lain dalam kehidupan.
Kali ini sang sutradara menyalurkan sisi Hitchcockian dalam dirinya, dengan mengadaptasi artikel majalah Texas Monthly berjudul sama buatan Skip Hollandsworth (pernah menulis Bernie bersama Linklater, yang juga mengadaptasi artikel miliknya dari majalah tersebut). Kisahnya bersentral pada keseharian Gary (Glen Powell), seorang dosen psikologi yang bekerja sambilan di kepolisian New Orleans.
Awalnya Gary hanya teknisi yang membantu misi-misi penyamaran guna menangkap tersangka penyewa pembunuh bayaran, namun saat si agen lapangan mendapat skors, Gary terpaksa turun menggantikannya. Gary harus menyamar sebagai pembunuh bayaran, menemui si penyewa jasanya, lalu memancing pengakuan terkait niat pembunuhan supaya polisi mendapat bukti untuk menangkapnya.
Sederhana, tapi protagonis kita punya pandangan lain. Berbasis minatnya terhadap psikis manusia, Gary enggan asal menyamar. Dia ciptakan banyak karakter dalam berbagai persona, yang disesuaikan dengan kepribadian tiap klien. Memuaskan hasrat mereka terkait sosok pembunuh bayaran jadi tujuan Gary, walau tanpa sadar ia pun berusaha memuaskan diri sendiri.
Gary percaya bahwa kepribadian manusia tidak bisa diubah, namun aktivitas menyamar ini mulai memunculkan pandangan lain. Apalagi ia acap kali merasa lebih nyaman menjalani hari sebagai karakter rekaannya. Serupa Holy Motors (2012) buatan Leos Carax, Hit Man menghadirkan observasi mengenai seni peran. Bagaimana akting beserta segala eksplorasinya memunculkan proses belajar. Tentang dunia sekitar, tentang orang lain, dan terpenting, tentang diri sendiri.
Di departemen akting, Glen Powell berhasil menyuntikkan daya hibur melalui eksplorasinya kala mengenakan banyak "wajah". Momen paling memuaskan adalah melihat Gary si dosen kutu buku bertransformasi menjadi Ron si pembunuh bayaran keren yang penuh rasa percaya diri. Akibat persona Ron inilah Gary terlibat hubungan kompleks dengan Madison (Adria Arjona), salah satu klien yang memintanya membunuh sang suami.
Meski menulis naskahnya berdua bersama Powell, Linklater sama sekali tak kehilangan cirinya. Baris kalimat yang mampu menggelitik tanpa terasa memohon tawa penonton, obrolan-obrolan acak yang berguna membangun hubungan antar karakter, hingga kemampuan mengolah interaksi sederhana menjadi situasi yang begitu kuat menarik atensi. Sewaktu babak akhirnya sukses melahirkan cerminan bagi suguhan twisty ala Hitchcockian, hanya saja dalam versi yang lebih ringan.
(Netflix)
REVIEW - HARTA TAHTA RAISA
Selepas menonton Harta Tahta Raisa, saya tahu bagaimana masa kecil si penyanyi, perjalanan karir termasuk diskografi lengkapnya, anggota tim yang menyokong karirnya, seperti apa lingkungan kerjanya, persiapan konser tunggalnya tahun lalu, hingga fakta terkait "urban legend" bahwa ia mandi memakai air galon. Dokumenter karya Soleh Solihun ini memang tampil informatif nan lengkap. Saking lengkapnya, ada kesan Soleh terlampau ambisius dalam bercerita.
Proses menuju konser tunggal di Gelora Bung Karno menyatukan berbagai kisah, yang masing-masing mewakili keping kehidupan seorang Raisa Andriana. Beberapa rintangan sempat dihadapi jelang Hari-H. Sebutlah hujan yang mengguyur di tengah gladi, pertandingan timnas yang tiba-tiba digelar di tengah lapangan yang telah mulai ditata, sampai ujian terberat kala puterinya, Zalina, jatuh sakit.
Ada cukup materi untuk melahirkan dokumenter menggigit berisi persiapan konser, tapi filmnya kesulitan menjaga intensitas karena sering "mampir" di cabang penceritaan lain. Setiap cabang menyimpan potongan fakta yang membantu penonton lebih mengenal sosok Raisa, namun ada kalanya kita singgah terlalu lama di satu titik, sehingga momentum jelang konser tunggal gagal dijaga.
Tapi jika memandang Harta Tahta Raisa layaknya artikel atau berita yang bertujuan menambah pemahaman mengenai subjeknya, Soleh Solihun membuktikan kalau ia adalah jurnalis yang mumpuni. Secara cerdik ia susun film ini sebagai proses "menengok ke belakang". Momen pertama Raisa bercerita kepada kamera mengambil latar sehari setelah konser, sebab Soleh ingin mengajak penonton melihat lewat kacamata sang diva yang merenungkan perjalanan panjang karirnya. Bagaimana dalam 13 tahun ia bertransformasi dari bernyanyi di depan pengunjung cafe menjadi bernyanyi di atas panggung GBK yang disaksikan 42 ribu orang.
Sebagaimana jurnalis kelas satu, Soleh mengumpulkan banyak narasumber kemudian melakukan penggalian sedalam mungkin. Bersama Adryanto "Boim" Pratomo selaku manajer sekaligus partner bisnis kita mempelajari jatuh bangun karir Raisa, sementara sesi wawancara dengan sang suami, Hamish Daud, menciptakan momen manis yang mampu memunculkan senyum.
Babak akhir Harta Tahta Raisa tampil cukup emosional. Tatkala Raisa bersimpuh di tengah panggung pada akhir konser, sementara Boim duduk di bawah panggung dengan air mata mengalir deras, di situlah filmnya menghadirkan dampak emosional. Sebuah payoff bagi para individu yang dengan penuh semangat, rela bertempur melawan beragam kesulitan guna mewujudkan sesuatu yang mereka impikan.
Terpenting, sebagai dokumenter, film ini mampu memotret realita mengenai Raisa, yang di balik status diva serta mitos-mitos mengenai dirinya, ternyata hanya manusia biasa. Manusia yang mengkhawatirkan kondisi buah hatinya, manusia yang malu-malu mendengar cerita romantis dari masa lalu, manusia yang bakal merasa gugup bila diharuskan berjalan di depan puluhan ribu penonton.
REVIEW - BAD BOYS: RIDE OR DIE
Memasuki film keempat dengan usia franchise yang mendekati kepala tiga, Bad Boys memutuskan untuk mengambil ilmu seri Fast & Furious terkait metode memperpanjang usia. Gelaran aksi semakin kental inovasi, pernyataan "one last ride" di judul sebelumnya dikoreksi, sedangkan kisah serta karakter masa lalu dikunjungi kembali guna mengembangkan (baca: memanjangkan) ceritanya. Oh, dan tentunya keluarga dijadikan aspek terpenting.
Belum ada karakter yang hidup kembali di sini. Setidaknya bukan secara harfiah, karena Kapten Conrad Howard (Joe Pantoliano) yang tewas di Bad Boys for Life (2020) tidak dibiarkan tenang di kuburnya, tatkala muncul bukti bahwa ia terlibat tindak korupsi yang menghubungkannya dengan sebuah kartel. Tentu dua jagoan kita, Mike (Will Smith) dan Marcus (Martin Lawrence) menolak tinggal diam.
Seiring upaya keduanya membersihkan nama mendiang sang kapten, peristiwa-peristiwa lama dikupas lagi untuk dipertanyakan kebenarannya, sementara Armando (Jacob Scipio), putera Mike yang menjadi antagonis di film ketiga, kini berbalik ada di pihak sang ayah sebagai bahan baku bagi kisah seputar keluarga. Chris Bremner dan Will Beall bak menulis naskahnya selepas berdiskusi dengan Chris Morgan.
Hasilnya adalah pembaruan tanpa harus berubah terlalu radikal sampai mengalienasi para penggemar. Bad Boys: Ride or Die tampil segar sekaligus familiar. Mike dan Marcus masih terus beradu argumen, biarpun sekarang kepribadian mereka bak tertukar.
Pasca nyaris tewas akibat serangan jantung Marcus bertransformasi menjadi individu yang tidak takut pada maut. Sebaliknya, didorong kekhawatiran akan keselamatan orang-orang terdekatnya, Mike yang dikenal sinting justru mengalami gangguan kecemasan.
Bagaimana elemen tersebut ditangani (kemudian diberi konklusi) oleh naskahnya mungkin tak menghasilkan penelusuran psikis mendalam, namun daya hiburnya harus diakui cukup efektif. Apalagi ditunjang chemistry kuat dua aktornya dalam melakoni banter, materi humor yang sebenarnya tidak selalu tepat sasaran pun minimal selalu memancing senyum berkat kehebatan mereka (terutama Lawrence) dalam menangani komedi.
Tapi jika nantinya Ride or Die terbukti memperpanjang napas Bad Boys, tidak ada yang lebih berjasa dibanding duo Adil El Arbi dan Bilall Fallah di kursi sutradara. Inovasi yang mereka bawa bersama sang penata kamera, Robrecht Heyvaert, sungguh luar biasa. Hampir tidak ada adegan aksi yang digarap ala kadarnya.
Pertarungan di atas pesawat yang mengudara, hingga sekuen penyerbuan di babak puncak, tampil layaknya ruang pameran bagi ragam bentuk inovasi gerak kamera sarat kreativitas. Liar, dinamis, seru. Film ini jelas memilih "ride" daripada "die". Bukan sekadar berkendara santai, namun melaju sekencang mungkin.
REVIEW - GODZILLA MINUS ONE
Sungguh waktu yang menggembirakan bagi penggemar Godzilla. Ada masa sosok Godzilla dipakai sebagai alegori terhadap dampak ledakan bom atom, ada pula masa ia menjadi jagoan pelindung dalam rangkaian pertarungan over-the-top antar monster raksasa. Tapi sekarang para penggemar mendapatkan keduanya. Monsterverse memberi throwback ke nuansa cheesy khas banyak produk era Showa, sedangkan melalui Godzilla Minus One, Toho melahirkan salah satu cerita humanis terbaik yang pernah franchise ini tuturkan.
Judulnya merefleksikan kondisi Jepang yang berada di titik nadir selepas Perang Dunia II. Kōichi Shikishima (Ryunosuke Kamiki) merupakan salah satu penyintas perang, namun selain tercekik kemiskinan, hidupnya pun menderita akibat rasa bersalah. Shikishima adalah pilot kamikaze yang kabur dari misi, memilih bertahan hidup ketimbang mengorbankan nyawa bagi kejayaan bangsa. Tapi patutkah hal itu dianggap aib?
Di tangan Takashi Yamazaki selaku sutradara sekaligus penulis naskah, Godzilla Minus One membicarakan soal kehidupan dengan menyentil tentang bagaimana manusia, atau dalam konteks film ini bangsa Jepang, dirasa kurang menghargai nyawa. Kondisi tersebut dirangkum oleh adegan pembukanya, kala Shikishima menyaksikan banyak sejawatnya dibantai oleh Godzilla.
Di situ Shikishima terlalu takut untuk melepaskan tembakan sehingga disalahkan atas kematian rekan-rekannya. Tapi kalau diperhatikan, sejatinya Godzilla takkan melakukan pembantaian andai prajurit lain melakukan hal seperti Shikishima: tidak menembak duluan. Pecahnya peperangan pun diakibatkan kondisi serupa. Shikishima yang takut terbunuh dan membunuh bukanlah pengecut. Justru dia adalah manusia yang menghargai kemanusiaan.
Nantinya kita bakal menyaksikan Godzilla perlahan-lahan melebarkan teritorinya ke area perkotaan, sementara umat manusia berjuang melindungi diri sendiri serta orang-orang tercinta. Bagi Shikishima, orang itu adalah Noriko Ōishi (Minami Hamabe), gadis yang ia berikan tempat tinggal.
Yamazaki memastikan bahwa Godzilla Minus One menyeimbangkan dua sisi, yakni selaku blockbuster megah dan kisah humanis yang menggugah. Didukung efek visual realistis meski cuma bermodalkan biaya tidak sampai 10% dari Godzilla x Kong: The New Empire (yang membawa filmnya menyabet piala Oscar), sang sutradara menumpahkan segala talenta artistiknya.
Bersama Kōzō Shibasaki selaku penata kamera, Yamazaki begitu cerdik mengolah shot demi shot yang membuat setiap kemunculan Godzilla di layar tidak terasa percuma. Si Raja Monster nampak perkasa, garang, bahkan tak jarang mengerikan. Dia berenang cepat mengikuti kapal kayu yang ditumpangi Shikishima, dengan beberapa bagian tubuhnya mencuat ke permukaan. Akhirnya ada film Godzilla yang mengambil terinspirasi dari Jaws (1975). Sungguh kreatif.
Sesekali kita mendengar kalimat-kalimat kaya rasa hasil tulisan Yamazaki ("Kami meninggalkan masa depan untukmu", "Belum pernah berperang itu sesuatu yang harus dibanggakan", dll.), yang makin menegaskan visi sang sineas. Segala peperangan dan kehancuran dalam Godzilla Minus One digarapan tersaji epik, salah satunya berkat musik gubahan Naoki Satō yang dapat terdengar intens maupun menyentuh sesuai kebutuhan. Bukan sebatas aksi bombastis kosong, melainkan ledakan perjuangan manusia didasari kecintaan pada hidup.
Begitulah manusia. Mereka enggan dikirim untuk mati di luar kemauan, tapi bukan mustahil bersedia bertaruh nyawa bagi sosok tercinta. Jika pemerintah dan militer bak menerjunkan pasukan ke medan perang untuk mati, rakyat sipil bertarung untuk hidup di masa depan.
(Netflix)
REVIEW - THE GARFIELD MOVIE
"Animasi bukan semata konsumsi anak" adalah pernyataan yang harus selalu ditekankan. Seiring waktu, jumlah film yang membuka mata publik mengenai hal tersebut semakin bertambah. Tapi di sisi lain, memang benar bahwa banyak animasi yang berorientasi pada penonton anak, dibuat untuk menghibur mereka, sementara orang dewasa yang menemani dibiarkan terjebak rasa bosan.
The Garfield Movie termasuk salah satunya. Film yang menandai pertama kalinya animasi Garfield tayang di layar lebar ini (tiga judul sebelumnya langsung dirilis dalam format DVD) punya semua poin yang tercantum dalam daftar keklisean, dari alur generik hingga lelucon slapstick yang hanya mampu mendatangkan senyum simpul. Beberapa kali ia coba memancing reaksi "aaaah" dari penonton dengan cara yang luar biasa malas, yakni menyelipkan video-video kucing yang sempat viral di media sosial.
Konfliknya berpusat pada reuni Garfield (Chris Pratt) dengan ayahnya, Vic (Samuel L. Jackson). Garfield membenci Vic karena merasa dibuang sewaktu kecil, sebelum akhirnya ia tinggal bersama Jon (Nicholas Hoult) dan seekor anjing bernama Odie (Harvey Guillén). Ketika Jinx (Hannah Waddingham) si kucing persia berniat membalas dendam atas perbuatan Vic di masa lalu, ayah dan anak ini pun dipaksa mengesampingkan perbedaan mereka.
Jurang perbedaan hadir karena Garfield adalah kucing rumahan pemalas yang menikmati kenyamanan, sedangkan Vic tergolong kucing liar dengan kehidupan keras di jalanan. Masalahnya, kecuali di adegan "naik kereta", komparasi tersebut luput dieksplorasi. Garfield tidak pernah benar-benar mempelajari trik bertahan hidup di jalanan dari sang ayah, begitu pula sebaliknya.
Alurnya mulai menemukan daya tarik begitu karakter Otto (Ving Rhames) dan Ethel (Alicia Grace Turrell) diperkenalkan. Mereka adalah sepasang kekasih sekaligus mantan maskot sebuah peternakan, yang terpisah selepas Otto diusir (hal bodoh sekaligus tidak masuk akal, bahkan untuk ukuran film yang tak memerlukan logika seperti ini). Bagaimana Otto si banteng bertampang seram begitu tergila-gila kepada Ethel dan selalu memakai kata-kata manis nan hiperbolis saat mendeskripsikan si sapi betina mampu memberi hiburan tersendiri.
Sekali lagi, The Garfield Movie memang dikhususkan bagi para bocah. Mereka bakal menertawakan humornya sembari menikmati gambar warna-warni yang sebenarnya tidak spesial bila melihat perkembangan kualitas visual di industri animasi belakangan. Tapi apa salahnya membiarkan anak-anak bersenang-senang?
Setidaknya ia masih punya daya hibur, terutama di babak ketiga yang digarap penuh tenaga oleh Mark Dindal selaku sutradara. Penonton anak pun bisa memperoleh pesan berharga mengenai keluarga, yang akan terasa dekat bagi yang pernah mempertanyakan kasih sayang sang ayah akibat jarang hadir di hidup mereka. Adegan "pohon" menjadi pondasi emosinya. Pendekatannya yang dibarengi musik mengharu biru terkesan manipulatif, namun terbukti efektif mengaduk-aduk perasan.
3 komentar :
Comment Page:Posting Komentar