REVIEW - THE BIKERIDERS

1 komentar

Jika buku foto berjudul sama buatan Danny Lyon yang menginspirasi The Bikeriders merupakan potret sebuah era, maka film karya Jeff Nichols (Take Shelter, Mud, Loving) ini mengajak penonton menjadi saksi proses berakhirnya era tersebut. Ketika apa yang manusia bangun perlahan lenyap, sementara satu demi satu individu datang dan pergi. Menyaksikan era yang pupus selalu menyakitkan, tapi mungkin memang begitulah jalan kehidupan.

Seiring memuncaknya subkultur motor di tahun 60-an, Johnny (Tom Hardy) memutuskan mendirikan klub motor sendiri, pasca dibuat terpukau oleh sosok Marlon Brando di The Wild One (1953), di mana sang aktor memerankan biker yang juga bernama Johnny. Klub itu kemudian berkembang menjadi geng bernama Vandals MC. 

Salah satu anggotanya adalah Benny (Austin Butler), si pemuda liar tanpa rasa takut yang selalu menyulut keributan. Di adegan pembuka, Benny terlibat perkelahian dengan dua pria akibat menolak melepas jaket berlogo Vandals MC yang ia kenakan. Di mata Johnny, Benny mewakili nilai-nilai kebebasan yang dahulu mendorongnya mendirikan geng motor. 

Tapi Kathy (Jodie Comer) awalnya tidak terkesan dengan tingkah polah Vandals MC. Kathy adalah narator kita. Apa yang muncul di layar merupakan hasil wawancaranya dengan Danny Lyon (Mike Faist) yang dilakukan pada tahun 1965 dan 1973. Comer dengan aksen midwestern miliknya, tampil menonjol di tengah kumpulan laki-laki pemuja maskulinitas, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak kalah (bahkan mungkin lebih) tangguh dari mereka. 

Wajar Kathy merasa tidak nyaman. Vandals MC diisi oleh orang-orang yang takkan disebut "baik" atau "menyenangkan" oleh masyarakat. Sebutlah Cockroach (Emory Cohen), yang sesuai nama panggilannya, gemar memakan kecoa. Ada pula Zipco (Michael Shannon) dengan dandanan lusuh serta kebenciannya terhadap orang-orang berpendidikan yang ia panggil "pinko". 

Nichols yang turut menulis naskah tidak berusaha menjustifikasi pola pikir maupun perilaku ketinggalan zaman milik orang-orang seperti Zipco (yang tentunya memenuhi Vandals MC). Serupa Lyon dan buku fotonya, Nichols sebatas menangkap realita suatu masa. Seperti buku foto itu pula, Nichols menggerakkan narasi The Bikeriders bak keping-keping memori yang tak membentuk satu konflik utama. 

Melalui sudut pandang Kathy, kita memahami bahwa di luar berbagai perangai buruk mereka, anggota Vandals MC sesungguhnya hanya sekumpulan manusia terbuang yang saling menemukan, kemudian bersama-sama merindukan kebebasan. Di situlah rasa nyaman mulai mengisi hati Kathy, seiring romansa yang ia jalin dengan Benny. 

Penceritaan Nichols bergulir pelan namun tidak berlarut-larut, sembari sinematografi arahan Adam Stone mengubah foto-foto Lyon menjadi gambar bergerak yang tak jarang menampakkan keindahan. Misal sewaktu obrolan Johnny dan Benny terasa makin intim karena cuma diterangi lampu temaram yang membuat sosok keduanya bak siluet. 

Jika Austin Butler tampil bak versi modern dari James Dean, maka Tom Hardy berperan layaknya gabungan Johnny-nya Marlon Brando di The Wild One dan Vito Corleone dari The Godfather (1972). Tapi ketika Vito menyambut akhir eranya dengan tangan terbuka, Johnny justru menderita kala mendapati "keluarga" Vandals MC tak lagi menjunjung asas kekeluargaan seiring bertambahnya jumlah anggota, serta pergeseran Amerika menuju era yang lebih kelam. 

Begitu The Bikeriders memasuki destinasi akhir, tebersit rasa getir mendapati ke mana hidup tokoh-tokohnya bermuara. Sekali lagi, mungkin memang begitulah jalan kehidupan. Itulah realita. Tapi bukankah menerima fakta dan menyerah pada realita yang tak selalu membawa bahagia justru terasa menyesakkan?

1 komentar :

Comment Page: