REVIEW - ALL WE IMAGINE AS LIGHT
Ketika berkendara pada malam hari, seringkali saya mengamati para individu yang meramaikan tiap sudut kota. "Kenapa orang di warung itu makan seorang diri? Benda apa yang dibeli dua gadis muda di minimarket seberang? Apa yang membuat sepasang kekasih di ujung jalan tertawa bahagia?", barisan tanda tanya semacam itu pun mencuat. Rasanya Payal Kapadia selaku sutradara sekaligus penulis naskah All We Imagine as Light juga punya pemikiran serupa, yaitu bahwa semua manusia menyimpan cerita.
Padatnya Mumbai mengawali filmnya. Orang-orang lalu-lalang sepulang kerja. Jalanan penuh sesak, begitu pula transportasi umum seperti kereta. Salah satu penumpangnya adalah suster bernama Prabha (Kani Kusruti). Apa yang Prabha pikirkan ketika dari dalam kereta kala menatap kosong ke arah deretan gedung bertingkat di luar? Apakah ia mendambakan kemewahan? Atau terdapat kegamangan lain dalam batinnya?
Proses mempertanyakan ruang intim manusia memang menyimpan romantisme tersendiri. Seperti menyusun keping-keping puzzle yang tak dapat disentuh, namun bisa dirasakan. Ditemani nada-nada yang bak menari lincah melalui dentingan piano dalam lagu The Homeless Wanderer gubahan Emahoy Tsegué-Maryam Guèbrou, kita diajak pelan-pelan memecahkan teka-teki di hati karakternya.
Prabha tinggal bersama Anu (Divya Prabha), sesama suster malayali yang memiliki kepribadian berlawanan dengannya. Jika Prabha lebih banyak diam, maka Anu menjalani hidup dengan semangat. Ketika Prabha bagai pasrah dikuasai rasa sepi karena sang suami pergi ke Jerman sesaat setelah keduanya menikah dan tak terdengar kabarnya hingga kini, Anu tidak segan menjalin cinta dengan pria muslim bernama Shiaz (Hridhu Haroon) meski itu membuatnya jadi bahan gosip di tempat kerja.
Lalu ada Parvaty (Chhaya Kadam), tukang masak di rumah sakit sekaligus sahabat Prabha, yang sedang berjuang melawan penggusuran rumahnya. Timbul masalah akibat Parvaty tak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah. Sang suami meninggal tanpa pernah memberi tahu apa pun padanya.
Ketiga perempuan ini memiliki deritanya masing-masing, yang jadi contoh kasus bagaimana laki-laki, bahkan setelah mereka tiada (entah karena mati atau sebatas pergi), tetap mendatangkan masalah untuk perempuan. Anu memang mengejar cinta laki-laki, tapi karena itulah yang ia inginkan, dan bukan disebabkan oleh ketergantungan.
Payal Kapadia bisa saja mengemas All We Imagine as Light sebagai drama mengharu biru penuh ledakan emosi. Tapi bukan itu tujuannya. Kapadia ingin penonton merasakan penderitaan karakternya, tanpa melakukan eksploitasi. Adegannya bergulir begitu lirih, pula terasa puitis berkat cara sang sineas mempercantik dramatisasi.
Misal ketika Prabha mendekap erat penanak nasi yang secara misterius dikirim ke apartemennya. Tidak ada nama, tapi Jerman tertera sebagai alamat si pengirim, sehingga ia menduga barang itu dikirim oleh sang suami. Melalui dekapan dalam diam itulah Prabha menumpahkan segalanya. Kesepian, kerinduan, kesedihan, bahkan mungkin sumpah serapah.
Akting para pemainnya, terutama Kani Kusruti (juga bermain di satu lagi film India berkelas tahun di tahun 2024, Girls Will Be Girls) yang mampu berbicara lewat tatapan matanya, mendukung pendekatan sang sineas. Perjalanan para karakternya berhasil ditutup dengan sederhana tetapi amat indah. Ditemani alunan musik dreamy dari Imagined Light karya Topshe, tiga perempuan hebat itu akhirnya bisa sejenak menghela napas dan membiarkan diri mereka dipeluk oleh kebahagiaan.
(JAFF 2024)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar