REVIEW - WAKTU MAGHRIB 2
Sejak melakoni debut di Waktu Maghrib dua tahun lalu, Sidharta Tata telah membuat tiga film panjang (Ali Topan, Malam Pencabut Nyawa, Sakaratul Maut) dan dua serial (Pertaruhan: The Series, Zona Merah). Seolah telah menimba cukup ilmu, ia kembali untuk mengarahkan sekuelnya sebagai sosok yang berbeda. Bukan lagi pendatang baru, namun sutradara dengan kepercayaan diri tinggi yang telah menemukan kekhasannya.
Penonton yang pernah menyaksikan karya-karya lain Sidharta, baik film maupun serial, pasti tahu harus mengharapkan apa. Lupakan penampakan setor muka para hantu sebagaimana film pertama. Sang sineas lebih suka menghadirkan tawuran, aksi saling bacok, dan tentunya kejar-kejaran dengan aspek teknis memukau. Waktu Maghrib 2 seperti kompilasi dari setumpuk signature sang sineas.
Bahkan alih-alih setan, kita lebih dahulu melihat tawuran, yang terjadi selepas pertandingan sepakbola junior. Yugo (Sultan Hamonangan) turut terlibat, sementara sepupunya, Wulan (Anantya Kirana), yang terpaksa datang untuk mengantarkan botol minum, cuma bisa melihat dengan kesal. Bagi Wulan yang tengah fokus mengejar beasiswa, datang ke lapangan sungguh membuang waktunya.
Selanjutnya serupa film pertama. Tim sepakbola Yugo belum tiba di rumah pasca waktu maghrib menjelang, mengucapkan permintaan buruk tanpa pikir panjang, lalu selepas sebuah kecelakaan, beberapa dari mereka hilang. Yugo selamat, namun mendapati keanehan dalam diri Wulan yang ia yakini sudah kerasukan kala tersesat di hutan.
Fenomena yang Wulan alami memberi Anantya Kirana kesempatan membuktikan statusnya sebagai aktor muda Indonesia paling berbakat saat ini. Kenaturalan bocah 14 tahun ini di depan kamera sungguh luar biasa, bahkan melebihi banyak pelakon dewasa.
Hal paling mengganjal dari naskah buatan Sidharta Tata, Khalid Kashogi, dan Bayu Kurnia Prasetya adalah kurangnya penggalian terhadap mitologi mistis, yang melahirkan inkonsistensi "aturan". Kita melihat warga desa buru-buru mengajak anak mereka masuk ke rumah begitu maghrib tiba. Tapi rupanya si hantu dapat dengan mudah menyusup ke dalam rumah. Waktu Maghrib 2 membantah mitologinya sendiri tanpa memberi penjabaran memadai.
Kisahnya mengambil latar 20 tahun setelah peristiwa film pertama, dan Adi (Omar Daniel), salah satu bocah yang selamat dari tragedi sebelumnya, kini kembali untuk mengakhiri teror jin Ummu Sibyan. Jangan bayangkan perjalanan epik beda masa sebagaimana dwilogi It buatan Andy Muschietti. Bukan mustahil Waktu Maghrib 2 mengambil inspirasi dari sana, tapi naskahnya luput menerapkan poin terpenting berupa eksplorasi karakter.
Karakter Adi luput digali. Sejauh mana trauma menghadapi teror Ummu Sibyan di masa kecil mempengaruhi tumbuh kembang serta kepribadian Adi, tak satu pun dipaparkan secara mendalam. Kedangkalan karakterisasi, ditambah minimnya eksplorasi terkait mitologi di balik sosok Ummu Sibyan, membuat Waktu Maghrib 2 cenderung melelahkan di beberapa titik.
Tapi tidak di saat Sidharta mulai memamerkan ciri khasnya. Modus operandi Ummu Sibyan yang tidak meneror korban secara langsung, melainkan mengendalikan pikiran anak-anak, berjasa menghindarkan film ini dari rangkaian jumpscare berisik, yang eksistensinya digantikan oleh kejar-kejaran dengan intensitas tinggi. Kreativitas tata kamera arahan Mandella Majid makin menguatkan ketegangan, kala Yugo jadi buronan rekan-rekan setimnya yang membekali diri dengan beragam senjata tajam. Andaikan intensitas tersebut mampu diterapkan pula di klimaksnya, yang seperti banyak horor lokal lain, seolah berlalu begitu saja.
Sidharta nampak bersenang-senang menjauhkan filmnya dari keklisean horor klenik, dengan membuat para antagonisnya lebih dekat ke arah zombie (serupa Zona Merah) atau segerombolan preman penyuka tawuran (Pertaruhan dan Ali Topan) alih-alih makhluk halus biasa. Selipan komedi yang "sangat tongkrongan Jogja" (digawangi trio Sadana Agung, Nopek Novian, dan Bagas Pratama Saputra), termasuk parodi sebuah video yang sempat viral beberapa waktu lalu, mungkin bakal memecah opini penonton, tapi sekali lagi, itu membuktikan keleluasaan sang sutradara untuk bersenang-senang.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar