REVIEW - THE UGLY STEPSISTER
Berbeda dengan kisah semua umur yang dipopulerkan Disney, versi buatan Brothers Grimm (berjudul Aschenputtel) menyertakan bagian saat kakak tiri Cinderella memotong jari kakinya sendiri untuk menipu pangeran. Dipublikasikan pada tahun 1812, mungkin itu salah satu contoh cerita body horror paling awal sepanjang sejarah, terutama yang menerapkan elemen subgenre tersebut untuk menyinggung perihal "beauty is pain".
Emilie Blichfeldt selaku sutradara sekaligus penulis naskah menyadari subteks tersebut, kemudian melahirkan film yang terasa seperti anak haram dari perkawinan sinting antara Cinderella dan The Substance. Di sini Cinderella bernama Agnes (Thea Sofie Loch Næss). Masih seorang gadis berambut pirang yang cantik. Begitu cantik, sampai si kakak tiri, Elvira (Lea Myren), cuma bisa diam terpukau pada pertemuan perdana mereka.
Sebagaimana judulnya, The Ugly Stepsister bukan mengetengahkan sudut pandang Agnes, melainkan Elvira, yang harus bergulat dengan standar kecantikan masyarakat. Dia memakai kawat gigi, hidungnya tidak mancung, tubuhnya berisi, dagunya berlipat. Harapannya menikahi Pangeran Julian (Isac Calmroth) pun terasa bak mimpi di siang bolong.
Blichfeldt menekankan realisme dalam penokohannya. Cinderella dan sang ibu tiri, Rebekka (Ane Dahl Torp), bukan dua kutub berlawanan. Cinderella mengakui bahwa keputusan sang ayah, Otto (Ralph Carlsson) yang meninggal di malam pernikahan untuk mempersunting Rebekka didasari alasan finansial. Rebekka sendiri tidak mengetahui bahwa Otto telah bangkrut. Sederhananya, si ibu tiri yang selama ini cuma kita kenal kekejamannya, merupakan korban penipuan Cinderella dan sang ayah.
Karakter Elvira pun diberi kompleksitas serupa. Dia bukan lagi sebatas saudari tiri yang bersikap jahat karena bawaan lahir, melainkan produk dari betapa destruktifnya standar kecantikan. Selama 105 menit durasinya, The Ugly Stepsister menyuguhkan potret berisi tahap demi tahap kehancuran Elvira yang di awal hanyalah gadis naif yang mendambakan cinta, baik secara fisik atau psikis.
Seolah ingin menegaskan pesan "jangan menilai buku dari sampulnya", Blichfeldt menerapkan banyak kontradiksi di berbagai aspek filmisnya. Pemandangan yang sejatinya disturbing acap kali dikemas dalam bentuk komedi, misal saat Elvira menyambangi Dr. Esthétique (Adam Lundgren) guna memermak penampilan fisiknya. Kunjungan ke tempat praktik si dokter mengajak penonton menertawakan obsesi akan kecantikan, yang bisa mendorong individu melakukan tindakan yang bukan cuma ekstrim, juga konyol.
Penampilan Lea Myren membawa dampak serupa. Kecanggungannya dalam bertutur kata, bergestur, atau saat sebatas tersenyum, mampu memantik simpati sekaligus rasa geli secara bersamaan. Alhasil, ketimbang tragedi biasa, proses Elvira menjemput kehancuran pun tersaji sebagai tragikomedi.
Lihat pula bagaimana The Ugly Stepsister nampak luar biasa cantik, dengan tata artistik khas period drama yang dibanjiri kemewahan, sinematografi yang acap kali mengingatkan ke sinema era 60-an hingga 70-an, pula musik serba elegan. Padahal di balik segala keindahan tersebut, film ini menyimpan berbagai situasi khas body horror, yang bahkan bakal membuat pecinta horor veteran sekalipun ingin memalingkan wajah sejenak dari layar.
Pengarahan Blichfeldt tidak asal mengumbar kekerasan. Dia pastikan kamera terus merekam kala kekerasan itu terjadi, supaya penonton dapat mengobservasi sampai ke detail terkecil. Selain dibuat "menyaksikan", karena detail yang tersaji lengkap tersebut, kita pun digiring untuk "membayangkan", sehingga akhirnya turut "merasakan" pengalaman si karakter. Merinding, ngilu, mual, semuanya menyatu membentuk pengalaman sinematik sinting yang akan susah dilupakan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar