Tampilkan postingan dengan label Corey Hawkins. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corey Hawkins. Tampilkan semua postingan

REVIEW - IN THE HEIGHTS

Pagi di Washington Heights. Seorang pria beranjak dari tempat tidur, tersenyum, lalu menggumam, "This is the best day of my life", sebelum membuka bodega yang telah ia kelola selama bertahun-tahun, sebagai warisan mendiang sang ayah. Di tengah perjalanan, permen karet menempel di sepatunya. Sejenak ia kesal, tapi seketika nyanyian, tarian, dan senyumannya kembali. Begitu pun saat menyadari dirinya kehabisan susu akibat rusaknya pendingin. 

Satu demi satu pelanggan datang. Bukan cuma berbelanja, pula bercengkerama, bergunjing, membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan. Kemudian kita diajak keluar, melihat aktivitas pagi hari seluruh warga, yang mayoritas merupakan keturunan imigran Puerto Rico. Kita melihat tiap sudut komplek, mengunjungi bisnis-bisnis yang dijalankan. Usnavi (Anthony Ramos) nama pemilik bodega tersebut. Dialah protagonis kita, namun In the Heights bukan semata tentangnya. Karena ini bukan kisah individu, melainkan komunal. 

Dan bukan kisah biasa. Para imigran kerap dipanggil "dreamers". Mereka memang pemimpi-pemimpi, yang hidup berlandaskan jiwa sueñitos (jika diterjemahkan secara harafiah berarti "mimpi kecil"). Digambarkan bahwa membeli lotere yang menjanjikan hadiah utama senilai 96 ribu dollar jadi bagian rutinitas. Jumlah yang dibeli tak seberapa. Gagal menang pun tidak masalah. Bukan wujud kemalasan, namun perlambang dari impian memperbaiki kehidupan yang tak pernah pupus, seburuk apa pun situasinya. Sebab In the Heights, meski mengangkat banyak perjuangan dan kesulitan, bukan film soal penderitaan. Sebaliknya, ini kisah mengenai mereka yang menganggap hidup adalah anugerah. Bahwa hidup, mimpi, dan cinta, patut dirayakan.

Usnavi punya mimpi pulang ke kampung halaman guna mengelola kembali bar pinggir pantai milik ayahnya. Satu lagi impiannya adalah berkencan dengan pegawai salon bernama Vanessa (Melissa Barrera), tapi ia tak punya cukup nyali untuk mengutarakan itu. Sementara Vanessa bercita-cita menjadi perancang busana, dan pindah ke apartemen yang lebih baik, di pusat kota. Sahabatnya, Nina (Leslie Grace), dielu-elukan sebagai kebanggaan warga, berkat keberhasilannya berkuliah di Stanford, meski sebuah ganjalan membuatnya risih atas puja-puji tersebut.

Masih banyak tokoh lain yang kita temui. Sonny (Gregory Diaz IV), sepupu Usnavi yang membantunya mengurus bodega; Benny (Corey Hawkins), sahabat Usnavi sekaligus mantan kekasih Nina; Claudia (Olga Merediz), yang tidak hanya merawat Usnavi sejak kecil, pula seisi komunitas. Ya, walau Usnavi merupakan sentral, naskah buatan Quiara Alegría Hudes, yang mengadaptasi pertunjukan musikal berjudul sama karyanya bersama Lin-Manuel Miranda, sejatinya menggali begitu banyak karakter, memberi semuanya kesempatan bersinar.

Hasilnya adalah 143 menit yang ramai, namun tertata dan terpusat, walau pengurangan durasi beberapa menit rasanya akan membantu. Pondasinya tetap soal kehidupan secara luas, dan kehidupan imigran Puerto Rico secara spesifik. Bagaimana selaku minoritas yang senantiasa dipersulit mereka selalu berusaha merayakan hidup, menggapai mimpi, dan tentunya, mencari definisi "rumah". Jawabannya standar. Home is people, not a place. Karena destinasi memang nomor dua. Paling utama adalah proses mencapai destinasi itu. Proses memahami definisi rumah sesungguhnya. 

Hitung mundur menuju blackout berkali-kali tampil di layar (dimulai dari H-3). Peristiwa blackout ini nantinya dipakai memunculkan metafora dari kata "powerless" (lagu Blackout), perihal imigran yang menolak memadamkan api kehidupan, biarpun terus dilucuti dayanya oleh para penguasa juga mayoritas. 

Pernah mengarahkan dua judul Step Up, termasuk Step Up 3D (2010) selaku installment terbaiknya, Chu jelas piawai menciptakan kemeriahan. Apalagi didukung Anthony Ramos yang gestur terkecilnya saja bak tarian, serta Melissa Barrera yang...well, simply breathtaking (khususnya di nomor The Club). Sedangkan deretan lagu gubahan Lin-Manuel Miranda mungkin bukan tipe yang bakal bisa dihafalkan dalam sekali dengar, tapi festivity, pula curahan perasaan yang jujur dan sesekali menggelitik (sangat Miranda!), memberinya kekuatan.

Tapi sekali lagi, In the Heights bukan sekadar meriah. Sensitivitas sang sutradara tampak betul di sini. Melalui pilihan shot yang menyokong rasa yang terkandung di tiap momen, Chu melahirkan keindahan. Dari keindahan romantisme kala senja menjadi latar romantika Nina dan Benny (lagu When the Sun Goes Down) yang seolah mengatakan bahwa gravitasi pun tak kuasa menahan kekuatan cinta, hingga keindahan di balik kesenduan, sebagaimana saat Nina meluapkan isi hatinya (lagu Breathe), juga nuansa magis sewaktu lilin-lilin menyala di tengah gelapnya malam tanpa lampu di Washington Heights (lagu Alabanza). 

In the Heights menunjukkan kekuatan sejati film musikal, di mana eksplorasi-eksplorasi mampu diwakili oleh lagu, sehingga penceritaan tradisional tidak diperlukan. Misalnya, tanpa perlu banyak melihat karakternya bertukar kata cinta, kita dapat memahami perasaan mereka. Keberhasilan mencapai hal tersebut, menjadikan In the Heights film musikal terbaik sejak La La Land mengaduk-aduk hati kita setengah dekade lalu. 

6 UNDERGROUND (2019)

6 Underground merupakan film non-Transformers karya Michael Bay dengan biaya terbesar, yakni $150 juta. Apakah itu memberi pembeda? Bukankah dalam skema Bayhem, penambahan biaya hanya berarti peningkatan jumlah ledakan? Sinisme semacam itu yang bakal membutakan penonton, menghalangi anda memperhatikan detail di tiap set piece, yang menjadikan film ini salah satu karya terbaik sekaligus paling inovatif sepanjang karir sang sutradara.

Alurnya tidak jauh-jauh dari pola film tentang grup ragtag, di mana sang pemimpin mengumpulkan deretan orang dengan kemampuan berlainan (biasanya kepribadian mereka tidak bisa disebut “baik”) guna menjalankan suatu misi. Pemimpin itu adalah seorang milyuner (Ryan Reynolds) yang membentuk grup rahasia untuk menghabisi kriminal yang tak tersentuh aparat dan pemerintah. Kita tak mengetahui namanya. Faktanya, tak satu pun anggota diperbolehkan menyebut nama asli.

Mereka memakai kode angka. Si milyuner adalah One, Two (Mélanie Laurent) merupakan mantan mata-mata, Three (Manuel Garcia-Lufo) adalah pembunuh, Four (Ben Hardy) ahlinya urusan parkour, Five (Adria Arjona) menjadi dokter tim, dan Six (Dave Franco) punya kemampuan menyetir tingkat tinggi. Nantinya turut bergabung Seven (Corey Hawkins) selaku penembak jitu. Target mereka adalah melangsungkan kudeta terhadap tirani Presiden negara fiktif Turgistan (dulu ini nama provinsi di Kekaisaran Sasaniyah), Rovach Alimov (Lior Raz), lalu menjadikan adiknya, Murat Alimov (Peyman Maadi) yang pro-demokrasi sebagai pemimpin baru.

Menghancurkan kekuasaan diktator negara fiktif yang terletak di Asia (terkadang Amerika Selatan) jadi pola formulaik yang entah sudah berapa kali dipakai film aksi. Sesederhana itu memang kisah 6 Underground. Tapi naskah buatan duo Rhett Reese dan Paul Wernick (Zombieland, Deadpool, Life) malah memperumit sendiri penuturannya lewat pemakaian struktur non-linier kacau, yang melempar rangkaian flashback dengan inkonsistensi fungsi. Kadang menjelaskan latar belakang karakter, mengapa dan/atau bagaimana mereka memalsukan kematian lalu bergabung bersama One, tapi tak jarang sebatas selipan tanpa memberi tambahan informasi signifikan, pun kerap pula tercipta ambiguitas mengenai latar waktu suatu peristiwa.

Tapi perlu diingat, plot kuat dalam film Michael Bay merupakan bonus. Menu utamanya selalu aksi, dan tanpa puluhan robot raksasa berbentuk serupa saling serang, Bay mendorong batasan kreativitasnya. Bukan sebatas ledakan-ledakan masif, dibantu sinematografer Bojan Bazelli (The Lone Ranger, Pete’s Dragon), Bay selalu memperhatikan betul peletakan kamera demi memaksimalkan dampak sekuen aksi. Penataan set piece-nya memukau, bahkan di tengah peristiwa besar penuh kekacauan, kita bisa menikmati peristiwa-peristiwa kecil yang merupakan hasil aksi-reaksi dari peristiwa besar tersebut.

Dipersenjatai rating R, Bay tidak segan menumpahkan darah, menghancurkan tubuh manusia, juga menunjukkan detail serangan dan luka yang diterima korban. Kapan lagi anda melihat seseorang (literally) ditampar oleh sebuah peluru yang melesat? Semua itu langsung terangum dalam 20 menit pertama yang menampilkan kejar-kejaran menegangkan di antara keramaian perkotaan Florence, Italia.

Musik turut berperan penting membangun keseruan aksi 6 Underground. Pemilihan soundtrack Bay, diitambah hentakan scoring buatan Lorne Balfe (The Lego Batman Movie, Mission: Impossible – Fallout), melengkapi pacuan adrenalin yang dihasilkan visualnya. Daftar putar film ini membentang dari O Fortuna versi elektronik garapan Spiritual Project hingga Run milik Awolnation yang tentunya sering anda dengar di berbagai meme. Saya bisa membayangkan Michael Bay bersenang-senang, tersenyum lebar sembari terus menyalakan peledak demi peledak.

Tentu 128 menit durasinya tidak melulu menyajikan aksi, dan saat jeda, memang tiada plot kuat sebagai penyokong, tapi untungnya ada sentuhan komedi menggelitik serta jajaran pemain yang serupa sang sutradara, juga nampak bersenang-senang. Berkaca pada dua film Deadpool, humor buatan Reese dan Wernick terbukti mewadahi talenta Reynolds, demikian pula di sini. Sarkasme dan komedi hitam jadi santapan mudah baginya. Sementara para pemain pendukung mampu melahirkan banter dinamis, termasuk Arjona yang terlibat sebuah pembicaraan jarak jauh lucu dengan Reynolds. Dan mungkin cuma Reese-Wernick yang terpikir menjadikan efek suara THX sebagai senjata yang tak luput memancing tawa.

Walau intensitasnya rutin menurun tiap adegan aksi sedang absen mengisi, secara keseluruhan dinamika 6 Underground terjaga dengan baik, sampai klimaksnya, yang biarpun sarat simplifikasi dalam menciptakan konklusi pun terkesan corny, tetap menjadi puncak seru nan uplifting dengan lagu White Flag milik Bishop Briggs selaku pengiring. Hanya satu harapan saya, yaitu supaya Michael Bay meningkatkan kualitas pengemasan adegan baku hantamnya (ada potensi terbuang kala Two membantai pasukan musuh di kapal), namun melihat apa yang film ini tawarkan, keluhan itu bisa disimpan untuk lain waktu. 


Available on NETFLIX