Tampilkan postingan dengan label Farhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Farhan. Tampilkan semua postingan

TRINITY TRAVELER (2019)

Selama beberapa menit awal di dalam studio, saya sempat curiga, “Jangan-jangan bukannya Trinity Traveler, yang diputar adalah Trinity, The Nekad Traveler (2017)”. Judulnya mirip, begitu pula posternya, dan meski jarang, kesalahan pemutaran film pernah beberapa kali terjadi. Alasan kecurigaan itu karena selama sekitar 15 menit pertama, tepatnya sebelum sang protagonis melanjutkan S2 ke Filipina, adaptasi jilid kedua buku The Naked Traveler karya Trinity ini menampilkan banyak adegan film pertama.

Lagi-lagi kasus serupa bukan terjadi kali ini saja. Banyak film memakai footage film lama, entah didaur ulang atau sekadar dipasang apa adanya. Beberapa juga melakukannya dengan alasan menambal durasi, karena materi yang diambil tidak cukup untuk melahirkan sebuah film panjang, contohnya The Hills Have Eyes Part II (1984) garapan Wes Craven, yang dikenal sebagai film pertama dengan adegan flashback seekor anjing. Trinity Traveler rasanya tidak jauh beda, meski kuantitas “flashback” miliknya agak keterlaluan, mengisi hampir sekitar 50% 15 menit awal.

Tapi saya yakin banyak dari penonton tidak menyadari itu. Karena walau tak pantas disebut buruk, film pertamanya begitu mudah terlupakan. Kali ini situasinya sama saja. Trinity Traveler adalah aktivitas jalan-jalan forgettable yang bahkan tak cantik guna membuat penonton ingat destinasi mana saja yang disambangi karakternya. Padahal terselip pesan dengan relevansi tinggi tentang kebebasan, khususnya terkait tuntutan sosial untuk menikah.

Buku pertama Trinity (Maudy Ayunda) sukses menjadi bestseller, tulisannya di blog makin berpengaruh, tawaran endorse terus mengalir, namun itu dianggap kurang oleh ayahnya (Farhan), yang meyakini puteri sulungnya itu tidak bahagia akibat belum menikah. “Nanti suamimu yang memenuhi semua keinginanmu”, begitu kata sang ayah menyikapi bucket list Trinity. Di acara syukuran atas keberhasilan Trinity mendapat beasiswa S2 pun, keluarga besarnya enggan menganggap itu prestasi, dan justru mengungkit status lajangnya.

Trinity enggan mengesampingkan kebebasan, namun sejatinya ia merenungkan tuntutan tersebut, apalagi pasca terjadinya suatu tragedi, yang kehilangan dampak emosinya akibat kesembronoan filmnya menabrakkan paksa momen dramatis dengan kekonyolan. Ada perbedaan antara menanggapi duka secara positif dan kejomplangan tone rasa. Trinity Traveler termasuk kategori kedua.

Lalu nasib mempertemukan Trinity kembali dengan Paul (Hamish Daud Wyllie), fotografer sekaligus satu-satunya pria yang mampu menggetarkan hati sekeras batu Trinity. Sempat ragu akan ketulusan Paul, apalagi ditambah komentar negatif sang sepupu, Ezra (Babe Cabita), keinginan membahagiakan orang tua pula dukungan kedua sahabatnya, Yasmin (Rachel Amanda) dan Nina (Anggika Bolsterli), Trinity akhirnya bersedia memacari Paul. Awalnya mereka selalu menghabiskan waktu bersama, mengunjungi banyak lokasi berdua dalam rangkaian aktivitas travelling yang dikemas pengadeganan ala vlog jalan-jalan oleh sutradara Rizal Mantovani dan sinematografi Ryan Purwoko (Dear Nathan, Dilan 1990, My Stupid Boss 2) yang layak dipandang namun tak cukup cantik untuk menghipnotis. Tapi akhirnya masalah mulai hadir.

Kesibukan masing-masing menghalangi ketersediaan waktu pun kesetiaan Paul mulai dipertanyakan, yang turut memberi distraksi pada Trinity sehingga mempengaruhi pekerjaannya. Kualitas tulisan menurun, pun deadline dari klien kerap gagal dipenuhi. Hamish punya cukup kharisma supaya terlihat meyakinkan sebagai pria tampan dengan senyum serta gombalan yang mampu mencuri hati Trinity, dan Maudy Ayunda terbukti mampu membuat solo travelling tampak menghibur, namun keduanya tak punya cukup chemistry agar bisa menularkan getar-getar cinta mereka ke penonton.

Setidaknya jajaran pemeran pendukung punya cukup daya untuk menghadirkan tawa. Trio Babe Cabita, Anggika Bolsterli, dan Rachel Amanda adalah kombinasi yang akan membuat anda berharap mereka punya porsi sebanyak film pertama. Sebagaimana sekelompok kawan lama yang sudah saling kenal baik, ketiganya saling melempar selorohan, menambah dinamika yang memang filmnya butuhkan. Sedangkan Cut Mini sebagai ibunda Trinity, walau muncul tak seberapa sering, menghembuskan sedikit kehangatan di tengah paparan dramanya.

“Berbuat baiklah, maka kamu bakal mendapat balasannya”, “Berbahagialah”, hingga “Jangan takut menjalani hidup secara bebas” adalah beberapa pesan yang coba diutarakan dalam naskah buatan Rahabi Mandra yang juga menulis naskah film pertamanya, tapi pesan-pesan tersebut tetap bisa tersampaikan andai Trinity tidak melakoni perjalanan sekalipun. Akhirnya Trinity Traveler hanyalah jalan-jalan menyenangkan yang kurang berkesan apalagi bermakna, walau saya mengapresiasi bagaimana filmnya tak menyudutkan salah satu pihak terkait tuturan tentang kebahagiaan dan kebebasan.

SUSI SUSANTI: LOVE ALL (2019)

Film bertema nasionalisme kita cenderung seperti mesin, menyuarakan “Indonesia raya!” atau “Hidup merah putih!” secara keras, lantang, tapi kosong. Sedangkan untuk film biografi, keharusan mencakup sebanyak mungkin fase hidup karakternya melahirkan penceritaan tak mulus berbentuk kumpulan segmen. Susi Susanti: Love All menggabungkan keduanya sambil mengatasi kelemahan masing-masing genre, guna menciptakan salah satu tontonan terbaik tahun ini.

Ditulis naskahnya oleh lima nama: Syarika Bralini, Raditya Mangunsong (Kamulah Satu-Satunya, Viva JKT48), Raymond Lee (Bajaj Bajuri The Movie, Buffalo Boys), Daud Sumolang (Kebun Binatang), dan Sinar Ayu Massie (Sebelum Pagi Terulang Kembali, 6,9 Detik), film ini tidak memaknai nasionalisme secara buta, namun mengajak penonton menelusuri maknanya lewat frasa “love all” yang diucapkan wasit bulutangkis di awal pertandingan saat kedudukan masih 0-0.

Kisahnya memang melompat mundur ke masa kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn), tapi itu bertujuan memasang pondasi, bukan didasari pemikiran “Agar ceritanya selengkap mungkin”. Pondasi soal bagaimana ia banting setir menekuni bulutangkis serta bagaimana hubungan dengan ayah (Iszur Muchtar) dan ibunya (Dayu Wijanto) membentuk Susi sebagai atlet maupun individu. Pondasi yang cukup sebagai bekal sebelum melangkah ke fase dewasa Susi.

Nama Susi Susanti (Laura Basuki) melesat cepat, dan berhasil mengharumkan nama bangsa berkat sumbangan banyak juara, khususnya di Piala Sudirman 1989 dan Olimpiade 1992, yang menjadikannya pemenang medali emas Olimpiade pertama asal Indonesia. Tapi ini tidak sesederhana “berlatih-juara-semua bahagia”. Sebab saat itu negeri ini tengah bergejolak. Krisis moneter mencekik, sementara tindak rasisme terhadap warga keturunan Cina semakin gencar. Bahkan meski menjuarai Olimpiade, status kewarganegaraan Susi tak kunjung dipastikan.

Di sinilah Susi Susanti: Love All membuat kalimat “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang dikampanyekan Try Sutrisno (Farhan) bukan sebatas jargon, tanpa harus melontarkan kalimat-kalimat bernada nasionalis. Melalui bulutangkis Susi belajar makna persatuan, kemudian melalui bulutangkis pula ia menyatukan. Dia hargai perbedaan termasuk menjalin hubungan baik dengan lawan tatkala para pemimpin bangsa mendengungkan pesan serupa namun bertingkah sebaliknya, yang disindir oleh film ini dalam adegan “senam pagi” yang singkat tapi menggelitik.

Punya cakupan kisah selama belasan tahun, naskahnya mampu memilah titik mana saja dalam hidup Susi Susanti yang substansial untuk diangkat, pun (dibantu mulusnya penyuntingan), jeli menjembatani satu momen dengan lainnya. Contoh terbaik adalah ketika selepas pernikahan Susi dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), kerusuhan pecah. Sekilas dua peristiwa itu tak berkaitan, bahkan (mungkin) tidak terjadi berdekatan, namun muncul dinamika berupa kontradiksi antara kebahagiaan dan kepiluan. Bukan cuma keterkaitan narasi yang film ini ciptakan, juga rasa.

Tentu Sim F yang menjalani debut penyutradaraan solo setelah sebelumnya ambil bagian menggarap segmen Kotak Coklat di omnibus Sanubari Jakarta (2012) turut berjasa besar. Saya mengenal namanya di era MTV Ampuh sebagai sutradara beberapa video klip Peterpan seperti Menghapus Jejakmu dan Walau Habis Terang. Sim F membuktikan bahwa sutradara video klip tidak hanya jago bermain visual kala berhasil membangun atmosfer meyakinkan di partai final Piala Sudirman yang sarat intensitas sampai teror mencekam di tengah kerusuhan. Satu-satunya kelemahan justru terletak di visual berhiaskan “filter Instagram” yang menghilangkan kesan organik kisahnya.

Tapi apa guna film biografi tanpa dibarengi akting mumpuni? Laura Basuki bersinar baik di dalam maupun luar pertandingan. Pada final Piala Sudirman kita bisa melihat transisi Susi, dari set pertama yang dikuasai keraguan, lalu menemukan ketenangan di set kedua, sebelum tampil penuh percaya diri di babak puncak. Pun air mata Laura ketika lagu kebangsaan berkumandang pasca kemenangannya, ampuh menyentuh hati sekaligus memantik nasionalisme. Sedangkan di luar lapangan, seharusnya tiada lagi yang meragukan kombinasi Laura Basuki-Dion Wiyoko sebagai salah satu pasangan penghasil chemistry terkuat di perfilman Indonesia, sebagaimana Susi Susanti: Love All berhasil menjadi salah satu film biografi/olahraga Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir.