REVIEW - KUNTILANAK 3
Seperti telah saya sebutkan di ulasan untuk Mangkujiwo (2020), seri baru Kuntilanak menunjukkan keberanian menjauh dari citra trilogi "aslinya", walaupun secara kualitas tidak begitu solid. Horor anak di film pertama, ditambah sedikit sentuhan fantasi di film kedua, lalu total bertransformasi jadi fantasi ala Wizarding World di film ketiga, yang mana belum pernah dijamah industri kita.
Dinda (Nicole Rossi) dianggap aneh gara-gara kekuatan telekinesisnya (She's like the Scarlet Witch of 'Kuntilanak' universe), dan belakangan ia makin meyakini tudingan tersebut. Apalagi pasca secara tidak sengaja melukai Panji (Adlu Fahrezy) dan Ambar (Ciara Brosnan yang jago mencuri perhatian kali ini sayangnya cuma jadi extended cameo). Karena itulah Dinda memutuskan masuk ke sekolah cenayang bernama Sekolah Mata Hati agar dapat mengontrol kekuatannya.
Di sanalah Dinda bertemu anak-anak spesial lain, seperti Dennis (Farras Fatik) bisa membuat bola api, Uchi (Clarice Cutie) dengan kemampuan teleportasi, hingga Mala (Romaria Simbolon) si penyembuh. Anak-anak berkekuatan super, tata artistik mumpuni, scoring bernuansa magis milik Stevesmith Music Production. Berkat semua itu, menginjakkan kaki ke Sekolah Mata Hati terasa seperti memasuki dunia baru yang asing dalam perfilman Indonesia. Dunia fantasi ala Wizarding World.
Terlebih begitu berkenalan dengan orang-orang berpenampilan eksentrik di balik Sekolah Mata Hati. Baskara (Wafda Saifan) si kepala sekolah, Adela (Nafa Urbach) dan Bejo (Amink) selaku pengajar, juga Eyang Sukma (Sara Wijayanto) yang mengatur segalanya dari belakang layar. Tampilan ala Limbad milik Amink mungkin agak menggelitik, namun kostum Sara Wijayanto di klimaks bak penebusan yang layak dari Agustino Mohede selaku penata busana.
Kelemahan utama Kuntilanak 3 memang terkait inkonsistensi. Sebuah departemen bisa tampil apik di satu titik, kemudian mengalami penurunan di titik berikutnya. Naskah buatan Alim Sudio tidak terkecuali. Bangunan dunianya kreatif, tapi cukup keteteran ketika mengembangkan mitologi. Miko (Ali Fikry) dan Kresna (Andryan Brima) nekat menjemput Dinda selepas membaca berita mengenai murid Sekolah Mata Hati yang melihat kuntilanak, sebelum menghilang secara misterius. Sekolah cenayang yang menyembunyikan alamatnya ternyata tak serahasia itu, sampai hilangnya para murid diketahui wartawan.
Rizal Mantovani kembali duduk di kursi penyutradaran, dan keunggulan sekaligus kekurangan pengarahannya terangkum lengkap di klimaks. Rizal tegas meninggalkan shot-shot horor termasuk menekan kuantitas jump scare. Sosok kuntilanak lebih dekat ke antagonis fantasi, yang fungsi kemunculannya adalah menakut-nakuti protagonisnya. Bukan penonton.
Tapi biarpun dibekali CGI kelas satu (filmnya menyadari itu, lalu tidak ragu memperlihatkan sang kuntilanak secara jelas dan sering), Rizal masih lemah dalam membungkus adegan berintensitas tinggi. Pilihan shot-nya di beberapa adegan aksi amatlah canggung. Klimaksnya berpotensi tampil luar biasa andai tak diganggu kelemahan tersebut, ditambah naskah yang menawarkan cara sangat sederhana guna mengalahkan kuntilanak, tapi anehnya, cara itu baru disebut ketika memasuki situasi genting.
Begitulah Kuntilanak 3. Inkonsisten. Konsepnya unik, namun keseruan dihalangi oleh aliran alur yang tergolong draggy bagi hiburan berisikan protagonis anak. Tapi mengalihkan perhatian dari layar pun sulit ketika Nicole Rossi, yang menggantikan Sandrinna Michelle, menghantarkan akting kuat. Menarik pula menantikan eksplorasi ke arah mana lagi yang bakal dijajal franchise ini, apalagi membaca nama familiar yang muncul di tengah-tengah kredit akhir.
REVIEW - ASIH 2
Pada ulasan untuk Danur (2017), saya menyebut bahwa
filmnya bagai eksperimen seputar "Berapa banyak ekspresi mengerikan yang
mampu Shareefa Daanish perlihatkan?". Tiga tahun berselang, franchise-nya sudah mempunyai lima film,
termasuk dua spin-off bagi Asih yang
diperankan Shareefa. Di Asih 2, sang
hantu rupanya mendapat upgrade. Selain
jago nampang, sekarang Asih mampu mengeluarkan suara memekakkan yang niscaya
membuat para vokalis band screamo minder,
sementara di bangku penonton, saya mengkhawatirkan keselamatan gendang telinga.
Masih ingat
pasutri Andi (Darius Sinathrya) dan Puspita (Citra Kirana) dari film pertama? Keduanya
kembali muncul. Yah, setidaknya dalam beberapa menit awal, karena Asih langsung
menghabisi, kemudian menculik bayi mereka. Beberapa tahun berselang, seorang
dokter bernama Sylvia (Marsha Timothy), kedatangan pasien seorang gadis cilik (Anantya
Rezky) yang tertabrak mobil. Dia tidak punya keluarga, dan diyakini hidup sendirian
di tengah hutan. Teringat puterinya yang meninggal akibat kecelakaan empat
tahun lalu, Sylvia memutuskan mengadopsi bocah itu dan menamainya Ana, meski
sang suami, Razan (Ario Bayu) sempat menentang.
Tapi merawat Ana
tak semudah itu. Selain tidak bisa bicara, ia kerap tertawa sendiri, juga
bersikap aneh. Ya, Ana adalah bayi Andi dan Puspita yang diculik Asih. Sebagai
hantu narsis yang gemar memasang ekspresi-ekspresi ajaib, pastilah Asih cemburu
melihat perhatian Sylvia kepada Ana. “ANAK SAYAA!”, begitu teriaknya
berulang-ulang, dengan suara yang tidak kalah menusuk dibanding feedback dari sound system di acara kumpul-kumpul desa. Tentu Sylvia tidak mau
kalah, sehingga menghasilkan klimaks di mana kedua karakter secara bergantian
meneriakkan, “ANAK SAYAAAA!!!” berulang kali sambil menarik-narik tangan si
bocah, seperti dua ibu-ibu komplek tengah berebut sisa cabai di tukang sayur.
Mungkin di akhirat, Puspita juga ikut berteriak, “ANAAAAK SAYAAAA!!!!”.
Masih setia
menulis naskah sejak Danur adalah
Lele Laila. Melanjutkan pendekatan di Asih,
teror film ini pun digerakkan secara bertahap cenderung lambat. Menginjak
satu jam pertama, barulah Razan berkonfrontasi langsung dengan Asih. Niatnya
untuk tidak menghasilkan tontonan yang cuma diisi jump scare mungkin baik, namun lebih baik lagi jika sang penulis
coba menjalin cerita mumpuni. Karena praktis, filmnya kosong. Nihil misteri,
kecuali kalau anda menganggap kebingungan Sylvia soal lirik lagu Indung Indung (apakah “di udik” atau “diusik”?)
sebagai misteri. Saya juga dulu pernah kebingungan memahami lirik di reff lagu Kau Auraku, tapi tidak menganggapnya sebagai misteri. Daripada soal
lagu, saya lebih penasaran, mengapa karakternya kadang menyebut diri sebagai “aku”,
namun di waktu lain memakai “saya”.
Kualitas terornya
pun menurun drastis. Walau tak selalu berhasil tampil menyeramkan, setidaknya
Awi Suryadi masih bersedia membangun momentum sebelum hantunya muncul. Di sini,
Rizal Mantovani hanya berhasil melahirkan satu-dua jump scare yang mampu tampil mengagetkan. Sisanya, bersiaplah
mendengar teriakan “ANAK SAYAAAAA!!!!” di banyak kesempatan.
Padahal saya cukup
menaruh harapan bagi Asih 2,
mengingat keberadaan nama-nama besar di jajaran cast. Marsha Timothy tetap solid, berusaha sekuat tenaga mengangkat
materi kelas teri yang ia dapatkan. Ario Bayu tidak buruk, tapi ketimbang
akting, rasanya fokus penonton bakal lebih sering tertuju ke arah wignya.
Sedangkan Ully Triani menyia-nyiakan bakatnya kala memerankan Suster Rita, yang
seperti Sylvia, lebih banyak memikirkan soal lirik lagu Indung Indung.