Tampilkan postingan dengan label Rizal Mantovani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rizal Mantovani. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KUNTILANAK 3

Seperti telah saya sebutkan di ulasan untuk Mangkujiwo (2020), seri baru Kuntilanak menunjukkan keberanian menjauh dari citra trilogi "aslinya", walaupun secara kualitas tidak begitu solid. Horor anak di film pertama, ditambah sedikit sentuhan fantasi di film kedua, lalu total bertransformasi jadi fantasi ala Wizarding World di film ketiga, yang mana belum pernah dijamah industri kita. 

Dinda (Nicole Rossi) dianggap aneh gara-gara kekuatan telekinesisnya (She's like the Scarlet Witch of 'Kuntilanak' universe), dan belakangan ia makin meyakini tudingan tersebut. Apalagi pasca secara tidak sengaja melukai Panji (Adlu Fahrezy) dan Ambar (Ciara Brosnan yang jago mencuri perhatian kali ini sayangnya cuma jadi extended cameo). Karena itulah Dinda memutuskan masuk ke sekolah cenayang bernama Sekolah Mata Hati agar dapat mengontrol kekuatannya. 

Di sanalah Dinda bertemu anak-anak spesial lain, seperti Dennis (Farras Fatik) bisa membuat bola api, Uchi (Clarice Cutie) dengan kemampuan teleportasi, hingga Mala (Romaria Simbolon) si penyembuh. Anak-anak berkekuatan super, tata artistik mumpuni, scoring bernuansa magis milik Stevesmith Music Production. Berkat semua itu, menginjakkan kaki ke Sekolah Mata Hati terasa seperti memasuki dunia baru yang asing dalam perfilman Indonesia. Dunia fantasi ala Wizarding World. 

Terlebih begitu berkenalan dengan orang-orang berpenampilan eksentrik di balik Sekolah Mata Hati. Baskara (Wafda Saifan) si kepala sekolah, Adela (Nafa Urbach) dan Bejo (Amink) selaku pengajar, juga Eyang Sukma (Sara Wijayanto) yang mengatur segalanya dari belakang layar. Tampilan ala Limbad milik Amink mungkin agak menggelitik, namun kostum Sara Wijayanto di klimaks bak penebusan yang layak dari Agustino Mohede selaku penata busana. 

Kelemahan utama Kuntilanak 3 memang terkait inkonsistensi. Sebuah departemen bisa tampil apik di satu titik, kemudian mengalami penurunan di titik berikutnya. Naskah buatan Alim Sudio tidak terkecuali. Bangunan dunianya kreatif, tapi cukup keteteran ketika mengembangkan mitologi. Miko (Ali Fikry) dan Kresna (Andryan Brima) nekat menjemput Dinda selepas membaca berita mengenai murid Sekolah Mata Hati yang melihat kuntilanak, sebelum menghilang secara misterius. Sekolah cenayang yang menyembunyikan alamatnya ternyata tak serahasia itu, sampai hilangnya para murid diketahui wartawan. 

Rizal Mantovani kembali duduk di kursi penyutradaran, dan keunggulan sekaligus kekurangan pengarahannya terangkum lengkap di klimaks. Rizal tegas meninggalkan shot-shot horor termasuk menekan kuantitas jump scare. Sosok kuntilanak lebih dekat ke antagonis fantasi, yang fungsi kemunculannya adalah menakut-nakuti protagonisnya. Bukan penonton. 

Tapi biarpun dibekali CGI kelas satu (filmnya menyadari itu, lalu tidak ragu memperlihatkan sang kuntilanak secara jelas dan sering), Rizal masih lemah dalam membungkus adegan berintensitas tinggi. Pilihan shot-nya di beberapa adegan aksi amatlah canggung. Klimaksnya berpotensi tampil luar biasa andai tak diganggu kelemahan tersebut, ditambah naskah yang menawarkan cara sangat sederhana guna mengalahkan kuntilanak, tapi anehnya, cara itu baru disebut ketika memasuki situasi genting. 

Begitulah Kuntilanak 3. Inkonsisten. Konsepnya unik, namun keseruan dihalangi oleh aliran alur yang tergolong draggy bagi hiburan berisikan protagonis anak. Tapi mengalihkan perhatian dari layar pun sulit ketika Nicole Rossi, yang menggantikan Sandrinna Michelle, menghantarkan akting kuat. Menarik pula menantikan eksplorasi ke arah mana lagi yang bakal dijajal franchise ini, apalagi membaca nama familiar yang muncul di tengah-tengah kredit akhir. 

REVIEW - ASIH 2

Pada ulasan untuk Danur (2017), saya menyebut bahwa filmnya bagai eksperimen seputar "Berapa banyak ekspresi mengerikan yang mampu Shareefa Daanish perlihatkan?". Tiga tahun berselang, franchise-nya sudah mempunyai lima film, termasuk dua spin-off bagi Asih yang diperankan Shareefa. Di Asih 2, sang hantu rupanya mendapat upgrade. Selain jago nampang, sekarang Asih mampu mengeluarkan suara memekakkan yang niscaya membuat para vokalis band screamo minder, sementara di bangku penonton, saya mengkhawatirkan keselamatan gendang telinga.

Masih ingat pasutri Andi (Darius Sinathrya) dan Puspita (Citra Kirana) dari film pertama? Keduanya kembali muncul. Yah, setidaknya dalam beberapa menit awal, karena Asih langsung menghabisi, kemudian menculik bayi mereka. Beberapa tahun berselang, seorang dokter bernama Sylvia (Marsha Timothy), kedatangan pasien seorang gadis cilik (Anantya Rezky) yang tertabrak mobil. Dia tidak punya keluarga, dan diyakini hidup sendirian di tengah hutan. Teringat puterinya yang meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu, Sylvia memutuskan mengadopsi bocah itu dan menamainya Ana, meski sang suami, Razan (Ario Bayu) sempat menentang.

Tapi merawat Ana tak semudah itu. Selain tidak bisa bicara, ia kerap tertawa sendiri, juga bersikap aneh. Ya, Ana adalah bayi Andi dan Puspita yang diculik Asih. Sebagai hantu narsis yang gemar memasang ekspresi-ekspresi ajaib, pastilah Asih cemburu melihat perhatian Sylvia kepada Ana. “ANAK SAYAA!”, begitu teriaknya berulang-ulang, dengan suara yang tidak kalah menusuk dibanding feedback dari sound system di acara kumpul-kumpul desa. Tentu Sylvia tidak mau kalah, sehingga menghasilkan klimaks di mana kedua karakter secara bergantian meneriakkan, “ANAK SAYAAAA!!!” berulang kali sambil menarik-narik tangan si bocah, seperti dua ibu-ibu komplek tengah berebut sisa cabai di tukang sayur. Mungkin di akhirat, Puspita juga ikut berteriak, “ANAAAAK SAYAAAA!!!!”.

Masih setia menulis naskah sejak Danur adalah Lele Laila. Melanjutkan pendekatan di Asih, teror film ini pun digerakkan secara bertahap cenderung lambat. Menginjak satu jam pertama, barulah Razan berkonfrontasi langsung dengan Asih. Niatnya untuk tidak menghasilkan tontonan yang cuma diisi jump scare mungkin baik, namun lebih baik lagi jika sang penulis coba menjalin cerita mumpuni. Karena praktis, filmnya kosong. Nihil misteri, kecuali kalau anda menganggap kebingungan Sylvia soal lirik lagu Indung Indung (apakah “di udik” atau “diusik”?) sebagai misteri. Saya juga dulu pernah kebingungan memahami lirik di reff lagu Kau Auraku, tapi tidak menganggapnya sebagai misteri. Daripada soal lagu, saya lebih penasaran, mengapa karakternya kadang menyebut diri sebagai “aku”, namun di waktu lain memakai “saya”.

Kualitas terornya pun menurun drastis. Walau tak selalu berhasil tampil menyeramkan, setidaknya Awi Suryadi masih bersedia membangun momentum sebelum hantunya muncul. Di sini, Rizal Mantovani hanya berhasil melahirkan satu-dua jump scare yang mampu tampil mengagetkan. Sisanya, bersiaplah mendengar teriakan “ANAK SAYAAAAA!!!!” di banyak kesempatan.

Padahal saya cukup menaruh harapan bagi Asih 2, mengingat keberadaan nama-nama besar di jajaran cast. Marsha Timothy tetap solid, berusaha sekuat tenaga mengangkat materi kelas teri yang ia dapatkan. Ario Bayu tidak buruk, tapi ketimbang akting, rasanya fokus penonton bakal lebih sering tertuju ke arah wignya. Sedangkan Ully Triani menyia-nyiakan bakatnya kala memerankan Suster Rita, yang seperti Sylvia, lebih banyak memikirkan soal lirik lagu Indung Indung.

RASUK 2 (2020)

Tahukah kalian bahwa Rasuk (2018) yang merupakan adaptasi novel berjudul sama buatan Risa Saraswati berhasil mengumpulkan lebih dari 900 ribu penonton, membawanya bercokol di urutan 16 daftar film Indonesia terlaris di tahun perilisannya? Tidak butuh waktu lama sampai Baginda Dheeraj Kalwani memproduksi sekuelnya, yang kali ini ditangani sutradara Rizal Mantovani menggantikan Ubay Fox, sementara posisi Shandy Aulia sebagai pemeran utama diberikan kepada Nikita Willy. Apakah hasilnya lebih baik? Jawabannya “ya”. Masalahnya, mengingat hancur leburnya kualitas pendahulunya, nyaris mustahil menghasilkan tontonan yang lebih buruk.

Nikita Willy memerankan Isabella, adik Inggrid (diperankan Denira Wiraguna di film pertama, di sini digantikan oleh Raquel Katie Larkin), sahabat Langgir (Shandy Aulia). Itu saja kaitan Rasuk 2 dengan film pertamanya. Bersama dua teman kosnya, Alma (Sonia Alyssa) dan Nesya (Lania Fira), Bella tengah melaksanakan koas di bagian forensik rumah sakit. Dituntut sering mengikuti proses autopsi, Bella malah kerap melihat hal-hal aneh, termasuk mayat yang mendadak hidup kembali. Menolak percaya kepada hal mistis, Bella memilih berobat ke psikiater, dan di sinilah kengawuran naskah buatan Haqi Achmad dan Baskoro Adi mulai tercium.

Rasuk 2 membahas beberapa elemen psikologi, yang alih-alih menjadikannya cerdas, justru membuat naskahnya seolah tersusun atas hasil riset kilat lewat Wikipedia, yang bahkan sepertinya cuma dibaca sekilas. Nama ahli matematika John Nash, yang kisahnya diangkat dalam A Beautiful Mind (2001) disebut oleh sang psikiater. Menurutnya, halusinasi Nash disebabkan karena kecerdasan yang luar biasa, dan bahwa kesembuhan Bella bergantung pada dirinya sendiri. Bukan itu penyebab gangguan mental Nash, pun proses penyembuhan skizofrenia memerlukan dukungan lingkungan sosial. Efek Barnum tak ketinggalan disinggung dengan pengertian salah kaprah, sebab poin utama efek itu bukanlah soal fenomena paranormal.

Pada sebuah autopsi, Bella dipertemukan dengan mayat wanita tak dikenal yang disebut “Mrs. X”. Maaf, tapi tahu dari mana wanita itu sudah menikah? Atau penulisnya tidak paham perbedaan Mrs. dan Ms.? Penulis terjemahannya lebih pintar untuk urusan ini, dan menuliskan “Miss X”. Pada 18 Maret 1967, ditemukan mayat wanita tanpa identitas di Amerika Serikat yang kemudian dipanggil “Miss X”. Mungkin naskahnya mengambil referensi dari situ, tetapi akibat riset seadanya, lagi-lagi muncul kekeliruan.

Sejak autopsi itu, teror yang Bella alami makin intens, bahkan sempat membuatnya kesurupan, lalu menyerang Radja (Achmad Megantara), satu lagi teman kosnya yang menaruh hati kepada Bella. Nantinya terjalin percintaan di antara keduanya, mengajak kita mengikuti sejenak aktivitas kencan mereka, yang terkesan sebatas penambal durasi semata, pun sama sekali tak romantis, salah satunya akibat Achmad Megantara yang kembali menampilkan performa kaku nan menggelikan. Apa pula perlunya menyelipkan kecemburuan Nesya ketika aspek itu sekadar numpang lewat dan nihil dampak terhadap konflik utama?

Jadi dengan setumpuk kelemahan di atas, kenapa saya menganggap Rasuk 2 lebih superior ketimbang pendahulunya? Jawabannya ada di paruh awal film. Salah satu hal paling mengganggu di Rasuk adalah tata suaranya yang mengancam gendang telinga. Di sini volumenya diturunkan, walau agak terlalu rendah sehingga membuat jump scare kurang bertenaga. Rizal Mantovani pun lumayan jeli memilah, mana penampakan yang mesti diiring musik, mana yang tidak. Ditambah riasan yang tidak buruk, beberapa keheningan bahkan mampu memancing kengerian (titik terbaiknya saat Bella melihat sesosok hantu sepulang dari rumah sakit) melalui pengarahan Rizal.

Sayangnya keunggulan Rizal (dan film ini secara keseluruhan) berhenti di situ. Sang sutradara kewalahan menciptakan ketegangan dalam adegan di mana kekacauan terjadi. Hasilnya canggung, secanggung banyolan-banyolan dari mulut Asri Welas. Bukan perkara mudah membuat Asri Welas, yang biasanya berhasil menyegarkan suasana, jadi tidak lucu. Dan berkat ketidakmampuan Rizal mengolah momen komedik, khususnya terkait menentukan timing transisi, pencapaian langka itu sukses diraih film ini.

Sekitar 15 menit pertama, Rasuk 2 membuka tabir misteri dengan menarik, menyulut penasaran kala mempertanyakan asal muasal mayat Mrs. X, serta mengapa sang hantu meneror Bella. Sampai akhirnya investigasi asal jalan dilakukan, rasa bosan menyeruak, kemudian penyelidikan Bella jadi tidak penting sewaktu muncul karakter baru yang menjawab segala pertanyaan. Rasuk 2 tidak lupa menutup kisahnya melalui klimaks sarat kebodohan berintensitas lemah, menjadikan peningkatan kualitasnya semakin terasa semu. Paling tidak Nikita Willy menyajikan performa yang lebih “normal” dibandingkan Shandy Aulia.

TRINITY TRAVELER (2019)

Selama beberapa menit awal di dalam studio, saya sempat curiga, “Jangan-jangan bukannya Trinity Traveler, yang diputar adalah Trinity, The Nekad Traveler (2017)”. Judulnya mirip, begitu pula posternya, dan meski jarang, kesalahan pemutaran film pernah beberapa kali terjadi. Alasan kecurigaan itu karena selama sekitar 15 menit pertama, tepatnya sebelum sang protagonis melanjutkan S2 ke Filipina, adaptasi jilid kedua buku The Naked Traveler karya Trinity ini menampilkan banyak adegan film pertama.

Lagi-lagi kasus serupa bukan terjadi kali ini saja. Banyak film memakai footage film lama, entah didaur ulang atau sekadar dipasang apa adanya. Beberapa juga melakukannya dengan alasan menambal durasi, karena materi yang diambil tidak cukup untuk melahirkan sebuah film panjang, contohnya The Hills Have Eyes Part II (1984) garapan Wes Craven, yang dikenal sebagai film pertama dengan adegan flashback seekor anjing. Trinity Traveler rasanya tidak jauh beda, meski kuantitas “flashback” miliknya agak keterlaluan, mengisi hampir sekitar 50% 15 menit awal.

Tapi saya yakin banyak dari penonton tidak menyadari itu. Karena walau tak pantas disebut buruk, film pertamanya begitu mudah terlupakan. Kali ini situasinya sama saja. Trinity Traveler adalah aktivitas jalan-jalan forgettable yang bahkan tak cantik guna membuat penonton ingat destinasi mana saja yang disambangi karakternya. Padahal terselip pesan dengan relevansi tinggi tentang kebebasan, khususnya terkait tuntutan sosial untuk menikah.

Buku pertama Trinity (Maudy Ayunda) sukses menjadi bestseller, tulisannya di blog makin berpengaruh, tawaran endorse terus mengalir, namun itu dianggap kurang oleh ayahnya (Farhan), yang meyakini puteri sulungnya itu tidak bahagia akibat belum menikah. “Nanti suamimu yang memenuhi semua keinginanmu”, begitu kata sang ayah menyikapi bucket list Trinity. Di acara syukuran atas keberhasilan Trinity mendapat beasiswa S2 pun, keluarga besarnya enggan menganggap itu prestasi, dan justru mengungkit status lajangnya.

Trinity enggan mengesampingkan kebebasan, namun sejatinya ia merenungkan tuntutan tersebut, apalagi pasca terjadinya suatu tragedi, yang kehilangan dampak emosinya akibat kesembronoan filmnya menabrakkan paksa momen dramatis dengan kekonyolan. Ada perbedaan antara menanggapi duka secara positif dan kejomplangan tone rasa. Trinity Traveler termasuk kategori kedua.

Lalu nasib mempertemukan Trinity kembali dengan Paul (Hamish Daud Wyllie), fotografer sekaligus satu-satunya pria yang mampu menggetarkan hati sekeras batu Trinity. Sempat ragu akan ketulusan Paul, apalagi ditambah komentar negatif sang sepupu, Ezra (Babe Cabita), keinginan membahagiakan orang tua pula dukungan kedua sahabatnya, Yasmin (Rachel Amanda) dan Nina (Anggika Bolsterli), Trinity akhirnya bersedia memacari Paul. Awalnya mereka selalu menghabiskan waktu bersama, mengunjungi banyak lokasi berdua dalam rangkaian aktivitas travelling yang dikemas pengadeganan ala vlog jalan-jalan oleh sutradara Rizal Mantovani dan sinematografi Ryan Purwoko (Dear Nathan, Dilan 1990, My Stupid Boss 2) yang layak dipandang namun tak cukup cantik untuk menghipnotis. Tapi akhirnya masalah mulai hadir.

Kesibukan masing-masing menghalangi ketersediaan waktu pun kesetiaan Paul mulai dipertanyakan, yang turut memberi distraksi pada Trinity sehingga mempengaruhi pekerjaannya. Kualitas tulisan menurun, pun deadline dari klien kerap gagal dipenuhi. Hamish punya cukup kharisma supaya terlihat meyakinkan sebagai pria tampan dengan senyum serta gombalan yang mampu mencuri hati Trinity, dan Maudy Ayunda terbukti mampu membuat solo travelling tampak menghibur, namun keduanya tak punya cukup chemistry agar bisa menularkan getar-getar cinta mereka ke penonton.

Setidaknya jajaran pemeran pendukung punya cukup daya untuk menghadirkan tawa. Trio Babe Cabita, Anggika Bolsterli, dan Rachel Amanda adalah kombinasi yang akan membuat anda berharap mereka punya porsi sebanyak film pertama. Sebagaimana sekelompok kawan lama yang sudah saling kenal baik, ketiganya saling melempar selorohan, menambah dinamika yang memang filmnya butuhkan. Sedangkan Cut Mini sebagai ibunda Trinity, walau muncul tak seberapa sering, menghembuskan sedikit kehangatan di tengah paparan dramanya.

“Berbuat baiklah, maka kamu bakal mendapat balasannya”, “Berbahagialah”, hingga “Jangan takut menjalani hidup secara bebas” adalah beberapa pesan yang coba diutarakan dalam naskah buatan Rahabi Mandra yang juga menulis naskah film pertamanya, tapi pesan-pesan tersebut tetap bisa tersampaikan andai Trinity tidak melakoni perjalanan sekalipun. Akhirnya Trinity Traveler hanyalah jalan-jalan menyenangkan yang kurang berkesan apalagi bermakna, walau saya mengapresiasi bagaimana filmnya tak menyudutkan salah satu pihak terkait tuturan tentang kebahagiaan dan kebebasan.

RUMAH KENTANG: THE BEGINNING (2019)

Be careful what you wish for. Karena terlalu sering diulang dalam empat tahun belakangan, setelah Mata Batin 2 awal tahun ini, saya berharap Hitmaker Studios mau beralih dari pola khas Rocky Soraya. Dibuat oleh Rizal Mantovani (film pertama Hitmaker yang bukan disutradarai Rocky Soraya sejak Tarot empat tahun lalu), Rumah Kentang: The Beginning menerapkan gaya berbeda, dan berujung melahirkan horor terburuk milik rumah produksi tersebut.

Kisahnya tak memiliki kaitan dengan Rumah Kentang (2012, juga produksi Hitmaker), dan sesuai dugaan, embel-embel “The Beginning” di judulnya sebatas omong kosong. Anda bisa mengganti kentang dengan jagung, lobak, terong, atau petai, dan takkan berdampak.  Kenapa dalam meneror korbannya, si hantu memakai kentang sebagai medium? Pertanyaan itu pun tak terjawab. Padahal bila mengacu pada legenda lokal, baik di Jakarta, Bandung, maupun Yogyakarta, bukan itu alasan pemberian julukan “rumah kentang”.

Berlatar tahun 1983 yang berakhir sebatas angka karena detail tata kostum, set, sampai propertinya kurang mendukung, Rumah Kentang: The Beginning tak ada bedanya dibanding film bertema rumah angker lain. Sepasang suami istri, Adrian (Christian Sugiono) dan Sofie (Luna Maya), kembali ke rumah masa kecil Sofie yang telah lama kosong sejak kedua orang tuanya menghilang secara misterius. Alasan mereka adalah membantu Adrian mendapat inspirasi untuk menulis novel terbaru.

Bisa ditebak, ada rahasia kelam di masa lalu keluarga Sofie, yang mendorong munculnya teror. Kata “teror” di sini seringkali berupa banjir kentang. Beberapa kali karakternya tewas karena terkubur kentang. Benar-benar cara mati yang “kentang”.  Ini bukan suguhan campy, sebutlah seperti Attack of the Killer Tomatoes (1978). Baik naskah buatan Agam Suharto maupun penyutradaraan Rizal Mantovani memposisikan serbuan kentang sebagai hal serius, kelam, mengerikan. Masalahnya, semakin dianggap serius pemandangan tersebut semakin konyol. Apakah karena orang tua Sofie petani kentang ototmatis membuat kentang jadi senjata sang hantu? Kasihan sekali hantu kita ini.

Soal menakut-nakuti, sebenarnya saya mencium niat baik dari naskah buatan Agam Suharto, yang menolak terlampau sering mengeksploitasi jump scare. Tapi di saat bersamaan, tidak ada “ganti rugi” yang ditawarkan, entah misteri, atmosfer, atau creepy imageries. Hasilnya adalah perjalanan membosankan yang berulang kali membuat saya terlelap selama sepersekian detik. Padahal ada modal menjanjikan berupa tata rias mumpuni bagi para makhluk halus, pula senyum menyeramkan Luna Maya.

Satu-satunya usaha merangkai alur yang Agam lakukan hanya menghilangkan satu demi satu anak Adrian dan Sofie, yang disajikan repetitif. Salah satu anak hilang, orang tuanya mencari di sekeliling rumah, sampai di gudang tempat belanga raksasa disimpan, menyadari anak mereka hilang di situ, lalu ditutup oleh jeritan pilu Luna Maya sedangkan Christian Sugiono sibuk menendang kentang-kentang di lantai. Terus ulangi saja pola ini sampai lebaran kentang.

Ketika Nina (Davina Karamoy) si puteri sulung hilang, pihak kepolisian berjanji bakal melakukan pencarian intensif di hutan. Kita tidak pernah melihat pencarian itu terjadi. Faktanya, naskah film ini sering melupakan poin-poin yang diperkenalkan beberapa saat sebelumnya. Semisal karakter Dadang (Epy Kusnandar). Awalnya, ia tampak misterius, seram, pelit bicara. Sampai di kemunculan kedua, saat ia bicara dengan Uwak (Jajang C. Noer), sosoknya berubah. Lebih ramah, lebih manusiawi, lebih banyak menyimpan rasa takut. Inkonsisten. Sama inkonsistennya dengan penokohan Adrian, seorang penulis novel horor berpengalaman yang sangat bodoh sampai bisa begitu mudah termakan tipu daya setan.

Saya bosan dengan formula Rocky Soraya, itu betul. Tapi setidaknya tak ada dorongan untuk terlelap, dan hanya butuh beberapa modifikasi sebagai penyegar. Di Rumah Kentang: The Beginning, sentuhan gore khas Rocky di klimaks berhasil meningkatkan intensitas. Peningkatan yang datang sangat terlambat. Saya sudah terlanjur tidak sabar ingin melangkah keluar dari studio. Lebih baik saya makan kentang rebus atau mashed potato.

KUNTILANAK 2 (2019)

Dunia horor lokal belakangan ibarat siswa yang sedang belajar. Prosesnya cukup lambat. Bukan buku demi buku, bukan pula halaman demi halaman, melainkan kalimat demi kalimat. Setelah beberapa waktu, kita akhirnya sampai di fase “mengurangi kuantitas jump scare”. Tapi kita belum mencapai usaha memperbaiki kualitas trik menakut-nakuti, setidaknya tidak secara signifikan. Begitulah ekspektasi yang sebaiknya anda pasang untuk Kuntilanak 2.

Si hantu wanita tituler baru menampakkan taring setelah film menyentuh durasi sekitar 30 menit, dan meski impresi pertama terhadap terornya cukup baik, tidak demikian dengan jalan menuju ke sana. Pasca peristiwa film pertama, para jagoan anak kita kini tinggal di bawah asuhan Donna (Nena Rosier) dan puterinya, Julia (Susan Sameh). Mereka hidup bahagia hingga datang wanita misterius bernama Karmila (Karina Suwandi), mengaku sebagai ibu kandung Dinda (Sandrinna Skornicki).

Ketiadaan bukti membuat Donna meragukan kebenaran pengakuan tersebut, tapi Dinda, yang merindukan kasih sayang seorang ibu, memaksa untuk mengunjungi Karmila. Ditemani bocah-bocah lain juga Julia dan kekasihnya, Edwin (Maxime Bouttier dengan penampilan canggung seperti biasa), Dinda mengunjungi rumah Karmila yang terletak di tengah hutan terlarang. Anda tidak perlu menjadi paranormal kelas satu guna menebak identitas Karmila sesungguhnya.

Naskah buatan Alim Sudio (Surga yang tak Dirindukan, Rumput Tetangga) mengajak kita mengarungi perjalanan panjang sebelum menggedor melalui teror. Walau niatan untuk menyampaikan cerita ketimbang kompilasi jump scare pantas diapresiasi, tanpa atmosfer memadai maupun modal cerita solid, yang hadir hanyalah kekosongan. Sejatinya banyak elemen berpotensi digali, seperti mitologi kuntilanak hingga drama hangat seputar pencarian keluarga, tapi tak satu pun cukup kuat guna mengatrol kualitas film secara signifikan.

Presentasi misteri mengenai identitas Karmila cenderung berupa rekap daripada investigasi sungguhan, drama keluarganya urung memproduksi ikatan batin meyakinkan di antara karakter (khusus aspek ini, film pertamanya lebih baik), sementara elemen mitologinya sebatas aksesoris kecil yang tak kuasa menghembuskan kesegaran bagi cerita maupun teror.

Tapi urusan menakut-nakuti, Kuntilanak 2 mengalami sedikit peningkatan, bahkan layak disebut sebagai horor terbaik yang pernah dirilis tepat di hari lebaran. Membaiknya penyutradaraan Rizal Mantovani (Jelangkung, Kuntilanak, Antologi Rasa) jadi faktor penting penghasil teror solid tak murahan. Sayangnya, setelah penantian panjang, beberapa “teror solid” belum cukup. Film ini butuh situasi “all hell break loose”, juga lebih banyak kreativitas dan dinamika supaya penantian tersebut layak dilalui.

Setidaknya Karina Suwandi kembali memamerkan penampilan mengerikan. Figurnya, dengan rambut lurus hitam panjang serta tatapan dingin, memancarkan aura mencekam sebagaimana saya bayangkan dimiliki oleh sesosok Kuntilanak. Ditambah gestur tak manusiawi yang sebelumnya pernah membuat penonton mencengang di Sebelum Iblis Menjemput, pula riasan ala horor kelas b yang mengingatkan kepada The Evil Dead (1981) kepunyaan Sam Raimi, Kuntilanak versi Karina adalah antagonis yang pantas mendapatkan film lebih baik.

Minimal klimaks yang lebih baik, sebab Kuntilanak 2 punya potensi memberi ride menyenangkan melalui presentasi babak ketiganya. Tapi pesona Karina Suwandi, pula musik garapan Stevesmith Music Production (Mata Batin, Sabrina, Antologi Rasa) yang cakap menyelipkan suara gamelan dalam scoring miliknya, dikecewakan oleh pacing lemah sekaligus ketidakmampuan Rizal Mantovani menjaga intensitas. Klimaksnya pun menjadi perjalanan melelahkan.

ANTOLOGI RASA (2019)

“Selamat datang di kehidupan cinta gue yang berantakan”, sapa Keara (Carissa Perusset) pada penonton. Dan memang pernyataan itu paling pas, sebab Antologi Rasa sungguh menghadirkan kisah cinta segiempat luar biasa rumit nan berantakan. Begitu berantakan, pesan yang filmnya hendak sampaikan soal hubungan pun bak hilang ditelan keruwetannya. Atau memang tiada pesan apa pun? Ketika pikiran para karakter semakin jernih jelang kisah berakhir, tidak demikian halnya penonton.

Tapi jika anda memandang Antologi Rasa hanya sebagai satu lagi film tentang betapa resahnya mencintai seseorang yang tak dapat dimiliki, adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa ini sesungguhnya bekerja cukup baik. Saya bisa memahami mayoritas rasa sakit karakternya, bahkan nyaris menitikkan air mata tatkala konflik lagi-lagi dibawa menuju resolusi di bandara, yang mana telah dipakai menutup ribuan drama romantika.

Keara, Harris (Herjunot Ali), Ruly (Refal Hady), dan Denise (Atikah Suhaime) adalah sahabat yang mencari nafkah di satu kantor, bahkan sama-sama datang terlambat di hari pertama bekerja. Ada persamaan lain di antara mereka, di mana masing-masing saling memendam cinta. Harris mencintai Keara yang mencintai Ruly yang mencintai Denise yang sudah menikah. Rumit memang. Antologi Rasa seperti antologi hal-hal menyakitkan yang terjadi saat cinta bertepuk sebelah tangan.

Begitu banyak hal menyakitkan muncul membuat paling tidak ada satu-dua peristiwa yang pernah penonton alami, sehingga merasa terikat terhadapnya. Cukup ambil contoh perasaan Harris. Dia terjebak di friendzone, terlanjur jadi tempat Keara mencurahkan isi hati soal pria lain yang ia cintai. Fisik sang gadis amat dekat, namun tidak hatinya, yang digambarkan oleh suatu malam di Singapura, kala Keara berbaring di perut Harris, sementara si pria hidung belang mengaku sudah menemukan wanita yang sempurna baginya. Tentu Keara tak tahu bahwa wanita itu adalah dirinya.

Paruh pertama, yang menjabarkan perjalanan Keara dan Harris ke Singapura untuk menyaksikan balapan F1 (Ruly membatalkan keikutsertaannya demi menemani Denise), merupakan bagian paling bernyawa berkat keberhasilan Junot sejenak mengesampingkan persona “cowok cool” yang lekat padanya (AKHIRNYA!). Kepribadian unik dan cerianya membawa energi serta getaran menyenangkan, bukan hanya dalam hidup Keara, juga bagi pengalaman menonton kita. Walau sewaktu dipaksa melakoni adegan serius, kecanggungan kaku khasnya kembali lagi.

Carissa, dalam penampilan layar lebar perdana, menunjukkan kualitas yang hanya bisa dideskripsikan melalui kalimat Ruly untuk Keara berikut: “Efek lo ke cowok itu luar biasa”. Bukan cuma soal paras cantik. Ada aura menghipnotis yang memancing ketertarikan. Sesuatu yang mustahil dilatih, dan kelak bakal menjadikannya bintang besar selama jeli memilih peran. Di situasi dramatik, konsistensi Carissa perlu diperbaiki, tapi caranya menghantarkan kalimat emosional di “adegan bandara” cukup membuktikan potensinya. Sebuah kalimat yang lama saya nantikan keluar dari mulut karakter saat menghadapi perpisahan. Kalimat kuat yang bertindak selaku ungkapan perasaan jujur, sehingga saya memaafkan bagaimana Antologi Rasa tenggelam dalam kerumitannya sendiri.

Fase berikutnya, yang menampilkan perjalanan bisnis Keara bersama Ruly ke Bali, sayangnya tak seberapa menarik. Refal membuktikan kapasitasnya memerankan pria baik kharismatik, tapi fakta bahwa Ruly adalah pria kalem yang kurang jago menyegarkan suasana lewat lelucon seperti Harris, menjadkan interaksinya dengan Keara seringkali hampa. Terlalu banyak kekosongan di paruh kedua Antologi Rasa.

Film ini disutradarai Rizal Mantovani (Kuldesak, 5 cm, Eiffel...I’m In Love 2), yang saya percaya, senantiasa memiliki visi ciamik perihal merangkai gambar cantik meski pengadeganannya kekurangan sensitivitas (itu sebabnya kebanyakan horor Rizal berakhir buruk). Rizal tak kuasa mengangkat bobot emosi adegan, tapi lebih dari mampu untuk membuatnya nampak elegan sekaligus mewah. Dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (Sang Kiai, My Stupid Boss, Target), semua selalu terlihat cantik, baik pemandangan (Singapura, Bali, bahkan nuansa malam Jakarta) maupun tokoh-tokohnya. Walau akan lebih baik andai Rizal tak terlalu bergantung pada jajaran pemain atau benih-benih yang ditanam naskah buatan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh) dan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur).

TEMBANG LINGSIR (2019)

Setidaknya karya teranyar Rizal Mantovani ini sedikit lebih “tepat” perihal penggambaran latar lagu Lingsir Wengi, yang kerap salah dipahami sebagai “mantera pemanggil hantu”. Sebuah interpretasi yang dipopulerkan belasan tahun lalu oleh film Rizal lainnya. Tapi jangan salah sangka mengira bahwa dengan itu, Tembang Lingsir otomatis menjadi sajian berkualitas. Lihat saja rumah produksi di belakang film ini. Dan mustahil sebuah film berlatar modern, di mana karakter yang tidak mampu bicara memilih papan tulis sebagai alat bantu komunikasi ketimbang telepon genggam, berakhir memuaskan.

Filmnya berkisah tentang Mala (Marsha Aruan) yang kehilangan suaranya untuk sementara dan harus tinggal bersama kerabatnya, Om Gatot (Teuku Rifnu Wikana) dan Tante Gladys (Meisya Siregar), pasca insiden mistis yang merenggut nyawa sang ibu. “Dia aneh!”, demikian protes Desi (Aisyah Aqilah), puteri Gladys, merujuk pada kebiasaan Mala yang kerap tiba-tiba diam sebelum menyanyikan Lingir Wengi. Tapi selain perilaku Mala, ada misteri lain terkait keluarga tersebut.

Seperti biasa, eksplorasi plot atau misteri bukan hal yang menarik (atau sanggup?) dilakukan oleh penulis naskah horor negeri ini. Alhasil, guna mengisi durasi, Andhika Lazuardi memakai kumpulan gangguan mistis, yang menimpa satu per satu anggota keluarga. Jika teror terhadap Mala usai, kita akan dilempar menuju teror terhadap Tante Gladys, Om Gatot, dan seterusnya.

Semakin terasa bagai filler akibat pendekatan Rizal, yang menyeret pembangunan tensi—yang tak pernah sekalipun menyimpan atmosfer mencekam atau ketegangan—sebelum menutupnya lewat jump scare semurah kerupuk di warteg. Rizal bukan sutradara horor hebat. Tapi bahkan dibandingkan Jelangkung atau Kuntilanak, performanya di sini terlihat malas. Tidak kalah malas adalah tata riasnya. Walau sosok Kanjeng Ratu dengan semua aksesoris akar pohon jauh dari buruk, namun hantu yang secara reguler meneror Mala sekeluarga, punya bekas luka di wajah yang tampak seperti ditempeli pizza bekas makan malam.

Ketika teror absen mengisi, Tembang Lingsir semakin membosankan sebagai dampak pemakaian kalimat-kalimat dangkal, yang bahkan seorang Teuku Rifnu pun tak kuasa menyelamatkannya walau telah berusaha sekeras mungkin. Sementara itu barisan kebodohan pun tak ingin kalah eksis. Salah satunya saat dua teman Desi ketakutan lalu memilih meninggalkan rumahnya. Terdengar pintar, sampai kita melihat mereka memutuskan berjalan kaki masuk hutan di tengah malam. Bukankah sebelumnya mereka mengendarai mobil?

Kebodohan itu penulisnya pilih agar Tembang Lingsir berkesempatan menginjeksi alurnya dengan sentuhan slasher, yang sejatinya berpotensi menghibur andai penempatan unsur gore-nya—yang memaksa filmnya diberi rating “17 tahun ke atas”—tepat. Paling tidak, melihat karakternya memotong kaki manusia seolah-olah itu daging sapi bisa membuat saya terjaga lebih lama. Klimaks Tembang Lingsir ditutup tanpa taring pula begitu mendadak setelah Mala melantunkan Lingsir Wengi. Ya, horor produksi Baginda KKD alias Maharaja Dheeraj Kalwani ini selesai setelah satu nyanyian pendek. Mungkin suara Mala begitu jelek sampai Kanjeng Ratu tak mampu bertahan kemudian musnah. Sayangnya film ini tidak ikut musnah.

JAILANGKUNG 2 (2018)

Jailangkung 2 diawali dengan meyakinkan, memberi penyegaran dengan membawa kisahnya mundur jauh ke belakang, tepatnya pada 1947 untuk mengaitkan Matianak dengan legenda SS Ourang Medan, kapal yang konon karam akibat kecelakaan misterius berbau mistis. Sekuen—yang sayangnya terlampau singkat—itu bukan cuma menghadirkan suasana berbeda, pula berpotensi melebarkan mitologi cerita, di mana Matianak dikurung dalam kargo SS Ourang Medan. Untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan logika serupa terulang berkali-kali, tapi tanya yang lebih besar adalah “kenapa sekuel ini dibuat jika orang-orang yang terlibat tampak setengah hati?”. Demi uang tentu saja. Bodohnya saya bertanya.

Padahal menengok konsepnya, Jailangkung 2 jelas sekuel ambisius. Lebih mahal, lebih besar, punya lingkup lebih luas. Dimulai di tengah samudera, kisahnya berlanjut menceritakan nasib tokoh-tokohnya pasca film pertama. Bella (Amanda Rawles) mendapati keluarganya masih diteror Matianak. Ayahnya, Ferdi (Lukman Sardi) tetap dihinggapi rasa tidak tenang, sementara sang kakak, Angel (Hannah Al Rashid) berada di bawah pengaruh Matianak dalam wujud bayi yang ia lahirkan di film sebelumnya. Kedua mata bayi itu berwarna putih, menyeramkan, tapi entah bagaimana pihak rumah sakit seolah tak merasa ada kejanggalan.

Si puteri bungsu, Tasya (Gabriella Quinlyn), secara tak sengaja menyaksikan video ayahnya bermain jailangkung, lalu terinspirasi membuat jailangkung sendiri guna berkomunikasi dengan mendiang sang ibu. Tindakan inilah awal segala teror yang memicu Bella, bersama Rama (Jefri Nichol), melakukan perjalanan mencari jimat Kurungsukmo yang dipercaya bisa membendung kekuatan Matianak, setelah memperoleh informasi dari Bram (Naufal Samudra) si mahasiswa baru. Perjalanan ini diisi ragam tindakan karakter yang terjadi semata sebagai pembuka jalan menyelipkan jump scare alih-alih didasari motivasi logis. Bella misalnya, mendadak bergegas ke WC untuk cuci tangan. Bisa jadi dia menjunjung tinggi kebersihan, meski saya yakin ini sekedar cara malas Ve Handoyo dan Baskoro Adi Wuryanto (Gasing Tengkorak, Ruqyah: The Exorcism) dari departemen penulisan naskah supaya Bella seorang diri di ruangan gelap. Begitu lampu WC padam, daripada kabur, ia justru nekat menyelidiki.

Di saat bersamaan Ferdi tinggal di rumah, berusaha mencari Tasya yang hilang setelah bermain jailangkung. Selaras dengan tema kekeluargaan yang diusung, Ferdi pun coba digambarkan sebagai seorang ayah dengan kepedulian tinggi pada ketiga puterinya, walau tatkala Bella pamit ingin mencari jimat,—yang jelas sebuah perjalanan berbahaya—Ferdi tak merasa perlu menanyakan destinasinya. Benar saja, gangguan makhluk halus setia mengintai Bella dan kawan-kawan. Bram berkata, bahwa semakin tinggi niat mereka menyingkirkan Matianak, semakin banyak pula setan mengganggu demi menggagalkan usaha itu. Satu momen singkat sempat memperlihatkan para hantu merangkak di depan Matianak layaknya rakyat jelata memuja sang raja. Setidaknya poin itu cukup sebagai “rules”, penjabaran mengapa hantu-hantu selain Matianak ikut meneror.

Samudera ganas baik di permukaan maupun kedalaman hingga Keraton gaib Alas Ketonggo jadi contoh lokasi yang disinggahi petualangan Jailangkung 2. Cenderung nampak seperti ajang unjuk gigi bujet besar ketimbang parade kengerian, untungnya variasi lokasi serta cukup baiknya kualitas CGI menjadikan film ini tidak semelelahkan mayoritas horor lokal buruk yang hanya bertahan di lokasi tunggal nan monoton. Petualangan berskala besar ini sayangnya berakhir ala kadarnya, sewaktu jimat Kurungsukmo yang telah tersembunyi selama puluhan tahun dalam reruntuhan kapal di dasar laut jauh lebih mudah ditemukan ketimbang remote televisi yang hilang.

Setelah berpetualang sedemikian jauh bersama karakternya, tentu saya mengharapkan puncak yang sepadan, bukannya konfrontasi canggung yang bak dikemas tanpa perencanaan, tanpa koreografi matang, tanpa totalitas. Beberapa horor terakhir karya duo sutradaranya, Jose Purnomo (Alas Pati, Ruqyah: The Exorcism, Gasing Tengkorak) dan Rizal Mantovani (Kuntilanak, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati) memang buruk, tapi setidaknya ada energi. Jump scare-nya memiliki tenaga meski berhenti di taraf trik mengagetkan murahan. Jailangkung 2 bagai anak kurang gizi yang dipaksa berlari. Begitu pula jajaran pemainnya. Menyaksikan Amanda Rawles-Jefir Nichol bersama di layar lebar tak pernah sedatar dan semembosankan ini. 

KUNTILANAK (2018)

Dalam horor, momen ketika kamera dan/atau karakter bergerak lambat menghampiri sumber suara atau bayangan misterius atau apa pun yang takkan didekati manusia normal di dunia nyata, berfungsi memupuk ketegangan dan antisipasi. Sebagai ganti tempo lambat itu, mesti disiapkan penebusan, di mana jump scare kerap jadi primadona. Apabila gagal memberi penebusan setimpal, penonton hanya akan ditinggalkan bersama rasa bosan, yang makin melelahkan jika kegagalan terjadi berulang kali, kemudian berkembang jadi kekesalan sewaktu kuantitasnya melebihi batas normal. Sutradara Rizal Mantovani (trilogi Kuntilanak, Jelangkung, Bayi Gaib: Bayi Tumbal, Bayi Mati) dan tim memahami poin di atas, sehingga Kuntilanak sedikit lebih baik dari rentetan horor busuk belakangan, meski kalau melihat judul-judul pembanding, “sedikit lebih baik” bukan prestasi membanggakan.

Lima anak penghuni panti asuhan, Dinda (Sandrinna M Skornicki), Kresna (Andryan Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali Fikry) harus berpisah sejenak dengan ibu asuh mereka, Donna (Nena Rosier) yang mesti bepergian ke Amerika selama 3 minggu. Sebagai pengganti, Lydia (Aurelie Moeremans) diminta menjaga mereka. Jangan berharap Lydia maupun kekasihnya, Glenn (Fero Walandouw), si pembaca acara horor di televisi—yang bertanggung jawab membawa cermin terkutuk tempat kuntilanak bersemayam ke panti asuhan—mendapat porsi banyak. Kuntilanak memang berpusat pada tokoh anak, layaknya IT (2017) atau karya-karya klasik Steven Spielberg.

Cermin penebar teror tersebut berasal dari sebuah rumah bernama “rumah kuntilanak”, yang dipercaya ditinggali sesosok kuntilanak yang menyebabkan hilangnya seorang bocah 4 bulan lalu. 4 bulan yang bagaikan 4 tahun melihat kondisi rumah yang bahkan telah diselimuti akar-akar besar entah dari mana. Tentu rumah ini terbengkalai, walau fakta itu terasa membingungkan saat pemilik lamanya tiba-tiba muncul memergoki kelima protagonis kita yang tengah masuk guna membuktikan keberadaan kuntilanak. Kebingungan lain: siapa hantu-hantu selain kuntilanak yang rutin mengganggu anak-anak itu tiap malam? Misalnya Hantu Penari yang muncul di tengah upaya Rizal memberi homage bagi Poltergeist. Wujud serta modus operandinya jelas berbeda dibanding kuntilanak yang mitologinya diperkenalkan ke penonton.

Beberapa momen jump scares sanggup dikemas cukup solid oleh Rizal dengan segelintir di antaranya memiliki daya kejut lumayan berkat timing tidak terduga. Kebanyakan berujung datar, tanpa penebusan setimpal sebaimana telah dibahas di awal tulisan, tapi setidaknya kita bisa melihat bahwa Rizal bukan sineas horor malas yang asal melemparkan hantu sedekat mungkin ke layar. Sayangnya, tatkala film versi lama yang dibintangi Julie Estelle dahulu memperkenalkan penonton akan desain kuntilanak dengan rasa fantasi, di sini sang titular ghost tampak medioker, kurang mengerikan, mudah dilupakan. Pernyataan yang disebut terakhir bisa didebat, karena paling tidak saya bakal selalu mengingat kuntilanak di sini sebagai “hantu wanita berjidat lebar itu”.

Alim Sudio (Guru Ngaji, Ananta, Ayat-Ayat Cinta 2) selaku penulis naskah mungkin urung membangun pondasi cerita kokoh. Misterinya tak meninggalkan penasaran dan antusiasme, unsur drama keluarganya berlangsung hambar. Tapi berkatnya, Kuntilanak bukanlah satu lagi horor yang tersusun atas fragmen-fragmen jump scare overdosis yang digabungkan paksa. Ada jembatan berbentuk usaha memantapkan hubungan antara bocah-bocah panti asuhan melalui sederet humor yang lebih efekif memancing tawa ketimbang jump scare-nya dalam memancing kengerian, khususnya celetukan-celetukan “semaunya” dari Ciara Nadine Brosnan selaku pemeran Ambar si bungsu, walau keputusan Rizal menyelipkan efek suara plus musik konyol khas sinetron tiap humor tersaji terasa mengganggu. Ini bukan Tukang Ojek Pengkolan.

Ada kepolosan menggelitik dalam celetukan Ambar, berbeda dengan di banyak kesempatan ketika naskahnya memaksa anak-anak ini bicara, menjelaskan mitologi kuntilanak bagai orang dewasa. Klimaksnya (baca: penebusan terhadap keseluruhan film) juga terganggu masalah serupa. Bermaksud menghadirkan kekacauan menyenangkan, kilmaks film ini justru berakhir sebagai kekacauan murni akibat percakapan-percakapan—atau tepatnya teriakan-teriakan—tak perlu yang dilontarkan para protagonis selaku penjelas verbal bagi seluruh hal yang tengah terjadi. Tidak, kalimat yang terlontar dari mulut anak-anak tidak semestinya kaku dan membosankan. Sebaliknya, acap kali menarik, tak terduga, absurd, menggelitik, pastinya lebih menghibur dari (film) ini.

EIFFEL...I'M IN LOVE 2 (2018)


Eiffel...I’m In Love 2 adalah produk budaya Indonesia terkait pernikahan. Pernyataan “Menikah jangan ditunda-tunda” atau pertanyaan “Kapan nikah?” pun jamak mampir di telinga kita, termasuk telinga Tita (Shandy Aulia). Bayangkan, sudah 12 tahun ia berpacaran dengan Adit (Samuel Rizal) tapi bahtera rumah tangga tak kunjung ditempuh. Bagi kebanyakan masyarakat kita, itu permasalahan besar. Bagi Tita, menanti kalimat “will you marry me?” dari Adit makin lama makin meresahkan. Apakah Adit benar-benar serius menjalani hubungan? Tita kerap mempertanyakan itu.

Sedangkan saya mempertanyakan “Apakah filmnya mampu mengolah isu kekinian yang kompleks tersebut?”. Alkisah 12 tahun pasca film pertama, Adit dan Tita masih menjalani LDR dengan bentuk interaksi serupa: bertengkar, bertengkar, dan bertengkar. Tita yang manja dan selalu merengek, Adit yang ketus dan galak. Sekilas mereka tidak berubah. Tapi sejatinya ada perubahan besar yang menggiring Eiffel...I’m In Love 2 berpindah jalur dibandingkan pendahulunya, yakni status pacaran dua tokoh utama.
Konon setelah berpacaran, romantisme berkurang, hubungan lebih hambar serta gampang ditebak. Eiffel...I’m In Love 2 terjangkit hal serupa. Elemen kejutan dalam dinamika Adit-Tita memudar, sedangkan konfliknya terjerumus keklisean seputar kesalahpahaman yang mestinya dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat. Pertengahan durasi praktis sekedar diisi jalan-jalan berkeliling Paris sembari diselingi rutinitas obrolan berujung pertengkaran. Obrolan dangkal sekaligus repetitif yang urung dipakai menggali isu pernikahan yang diangkat.

Beruntung chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal kian rekat, hingga efektif menyunggingkan senyum di bibir penonton. Samuel yang semakin matang tidak lagi datar saat menyampaikan dialog, sementara Shandy adalah sumber tenaga filmnya. Keduanya menyatu bersama warna-warna lembut dari kamera Yunus Pasolang serta lagu-lagu catchy Melly Goeslaw, menciptakan rasa manis guna menebus usaha pendewasaan cerita yang belum dibarengi naskah mendalam maupun kecanggungan Rizal Mantovani membungkus sederet adegan komedi.
Kekurangan naskah buatan Donna Rosamayna tampak dalam penokohan yang inkonsisten bila disandingkan dengan usungan tema. Eiffel...I’m In Love 2 coba merobohkan anggapan “lebih cepat menikah lebih baik”. Pola pikirnya kekinian, tetapi diisi tokoh-tokoh macam Adit dan Bunda (Hilda Arifin) yang kolot pula mengekang. Khususnya Bunda. Di film pertama, sikapnya masuk akal mengingat Tita merupakan gadis 15 tahun sekaligus anak bungsu. Bermaksud membangun kontinuitas, hasilnya justru karakter yang seolah tak berkembang seiring waktu.

Pesan agar tak menggampangkan pernikahan memang relevan pada era saat banyak orang buru-buru menikah karena dipandang selaku solusi permasalahan (yang justru memancing masalah lebih besar kala minim persiapan). Andaikan pesan itu disampaikan bertahap sembari menyertakan gambaran nyata ketimbang diringkas di penghujung dan cuma berbentuk petuah. Kekurangan Eiffel...I’m In Love 2 jelas menumpuk. Saya akan mengingatnya sebagai film buruk kalau bukan karena beberapa menit terakhir yang berisi ciuman romantis dan perbincangan intim nan menyentuh. Konklusi itu bersifat krusial. Bisa menghancurkan atau melambungkan kualitas film. Eiffel...I’m In Love 2 termasuk golongan kedua.

BAYI GAIB: BAYI TUMBAL BAYI MATI (2018)


Seorang polisi (Dorman Borisman) tiba di TKP pembantaian sebuah keluarga. Seluruh tulang sang suami remuk, sang istri terguncang dan meracau, sementara bayi mereka tewas kehabisan darah. Adegan pembuka ini tidak punya maksud kecuali menyiratkan fenomena mistis yang akan jadi pusat konflik filmnya, memperkenalkan tokoh sampingan yang cuma berperan menjelaskan fenomena itu pada protagonis, dan menyebutkan sub-judul “Bayi Tumbal, Bayi Mati”. Bukan awal meyakinkan bagi usaha seorang KK Dheeraj alias KKD alias Dheeraj Kalwani naik kelas.    

Dheeraj memang bagai sedang berusaha mengubah persepsi publik. Tidak hanya menanggalkan identitas legendaris KKD, sejak Gasing Tengkorak (2017) rumah produksinya pun mengusung nama  Dee Company, bukan lagi K2K Production. Tidak pula ia menggaet bintang porno luar negeri atau Dewi Perssik sebagai pemain. Lupakan sangkalannya terhadap pernyataan bahwa film ini merupakan remake Bayi Ajaib (1982). Sebab, menilik trailer-nya, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati tampak well-made. Meski kegagalan production value apik menutupi kelemahan naskah dan penyutradaraan yang berujung merusak film bukan lagi hal baru di industri kita.
Setelah dua tahun, Farah (Rianti Cartwright) dan Rafa (Ashraf Sinclair) akhirnya memiliki momongan. Namun begitu putera perdana yang diberi nama Rangga itu lahir, kejadian aneh mulai menimpa mereka. Rafa dihantui mimpi-mimpi buruk, sementara Farah kerap melihat bayinya dalam wujud mengerikan. Rafa yang skeptis terhadap hal gaib meyakini sang istri menderita baby blues. Pondasi menarik untuk membangun horor psikologis yang sayangnya terlalu malas digali dalam naskah buatan Baskoro Adi Wuryanto.

Satu penyakit akut film horor negeri ini adalah, apa pun sumber terornya, mau ajian maut berbentuk gasing, iblis, santet, atau bahkan imajinasi karakternya, cara yang dipakai untuk menakut-nakuti nihil perbedaan. Hantu akan berlari cepat di balik sofa, muncul di kamar mandi, hingga kasur. Mungkin memang kenyataannya itu tempat favorit makhluk halus. Setidaknya beberapa jump scare punya penempatan waktu yang tepat sehingga tersaji mengejutkan. Poin plus bagi Rizal Mantovani, tatkala penataan kamera Rudy Novan acap kali menyulitkan penonton untuk mengidentifikasi hal menakutkan apa yang tengah muncul.
Menjalani debut di film horor, Rianti tampak kesulitan menjual kengerian yang meyakinkan. Teriakannya, ekspresi ketakutannya, urung menyalurkan perasaan serupa kepada penonton. Tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Melihat desain si bayi gaib (atau bayi tumbal? atau bayi mati? Saya tak peduli), tawa memang akan lebih mudah hadir ketimbang rasa takut. Penampilan Ashraf Sinclair cukup bisa dinikmati, namun lebih dikarenakan tuntutan yang belum sebesar Rianti. Karakter Rafa tidak sesering Farah mendapat gangguan mistis.

Ending-nya memperlihatkan sang pelaku sesungguhnya mendatangi kediaman Farah dan Rafa. Untuk apa repot-repot saat santet yang dikirim terbukti manjur? Lima menit terakhir bak cerminan kebingungan Baskoro Adi Wuryanto mengenai harus bagaimana kisahnya ditutup. Serupa Gasing Tengkorak, Ruqyah: The Exorcism, Jailangkung, hingga Ghost Diary, film ini dipenuhi detail-detail khas Baskoro yang amat menggelitik dan niscaya memberi anda dan teman-teman pengalaman mengasyikkan kala menertawakannya bersama-sama.