Tampilkan postingan dengan label IFachri Albar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IFachri Albar. Tampilkan semua postingan

REVIEW - PENGABDI SETAN 2: COMMUNION

First, let me address the elephant in the room: 'Pengabdi Setan 2: Communion' is not as good as the first movie. Tapi rasanya Joko Anwar menyadari itu. Sadar bahwa ada harga yang mesti dibayar dalam upaya melahirkan crowd-pleaser horror, sekaligus sekuel yang (sebagaimana wajarnya sebuah sekuel) tampil lebih besar dibanding pendahulunya. 

Joko membuka kisahnya dengan flashback ke tahun 1955, mengikuti penemuan mencengangkan Budiman (Egy Fedli), yang langsung menegaskan bahwa peristiwa film pertama hanya puncak gunung es dari intrik yang lebih besar. Jauh lebih besar, juga lebih jahat. Pengabdi Setan 2: Communion membawa aroma kejahatan yang teramat pekat, sampai dunianya terasa tak lagi mampu mendefinisikan "harapan". 

Lalu kita dibawa kembali ke tahun 1984, melihat bagaimana Rini (Tara Basro), bersama kedua adiknya, Toni (Endy Arfian) dan Bondi (Nasar Anuz), serta si bapak, Bahri (Bront Palarae), berusaha lepas dari trauma akibat tragedi tiga tahun lalu. Mereka kini tinggal di rumah susun kumuh (bukan rumah susun di akhir film pertama) di area pinggir laut yang terpisah dari pemukiman penduduk. Rusun yang memutar Rayuan Pulau Kelapa tiap malam menjelang (semasa kecil, saya menganggap lagu ini adalah pertanda para hantu siap beraktivitas)

Kita turut diajak berkenalan dengan beberapa tetangga: Tari (Ratu Felisha sebagai penampil terbaik) yang kerap jadi korban gosip akibat selalu bekerja di malam hari; Dino (Jourdy Pranata) si pemuda begajulan yang sering menggoda Tari; Wisnu (Muzakki Ramdhan) yang tinggal berdua bersama ibunya yang bisu (Mian Tiara); serta Ari (Fatih Unru), teman Bondi yang punya ayah abusive. 

Buruknya kondisi rusun bukan cuma kepentingan estetika atau amunisi membangun atmosfer, pula cara Joko menyentil isu seputar kesejahteraan rakyat. Rusun kumuh pinggir laut, dibangun di atas kondisi tanah jauh dari ideal, sehingga terendam banjir ketika diterjang badai. Ditambah kabar mengenai aksi para petrus, lengkap sudah kengerian dalam hidup orang-orang. 

Hidup di Indonesia, apalagi bila terjerat kemiskinan, nyatanya tidak kalah mengerikan dan mematikan ketimbang menghadapi setan. Terdapat satu sekuen yang bakal terus dibicarakan di masa mendatang berkat kombinasi antara kebrutalan tanpa pandang bulu, dengan kepiawaian Joko terkait build-up menuju "menu utama". Bagi saya, momen yang juga bertindak selaku pemicu segala teror di rusun itulah titik paling menyeramkan di film ini. Karena tanpa campur tangan supernatural sekalipun, tragedi tersebut masih dapat terjadi akibat ketidakbecusan pemerintah menyediakan hunian layak. Sungguh momen yang "jahat". 

Setelahnya, Pengabdi Setan 2: Communion menolak berhenti menginjak pedal gas. Bayangkan The Raid, tapi walau sama-sama berlatar gedung bertingkat, adegan aksi digantikan oleh jump scare. Joko memilih mengesampingkan eksplorasi semestanya, mengisi second act dengan barisan penampakan tanpa henti. 

Memang agak disayangkan, pasca opening luar biasa kuat, ditambah beberapa kreativitas naskah mengaitkan mitologinya dengan elemen-elemen dunia nyata (petrus, Konferensi Asia-Afrika), ceritanya bak cuma jembatan menuju klimaks di film ketiga. Tapi seperti telah saya singgung di awal tulisan, rasanya ini adalah pilihan yang disadari, lalu diambil atas nama memperbesar sekuelnya, minimal dari sudut pandang spektakel. 

Joko mengerahkan segala daya upaya, tata artistik mendukung terciptanya nuansa atmosferik, pun fakta bahwa filmnya tetap nyaman dilihat biarpun didominasi kegelapan wajib diberi pujian, namun kesan repetitif sukar dihindari tatkala kuantitas jump scare digandakan. Bukan berarti digarap asal-asalan, sebab beberapa teror cerdik masih dapat ditemui. Adegan Tari salat menerapkan trik sederhana tetapi efektif, daya kejut kreatif mampu dimunculkan dalam pemandangan yang melibatkan Dino dan sehelai kain, sementara Joko menampilkan pemandangan disturbing dalam momen "ibu hamil" yang jadi kekhasan sang sineas.

Bukan film Joko Anwar namanya kalau tak menemukan celah untuk melucu di tengah segala teror brutal. Serupa tugasnya di dua film Ghost Writer, Iqbal Sulaiman kembali sukses memancing tawa (karakternya bernama Darto, sama seperti karakter Endy Arfian di Ghost Writer). Joko juga membawa sentilannya terhadap figur pemuka agama secara lebih jauh. Ustaz Mahmud (Kiki Narendra) adalah sosok yang kerap memancing rasa geli melalui ketenangan berlebihnya (kalau tak mau disebut "naif"). Bagai orang yang selalu berkata, "Tenang, semua ada jalan keluarnya", tapi tidak sanggup menemukan jalan keluar saat benar-benar menemui masalah.

Ya, Pengabdi Setan 2: Communion merupakan penurunan. Rewatch value-nya pun berkurang karena pengesampingan cerita membuatnya takkan menyulut diskusi dan keliaran berteori sebanyak film pertama (walau petunjuk terkait identitas Batara (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) bisa memancing beberapa obrolan menarik). Tapi ini tetap crowd-pleaser yang ampuh, sekaligus horor Indonesia terbaik 2022 sejauh ini. Standar yang dipasang pendahulunya memang luar biasa tinggi.